Dua Belas
Asap mengepul dari mangkuk ketika aku meniupnya.
Kulirik Adrian lewat sudut mataku. Dia masih sibuk menjentik-jentik layar iPad-nya, asyik memainkan Candy Crush, game payah yang bagiku membosankan tetapi anehnya sangat digemari Adrian.
Kulirik jam tangan merek Tag Heuer pemberian Adrian di peringatan satu bulan kami berpacaran. Masih setengah jam lagi.
Aku menatap supku yang sepertinya tak berkurang panasnya, tak peduli berapa sering aku meniupnya. Kuputuskan untuk mengenyahkannya saja. Lagipula asparagus itu rasanya tidak enak. Aku melongok meja makan. Masih ada beberapa menu lain di situ yang belum kucoba. Lapis legit itu menggodaku. Baiklah kalau begitu...
"Aku juga mau dong..."
"Apa?"
Adrian mendongak padaku dari iPad-nya, tampangnya kekanakan. "Lapis legit."
"Kok kamu tahu aku mau ngambil lapis legit?"
"Kamu ngelirik lapis legit itu dari tadi."
Kami sedang berada di lounge, menunggu penerbangan kami yang terlambat satu setengah jam. Aku hanya memutar mataku dan mendesah. "Oke."
Adrian meletakkan iPad-nya lalu mendekatiku dari belakang, dekat sekali sehingga aku bisa merasakan napasnya di tengkukku. "Kalau kamu ketemu teman-teman kamu di Jakarta nanti, aku juga nggak boleh megang-megang kamu?"
Ah.
Dia sudah beberapa kali menanyakan itu. Aku memang belum memikirkan jawabannya. Meski Merwin—yang baru kuberitahu dua malam yang lalu soal orientasiku—dan Jojo menyatakan mereka tidak keberatan (dan untuk Merwin, lebih tepatnya tidak peduli), aku tak yakin mereka siap melihat ini. Tapi aku mungkin tak bisa mengenalkan Adrian pada Ben. Dari obrolan kami waktu itu, aku menangkap kesan Ben homophobic.
"Nanti aja..."
Aku mencubit lengannya yang kekar lalu melenggok pergi. Adrian menggaruk janggutnya dan balas tersenyum. Aku suka janggutnya.
Kuhampiri meja prasmanan di lounge itu dengan kepercayaan diri yang meningkat. Isn't this the best feeling in the world? Punya seseorang yang mencintaimu? Aku merasa seperti selebriti. Untuk ukuran lelaki, Adrian nyaris sempurna. Dia dokter, dan penampilannya menggetarkan hati. Kalau pada pasiennya saja yang notabene orang asing dia peduli, apalagi pada pacarnya?
Ternyata tidak hanya lapis legit saja yang menggodaku di atas meja prasmanan itu. Ada beberapa makanan kecil. Risoles dan martabak tahu yang gendut itu kelihatan enak.
Tiba-tiba ponsel di saku celanaku bergetar.
Kukeluarkan ponselku. Ada notifikasi pesan baru untukku.
'Halo.'
Pesan itu dari seseorang bernama Sandy. Lambang GPS yang berkedip di ujung kanan layar menandakan Sandy—siapa pun dia—pasti menemukanku lewat fitur Friends Nearby dari aplikasi chatting yang kupakai.
Kuperiksa profil Sandy. Tidak ada nama belakang. Ada beberapa foto pria itu, tapi wajahnya tidak terlihat jelas. Dia di sebuah klub malam. Dia di kamar tidurnya. Dia bersama seekor golden retriever, sama-sama menjulurkan lidah keluar. Dia di gym. Dia di kolam renang, hanya mengenakan celana pendek. This guy looks so... sexy. Adrian memang oke, tapi dari segi bodi, jujur saja... pacarku itu masih perlu banyak improvement.
WOW.
Lapis legit tergusur keluar dari pikiranku. Cepat-cepat kuketikkan pesan balasan 'Hi.'
'Nice shirt', balasnya.
Kupandangi diriku. Kemeja hitam dengan motif bunga-bunga keemasan ini sengaja kubeli untuk kencan pertamaku dengan Adrian. Waktu itu Adrian menyebutku "flamboyan".
"Lapis legitnya mana?"
Adrian muncul di belakangku, mengagetkanku.
"Ini... baru mau diambil." Buru-buru keselipkan kembali ponselku ke dalam saku celana dan kuambil sepotong lapis legit. Kuserahkan piring itu pada Adrian.
"Kamu nggak ngambil?"
"Nggak. Kamu aja."
"Lho, kan kamu yang tadi mau lapis legit?"
Kudorong piring itu hingga membentur dada Adrian. Ada hal yang jauh lebih menarik dari lapis legit saat ini. Sandy. Ya, dia pasti berada di sekitar sini. Aku pura-pura memasang tampang jenuh dan kembali ke sofa yang kududuki tadi. Namun mataku mulai menyapu seisi lounge itu, mencari-cari keberadaan Sandy.
