Delapan


"Terus dia selamat nggak?"

"Hah?"

Kuputar kursiku ke arah Nindy. Gadis itu sedang bersandar di meja keyboard sambil menopang dagunya yang lancip, matanya yang besar terpaku padaku.

"Dia selamat nggak?"

"Siapa?"

"Fae," kata Nindy. Melihat kebingunganku, diputarnya layar komputernya ke arahku.

Aku langsung panik. "Wah. Itu... aduh. Lo ngapain baca-baca?"

"Gue kebetulan ketemu..." Nindy menunjuk monitor dan tersenyum. "Menurut gue ceritanya bagus kok. Gue suka. Ini novel pertama lo?"

Aku betul-betul lupa telah menyimpan novel itu di komputer usang yang sekarang ini digunakan Nindy. Selama ini aku sudah mencoba menunjukan sikap cool yang tepat di depan gadis ini dan sekarang dia tahu bahwa aku suka melakukan hal cengeng macam menulis.

"Iya. Itu sebenarnya tugas Bahasa Indonesia zaman gue kuliah."

Nindy terkekeh. Dia meraih mouse dan mulai menggulir halaman-halaman dokumen Word itu. "Dan lo pasti nggak tega buat mengakhirinya."

"Well, sebenarnya gue udah nggak pernah nulis lagi."

"Oh, ya? Kenapa?"

Aku tidak tahu alasannya. Tak ada waktu? Writer's block? Sewaktu kuliah, aku merasa begitu menggebu-gebu menuangkan imajinasiku lewat tulisan, tetapi sekarang... setelah bekerja, aku merasa kehidupan nyata tidak memberi cukup ruang dan waktu untuk hal-hal melankolis seperti cerita fiksi.

"Nggak punya waktu," sahutku, memberikan jawaban klasik yang selalu diutarakan penulis saat mereka menghentikan tulisannya di tengah jalan.

"That's too bad."

Aku tidak menyesali cerita itu. Some things are not meant to be finished, that story is one of them.

Aku menatap Nindy dan nyengir bersalah. Dia membalas cengiranku. Aku baru mengenalnya selama satu minggu sehingga penilaianku padanya belum sepenuhnya terben-tuk. Sepertinya gadis ini memiliki banyak sisi, dan bagiku itu menarik. Seringkali dia bersikap cerdas, tapi tak jarang juga konyol.

"Lo keren tahu Jo, bisa nulis sampai seratus delapan puluh tiga halaman kayak begini. Skripsi gue aja cuma delapan puluh halaman dan gue muak abis ngerjainnya."

Aku tertawa. Dia gadis pertama yang menganggapku keren. "Iya, sebenarnya gue cuma nulis kalau ada waktu luang aja." Dan kalau kecewa karena realita hidup nggak seindah imajinasiku.

 "Lo hebat, ya!" Nindy berdecak. "Kalau punya waktu luang, biasanya gue tidur!"

Kami tergelak bersama. Sebetulnya aku juga, batinku. Tapi tentu saja aku tidak mengucapkannya, karena itu akan membuatku terlihat malas.

"Nah, terus apa yang terjadi sama si Fae?" tanya Nindy lagi. "Di sini kan dia lagi berusaha menyelinap di kastil si necromancer. Dia ketangkap atau nggak?"

Aku tak mengira Nindy akan tertarik membaca novel itu. Raka saja menyerah di halaman seratus karena menurutnya cerita itu terlalu njelimet akibat kecenderunganku menggunakan nama-nama berbau Celtic. Ben berdalih dia akan membaca novel itu jika sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Sedangkan Merwin... yah, dia tidak tertarik pada apa pun selain Claudia dan isu-isu kontroversial menyangkut gadis itu.

"Dia minta tolong temannya si pemanah untuk bersiaga di gerbang belakang dan memberi tanda, seandainya si necromancer menyadari kehadiran mereka."

Nindy menarik kursinya untuk mendekat ke arahku dan mencondongkan tubuhnya dengan tertarik. Wow, apa yang dia lakukan?

"Terus?"

"Terus?" Apa, ya? "Rahasia."

Nindy bergeser semakin dekat. "Rahasia?"

"Iya, rahasia." Detak jantungku mulai abnormal.

Alis Nindy berkerut. Dia memajukan tubuhnya hingga ujung jari-jarinya menyentuh lututku. Aku mencoba berkelit mundur tapi terhadang meja kerjaku sendiri.

"Gue nggak ngerti Jo. Kedatangan Fae ke kastil itu memang dirahasiakan, kan..."

"Bukan itu maksud gue..." Kepanikan melandaku. Kami sudah begitu dekat sekarang sehingga aku bisa melihat pupil mata Nindy melebar. Ini terlalu dekat.

"Apanya yang rahasia?"

Kami berdua terlonjak dan hampir bertabrakan, untung saja aku cukup tahu diri untuk memalingkan wajah ke samping. Steven berdiri di ambang pintu, dan wajahnya yang mirip tikus mengernyit, pertanda tidak suka dengan yang apa sedang dilihatnya saat ini.

"Jojo nulis novel," jawab Nindy lugas seolah Steven hanya bertanya soal cuaca. "Tapi nggak diterusin. Sayang banget kan, Kak. Katanya cerita selanjutnya masih rahasia."

Pemahaman muncul di wajah Steven, dan aku betul-betul benci melihatnya. "Ooh, novel yang itu! Masih lo lanjutin Jo? Gue pikir udah mangkrak dari sejak lo masuk ke sini."

Brengsek. "Nggak mangkrak. Gue cuma nggak sempat aja kok."

Steven anggun menghampiri meja kerjanya dengan anggun. "Angga kirim email, minta dibikinin kartu ucapan ulang tahun buat temannya. Udah lo bikin?"

Nindy menggeser kembali kursinya ke depan komputer tua itu dan mulai menekuni lagi novelku, seolah interupsi dari Steven bukan apa-apa. Ada yang salah dengan gadis itu.

"Gue... belum cek email."

Steven terperangah. Salah. Pura-pura terperangah. "Belum cek email? Dari tadi?"

Kuraih mouse dan segera kubuka kotak masuk email kantorku. Tidak ada satu pun email baru.

"Nggak ada email baru, Stev."

Steven menggerakan mouse komputernya. Lalu tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi pertanda sebuah email baru saja masuk. "Tuh, udah gue forward ke elo. Sekarang ada kan?"

Jahanam.

Nindy mulai bersenandung. Lagu Rolling in The Deep-nya Adele. Aku memusatkan perhatianku padanya dan mencoba menahan diri untuk tidak membalas Steven dengan cacian. Tidak ada apa pun yang bakal menggangguku dari makhluk cantik ini. Termasuk rekan kerja brengsek perusak kesenangan orang lain.

Nindy menoleh. Rupanya dia tahu aku sedang mengamatinya. Dia tersenyum. Dua lesung pipi bertengger di pipinya. Dia... cantik. Ya, itu sebutan yang tepat untuk gadis ini. Kubalas senyumnya. Bulu kudukku meremang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top