Dua Puluh Delapan
Tit... tit... tit...
Kujulurkan tangan ke atas meja, mencari-cari jam sialan itu. Dapat. Kupukul tombol untuk mematikan suara alarmnya.
Zzzt... zzzt... zzzt...
Bangsat. Bukankah alarm terkutuk itu baru saja kumatikan? Kubanting jam itu hingga terbalik di atas meja.
Tit... tit... tit...
Bukan main. Kubuka mataku sambil menyumpah-nyumpah. Ruangan itu gelap gulita. Aku mengecek si jam berisik itu dan kubetulkan posisinya. Pukul enam. Alarmnya sendiri sudah mati. Lalu apa yang begitu berisik berbunyi dari tadi itu?
Zzzt... zzzt... zzzt...
Rupanya itu ponsel. Brengsek, aku lupa mematikan ponsel sebelum pergi tidur tadi pagi! Pasti Mae menemukannya terhubung dengan stop kontak, mencabutnya lalu meletakannya di samping kasurku sebelum mengantar Rio ke sekolah.
Kubiarkan ponsel itu bergetar sendiri hingga berhenti. Tidak, aku tidak akan mengangkat telepon apa pun pukul enam sore begini. Aku belum bisa berfungsi pada jam segini. Aku baru tidur tiga jam!
Setelah tiga menit, ponsel itu tak lagi bergetar. Kucek isinya.
Ada lima belas missed calls. Dua belas dari Raka, dan tiga dari nomor asing yang menurutku pasti nomor Merwin. Aku tidak pernah repot-repot menyimpan nomor Merwin. Toh aku tidak berniat meneleponnya balik. Selain itu ada satu pesan singkat dari Raka. Aku menguap lebar-lebar. Apa pun alasan mereka berdua menghubungiku, aku berharap itu bukan emergency. Kalau tidak, for Godsake, akan kucaci maki mereka.
Kubuka pesan dari Raka.
Bro, Jojo bakal nikah! Dia minta kita bertiga jadi best man-nya dia. Katanya dia udah coba kontak lo lewat FB.
Karena lo nggak mau ngasih nomor lo ke dia, lo diundang lewat website ini: thewedding.com/jande
Dateng ya. Sekalian reuni.
Jojo menikah?
Otakku perlu energi ekstra untuk mencerna informasi itu. Jojo menikah. Oke. Ini mengejutkan. Dengan siapa dia menikah? Di mana pesta pernikahannya? Apa dia mengundangku? Sudah lama sekali kami putus kontak. Meminta seseorang yang sudah tak pernah berbicara denganmu selama lima tahun untuk mendampingimu di pesta pernikahanmu rasanya tolol sekali, kan?
Aku bangkit dari tempat tidur dan meregangkan punggung. Suara Rio yang mengobrol dengan Mae terdengar dari lantai bawah. Aku pergi ke toilet untuk buang air. Sebelum keluar, aku berhenti sejenak di westafel dan mengamati bayanganku di cermin. Aku sudah tua. Kami sudah tua. Ya, wajar saja Jojo menikah.
Aku tidak pernah menyangka Jojo akan jadi yang paling pertama menikah di antara kami. Bagiku dia tampak seperti tak memiliki ketertarikan apa pun, baik terhadap lawan jenis maupun sesama jenis. Aku tidak akan kaget kalau Raka memberitahuku Jojo akhirnya memutuskan jadi pastor, tapi menikah, nah itu lain lagi ceritanya.
Kunyalakan laptopku. Pusing langganan itu mulai menyerang kepalaku. Bangsat. Seharusnya aku berbaring dulu di tempat tidur sebentar dan jangan langsung bangun tadi.
Kuketikkan alamat website pemberian Raka di tab alamat situs pada browser dan kutekan enter. Perkembangan teknologi, ya. Mengirim undangan fisik sepertinya sudah nggak ngetren lagi sekarang. Padahal aku berharap dapat undangan fisik. Terasa lebih nyata, seolah aku betulan diundang.
