Dua Puluh Dua


Ketukan jariku di roda kemudi menimbulkan bunyi berirama yang tak kusadari. Aku menarik napas, mencoba memantapkan niat. Aku sudah sampai di sini. Tak mungkin tetap berdiam diri di dalam mobil. Gerimis masih turun, seolah ikut berkabung dengan kelompok yang berduka itu. Kabut tipis mulai merebak, sepertinya akan menutupi pandangan dalam waktu singkat.

Beberapa orang yang duduk di dalam tenda mulai memandangi mobil sewaan ini. Pastilah mereka bertanya-tanya, kenapa pengemudinya belum turun juga? Baiklah. Kumatikan lampu depan mobil dan turun. Pengeras suara sudah melantunkan lagu-lagu penghiburan.

Jojo belum datang. Aku mengecek ponsel sekali lagi. Tidak ada pesan baru. Pesan terakhir Jojo mengabari bahwa dia, Ella, Mario, Yessi, dan Prisil sedang dalam perjalanan. Hujan memperlambat mereka.

Aku berlari-lari kecil ke dalam rumah, menghindari tetesan hujan. Tatapan-tatapan ingin tahu mengekor di belakangku, dalam hati aku menyesal mengenakan kemeja berwarna abu-abu ini. Aku memang tidak punya pakaian hitam—black is not my color, and it's too depressing.

Aku berjalan lurus memotong tepat di tengah kerumunan muram itu, menuju ruang depan.

Ruang depan rumah sudah dimodifikasi untuk acara duka. Jendela-jendelanya yang sempit dan berdekatan sudah dicopot, begitu juga daun pintu. Sebuah kerai putih raksasa dengan aksen biru tua menutupi dinding-dindingnya. Lampu-lampu yang dinyalakan di sudut ruangan jelas lebih dari cukup untuk menerangi ruangan itu, mengekspos wajah semua orang di situ dengan jelas, termasuk wajahku.

Aku berdiri canggung di depan peti jenazah yang ditempatkan tepat di tengah. Aku berdiam diri selama beberapa detik, berpura-pura berdoa. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan... tapi, formalitas saja, kan? Lalu aku mulai menyalami anggota keluarga yang duduk membisu di sekeliling peti. Sebagian besar bermata sembab dan berwajah pucat.

Tante Jona duduk di ujung baris sebelah kanan, di sebelah kakak laki-laki Merwin, Nico. Adik perempuan Merwin tidak kelihatan, begitu juga kakak tertuanya, Andika, yang selama ini hanya kulihat melalui foto. Tante Jona tampak sepuluh tahun lebih tua dan lebih kurus. Nico mengangguk kecil seusai menyalamiku. Aku membungkuk pada Tante Jona dan mengucapkan kata-kata penghiburan standar yang sebetulnya sama sekali tak berguna. Jenazah ayah Merwin di peti itu tak akan hidup lagi. Tante Jona menggenggam tanganku dan mulai terisak.

"Makasih ya sudah datang, Raka..."

"Iya. Sama-sama Tante..." Aku duduk di ujung bangku yang masih tersisa, mendadak merasa bersalah jika terburu-buru. Aku menanyakan hari-hari terakhir Om Benny, ayah Merwin, untuk mempertipis kecanggungan ini. Tante Jona bercerita dengan pelan, dia harus berhenti beberapa saat setelah kalimat-kalimat panjang. Nico menimpali sesekali. Rupanya Om Benny sudah sakit-sakitan sejak kami lulus SMA, Merwin tak pernah cerita sedikit pun soal keluarganya selulus SMA. Beliau meninggal karena gagal jantung. Aku tahu jika sudah menyangkut jantung, tidak banyak yang bisa dilakukan.

Aku masih duduk di situ. Atmosfir ruangan ini yang begitu sedih dan menyesakkan mulai mempengaruhiku. Jojo harus segera datang, karena aku perlu teman mengobrol. Jika terus-terusan di sini, bisa-bisa aku ikutan menangis.

