Delapan Belas
Mood-ku tidak pernah betul-betul baik belakangan ini. Ditambah Steven yang lagi uring-uringan, dan musim hujan yang sedang melanda, rasanya satu bulan belakangan ini hidupku berubah menjadi siaran televisi hitam putih.
Steven menggebrak mejanya untuk yang kesekian kalinya hari itu. Ini jadi kebiasaan baru rekan kerja tercintaku itu sejak dia mulai fitness. Melatih bisep, dalihnya.
"Gue punya Mentos. Lo mau?"
Steven pura-pura terkejut (aktingnya lumayan). Lalu dia meregangkan diri dan menguap lebar-lebar. "Nggak apa-apa Jo. Ini, trisep gue agak tegang..."
Kami diam lagi. Kukeraskan volume musik yang sedang diputar di earphone-ku.
Steven mengatakan sesuatu, tapi aku tidak menggubrisnya.
Lalu dia memutar kursinya menghadapku dan menggebrak mejaku. Seriously? Is this guy a narcissist or what? Ingin rasanya kukemplang kepalanya yang plontos itu hingga copot.
"Kenapa, Stev?"
Steven mencebik dan tampak ragu-ragu. "Dia... benar-benar nggak cerita sama lo?"
"Nggak," jawabku yakin. "Sama sekali."
Steven mendengus kesal. "Aneh ya. Gue merasa gagal sebagai senior. Dia baru kerja sebulan di sini dan tiba-tiba minta resign. Masa probation-nya aja belum selesai."
Yang dimaksud Steven adalah Nindy. Aku ingin meneriakkan alasan mengapa gadis itu menghilang pada seluruh dunia, tapi tentu saja tidak kulakukan.
"Dia bilang kan ada masalah keluarga," kataku, mengulang alasan yang dilontarkan Dini waktu sewaktu kami semua bertanya-tanya. Nindy bahkan tidak sempat bikin farewell. Minggu lalu, dia mendadak tidak lagi muncul di kantor dan Dini yang harus menjelaskan alasan "kepergiannya" ke kita. "Gue taunya cuma sampai situ."
"Orangtuanya meninggal, ya?"
Aku memergokinya tidur dengan sahabatku sendiri tengah malam buta. "Bisa jadi. Dini nggak bilang apa-apa lagi kan?"
"Iya sih," sahut Steven. Dia masih kedengaran kesal. "Seharusnya dia bisa cerita dong sama kita. Jangan menghilang begitu aja."
Well, aku juga berharap Nindy bercerita padaku. The reason. Aku butuh alasan kuat darinya soal perbuatannya malam itu. Tapi toh itu tidak terjadi.
Ponselku bergetar. Aku meminta izin pada Steven, yang tidak diacuhkannya. "Ya?"
"Hei, Jo..." sapa Ria, kakak perempuanku. "Lo masih di kantor, ya?"
"Iya nih," jawabku. "Kenapa Ri?"
"Papi kena stroke, Jo."
Dunia berhenti berputar. "Stroke?"
"Iya. Ini gue lagi di rumah sakit."
Aku berlari keluar menuju kantin tanpa mempedulikan protes Steven. "Kok bisa, Ri? Gimana keadaannya sekarang?"
"Kata Mami dia kena pas lagi di bengkel tadi pagi. Sekarang lagi di ICU, tapi kata dokter kondisinya udah stabil."
Aku ingin terbang ke rumah saat ini juga untuk menjumpai keluargaku, memastikan mereka baik-baik saja. "Tapi kata dokter Papi nggak apa-apa kan Ri? Perlu dioperasi nggak?"
"Belum tahu, Jo..." Suara Ria terdengar datar tanpa emosi. Kakakku itu memang mirip Papi, sangat lihai menyembunyikan perasaannya. "Kita harus menunggu sampai Papi sadar, baru bisa diputuskan langkah selanjutnya."
Empat kakak adik Papi semuanya sudah berpulang mendahuluinya karena stroke. Aku tahu bahwa penyakit ini sudah semi-turun temurun dalam keluarga Papi, sehingga kami sekeluarga sudah mewaspadainya. Hanya saja aku tidak menduga Papi akan mengalaminya sekarang.
Tangisan Ashley keponakanku merambat masuk melalui pengeras suara.
"Gue balik ya, Ri." Keputusan itu langsung tercetus di benakku. "Gue mau lihat Papi."