Sambil menunggu, aku membuka satu tab lagi dan mengecek Facebook. Satu-satunya alasanku peduli pada pernikahan Jojo ini adalah karena aku ingin tahu, itu saja. Raka harus datang ke sini dan menyeretku jika dia mengira aku akan pergi begitu saja. Tapi kalau Jojo bersedia menanggung tiket pulang-pergi untukku, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk datang. Tidak, Mae dan Rio juga harus ikut. Jadi tiga tiket pulang-pergi, untukku, Mae dan Rio. Hitung-hitung liburan gratis.
Aku mencari-cari pesan baru dari Jojo. Setelah dua puluh nama dari atas, barulah aku menemukannya. Pesannya sudah tertimbun pesan-pesan lain yang kuterima selama bertahun-tahun belakangan ini. Kapan terakhir kali aku dan Jojo berkirim pesan? Pasti lebih dari lima tahun lalu. Oke, ini dia.
Ben, apa kabar? Gue harap lo baik-baik aja di Kalimantan sama.
Gue bakal married nih Ben. Gue mau minta tolong elo jadi salah satu best man gue, bareng Raka dan Merwin. Lo datang, ya? Please. Gue tahu kalau best man itu harusnya satu orang aja, tapi lo bertiga adalah the real best men gue, jadi gue nggak kepikiran orang lain. Gue juga ngundang beberapa anak-anak St. X angkatan kita, jadi kita bisa sekalian kumpul-kumpul juga.
Detil pemberkatan dan resepsinya bisa lo liat di undangan yang gue attach di sini. Lo nggak perlu bawa apa-apa, semuanya udah disiapin. Untuk akomodasi, lo bisa kontak Monique, ini nomornya +628788-4232-888, dia yang ngatur semuanya. Jangan lupa datang, ya.
Gue sebenarnya mau nelepon elo langsung buat ngasih tahu ini tapi nggak ada yang tahu nomor lo yang sekarang.
Aku beralih ke website undangan itu. Ada foto pre-wedding Jojo di atas sebuah kereta kuda dengan... Ella? Aku tertawa. Pada ulang tahun Jojo yang ketujuh belas, aku mendoakan mereka supaya hidup berbahagia selamanya di depan seluruh St. X. Dan sekarang mereka akan menikah! Jojo tampak tertawa bahagia sambil memeluk gadis itu dari belakang. Dia masih kelihatan seperti dulu, hanya lebih ramping. Kacamatanya bahkan masih sama persis. Rambut panjang Ella sudah menyentuh pinggulnya, dia kelihatan lebih muda dibandingkan sewaktu kami SMA dulu. Mereka tampak serasi sekali.
Di samping foto itu, ada informasi mengenai pernikahannya. Pemberkatan dan resepsinya akan dilaksanakan berurutan pada hari yang sama. Mereka akan menikah di Jakarta.
Dadaku terasa hangat. Ini lucu sekali. Lima tahun belakangan ini Jojo sudah bertualang ke Australia dan Kanada, tapi menemukan jodohnya di kampung halamanya sendiri. Kapan mereka pacaran? Oh, mereka tidak perlu pacaran lagi kurasa. Jojo dan Ella sudah saling kenal sejak mereka SD!
Aku kembali ke Facebook dan tanpa sadar membaca pesan-pesan dari Jojo lainnya, yang tidak pernah kubuka. Jojo masih ingat akan hari ulang tahunku dan rutin mengirimkan ucapan Natal dan Paskah, beserta kartu digital yang didesainnya sendiri. Dia memberitahuku bahwa dia sekarang menjadi dosen desain di universitas alumni kami. Tiga tahun lalu, Jojo mengirimkan foto wisuda Master-nya di Melbourne. Ada Raka, Bella, dan David di situ, semuanya nyengir lebar pada kamera. Wajah Merwin baru tampak di pesan-pesan yang lebih jadul lagi, bersama Raka. Mereka bertiga duduk di pinggir kolam renang St. X. Merwin kelihatan begitu kurus dan letih, apa dia baru sembuh dari sakit parah? Isi pesannya: 'I'm going to Australia! Wish you were here Ben, to say goodbye!'