"Merwin ada di belakang," kata Tante Jona setelah dia cukup lama. Dia masih menggenggam tanganku. "Raka mau ketemu?"

Bertemu Merwin? Setelah mendengar cerita Adrian soal "perselingkuhannya", jujur aku kebingungan harus memposisikan diri di depan Merwin. Apa aku harus marah padanya? Meski setahun sudah berlalu sejak pengakuan itu dan aku tidak pernah mendengar kabar Adrian selama sepuluh bulan belakangan ini, tetap saja kekagetan dan sedikit sakit hati masih tersemat mantap di dadaku.

"Merwin ngapain di belakang, Tante?"

Tante Jona menatap Nico. Laki-laki itu tertunduk dan meremas-remas saputangannya. "Mendingan lo coba samperin deh Ka."

Aku tersenyum, berupaya mengulur-ulur waktu. Apa yang akan kukatakan pada Merwin? Gue turut berdukacita atas kepergian bokap lo dan terima kasih sudah tidur dengan pacar gue?

"Gue di sini aja Nic. Sebentar lagi Jojo datang."

"Raka..." Tante Jona lurus-lurus menatapku dengan matanya yang bengkak dan merah. "Ketemu sama Merwin ya. Nico, tolong anterin Raka..."

Itu perintah, bukan permintaan. Aku tahu ini pasti untuk sesuatu yang tidak biasa.

Nico berdiri dan keluar lewat pintu depan, memutar ke belakang. Meski aku hafal denah rumah Merwin, mau tak mau aku mengikutinya. Aku belum siap melakukan ini! Konfrontasi terbuka adalah keahlian Merwin, bukan aku! Semoga Jojo datang lebih cepat!

Belakang rumah Merwin adalah laut. Rumah Merwin memang terletak di kawasan pantai. Memori semasa SMA diputar ulang dalam kepalaku. Aku, Jojo dan Ben sudah lusinan kali menghabiskan akhir pekan di tempat ini; membakar sate dan jagung sambil bermain gitar dan melontarkan lelucon-lelucon.

Namun bagian belakang itu kini sudah berubah. Ada deretan besi dan kayu dan membentuk pagar-pagar, membagi-bagi lahan menjadi sekotak demi sekotak. Yang tersisa di belakang rumah Merwin jauh lebih kecil dari sebelumnya, meski masih berbatasan langsung dengan pantai menuju laut.

"Sebagian besar tanah kita udah dijual. Ada pengusaha yang mau bikin resort d isini," kata Nico menjelaskan. Sepertinya dia menyadari kekagetan di wajahku. Tangannya menunjuk di kejauhan. "Itu Merwin, Ka. Tolong lo ajak ngobrol, ya..."

Aku mengangguk meski dalam hati berontak. Apa yang harus kukatakan?

Merwin sedang duduk gazebo bambu kesukaan kami. Dulu gazebo itu belum dialiri listrik sehingga kami selalu akan menyalakan api unggun di dekatnya, tetapi kini setitik cahaya bersinar di atasnya, berkedip-kedip payah di tengah selimut kabut.

Aku melangkah sepelan mungkin sambil berharap Nico cepat-cepat minggat sebelum aku mencapai gazebo itu. Tidak, aku tak bisa melakukan ini. Aku tak siap. Harusnya Jojo yang melakukan ini, bukan aku. Meski kami saling terbuka satu sama lain tapi Jojo lah sang peacemaker dalam kelompok kami; hanya dia yang sanggup mendengar kisah-kisahku tanpa menghakimi, mengekang nafsu dan kegilaan Ben sekaligus menghadapi sikap keras Merwin.

Nico masih di belakangku, aku bisa merasakan kehadirannya. Terpaan angin laut yang dingin menghajar kami, tapi tak juga membuat pria itu minggat. Kurapatkan mantelku dan kupeluk diriku erat-erat. Ponselku masih bergeming, Jojo belum juga tiba. Sialan. Benar-benar sialan...