Adrian meletakan piring lapis legit itu di atas meja dan menatapku. "Kamu kenapa?"
"Nggak kenapa-napa. Cuma capek. Itu, lapis legitnya dimakan."
"Kalau kamu mau, kita bisa batalin tiket ini dan pergi lain kali aja," kata Adrian. Dia menjulurkan tangannya hendak menyentuh tanganku, tapi buru-buru kutarik. Adrian termasuk tipe yang sangat terbuka soal orientasinya, dia merasa bisa menyentuhku begitu saja di depan publik. Tapi tentu saja aku tak akan membiarkan hal itu. Selain ketiga sahabatku, aku belum memberitahu siapa pun. Bahkan banyak teman-teman wanita seangkatanku di Fakultas Kedokteran yang masih berjuang tak kenal lelah mencoba menarik perhatianku. Sayangnya upaya mereka sia-sia.
"Nggak apa-apa," jawabku lembut. "Sebentar lagi juga kita berangkat."
"Aku serius. Kalau kamu bosan, kita nggak perlu memaksa..."
Kalau mau dipikir-pikir aku tak dirugikan sepeserpun. Adrian yang menanggung semua biaya perjalanan ini. Karena aku tak mungkin mengenalkannya pada keluargaku, dia ngotot supaya setidaknya sahabat-sahabat terbaikku tahu tentang dia dan hubungan kami. "Kasihan teman-temanku. Aku udah janji ke mereka bakal datang hari ini. Merwin udah siap-siap mau jemput."
Ponsel di kantong celanaku bergetar lagi.
"Kamu yakin?"
Aku mengangguk. Aku ingin mengecek ponselku tapi merasa tak etis melakukannya sekarang. Adrian, seperti yang sudah kuberitahu tadi, bisa tahu ada yang tidak beres hanya dari membaca raut wajahku. Entah aku yang terlalu ekspresif atau dia yang punya kemampuan paranormal, Adrian selalu bisa tahu.
Sebuah suara menggema dari pengeras suara di lounge itu, mengumumkan bahwa pesawat tujuan Jakarta sudah boarding, dan para penumpang diminta bersiap-siap.
"Nah itu pesawat kita," kata Adrian ceria. Dia meraup lapis legit itu dengan tangannya lalu memasukannya dalam mulut.
"Ih. Kamu malu-maluin."
"Biarin..." Dia menjulurkan lidahnya. "Yuk..."
Kutenteng tas kulit kecilku yang hanya berisi tiga pasang pakaian dan bergabung bersama penumpang korban delay lainnya. Toh ini adalah perjalanan tiga hari. Lagipula Adrian harus kembali dinas sementara aku sebetulnya tak boleh bolos praktik, tapi karena ini liburan gratis, tentu saja aku tak mungkin melewatkannya. Tuhan tahu betapa melelahkannya menjadi seorang dokter.
Ponsel di sakuku bergetar lagi. Rombongan penumpang mulai berkerumun di dekat pintu menuju koridor dan tak perlu lama bagiku untuk tergencet di antara mereka. Aku bahkan terpisah dengan Adrian. Setelah satu menit berkutat untuk sekedar masuk ke dalam kabin, akhirnya aku bisa menemukan tempat duduk kami di dekat sayap pesawat.
Aku menempatkan tasku di bagasi kabin dengan perasaan sedikit sebal (tas Adrian sudah tersimpan rapi disana) dan membenamkan diri dalam-dalam di kursiku. Adrian mengeluarkan sebuah bantal kecil dan penutup mata.
"Kamu mau tidur?"
"I don't like flying."
For real? "Ih, tahu gitu kita naik kereta api aja."
"We don't have much time, and this is faster. Besides, I'm travelling with you," jawab Adrian. Dia tersenyum lagi lalu memasang bantal dan penutup mata itu di posisi nyaman. "See you in Jakarta!"
Tingkahnya membuatku kehilangan kata-kata. Apa-apaan ini? Dua jam penerbangan dan aku tak bisa mengobrol dengannya sama sekali? Dan kami duduk di bagian sayap, di mana tak seperti di baris kursi lainnya, media hiburan dalam kabin letaknya nyaris satu setengah meter di seberang kami! Mood-ku langsung terjun bebas. Ini sih bakal jadi membosankan. Kalau tahu akan jadi seperti ini, aku lebih memilih naik kereta api saja!
Aku menarik napas dan mencoba mempraktikan terapi antistres yang kubaca di internet. Kupejamkan mata rapat-rapat, dan kuatur napasku. Adrian sudah hanyut ke alam mimpi. Dia memang cepat sekali tertidur.