Empat tahun yang lalu, Jojo lebih sering mengirimiku pesan. Dia menanyakan kabarku, di mana aku berada, mengapa aku tak pernah membalas pesannya. Dia bilang dia sudah melupakan apa yang terjadi waktu itu di apartemen. Dia mengatakan itu berkali-kali. 'Gue tahu waktu itu lo pasti kebablasan,' tulisnya. 'Let's be friends again. I value our friendship more than what happened back then.'
Ada juga percakapan dengan Raka dan Merwin. Mereka bertiga sempat liburan bersama ke Bali tanpaku, karena aku tidak merespon ajakan mereka. Aku ingat Raka mengajakku lewat telepon, dan aku menolaknya.
Dari pesan-pesannya, Jojo kedengaran tulus dan bahagia. Mataku mulai terasa berat. Mungkin Raka benar. Mungkin Jojo memang tidak membenciku, seperti yang selama ini kuduga. Mungkin Jojo terlalu lelah menunggu permintaan maafku sehingga memutuskan untuk memaafkanku begitu saja.
Pesan terakhir yang kubaca bertanggal dua puluh Juli, lima setengah tahun yang lalu. Aku hampir lupa soal pesan itu.
Ben, gue telepon nomor lo tapi nggak diangkat. Gue pergi duluan ngejemput Raka di bandara, bareng Merwin. Takut telat dan jujur gue nggak mau ninggalin Merwin sendiri ke bandara, takutnya tuh anak error lagi kayak waktu itu. Temen kantor gue bakal mampir ke apartemen, namanya Nina. Lo ajak aja dia ngobrol dulu, sambil nunggu kita balik. Nggak bakal lama kok.
Usahain dia jangan sampai pulang sebelum gue balik ya Ben. Gue naksir dia. Kayak-nya anaknya asyik. Harusnya gue ngajak dia jalan malam ini, tapi gue lupa soal harus ngejemput Raka. Dia udah tahu kalau gue lagi keluar. Mungkin nanti kita makan malem bareng di tempat Merwin aja kali ya? Gue pengen tahu pendapat lo soal si Nina, menurut lo anaknya gimana?
Leherku tercekat. Membacanya lagi saat ini memutar ulang kejadian malam itu, dua jam setelah Jojo mengirim pesan itu dan aku membacanya. Kejadian yang mengubah hubungan kami berempat.
"Pa!"
Pintu kamarku terbuka. Rio melompat-lompat masuk. Wajahnya yang bulat mirip wajahku bercelemong bedak. Dia memanjat naik ke pangkuanku.
"Waduh, muka kamu kok belepotan begini?" Kuratakan bedak di wajahnya dengan tanganku. Rambut Rio masih sedikit basah. Kuambil tisu dari atas meja dan kuseka rambutnya. Dia bisa pilek.
"Aku disuruh Mama ngebangunin Papa."
"Papa udah bangun kok."
"Kata Mama, kita udah mau buka."
Aku mengecek jam di sudut layar laptopku. Rio benar. Sudah hampir pukul tujuh. Restoran kami akan buka satu jam lagi.
"Rio udah makan?" Kutuntun putraku itu menuju pintu.
"Udah." Dia nyengir lebar, memamerkan deretan gigi susunya yang keropos. "Papa belum makan ya?"
"Ini mau makan."
"Pa," Rio menunjuk ke dalam kamar. "Komputernya nggak dimatiin?"
"Nggak apa-apa," jawabku. Anak ini cerdas, sama seperti ibunya. Untung saja tingkat intelegensi diwarisi dari ibu. "Biarin aja begitu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top