Dua Puluh Empat
"Mana, katanya mau ada tsunami?"
Ben berjingkrak di pasir, memandang laut. Perutnya yang buncit menonjol ke depan, seolah menantang laut untuk betul-betul memuntahkan tsunami saat ini juga. Dari tempatku, Ben kelihatan mirip huruf D raksasa.
"Bagus dong kalau nggak kejadian," timpal Jojo. "Itu artinya kita jadi barbekyu."
"Peringatannya resmi dari BMKG atau bukan?" komentar Raka. "Kalau bukan, bisa jadi cuma hoaks."
"Nah. Kalau cuma hoaks, berarti nggak bisa dipercaya, tuh!" Seperti biasa, Ben sangat mudah dipengaruhi. Malam ini kami berencana untuk barbekyu terakhir kalinya sebelum kelulusan, dan tak ada tsunami apa pun yang akan membatalkannya. Lagipula langit tampak cerah dan laut cukup tenang. Tidak ada gempa bumi dan sejenisnya pula.
"Ben!" Jojo berteriak pada si huruf D. "Baranya mana?"
Ben berlari ke arah kami, rambut gondrongnya berkibar-kibar. "Udah gue coba tapi nggak bisa Jo. Gue nggak ngerti cara bikin bara pake tempurung kelapa ini."
Raka memprotes. "Lha, tadi lo bilang lo aja yang bikin bara!"
Aku tertawa geli. Awalnya kupikir Jojo lah yang paling pertama akan mati jika kami tersesat di hutan rimba tanpa makanan, tapi tiga tahun mengenal Ben telah mengubah pendapatku. "Sini, gue aja yang bikin!"
Ben memicingkan mata. "Lo bisa, Win?"
Tawa Raka pecah. "Dia tinggal di sini, Ben! Pastilah Merwin bisa!"
Kuambil tempurung kelapa dari tangan Ben dan batu besar yang diinjaknya. Batu itu kugunakan untuk menghancurkan tempurung kelapa menjadi potongan-potongan kecil dan kususun hingga membentuk onggokan kecil.
"Nih..." Kusodorkan sabut kelapa pada Raka. "Lo bakar ini, Ka."
Ben buru-buru mengeluarkan pemantik api dari metal yang kelihatan necis dari kantong celananya dan mengangsurkannya pada Raka. Dia selalu membawa-bawa pemantik itu sejak mulai rutin merokok di kelas sebelas.
"Yang dibakar duluan itu sabut kelapanya, Ben. Baru lo susun di tengah pecahan tempurung..." Sambil menjelaskan, kutunjukkan cara yang benar pada Ben. "Nah, api bakal ikut membakar tempurung, sampai akhirnya menjadi bara."
Ben mengangguk-angguk. "Iya, gue pikir tadi juga begitu."
"Terus kenapa nggak lo lakuin dari tadi?" tukas Jojo sebal.
Kami terbahak bersama. Ben berkedip-kedip, dari tampangnya kelihatan dia tidak suka disudutkan seperti ini. Tapi begitulah Ben. Aku sudah mengenal tabiatnya.
Jojo mengambil bahan barbekyu yang sudah disiapkan ibuku di gazebo. Ben dan Merwin duduk mengelilingi api yang mulai berkobar. Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Di langit yang biru tua seperti beludru, bintang-bintang terlihat jelas. Melihat keadaan malam ini, aku semakin yakin acara barbekyu kami akan berjalan lancar tanpa gangguan.
"Win," panggil Raka. "Lo jadi kuliah ke Inggris?"
"Gue masih nunggu kabar." Kuliah adalah topik obrolan favorit kami belakangan ini. "Lo kapan berangkat ke Surabaya, Ka?"
"Dua minggu lagi," jawab Raka. "Claudia jadi satu kampus bareng elo?"
Aku mengangguk mantap. Rencana itu sudah tergambar jelas di benakku dan mulai menjadi kenyataan. Selesai kuliah, aku mendirikan perusahaanku sendiri, lalu meminang Claudia. Selanjutnya, kami akan hidup bahagia selamanya. Rencana yang sempurna.
"Gue bakal ke Malaysia," Ben mengumumkan.
"Oh, ya? Nilai TOEFL lo bukannya nggak cukup?"
Ben menatapku dengan aneh. Bayangan api yang menjilat-jilat terpantul di matanya. "Gue udah tes lagi. Kali ini hasilnya sesuai ekspektasi."
"Wiiih, nggak ngomong-ngomong!" celetuk Raka. "Berapa hasilnya?"