Rasanya aku sudah menarik dan menghembuskan napas sebanyak seratus kali sampai kudengar pintu kabin menutup. Akhirnya kami akan segera take-off.
"Nice shirt..."
Aku menoleh ke arah suara itu. Datangnya dari kursi di sebelahku.
Seorang pria bertubuh kekar dalam setelan batik warna ungu slim-fit tersenyum padaku. Meski usianya mungkin sudah kepala empat, tapi rambutnya ditata model spike layaknya pria muda seumuranku. Dia mengenakan celana warna hitam yang lumayan ketat.
Jantungku berdebar keras. "Thank you. Nice batik."
Dia mengedikan kepala dengan anggun, lalu tersenyum semakin lebar. Pesawat kami mulai bergerak. Ketika tetanggaku itu memasangkan sabuk pengaman di pinggangnya, aku melihat tonjolan raksasa di antara kedua pahanya itu menggelembung di balik celananya.
Senyumku mengembang lebar. Mungkin penerbangan dua jam ini tak akan sebosan yang kubayangkan sebelumnya.
...
"Eeeh, lo mau kemana, Ka?"
Aku langsung melontarkan jawaban yang sudah kusiapkan dari tadi. "Bikin PR."
"Salin punya gue aja," kata Jojo. "Lagian sejak kapan lo suka Fisika?"
Aku mencibir dan tetap berdiri. Aku seharusnya memberi alasan lain selain bikin PR. Mataku menangkap sosok itu bergerak mendekat.
"Gue... mau ngurusin tugas klub dulu."
"Ah, gue ngerti sekarang," tukas Jojo. "Lo berdua kenapa sih?"
Tanganku bergerak ke bagian rusuk kanan, tempat di mana Ben menghajarku. Dari kejauhan, memar kebiruan di wajah Ben tempat aku menghantamkan sepatu basket Merwin di pelipisnya tampak jelas, seperti noda tinta yang sulit memudar.
"Jo, udah gue bilang. Lo tanya sama dia apa masalahnya."
"Gue udah tanya dan Ben ngasih jawaban yang sama, suruh tanya ke elo!"
Jojo seharusnya bekerja di bagian korps perdamaian PBB saja. "Gue nggak tahu apa masalahnya. Gue nggak merasa punya masalah sama dia. Gue diserang tiba-tiba Jo, tanpa tahu duduk perkaranya. Dan gue nggak terima, makanya gue balas..."
"Anjing," Merwin muncul sambil memeluk setumpuk berkas. Tatapannya jatuh pada Ben. Dia terbahak-bahak. "Muka si Ben parah banget. Hebat lo, Ka!"
BUK!
"WOY!" Merwin melompat menjauh. Jojo baru saja mengkemplang kepalanya.
"Sebagai ketua OSIS yang baru, lo seharusnya membantu menjaga perdamaian di St. X, terutama di antara sahabat-sahabat lo sendiri, bukannya mendukung perseteruan."
Merwin mengernyit dan mengunyah-ngunyah selama beberapa saat. Jojo sanggup membuat orang lain tak berkutik jika dia mau, dan itulah alasan utama dia terpilih jadi presiden klub debat. Tidak ada yang mengira cowok bertampang kalem itu sanggup jadi galak jika diperlukan.
"Gue bukannya mendukung perseteruan," kata Merwin diplomatis. Dia duduk di kursi yang tadinya ingin kududuki. Mataku masih mengikuti Ben, yang sedang mengobrol bareng si dua gadis Veritas, Prisil dan Sinta. "Cuma menurut gue, Raka yang menang dari perkelahian itu. Memar Ben—"
"MERWIN!"
Dihardik Jojo seperti itu, Merwin terkekeh kalah. "Gue tahu alasan mereka berantem Jo. Lo nggak tahu karena waktu itu lo di Bali."
"Win," aku tak boleh membiarkan Merwin menceritakan masalah ini pada Jojo. Aku memilih untuk menceritakannya sendiri. Ini bukan masalah besar, tapi kalau Merwin yang bercerita, bisa jadi kisah itu melenceng jauh dari kejadian yang sebenarnya.
"Ben marah karena Raka ngajak Michelle," seloroh Merwin lugas.
Jojo bengong selama beberapa detik.
"Pas dansa Valentine. Ben kan udah lama naksir Michelle," tambah Merwin, ketika melihat akumulasi kebingungan di wajah Jojo.
"Bukannya Ben sama Michelle nggak pacaran?" kata Jojo.
"Nah! Itu dia!" sambarku. "Mereka kan nggak pacaran. Ben nggak perlu pakai ngamuk dong cuma karena gue ngajak Michelle! Kecuali kalau mereka pacaran, sah-sah saja dia marah besar."
"Yaelah, namanya juga cemburu," timpal Merwin santai.
