Dua Puluh
Toyota Yaris warna biru itu diparkir di depan pagar. Dia ada di rumah.
Karena Stella tak pernah muncul lagi di kantor, aku mencoba mengorek informasi dari HRD soal keberadaannya. Kata mereka, Stella pindah ke perusahaan startup yang lain. Jelas aku tak mempercayai itu. Dia tidak mungkin pindah mendadak tanpa memberitahuku. Aku berhak tahu. Maksudku, terlepas dari hubungan kami di luar kantor, dia tetap sekretarisku.
Kompleks perumahan itu sepi, untunglah. Dari dalam rumah, aku tak mendengar suara Tio. Berarti bocah itu masih di sekolah.
Stella sedang duduk di bangku taman, kepalanya tertunduk dan dia masih memakai gaun tidur.
Sempurna. Kudekati pagar rumahnya dan kusapa dia. "Stella!"
Stella mendongak. Wajahnya berantakan, matanya sembab, dan dia mulai mengernyit seperti melihat setan. Dia menghambur ke arahku dan mendorongku kuat-kuat.
"Jangan ke sini!"
"Lho kenapa? Saya bawa makan siang."
"Pergi! Jangan sekarang!"
Dia menyikutku, menendangku dan mencakarku dengan kuku-kukunya. Tenaganya kuat sekali. Stella seperti kerasukan.
"Tunggu dulu. Kamu kenapa sih?"
Aku memeluk perutnya dan menariknya hingga dia terjatuh di pelukanku. Otot-otot trisepku menegang mengangkat beban tubuhnya dan membawanya ke bangku taman. Dia sedikit lebih berat sekarang.
Stella masih meronta-ronta, dia mulai memukuli kepalaku.
Aku menggapai tangannya dan mengekangnya dengan sedikit kuat. "Kamu kenapa?"
Stella masih memberontak, mencoba melepaskan diri. Lalu dia mulai sesengukan.
"Stel..."
Suara seorang pria menggema dari dalam rumah, membuatku waspada. "Ada siapa di rumah?"
Stella tidak menjawabku. Dia hanya menengok ke arah pintu rumah, matanya melebar ketakutan. Dia meronta lagi lebih kuat tetapi aku mengetatkan pelukanku pada tubuhnya sehingga dia tidak bisa pergi. Kudesak dia. "Suara siapa itu, Stella?"
"Stel, aku ketemu ini di tempat sampah..."
Pintu depan rumah terbuka, dan seorang pria muncul. Dia hanya mengenakan kaos dan celana pendek, tetapi tubuhnya yang gempal dan kencang langsung mengingatkanku pada atlet angkat besi. Di tangannya ada alat tes kehamilan. Dia terhenti dan mengerjap-ngerjap melihatku, seperti kelilipan.
Stella langsung melompat berdiri dari pelukanku.
Pria itu maju mendekatiku. "Anda siapa?"
Aku berdiri, kebingungan. "Anda siapa?"
"Ini Pak Merwin, atasan aku..." Stella menemukan kembali suaranya. Namun kali ini dia menggigil seperti kena demam. "Pak Merwin, ini Anton, suami saya."
Suaminya? Aku mencelus. Seharusnya aku bisa mengenali sosok suami Stella dari foto-foto pernikahan mereka yang dipajang di ruang depan.
Anton maju ke arahku, perubahan raut wajahnya menandakan dia tidak suka melihatku. Dadanya yang tebal seperti jok mobil terangkat. "Stella sudah keluar dari perusahaan Anda. Ada urusan apa Anda kemari?"
"Saya hanya ingin menjenguk Stella. Sudah dua bulan dia tidak masuk kantor."
Jawaban itu rupanya tidak memuaskan Anton. Layaknya sebuah buldoser mini, dia masih menggerus maju, menantangku. "Kata Stella, Anda lah yang memecat dia."
Stella menghadang suaminya, menyelipkan tubuhnya diantara Anton dan aku. Tangannya yang pucat gemetar ketika mencoba mendorong suaminya menjauh. "Mas, dengar dulu. Pak Merwin cuma mampir ke sini. Kebetulan lewat..."
"Oh, ya?" Murka Anton memuncak. Diangkatnya alat tes kehamilan itu di depan wajah istrinya. "Apa dia mau menjeIaskan ini?"
Stella dan aku refleks mundur untuk melindungi diri. Anton mengacung-acungkan alat tes kehamilan itu dan aku bisa melihat dua strip biru kecil di ceruknya.
"Mas, jangan berpikir yang macam-macam dulu!" Stella memohon-mohon, dan seketika aku tahu kami berdua sudah tertangkap basah. "Aku bisa jelaskan!"