"Lima ratus lima puluh."
Raka tertawa. Aku juga ikut tertawa. Nilai TOEFL Ben lima ratus lima puluh? Membedakan Simple Present Tense dan Present Continous Tense saja dia kebingungan.
Jojo kembali, menenteng wadah berisi bahan barbekyu yang siap dipanggang. "Siapa yang TOEFL-nya 550?"
"Ben," jawab Raka di sela-sela tawanya. "Lo percaya nggak?"
"TOEFL lo berapa Jo?" tanyaku. Sebagai presiden Klub English Debate, Bahasa Inggris Jojo yang paling fasih di antara kami.
"Lima ratus," jawab Jojo tenang. Dia memasang kawat panggangan dan mulai meletakkan tusuk-tusuk barbekyu di atasnya. "Tapi kalau TOEFL Ben betulan 550, itu bagus dong! Artinya dia sangat memenuhi buat diterima di Malaysia!"
Aku menggeleng-geleng. Jojo cocok menjadi orang kudus. "Lo udah tahu bakal ngambil apa di Malaysia, Ben?"
"Teknik penerbangan," jawab Ben dengan dada membusung.
"Widiiiih...." goda Raka. "Nanti pesawat lo pasti jatuh semua ke laut, Ben!"
"Yoiii, keberatan!" timpalku.
Kami tertawa riuh. Ben juga ikut cengengesan. Dia mengangkat tangannya seperti seorang dirigen, mencoba menenangkan kami. "Teknik penerbangan itu beda sama sekolah pilot, Bro. Gue nggak ngambil sekolah pilot. Gue mau jadi engineer!"
"Kenapa lo nggak ambil sekolah pilot aja?" tanya Jojo.
"Hmm, nanti repot dong, Jo..." Sebuah lelucon muncul di kepalaku. "Si Ben nggak bakal muat duduk di kokpit."
"Yoi. Dia pasnya cuma bagasi bawah!" sambung Raka. Dia mengaitkan tangannya di kerah baju Ben dan berlagak menariknya seperti sebuah koper. Kami tertawa lagi. Kali ini, Ben ikut tertawa. Jojo sampai terkikik-kikik. Suara tawa kami begitu keras dan membahana sehingga sanggup menandingi gema deburan ombak.
Kami terus menggoda Ben selama lima menit. Tubuh super besarnya memang membuat gerak-geriknya semakin jenaka sehingga Ben selalu menjadi bulan-bulanan dalam kelompok kami. Tapi Ben tampaknya tidak pernah tersinggung. Selain karena kelucuannya, ketulusan Ben menjadi salah satu alasanku menyukainya.
Sambil menunggu barbekyu matang di panggang, Jojo bercerita soal beasiswa yang ditawarkan padanya oleh sebuah kampus swasta di Jakarta. Dia sedang mempertimbangkan tawaran itu. Jojo akan mendapat beasiswa penuh, artinya dia akan berkuliah gratis. Kami bertiga mendukungnya untuk menerima tawaran itu. Enak betul jadi Jojo!
"Eh, jadi nanti kita bakal terpisah-pisah dong," celetuk Ben. "Gue di Kuala Lumpur, Merwin di London, Jojo di Jakarta, dan Raka di Surabaya."
"Kita bisa saling teleponan," kata Jojo riang. "Ini abad dua satu Ben."
"Gue tahu. Maksud gue..." Ben kedengaran sedih. "Kita nggak bakal barengan lagi."
Aku juga merasakan ketakutan itu belakangan ini. Ketakutan untuk berpisah dengan para sahabatku ini. Hubungan kami memang tidak melulu langgeng seperti sekarang, ada banyak pertikaian yang telah terjadi. Tapi itulah yang membuatku semakin sayang pada Jojo, Raka dan Ben. Aku tidak pernah terus terang mengungkapkan betapa aku menyayangi mereka, tapi aku tahu mereka sudah memahaminya.
"Life must go on..."
Raka menatap kami satu persatu, lalu nyengir lebar. "Life must go on," ulangnya. Dia mencomot satu tusuk barbekyu, mengangkatnya, mengajak tos. "Kita nggak boleh sedih, guys. Gue yakin persahabatan kita bakal survive. Nggak ada yang bakal berubah, hanya karena nanti kita akan terpisah-pisah."
Aku ikut mengambil satu tusuk dari atas api, dan mengangkatnya. Dadaku berdesir-desir. "Nggak ada yang bakal berubah."
Jojo mengikuti kami. Senyum di wajahnya menandakan dia juga sependapat.