Merwin tidak bereaksi ketika aku mendekatinya dari belakang. Dia sedang duduk di pinggiran gazebo, punggungnya begitu melengkung ke depan sehingga tampaknya dia bisa roboh kapan saja. Aku memutuskan untuk memutar, agar bisa menghadapinya dengan langsung.

"Win..."

Pria itu tertunduk dan postur tubuhnya membuatku ragu. Apa betul dia ini Merwin, sahabatku? Dia terlalu kurus!

"Win..." Kupanggil dia sekali lagi. "Raka nih..."

Wajah Merwin terangkat, gerakannya lambat dan lelah. Aku nyaris terperosok jatuh melihatnya. Cambang, jenggot dan kumis Merwin telah tumbuh seperti tanaman liar, merambat di sepanjang pelipisnya yang dulu kokoh tapi kini menonjol tajam dan menjuntai di dagunya, mengindikasikan terakhir kali wajahnya kontak dengan pisau cukur pasti sudah berbulan-bulan yang lalu. Hidung Merwin yang dulu lurus sekarang bengkok ke kiri, dan itu hanya mungkin terjadi akibat cedera parah. Rambutnya tipis, nyaris botak. Pelupuk matanya telah melesak jauh ke dalam, membuatnya mirip tengkorak. Otot-ototnya yang dulu tegas dan kuat kini susut, menyisakan kulit berbungkus tulang.

Dia menarik napas. Dalam cahaya lampu aku bisa melihat ceruk yang muncul di tulang selangka di dadanya. Mata Merwin berputar ke arahku. Aku bergidik menyaksikan kehampaan dalam tatapannya, seolah sahabatku itu sudah lama mati.

"I'm sorry..." Merwin mulai terisak. "I'm sorry, Ka..."

Tangis Merwin pecah seperti badai. Airmatanya tumpah laksana air bah, membasahi seluruh wajahnya. Tubuhnya bergetar hebat dan melengkung semakin jauh akibat tekanan kesedihan luar biasa yang melandanya itu.

"Gue tahu lo ke sini buat menghakimi gue. Just like the others. I'm sorry."

Merwin tahu. Aku refleks memapahnya, mencegahnya jatuh terperosok ke depan. Tubuh Merwin kini ringan sekali. Beratnya sekarang mungkin hanya lima puluh kilogram! Kubantu dia duduk di lantai gazebo. Dia masih menangis terisak-isak dan gemetar, jari-jarinya tertekuk, kuku-kukunya hitam dan telapak tangannya penuh luka goresan.

"Win..." Kurangkul dia, mencoba membuatnya tenang. "Lo kenapa Win?"

Merwin masih meracau, mengulangi "I'm sorry" berkali-kali. Aku tidak perlu bertanya untuk apa dia meminta maaf. Kueratkan pelukanku pada bahunya yang terasa keras, tulang-tulangnya yang gemetar membentur-bentur dadaku. Kapan sih Jojo akan datang?

Tangis Merwin reda dalam dua menit. Dia mengelap air matanya dan menarik napas berkali-kali. Rahangnya mengeras dan dia akhirnya berani menatapku dengan terus terang.

"Gue tidur sama Adrian..." Kata-kata itu meluncur dari mulutnya dan aku sudah siap mendengarnya. "Gue minta maaf, Ka. Gue harusnya ngasih tahu elo..."

"Adrian udah bilang," jawabku pelan. "Dan gue bukan ke sini untuk menghakimi elo. Gue turut sedih soal bokap lo, Win..."

Merwin membelalak. Reaksi itu membuat pelupuk matanya yang cekung kelihatan semakin mengerikan. "Adrian ngaku ke elo?"

"Seminggu setelah kita balik dari Jakarta."

Merwin terdiam. Dia menatapku lalu membuang pandangan ke arah laut yang kini sudah tertutup kabut.

