Dua Puluh Lima


Aku memeriksa data di boarding pass itu. Pesawat Singapore Airlines yang akan kutumpangi menuju Melbourne seharusnya baru akan lepas landas pukul setengah sepuluh malam. Dan sekarang baru jam setengah sembilan. Masih ada satu jam lagi.

Bangku di ruang tunggu itu kelihatan kaku dan tidak nyaman, tapi aku tidak punya pilihan lain. Kujinjing tas kecil yang berisi laptop dan kamera milikku, lalu menghampiri bangku itu. Ada sebuah layar televisi plasma di seberang bangku, menampilkan siaran berita.

Ada sekitar lima belas orang di ruangan ini, kemungkinan besar mereka akan naik satu pesawat denganku. Aku bersandar di bangku dan memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.

Sebelum ke Melbourne, aku akan mampir dulu ke Singapura untuk transit. Setengah dua belas malam, penerbanganku baru akan dilanjutkan. Tujuh setengah jam kemudian, aku akan mendarat di Melbourne, Australia. Diperkirakan, aku akan tiba sekitar pukul tujuh pagi.

Australia.

Memikirkan negara itu membuatku senyum-senyum sendiri. Delapan bulan yang lalu, aku tak pernah kepikiran untuk pergi ke negara ini. Aku hanya mencoba peruntunganku semata, itu saja. Atas dorongan Mami, Ria dan sahabat-sahabatku, aku memberanikan diri untuk mendaftar beasiswa S2. Apa aku yakin dengan pilihanku saat itu? Tidak. Aku bahkan tak yakin otakku masih sanggup untuk belajar lagi. Setelah mengajukan aplikasiku, setiap detik rasanya aku ingin membatalkannya. Aku tidak tega meninggalkan ayah dan ibuku dengan kondisi sekarang ini. Cap anak durhaka yang tak bertanggungjawab rasanya siap melekat padaku jika aku nekat melakukannya. Pikiranku dipenuhi berbagai kecemasan akan apa yang mungkin menimpa mereka. Aku tidak ingin ayahku meninggal saat aku pulang nanti.

Dengan persiapan seadanya, aku nekat ikut tes beasiswa. Hasil tes itu ternyata lebih dari yang aku butuhkan. Melihat itu, Mami memberitahuku bahwa dia punya firasat kuat aku pasti mendapatkan beasiswa itu.

Dua minggu berikutnya, aku mendapat kabar bahwa tiga universitas yang kulamar di Australia menerima aplikasiku. Tiga sekaligus. Padahal sebelumnya satu saja aku tak yakin. Aku semakin kalut. Jangan-jangan firasat Mami benar. Kata-kata "Mother knows best" yang sering muncul di film-film mulai menghantuiku. Apa memang aku harus ke Australia? Dalam kebingungan itu aku melakukan satu-satunya hal yang aku bisa: berdoa sambil berpasrah. Jika memang Tuhan berkata demikian, aku siap. Lagipula, sudah terlambat untuk mundur.

Bulan berikutnya, aku menerima email dari panitia beasiswa. Isinya sudah bisa kutebak. Keluargaku bersorak gembira. Aku hanya bisa cengengesan. Bagiku itu seperti pertanda bahwa Tuhan betul-betul menginginkanku pergi. Aku berkonsultasi dengan Raka dan Merwin, kuutarakan kecemasan sekaligus kegugupanku pada mereka berdua. Para sahabatku itu mendukungku habis-habisan, aku sampai terharu melihat respon mereka. Aku juga mencoba menelepon nomor Ben yang kudapat dari Raka. Ben punya pemikiran unik dan sama seperti Mami, dia juga seringkali benar. Seperti dugaan kami, Ben masih belum mau berhubungan denganku.

Seluruh proses persiapan keberangkatan ini berlangsung begitu cepat dan lancar, semua orang yang mendengar kisahku terbengong-bengong. Mereka heran dan takjub mendengar betapa mulusnya rencana yang awalnya setengah-setengah ini menjadi kenyataan. Dukungan juga mengalir dari para mantan dosenku, teman-teman SMA, rekan-rekan di universitas dan yang paling mengejutkan, Steven. Ketika aku mengundurkan diri dari kantor dua tahun yang lalu, dia terpukul. Aku mengungkapkan alasan yang sejujurnya mengapa aku memutuskan untuk cabut dan dia dengan berat hati menerimanya. Aku mengontaknya lagi untuk meminta surat rekomendasi, dan herannya dia dengan riang gembira bersedia membantuku. Dari ceritanya pula aku tahu bahwa sampai saat ini belum ada desainer yang menggantikanku dan Nina. Kesimpulan yang kudapat, Steven kini insyaf karena sudah merasakan betapa tersiksanya menjadi seorang desainer single fighter.

Akhirnya aku memantapkan niat dan memutuskan untuk menerima tantangan ini. Aku akan berangkat ke Australia.

Merwin memberitahuku. "Jangan dianggap beban, Jo. Anggap aja lo lagi dibayarin pemerintah buat jalan-jalan gratis ke Australia selama dua tahun!"

Itulah yang kini menjadi mantraku. Aku akan menikmati ini.

Jumlah penghuni ruang tunggu itu mulai bertambah. Jam di sudut kiri bawah televisi menunjukan sekarang sudah pukul delapan empat lima. Karena tak ada hal lain yang membuatku tertarik, aku menonton siaran berita yang sedang ditayangkan di televisi.

Siaran itu menayangkan demo yang rupanya baru terjadi siang tadi. Headline-nya menyorot kericuhan yang ditimbulkan oleh sejumlah ormas di tengah-tengah demo. Si wanita pembaca berita menanyakan beberapa pertanyaan dengan lagak serius kepada rekan reporternya di lapangan. Monumen Selamat Datang di latar belakang mengindikasikan bahwa disitulah lokasi demo berlangsung.