"Amen!" pekik Ben nyaring. Dia mengambil dua tusuk sekaligus dan langsung menggigitnya. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Dia menatap kami semua, lalu berujar. "Nasinya mana, nih?"
...
"Lo inget nggak si Jojo pernah kejepit di sini?"
Ketukan di kaca jendela mendekati tengah malam. Jojo dan Raka yang ketakutan muncul di jendela kamarku. Mereka terkunci di luar karena nekat menonton American Idol di Ruang Makan sampai selesai. Pintu asrama sudah digerendel. Aku, Ben, Mario dan David mencoba menarik mereka masuk melewati jeruji jendela. Jojo memanjat naik dengan posisi horisontal, kami menyangga kepala dan dadanya, sementara Raka mengangkat kedua kakinya dari luar.
"Nyangkut di pantat!"
Aku terbahak-bahak. Aku tidak mungkin lupa. Awalnya, kami mengira Jojo bakal sukses masuk melewati jeruji itu. Tapi begitu sampai di bagian panggul, dia terjepit. Tak bisa bergerak. Kami mencoba menariknya ke dalam, sementara Raka mendorong dari luar. Tetap tak bisa. Selama setengah jam berkutat, kami hampir putus asa. Jojo menangis kesakitan. Kami kepayahan menopang tubuhnya dalam posisi sejajar. Satu-satunya cara membebaskan Jojo adalah dengan menggergaji jeruji jendela itu. Tiba-tiba David punya ide. Dia mulai menggeletik hidung Jojo. Kami harus mendorong Jojo keluar tepat saat dia bersin. Meski ide itu terdengar bodoh, tapi nyatanya berhasil juga.
"Gue penasaran, kok waktu itu dia bisa bebas, ya?"
Raka memijit dagunya. "Ketika dia bersin, otot-ototnya mengejang. Secara fisiologis, ini berarti ukuran beberapa bagian tubuh Jojo sedikit menyusut, memungkinkan dia terbebas dari jeruji itu."
Masuk akal juga. "David hebat ya..."
"Iya. Sekarang dia jadi dokter juga, lho."
Kami melanjutkan perjalanan kami menelusuri koridor-koridor St. X, masuk keluar ruangan-ruangan yang sangat kami kenal. Suasana sekolah dan asrama sepi, karena ini saat istirahat sebelum waktu studi jam lima sore. Beberapa ruang kelas sudah diubah posisinya. Peralatan di lab yang dulu berkilau kini mulai kusam, buku-buku di perpustakaan semakin lusuh, dan papan tulis tidak lagi seputih kapas. Semuanya hanyut dan menua dengan tenang dalam arus waktu.
Kami berpapasan dengan sejumlah guru yang masih mengenali kami. Tentu mereka tak akan lupa, aku mantan ketua OSIS sementara Raka pendiri klub Bahasa Prancis yang masih eksis hingga hari ini di St. X. Mereka memuji-muji kami, meski banyak juga yang kaget melihat penampilanku yang kini kurus. Mereka pasti lebih kaget lagi jika melihatku dua bulan lalu. Atas bujukan Jojo, aku sudah bercukur. Jojo benar, waktu itu penampilanku betul-betul berantakan.
Raka menengok jam tangannya. "Waktunya minum teh sore. Ke ruang makan, yuk!"
"Belum lapar, Ka."
"Ayolah Win. Siapa tahu snack-nya pisang goreng kesukaan lo!"
Aku tersenyum lemah dan ikut dengan patuh menuju ruang makan karena tak ingin mengecewakan sahabatku. Raka dan Jojo telah berbuat banyak untukku belakangan ini, saking banyaknya aku yakin tak mungkin membalas perbuatan mereka. Sebetulnya Raka cuma berniat liburan sejenak kemari yang kebetulan bertepatan dengan pemakaman ayahku, tapi dia malah memperpanjang cutinya selama dua bulan sejak kejadian di pantai waktu itu. Menerima pertolongan Raka dan Jojo membuatku malu. Di saat-saat seperti itu, aku hanya bisa mengingatkan diriku sendiri bahwa aku tak punya apa-apa lagi selain para sahabatku.
Aroma gorengan yang khas menguar dari ruang makan.
"Tuh, kan! Apa gue bilang!" Raka langsung menuju konter makanan. Ada bertumpuk-tumpuk pisang goreng kuning keemasan yang masih panas di sana. Air liurku langsung terbit.
Petugas konter mengenali kami sebagai alumni. Aku mulai terbiasa dengan reaksi kaget dari mereka. Setelah berbincang-bincang sejenak, mereka mempersilakan kami mengambil porsi kami sendiri, sesuatu yang tak akan mungkin terjadi sewaktu kami menjadi siswa di sini.