"Aku terakhir tidur sama kamu enam bulan yang lalu, sebelum angkat sauh! Dan aku baru kembali minggu lalu!" Anton mengibaskan lengan Stella yang memeluknya, melepaskan diri. "Kenapa ini hasilnya bisa positif?"
Stella mencoba tersenyum, meski air mata menganak sungai di pipinya yang terlihat kurus dan letih tanpa rias. "Ini anak kamu, Mas. Ini anak kita!"
"Ngaku!" hardik Anton geram. "Semuanya udah terbukti begini!"
"Pak Merwin..." Stella beralih padaku, sorot matanya putus asa. Dia juga menyadari bahwa kesalahan kami sudah terlalu runyam untuk diperbaiki. "Terima kasih bapak sudah mampir. Saya mohon, bapak pulang saja..."
Meski belum seratus persen mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku berbalik, bersiap pulang. Tiba-tiba Anton menarik kerahku dari belakang sehingga aku tak sempat menyiapkan diri. Dia menghantam pelipisku dengan begitu keras, membuat telingaku berdenging. Aku bisa mendengar Stella menjerit-jerit. Anton meninjuku lagi, aku bersusah payah menstabilkan diri untuk mencari pijakan dan mencoba membalasnya.
"JADI INI YANG DIBILANG TIO! MAMA TIDUR SAMA OM EWIN PAS PAPA NGGAK ADA!"
Gerakan pria itu begitu cepat dan sistematis seperti petinju. Sambil mengutuki Tio si bangsat kecil itu, aku memukul balik perut Anton. Kutendang tulang keringnya berkali-kali hingga dia berteriak kesakitan. Stella masih menjerit-jerit kalang kabut, meminta kami untuk berhenti. Lalu dia mulai berteriak minta tolong dengan putus asa.
Mendengar teriakan kalut istrinya, kemarahan Anton kian berlipat ganda. Dia berlari pada Stella seperti banteng yang dipancing kain merah, menarik bajunya dan menampar wanita itu kuat-kuat.
"Wanita murahan! Wanita sialan! Aku kerja mati-matian siang dan malam, kamu enak-enakkan sama yang lain!"
Stella merintih minta ampun. Aku tidak tinggal diam. Kukalungkan lenganku pada leher tebal Anton dan kutarik dia mundur hingga kami berdua jatuh terduduk. Anton membalik badannya selugas kucing, sehingga posisinya tepat di atasku. Dia mengangkat kepalaku dan mengempaskannya ke lantai. Sakitnya bukan main.
"Mas Anton! Pak Merwin!" Stella melemparkan tubuhnya sendiri di atasku, mencoba menghentikan suaminya menghabisiku. "Stop! Stop! STOP!"
Anton merenggut leher Stella dan melemparkannya dengan kencang seolah wanita itu hanyalah boneka kain. Aku memanfaatkan kelengahan Anton untuk melibasnya, meski kepalaku terasa seperti sedang dibor. Anton terhuyung jatuh tetapi langsung kembali sigap. Dia menyambar pot tanah liat di dekat kami dan menghantamkannya ke wajahku, tepat sebelum aku sanggup mempertahankan diri. Kukerahkan seluruh kekuatanku untuk menghajar Anton, kupukul dia dengan membabi buta,. Untuk waktu yang terasa seabad, aku akhirnya mulai merasakan Anton melemah. Tonjokan dan tendangannya mulai berkurang, lalu berhenti sama sekali.
Butuh sepuluh detik bagiku untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan berdiri. Aku membuka mata, pandanganku merah akibat darah, hidungku nyeri bukan main, dadaku terasa seperti terbakar dan sekujur tubuhku sakit sekali.
Anton terbaring di dekatku, diam tak bergerak.
Aku menarik napas sekali lagi, dan mendekati Anton. Apa aku membunuhnya? Dadanya masih bergerak naik turun perlahan. Ada darah yang menggenang di belakang kepalanya. Namun kemudian kusadari darah itu bukan berasal dari luka di kepala Anton.
Tubuh Stella teronggok di sudut halaman. Tangan dan kakinya terpuntir pada sudut yang janggal. Kepalanya mendongak. Napasnya pendek-pendek. Dia menatapku dan membuka mulut, tapi tak ada kata-kata yang terucap.
Tatapanku jatuh pada baju tidur Stella yang tersingkap. Darah mengucur dengan deras dari antara kedua pahanya, membasahi kakinya, mengalir hingga menggenang di dekat kepala suaminya yang kini tak berdaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top