"Hidup gue udah tamat, Ka..."

Aku diam saja. Aku harus mendengar penjelasan ini.

Jakun Merwin bergerak turun ketika dia menelan ludah. Dia memindahkan bobot tubuhnya yang tidak seberapa itu lalu sepenuhnya bersandar padaku.

"Stella, sekretaris yang biasa gue tidurin, hamil. Gue yakin selalu main aman cuma waktu itu anaknya mergokin kita dan rasanya saat itu kita kebablasan. Suaminya tahu soal kehamilan itu dan marah besar. Gue datang ke rumahnya di waktu yang salah dan kita berantem habis-habisan. Stella kena hantam suaminya dan dia... dia..." Merwin mulai terisak lagi. Kuremas bahunya untuk menguatkannya. "Dia pendarahan hebat. Janin di kandungannya yang baru dua bulan keguguran. Setelah dua minggu dirawat akibat pendarahan itu, Stella akhirnya meninggal..."

Merwin mengkertakan gigi. Dia menangis lagi, kali ini lebih pedih dari sebelumnya.

Jojo masih belum muncul juga dan tiba-tiba aku merasa tidak siap mendengar semua ini. Sekretarisnya keguguran hingga meninggal? Aku tahu ini bukanlah akhirnya.

"Gue lagi di London ketika mendengar kabar itu. Suaminya ngelaporin gue ke polisi dan gue memutuskan untuk stay di London. Tapi gue nggak bisa terus-terusan di sana karena para pegawai gue akhirnya curiga..."

Aku ingat soal itu. Merwin rajin membagikan updates tentang dirinya di Instagram, dan selama kira-kira dua bulan dia selalu check-in di tempat-tempat di sekitaran London. Waktu itu aku hanya mengira dia memang sibuk.

"Gue mengontak salah satu klien gue di Paris dan dia bersedia menampung gue di sana. Tapi penggelapan pajak yang dilakuin wanita itu ketahuan dan dia diseret ke penjara. Gue terpaksa harus balik ke Indonesia dan menghadapi kasus Stella.

Lo harus tahu bahwa gue nggak membunuh Stella, dia mengalami pendarahan itu akibat perbuatan suaminya. Gue mencoba menuntut balik suaminya untuk dugaan kekerasan dalam rumah tangga. Gue terpaksa bayar uang pelicin agar kasus ini nggak merembet ke mana-mana, dan jumlahnya sangat besar, lima ratus juta. Tapi karma belum selesai menghukum gue. Perbuatan gue terendus sama investor, mereka menarik semua pendanaan mereka. Perusahaan yang gue bikin dengan susah payah hancur, dan gue terpaksa sampai harus jual semua aset pribadi gue buat bayar pesangon para karyawan..."

Suara Merwin bercampur aduk dengan isak tangisnya sehingga aku harus mendekatkan kepalaku. Aku memantapkan diri duduk sebagai sandarannya, takut gelombang kesedihan itu melandanya lagi.

"Sewaktu gue sibuk mencari pekerjaan baru, gue ditelepon Nico. Katanya bokap meninggal dan rumah akan disita oleh bank. Gue nggak punya pilihan. Bokap nggak mungkin disemayamkan di tempat lain. Gue nggak punya apa-apa lagi, Ka..."

Tangis Merwin mengeras. Dia mulai meraung dan meronta-ronta, aku setengah mati mencoba menenangkannya. Kisah itu juga mempengaruhiku, aku belum sanggup mempercayai bahwa segala jabatan dan kepunyaan Merwin yang selama ini dibanggakannya ludes kurang dari setahun. Kepedihan sahabatku itu tersua lantang lewat jeritannya yang memilukan ke arah laut. Dalam hati aku berdoa semoga laut menghanyutkan semua derita sahabatku itu, dan entah bagaimana caranya, mengembalikannya seperti Merwin yang kukenal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top