"Nggak apa-apa Jo," kata Ria, masih sama datarnya. "Gue sama Mami masih bisa kok ngerawat Papi. Sebentar lagi Natal. Sayang cuti lo."
Ria punya tiga anak yang masih kecil-kecil. Si bungsu Ashley baru berumur empat tahun sementara kakak kembarnya Sylvester dan Sebastian baru kelas satu SD. Ria sendiri punya usaha katering yang ramai. Suaminya Andre bekerja di Tembagapura dan baru bisa pulang setahun sekali.
"Jo, lo tenang aja, ya. Nggak usah pulang. Gue bakal ngabarin terus," kata Ria.
"Iya, Ri. Hati-hati, ya."
Ketika panggilan itu terputus, aku langsung memesan tiket pulang.
...
Isak Raka menjalar melalui rak-rak buku perpustakaan. Kepala-kepala yang ingin tahu mulai menoleh ke arah kami. Aku duduk dengan gelisah, sepenuhnya merasa serba salah.
"Keluarin aja, Ka..."
Raka mengangguk dalam-dalam, lalu mengusap matanya yang sembab. Ini pertama kalinya aku menyaksikan Raka menangis sejak pertama kali kami berkenalan di seleksi penempatan unit St. X.
"Gue betul-betul nggak menyangka, Jo..."
Aku juga. Tapi aku tidak mengatakannya. Kuusap-usap punggung Raka, berharap dia merasa lebih baik. Jika seisi perpustakaan terusik gara-gara tangisannya, bisa-bisa kami diusir pergi.
"Terus lo bakal gimana sekarang, Ka?"
Raka mendongak. Dua butir air mata meluncur jatuh dari pelupuk matanya. "Gue juga nggak tahu. Tapi mereka berantem parah banget Jo. Gue nggak pernah ngeliat nyokap teriak-teriak seperti itu."
"Orangtua lo nggak bakal pisah, Ka."
Tangis Raka menghebat dan aku menyesal telah menyinggung soal cerai. Perkelahian orangtua adalah hal yang asing bagiku karena aku tidak pernah melihat Mami dan Papi cek cok seumur-umur. Tapi Raka sedang mengalaminya dan dia terguncang hebat.
"Nyokap gue bilang kalau dia sebenarnya udah tahu dari dulu kalau Bokap udah nggak setia. Tapi Bokap masih ngotot Jo. Gue bingung yang mana yang benar. Di satu sisi gue nggak ingin nyokap gue disakiti sementara di sisi lain gue percaya sama Bokap..."
Sejak kami naik ke kelas sebelas, kondisi keluarga Raka memang agak goyah. Sebelumnya Raka pernah beberapa kali memberitahuku soal permasalahan yang dialami ayah dan ibunya. Rupanya belakangan sudah jadi semakin parah.
"Lo nggak coba tanya ke mereka sendiri-sendiri?"
"Udah Jo. Dua-duanya kekeuh. Nyokap bilang dia udah sering mergokin bokap jalan sama dokter Alda. Sementara kata Bokap, dokter Alda itu teman baiknya sejak SMP dan kebetulan saat ini mereka sedang praktek di rumah sakit yang sama dan satu poliklinik pula, makanya sering bareng..."
Penjelasan ini malah membuat penilaianku semakin kabur. Dari luar, tidak ada yang bakal curiga kalau kedua orangtua Raka ternyata tidak akur. Ibu Raka, Tante Feli adalah wanita paling supel yang pernah kukenal, beliau mengepalai selusin organisasi dari tingkat kelurahan sampai provinsi. Sementara ayah Raka adalah dokter ahli jantung yang sangat terkenal di kota kami.
"Lo berdoa aja, Ka. Minta petunjuk..." Hanya itu solusi yang bisa kupikirkan. Aku tak tahu apa-apa soal prahara orang tua seperti ini. Umurku tujuh belas tahun! "Nggak usah terlalu lo pikirin. Tahun depan kita udah harus siap-siap buat Ujian Nasional."
Raka menggeleng-geleng dan mulai menangis lagi. Aku bisa merasakan kepedihan dan ketakutan yang dalam dalam tangisannya Raka. Sebagai anak tunggal, perceraian sudah pasti akan sangat menyakitkan buat Raka. Dan demi apa pun, aku tidak mau hal itu menimpa sahabatku.
"Gue nggak bakal balik ke rumah, Jo."
"Lo harus balik ke rumah, Ka. Mereka tetap orangtua lo."
Raka menatapku dengan matanya yang merah dan basah. "Gue nggak kuat lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top