Dua Puluh Satu


"Enak!"

Kuseruput sisa kuah kari di mangkok sampai habis. Ella menyodorkan tisu padaku dan aku mengambilnya untuk membersihkan mulutku. "Thanks!"

"Do you like it?"

"Mm-hmm. One of the best curry noodle I ever taste! "

"Gue juga nyangka gue punya bakat masak."

"Lo belajar masak dari mana?"

"Youtube."

Aku menatapnya tak percaya. Youtube? Ella juga menatapku dan tawa kami berdua pecah. Saat itu kusadari dia tetaplah gadis yang kukenal. Fisiknya telah berubah, kulitnya lebih halus dan cerah. Rambutnya kini sudah sampai sepunggung di cat coklat gelap. Hanya saja sekarang dia sudah lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dalam kata-katanya. Dan semakin mahir memasak.

"So, you're gonna stay here?" tanya Ella.

"I've been staying here."

"What does that suppose to mean, Jo?"

"Gue masih belum tahu, La. I haven't decided yet."

"Lo udah setahun di sini."

"Iya," aku mengamini. Aku sendiri tak menyangka sudah setahun aku kembali ke kampung halamanku sejak ayahku terserang stroke. Waktu bergulir sangat cepat, aku hampir-hampir tidak menyadarinya. "Di sini nyaman. Nggak bikin stres kayak di Jakarta."

Ella menyeruput lemon tea hangatnya. Gerakannya begitu anggun seolah dia sedang main film. "Gue tahu, Jo. Tapi bukannya kata lo, bokap lo keadaannya udah jauh lebih baik?"

"Iya sih. Cuma..." Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya. Aku hanya merasa aku harus tetap di sini.

"Lo nggak tega ninggalin mereka," tebak Ella jitu. Tangannya terjulur mendekati tanganku hingga ujung jari kami bersentuhan. Aku tergoda untuk menggenggam tangannya tapi tidak kulakukan. "Gue mengerti perasaan lo soal keluarga lo, Jo. But there's nothing for you here."

Ella bukanlah orang pertama yang mengatakan itu padaku. Ibuku sudah puluhan kali mengatakannya, memaksaku untuk kembali ke Jakarta dan melanjutkan karierku sebagai desainer. Di sini, di kampung halamanku, aku mencoba mengais rezeki sebagai desainer dan fotografer paruh waktu, tetapi uang yang kudapat hanya setengah dari gaji terakhirku di Jakarta. Dan tidak setiap hari ada yang mau memakai jasaku. Ini memang kota kecil yang mayoritas penduduknya adalah petani. Saat sedang sepi job, aku membantu Ria mengelola usaha kateringnya.

Awalnya terasa sangat sulit, tapi lama-kelamaan aku sudah membiasakan diri. Aku tetap bersyukur masih mampu bertahan sampai hari ini. Uangku memang tidak banyak—malah cenderung pas-pasan—tapi aku sanggup menghidupi diriku sendiri.

"Di sini gue berkecukupan kok, La. It's not much, but it's enough."

"You deserve more."

"Gue bahagia dengan yang gue punya sekarang," jawabku. "I'm trying to."

"Jo, look at me..." pinta Ella lembut. Aku menatapnya. "Lo nggak bisa selamanya kayak gini. Gue kenal lo selama sembilan belas tahun. Gue yakin lo nggak ditakdirkan tinggal d isini, at least not now. Lo nggak bakal jadi apa-apa di sini. You are more than this."

Paradoks yang diungkapkan Ella tanpa neko-neko ini menggelitikku. "Tapi lo sendiri memilih untuk pulang dan berbisnis di sini, La."