"Udah, Win. Satu aja cukup!"
"Bercanda lo ya. Dulu lo selalu nyolong jatah si Ethan. Nih, tambah lagi!"
Kami kembali dari konter makanan, memegang piring besar berisi enam potong pisang goreng. Di koridor tengah, kami terhenti dan saling pandang.
"Ksatria atau Asha?" tanyaku.
"This time, I'll go with your unit," kata Raka, berlagak pura-pura kalah. "Gue pasti bakal dirajam rame-rame sama satu unit kalau ketahuan duduk di meja Dharma..."
Merasa geli mendengar itu, aku tertawa. Rivalitas antar unit yang kami alami selama bertahun-tahun di St. X masih membekas di diri kami, bahkan sembilan tahun setelah kami lulus. Asha menganggap Ksatria adalah tiran yang harus dikalahkan, karena mereka paling sering memenangkan kompetisi di St. X. Sedangkan Ksatria memperlakukan Asha seperti adik bungsu yang rewel dan tidak bisa apa-apa. Sewaktu aku terpilih menjadi ketua OSIS pertama dari Asha dalam sepuluh tahun terakhir, Ksatria merasa posisi mereka terancam. Maka dimulailah perang dingin antar kedua unit itu.
Kami duduk di meja Raka dulu. Meja itu letaknya empat baris di seberang mimbar untuk membacakan doa makan.
"Inget nggak, dulu lo yang selalu kasih kabar ke kita kalo ada yang aneh-aneh?"
"Mm-hmm..." Raka mengangguk dengan mulut penuh. Posisi mejanya yang strategis menjadikan Raka detektif di kelompok kami. Banyak percakapan penting terjadi di sekitar mimbar itu dan Raka termasuk orang-orang yang bisa mendengarnya.
"Perut lo udah enakan?" tanya Raka.
Aku mengusap perutku. "Lumayan. Untung waktu itu ada lo."
Raka nyengir. "Jojo yang pertama kali nolongin elo."
"Elo dan Jojo, Ka. Thank you!"
Raka mengedik. "You're welcome..."
Jojo menyelamatkan hidupku. Tak peduli seberapa keras aku mencoba mengingat-ingat kembali suasana ibadah pemakaman ayah waktu itu, bagian itu tetap samar-samar, seolah-olah otakku sengaja berupaya menyembunyikannya dari diriku sendiri. Aku ingat mengobrol dengan Raka di gazebo. Lalu malam yang dingin dan kelam. Air laut yang sejuk di sekujur tubuhku. Teriakan Jojo dari kejauhan yang memanggil-manggil, paru-paruku yang sesak akibat terisi air, kemudian tarikan tangan-tangan itu... Hanya itu yang aku ingat. Dari cerita Jojo, aku menceburkan diriku ke laut dan tenggelam. Perut dan kepalaku membentur karang. Dua rusukku yang patah dan aku mengalami geger otak ringan. Jika Jojo tidak menarikku waktu itu dan Raka tidak memberi pertolongan pertama, aku sudah pasti mati.
"Makan pisangnya, kalo dingin nggak enak lho," Raka mendorong piring ke arahku.
"Iya." Kilatan di mata Raka menandakan dia paham maksudku. "Pisang melempem mana enak..."
Kami terkikik geli.
"Ngomong-ngomong soal pisang..." Bibir Raka mengilap akibat polesan minyak dari para pisang goreng itu. "Lo suka pisang juga, Win?"
Tentu aku tahu apa maksud pertanyaan itu. Sesaat muncul keinginan untuk meng-hardik Raka atas pertanyaannya yang kurang ajar, tapi aku berhasil menahan diri. Setelah apa yang terjadi, Raka berhak tahu.
"Gue nggak tahu juga, Ka."
Raka meletakan pisang goreng yang belum selesai dilahapnya, mengelap mulutnya dengan punggung tangan dan beringsut ke arahku. "Perasaan lo sama cowok gimana?"
"Biasa aja," jawabku segera. "Nggak ada yang spesial."
"Kalo gue..." Mata Raka bergerak-gerak, mencoba menangkap mataku. Aku berpura-pura tertarik pada pisang goreng. "Gue mengagumi, ingin menyayangi, ingin memiliki, dan ingin disayangi. Apa itu yang lo rasain?"
"Gue nggak tahu, Ka."