"Tapi nggak harus pakai nonjok juga, kan?" Aku ngotot. "Ben nyerang gue tiba-tiba."
"Sebentar," potong Jojo. "Ka, lo tau nggak kalau Ben naksir Michelle?"
"Seluruh dunia tahu kalau soal itu," sahut Merwin.
Aku diam saja. Ben memang pernah memberitahuku bahwa dia naksir Michelle, tapi aku hanya menganggapnya sebagai pemberitahuan belaka.
"Jadi, sesuai dugaan gue sebelumnya, ini semua cuma salah paham belaka," kata Jojo dengan gaya memutuskan. "Kalian harus berbaikan."
"Ben nguping," bisik Merwin. "Perhatiin deh. Dia dari tadi disitu terus. Gue panggil yah... Kasihan dia."
"Oi!" Aku berteriak. "Jangan! Gila lo Win!"
Merwin menatap Jojo, meminta dukungan.
"Dengar. Gue nggak merasa salah oke? Mereka nggak pacaran. Michelle bukan ceweknya siapa-siapa. Gue berhak ngajak dia ke pesta dansa itu. Dan jangan salahkan gue kalau Michelle menerima ajakan gue!"
"Kenapa lo ngajak Michelle?" selidik Merwin. Tiba-tiba dia kelihatan ingin tahu.
"Dia asyik," jawabku asal saja. Sebetulnya aku memilih Michelle secara acak. Aku hanya iseng mengajaknya ke dansa Valentine itu, yang langsung diiyakan. Tahun lalu aku mengajak Irene yang adalah sepupuku sendiri, jadi rasanya tak mungkin aku mengajaknya lagi tahun ini. Lagipula, aku tak mungkin ke dansa itu seorang diri, kan?
"Kenapa lo nggak bilang ke Ben?" tanya Jojo.
"Kenapa juga Ben nggak bilang duluan ke gue kalau dia mau ngajak Michelle?" balasku sengit. Aku tidak suka disudutkan seperti ini. Ben lah yang duluan menyerangku. Dia sumber masalahnya. Bukan aku.
"Dia mengira lo udah tahu," kata Merwin kalem. "Dia mengira karena lo sahabatnya, lo nggak bakal nikung dia."
"Gue nggak nikung!"
"Oke. Stop!" potong Jojo tegas. "Lo berdua harus ngobrol. Ka, lo inget nggak kalau Ben-lah yang nolongin lo dari..." Jojo mendadak ragu-ragu. "Dari... dari..."
"Pak Budi," sambung Merwin. "Gue juga ikutan lho."
Mendengar namanya disebut, pikiranku langsung melayang pada kejadian dua bulan lalu di wisma guru. Tak ada yang menyelidiki siapa yang memecahkan kaca jendela Pak Budi, bahkan tak ada yang membicarakannya sama sekali. Di sekolah, sikap Pak Budi tidak berubah, tapi aku yakin kadang-kadang dia mengamatiku diam-diam. Aku menduga Pak Budi sengaja bungkam karena takut perbuatannya terbongkar.
Jojo melanjutkan. "Dan kalau lo mau, kita bisa bantu."
"Nggak perlu, Jo..." Tiba-tiba aku merasa penat dan kehilangan selera. Jojo membuka mulut siap mengucapkan sesuatu tapi buru-buru kulanjutkan kata-kataku. "Gue akan baikan sama Ben di waktu yang tepat. Dan gue nggak akan lupa apa yang dilakuin Ben ke gue."
Aku pergi melewati jalan belakang kantin agar tak perlu berpapasan dengan Ben. Aku mengintip sebentar dari balik punggungku dan beradu pandang selama beberapa detik dengan Ben, yang langsung membuang muka. Jadi benar dugaan Merwin, Ben mencuri dengar obrolan kami.
Aku menarik napas. Aku tetap pada pendirianku, bukan aku yang salah. Bagiku teman itu penting tapi sejujurnya aku tak ragu memutuskan hubungan dengan mereka yang menuduhku macam-macam, seperti yang Ben lakukan padaku sekarang.
Begitu pula soal penyelamatan heroik Ben, itu bukan sepenuhnya tindakannya. Dari cerita Merwin, dia lah yang tahu soal "penculikan"-ku menuju wisma itu. Jadi Ben hanya tokoh pembantu saja. Dan aku menghargai Merwin atas apa yang dilakukannya. Tapi haruskah aku berterima kasih pada Ben?
Entahlah, rasanya tidak juga. Aku tak pernah mengungkapkan ini pada siapa pun, termasuk Jojo sendiri. Tanpa tahu mengapa, kadang aku menyesal telah diselamatkan dari Pak Budi. Maksudku, bisa saja kan aku justru menikmati apa yang terjadi saat itu seandainya Ben tidak melempar jendela kaca itu dengan batu sampai hancur?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top