Ella terkekeh getir. Dia menyisir poninya yang jatuh menutupi mata dengan tangan. "Ceritanya beda, Jo. Gue bukan desainer. Minat gue memang di bisnis, dan restoran inilah perwujudannya. Bisnis kuliner semacam ini bisa dilakuin di mana aja, termasuk di kota ini. Gue bersyukur percobaan pertama gue berbisnis ini berjalan sesuai rencana. Tapi desain beda, Jo. Orang-orang di sini bahkan nggak bisa ngebedain antara desain fashion dan desain interior; dan lo berharap punya karier desain yang layak di sini?"

Aku tahu Ella akan mengatakan hal semacam itu. Ella gadis yang cerdas. Restoran yang dibuka Ella selulusnya dari kuliah bisnis di Singapura ini memang berjalan cukup sukses di kota kecil kami. Aku bisa melihat betapa besarnya kecintaan Ella terhadap restoran ini, suatu bentuk passion serupa yang kurasakan terhadap desain. Dan dia benar soal desain.

"Gue nggak bisa ninggalin keluarga gue, La."

"Yes, you can!" Nada mendesak dalam suara Ella membuatku yakin kalau dia sangat serius soal ucapannya. "Keluarga lo pasti ngerti, Jo. You're not supposed to end up like this, unhappy and bitter."

"I am happy."

Ella mencibiriku.

"Gue takut..." Kalau sudah begini, aku harus memberitahu Ella. Hal ini sudah mengganggu pikiranku sudah cukup lama. Kata orang-orang, berbagi dapat meringankan. "Gue takut kalau gue ninggalin orangtua gue, keadaan mereka akan memburuk. Gue nggak mau hal itu terjadi. Gue nggak bakal memaafkan diri gue kalau terjadi hal sesuatu pas gue pergi."

Ella menatapku cukup lama, tanpa mengatakan apa-apa. "It won't happen again this time, gue percaya. Ada hal-hal yang nggak bisa lo ubah Jo, misalnya kejadian di apartemen lo sama Ben waktu itu. Tapi lo nggak bisa terus ketakutan sepanjang waktu karena in this life, bad things do happen, Jo, entah lo suka atau nggak. They happen for a reason. Ada saat ketika lo harus terus berjuang, tapi ada saat lainnya ketika lo dituntut harus pasrah."

Aku jadi gugup sekarang. Ella memang sudah tahu insiden yang terjadi antara aku, Ben, dan Nindy, padahal aku hanya bercerita secara samar-samar. Ella bisa menebak dengan tepat kejadian lengkapnya. Dan dia sudah mengungkapkan pendapatnya juga.

"Tapi orangtua gue beda dengan Ben, La..."

"Lo punya trust issue, Jo. Lo percaya sama Ben dan dia ngecewain lo. Nggak bakal selamanya seperti itu. Dan bokap lo stroke bukan gara-gara lo. It's not your fault, it is nobody's fault. It happened because it must happen. Itu di luar kendali lo. Karena lo mengalami beberapa kejadian buruk, bukan berarti selanjutnya akan terus-terusan begitu. "

Aku tertawa. "Maksud lo gue harus berpikiran positif? That's cliche, La."

"Berpikir positif jauh lebih baik ketimbang jadi pesimistis. You need to be hopeful. Gue serius, Jo. Lo berubah, nggak seperti sewaktu lo di Jakarta dulu. You seems more alive back then."

"I'm fine."

"No you're not. You're tortured inside..." kata Ella. "Gue salut lo ngambil keputusan besar yang mengubah hidup lo seratus delapan puluh derajat selama setahun belakangan ini. Tapi gue percaya sekaranglah saat yang tepat untuk membalik keadaan. Gue paham bahwa lo sangat sayang dengan kedua orangtua lo. Jika gue jadi lo, gue mungkin nggak akan sanggup berdedikasi bagi orangtua gue layaknya elo; dengan mengorbankan karier dan kehidupan gue..."