"Suasana di sini sudah kondusif, arus lalu lintas yang sebelumnya sempat ditutup kini sudah dibuka kembali. Dari pantauan kami, para peserta kampanye dari Forum Sehati dan ormas Forum Pembela Iman sudah tak lagi tampak di lokasi. Meski demikian, petugas kepolisian masih berjaga-jaga di sekitar Bundaran Hotel Indonesia ini. Demikian yang bisa kami sampaikan, Prita..."

"Terima kasih, Riyanti," Prita si pembaca berita membalas rekannya. "Demikian laporan dari Riyanti Siregar mengenai kondisi terkini di Bundaran Hotel Indonesia di mana terjadi kericuhan antara massa dari Forum Sehati dan ormas Forum Pembela Iman sore tadi..."

Kericuhan lagi. Berita itu mengingatkanku bahwa sekarang aku ada di Jakarta, kota yang tak pernah lepas dari rupa-rupa masalah. Dua tahun belakangan, aku tidak pernah lagi mendengar hal-hal semacam itu. Selain karena di kampung halamanku suasananya sangat harmonis dan damai, aku sampai-sampai lupa meng-update diri karena sibuk mengurus keluarga.

"Pemirsa, berikut kami tampilkan detik-detik penyerangan yang dilakukan terhadap Ketua Forum Sehati sekaligus penggagas kampanye Self Awareness, Tania Wibisono..."

Wibisono? Itu adalah nama belakang Ethan.

Rekaman itu sudah ditayangkan. Langit masih cerah, dugaanku mungkin sekitar pukul tiga sore. Seorang wanita mengenakan kaos warna-warni seperti pelangi berdiri tepat di tengah layar. Rias wajah mentereng, bulu mata palsunya ditumpuk berlapis-lapis sehingga membuat tatapannya terlihat dramatis. Rambutnya yang berwarna merah menyala ditata model beehive. Sebuah mik diacungkan tepat di antara dadanya yang berisi. Di belakang wanita itu berdiri puluhan orang dalam balutan kostum pelangi yang serupa dengan Tania. Mereka memegang spanduk dan menyerukan yel-yel.

Jangan-jangan...

"Apa tujuan dari kampanye Self Awareness ini?" Suara Riyanti terdengar sayup-sayup entah dari mana.

Tania mendekatkan bibirnya ke arah mik. "Hari ini kami dari Forum Sehati dan segenap pendukung kaum LGBT, ingin mengkampanyekan tentang perlunya keberanian untuk menjadi diri sendiri kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya kaum LGBT yang saat ini masih hidup dalam ketakutan, persembunyian, bahkan denial atau penyangkalan..."

Suara wanita itu berat layaknya seorang pria, meski dia mencoba berbicara dengan pitch yang lebih tinggi. Kupelajari wajah wanita itu dengan cermat. Tidak salah lagi. Aku mengenalnya.

"Kami ingin memberitahu kepada mereka bahwa tidak perlu takut atau menyangkal jati diri dan orientasi yang non-heteroseksual. Tidak ada yang salah menjadi seorang LGBT, karena hal tersebut bukanlah penyakit jiwa seperti yang selama ini salah dipahami oleh masyarakat luas. Bersembunyi atau menyangkal tidak akan mengubah siapa jati diri kita yang sebenarnya."

Ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Raka.

"Jo! Lo belom berangkat, kan?" Raka kedengaran serius. "Kalau sempat coba lo liat Metro, deh. Ada si Ethan!""

"Ini gue lagi nonton, Ka."

"Gue pikir dia udah balik lagi ke Jerman!"

"Gue pikir juga begitu! Gila, berani benar si Ethan!"

"Namanya sekarang Tania," koreksiku. Ya betul, Tania Wibisono yang sedang diwawancarai di televisi itu adalah Ethan, temanku. Aku mengenali betul gerak-geriknya; caranya menatap kamera, membasahi bibir yang kini dilapisi lipstik, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aku salut akan keberanian Ethan dan apa yang dia lakukan.

Ada sesuatu yang terjadi di kerumunan di belakang Ethan selagi dia masih terus berbicara. Tampaknya orang-orang itu mulai berteriak-teriak, lalu mereka berlarian. Datang sekelompok pria berbaju putih dan bersorban. Salah satunya muncul tepat di belakang Ethan. Kamera bergerak mundur sedikit, Riyanti si reporter memekik tertahan. Sebuah botol melayang ke kepala Ethan dan menghantamnya. Ada cairan yang memercik keluar dari botol itu, tetapi aku tidak sempat melihatnya. Sorotan kamera kini kacau, mungkin juru kameranya terjatuh. Kata-kata cacian dan makian membahana, disusul jeritan-jeritan histeris yang menakutkan. Semuanya terjadi dalam lima detik.

"Lo liat nggak, Jo?" Raka memberitahuku. "Dia dipukul dari belakang!"

"Pakai botol kaca, ya?"

"Ada sesuatu di botol itu!"

Tayangan itu berakhir. Logo stasiun televisi dan si pembaca berita menggantikannya. "Demikian tayangan yang berhasil diliput juru kamera dan reporter kami, pemirsa. Tania Wibisono, ketua Forum Sehati menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Forum Pembela Iman dalam kampanye Self Awareness sore tadi di Jakarta. Polisi sudah mengamankan oknum yang diduga melakukan penganiayaan. Tania sendiri saat ini sudah dirawat di Rumah Sakit Pancaran Kasih, Jakarta Selatan. Korban menderita luka parah di bagian kepala, wajah, dan leher akibat dipukul dengan botol yang berisi air keras saat sedang diwawancarai oleh reporter kami..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top