Raka berdeham. Dia berhenti memburu pandanganku dan menjatuhkan tatapannya pada si mimbar. "Nggak apa-apa, Win. Gue ngerti kok. Take your time. Gue nggak akan memaksa elo untuk menyatakan diri sebagai apapun. Lo sahabat gue, that's it. Gua minta maaf."
"Gue juga minta maaf. Soal Adrian."
"Forgiven and forgotten."
"Elo..." Aku sudah mencoba mengungkapkan apa yang kurasakan terhadap Adrian, bagaimana luapan hasrat itu tumpah dari dalam diriku dan menyanderaku. "Lo sama Adrian gimana?"
"Gue udah nggak bertemu lagi dengan dia selama sepuluh bulan. Kita pisah baik-baik. Agak sedikit repot karena waktu itu kita nyewa apartemen bersama, tapi dia setuju untuk pindah."
Raka pindah apartemen gara-gara aku? "Ka, gue menyesal. Serius. Dengar—"
Raka mengangkat tangannya. Matanya terpejam. Dia menarik napas panjang, lalu menatapku. "Win, gue juga harus cerita sama lo. Sewaktu sama Adrian, gue juga main dengan orang lain."
Raka juga selingkuh? "Sama siapa?"
"Seseorang yang gue kenal lewat sosial media. Namanya Sandy. Gue udah dua minggu main sama Sandy di belakang Adrian sebelum dia ngaku soal kejadian sama lo itu."
Apa-apaan ini? "Gue pikir lo udah fix banget sama Adrian."
"Gue pikir juga begitu," kata Raka. Sekarang dia yang tidak berani menatapku. "Gue tergoda untuk sekedar main-main. Adrian nggak pernah secara resmi nembak gue, kita cuma go with the flow. Sebelumnya gue nggak gitu yakin bakal mantap pacaran, tapi Adrian bikin gue nyaman. Tapi waktu itu hasrat gue untuk mencoba nggak betul-betul padam. Gue akui gue salah dan gue nggak pernah marah sama lo. Gue cuma berharap mendengar soal insiden itu dari mulut lo ketimbang Adrian."
Perasaanku campur aduk. Pengakuan ini bukan serta merta membenarkan tindakan-ku terhadap Adrian, tapi tak juga mengecilkan ketidaksetiaan Raka.
"Jadi lo sekarang sama si Sandy ini, Ka?"
"Gue lagi nggak sama siapa-siapa," sahut Raka tegas. "Waktu itu gue yakin untuk settle down dengan Sandy. Kami sempat jalan-jalan bareng ke Makassar, dan gue mulai baper berat ke dia, Win. Sifat Sandy yang petualang, lucu dan keras benar-benar berbeda dengan Adrian yang kalem dan penurut. Tapi gue salah, diam-diam Sandy mutusin kontak sama gue, sampai hari ini. Gue hancur, tapi gue nggak bisa cerita sama siapa-siapa. Gue yakin Jojo bakal bilang 'I told you'. Gue takut menghubungi elo setelah peristiwa dengan Adrian. Sedangkan Ben, gue tahu dia sebetulnya risih mendengar cerita gue."
"Apa elo nggak nyari lagi, Ka?"
"Setelah Sandy, gue sempat kenalan dengan empat orang lain, tapi nggak yang memenuhi kriteria, jadi nggak seriusin. No strings attached. Honestly, apa yang menimpa lo bikin gue belajar. Gue harus stop sekarang."
Ironi itu menghajarku dengan keras, mengikis rasa bersalahku pada Adrian sekaligus di saat yang bersamaan, memperbesar rasa maluku terhadap Raka. "Because if you continued to go on, you'll end up as a trainwrecked, like me..."
"Lo nggak bakal berakhir kayak gini, Win. Gue akan bantu lo bangkit!" Senyum mengembang di wajah Raka. "Dan gue juga nggak bakal kehilangan harapan. Adrian lah yang mengajarkan gue buat go with the flow, tapi gue sadar gue nggak bisa sepenuhnya membiarkan diri gue hanyut dalam arus. Gue bisa kehilangan kendali dan gue nggak mau itu terjadi. Kalau gue sampai tenggelam, gue yakin gue bakal jadi lebih parah dari elo, Win."
Obrolan ini terasa absurd. Aku yang dulu pasti tak akan menyukainya dan mencoba mengelak mati-matian. Namun anehnya aku merasa lega. Rasanya sebuah batu besar yang diikat di dadaku kini terlepas sudah. Aku menatap Raka. Ekspresinya yangdamai memberitahuku bahwa sahabatku itu juga merasakan kelegaan yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top