Lagi-lagi Ella membuktikan diri bahwa dia jitu dalam tebak-menebak. Dia betul, hal yang masih mengikatku dengan tempat ini adalah keluargaku. Meski sekarang kondisi ayahku sudah membaik, dia masih tak sanggup menggerakan separuh sisi kanan tubuhnya. Menurut dokter, kondisinya akan tetap seperti itu. Dan ibuku semakin menua. Aku merasa kurang ajar jika harus membebankan tanggung jawab mengurus kedua orangtuaku di usia senja mereka pada Ria. Kakakku itu sudah cukup kerepotan mengurus keluarganya sendiri dan usaha kateringnya.

"Do you have a girlfriend?"

Pertanyaan itu terucap dengan begitu terus terang dari Ella sehingga membuatku nyengir. Dia mengusap poninya lagi, tindakan yang kutebak sebagai upaya untuk melihatku lebih jelas. "I have you."

"Without the space," Ella terkekeh. "Girlfriend. Pacar."

Ah. Apa Ella sedang menggoda? "Nggak punya. I don't have time for romance."

"You should find one."

"Why, are you interested?"

"What, to be the one?"

"No, to remove the space between us..." Aku tergelitik dengan permainan kata ini. "From girl space friend to girlfriend."

Semburat rona merah menyembur di pipi Ella yang halus. Dia menunduk beberapa saat lalu menggoyangkan kepalanya seolah telinganya kemasukan air. "Menurut gue, lo seorang pria yang sangat... menarik."

"Menarik?"

"Dan multitalenta."

Pujian itu bagai membuka jendela, membiarkan sebarkas kehangatan menyusup masuk dalam dadaku, memunculkan perasaan tenteram. Inilah yang kusuka dari mengobrol dengan Ella. Rasanya seperti mengobrol dengan Raka dan Merwin sekaligus, dengan kadar kebijaksanaan dan tingkat kelucuan yang sama, hanya saja tanpa lelucon-lelucon jorok. "Thanks, Ella. You should look at yourself when you say that. Lo juga menarik dan multitalenta!"

Kami diam beberapa saat. Ella senyum-senyum sendiri, aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Aku merapatkan jaketku. Kota kami terletak di kaki sebuah gunung sehingga suhunya menurun drastis menjelang malam.

"Hari Sabtu lo jadi ikut?"

Ella meletakan ponselnya di atas meja. "Pasti. Raka jadi datang?"

"Iya. Dia sekalian mau liburan kemari."

"Ben?"

Aku terhenti. Sudah setahun aku tidak mendengar kabar dari Ben. Beberapa pesan singkat yang kukirimkan ke nomornya tidak pernah dibalas. "Gue nggak tahu kalau dia."

"Do you want him to come?"

"He should come." Bagiku ini semua sudah jelas. "Merwin teman kita. Dan dia kenal bokap Merwin. Kalau Ben peduli, seharusnya dia datang. Atau minimal ngucapin sesuatu..."

Ella kelihatan merenung. Lalu dia mengangguk-angguk.

"Gue nebeng nggak apa-apa kan, La?" tanyaku.

Ella mendengus. "Nggak apa-apa lah Jo. Yessi, Prisil sama Mario bakal nebeng juga kok. Si Raka langsung ke tempat Merwin atau ke sini dulu? Mungkin sebaiknya dia mampir ke sini dulu supaya kita bisa ke rumah duka sama-sama..."

Aku mencatat hal itu dalam benakku supaya segera menelepon Raka.

"Kata Prisil bokap Merwin meninggal karena gagal jantung?" tanya Ella.

"Soal itu, gue juga nggak tahu, La..." Aku merasa miris. Aku memang mendengar berita kepergian ayah Merwin bukan dari sahabatku itu sendiri, tetapi dari Raka. Setelah mendengar berita itu, aku mencoba menghubungi Merwin tetapi tidak diangkat. Nomor telepon kantornya hanya dijawab oleh operator mesin. Berdasarkan status Facebook terbaru Merwin saat itu, dia sedang main ski di Swiss.

Ella menghabiskan sisa lemon tea­ hangatnya dan menarik napas panjang. "Kasihan Merwin. Semoga dia tabah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top