(c) Serangan Fajar

[Paham, kan, sekarang makna dari judul bab nya? Wkwk. Nikmatin, deh. Jangan lupa komennya 50 di masing-masing bab! Jangan males vote nya, yes. Follow juga akun wattpad ini dan instagram (at)freelancerauthor]

Setelah mendapatkan serangan tak terdeteksi, Teija menjadi sangat berhati-hati untuk mendekati Nova. Dia sudah pasti berusaha berpikir sendiri apa yang sudah salah dilakukan hingga diberi bogem mentah dibagian inti tubuhnya. Dari apa yang Teija ingat, perempuan itu marah setelah dia mengatakan bahwa Nova tak cantik. Sudah jelas itu adalah alasan terbesarnya. 

Rupanya sangat penting untuk bicara hal baik di depan perempuan. Mengatakan kejujuran saja bisa berdampak buruk pada masa depan Teija. Menghadapi mamanya tidaklah sesusah menghadapi Nova. Pasalnya, Teija sudah mengenal tubuh perempuan dan itu adalah tubuh Nova. Rasanya akan sangat menyakitkan jika menahan diri. Pantes aja papa sering gelisah kalo mama ngambek. Bukan masalah tidur di luarnya itu, tapi perkara tak bisa mendapatkan jatah. 

"Kok, di luar, Bro?" 

Agus rupanya memang senang sekali mengganggu waktu seseorang. Padahal tadi Teija bisa melihat kalau kakak kedua Nova itu menonton televisi bersama saudaranya yang lain. 

"Lagi pengen aja, Bang."

Agus duduk di kursi tunggal yang kosong. Hilang sudah keinginan Teija untuk merenung sendiri. 

"Rokok," tawar Agus pada adik iparnya itu. 

"Nggak, Bang. Saya nggak ngerokok."

"Kenapa? Takut dimarahin Nova? Biasanya temen-temen gue yang punya yayang pasti takut, tuh. Mendadak alim kalo punya pasangan."

Teija tidak begitu. Dia tidak takut dengan Nova, bahkan perempuan itu juga tak peduli dengan kehidupan Teija sejak awal. Perempuan itu tak melarang-larang Teija sama sekali. Bahkan saat tahu Teija menonton film dewasa, Nova malah menanyakan apa judulnya. Dari sanalah terkadang Teija malah lebih berhati-hati untuk melakukan sesuatu. Bukan apa-apa, dia hanya tak mau Nova malah ikut-ikutan. Untuk urusan rokok, Nova juga tak melarangnya. Teija pernah mencoba rokok, tapi merasa tak nyaman mengisapnya. 

"Nggak, sih, Bang. Nova nggak pernah peduli saya mau ngapain. Emang nggak nyaman aja ngerokok."

Agus tidak merasa tersindir atau apa pun itu. Dia dengan santainya merokok dan menaikkan sebelah kakinya ke kursi sembari menatap langit malam. 

"Seneng banget si Nova dapet suami kayak lo. Nggak ada ribet-ribetnya. Malah adek gue sendiri yang ribet."

Teija tidak menyangkal mengenai hal itu. Nova memang 'ribet' seperti apa yang Agus katakan. 

"Lo nggak nyesel dinikahin sama Nova?" tanya Agus. 

"Hm? Kenapa harus nyesel, Bang?"

Agus mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya lebih dulu sebelum membalas ucapan Teija. "Adek gue nggak cantik. Apalagi dia suka nyeleneh. Otaknya juga standarlah. Yang bikin lo nggak keberatan nikah sama Nova apaan, sih?"

Menjawab pertanyaan ini tak bisa sama persis seperti Teija menjawab Nova. Agus adalah pria, mereka berdua mengandalkan logika dalam memilih apa pun, termasuk perempuan. Sudah banyak bukti bahwa seorang pria itu memilih paras seorang wanita lebih dulu sebelum menilai lain-lainnya. 

"Kayaknya karena udah terbiasa, sih, Bang. Saya nggak keberatan karena saya kenal Nova. Kita tetanggaan udah lama juga, latar belakang keluarga Nova juga saya tahu. Nova juga sebenernya nggak nyusahin meskipun ribet. Dia cukup mandiri untuk beberapa hal."

"Kalo soal perasaan?"

Teija yakin dirinya belum memiliki rasa cinta pada Nova. Seperti yang dikatakannya pada Agus, ada rasa terbiasa. Perasaan romansa tidak menjadi faktor terbesar dalam pernikahan tersebut. 

"Jujur, belum ada, Bang. Tapi bukan berarti saya nggak suka sama Nova, apalagi--" badannya. 

Teija menghentikan kalimatnya karena tak mungkin membahas itu di depan kakak Nova. Namun, Agus seolah bisa menebaknya hingga tertawa dan memaki tak serius. "Anjing. Pasti lo udah ketagihan sama Nova, ya?" 

Teija tidak mengiyakan dan tidak menyangkal. Faktanya Teija memang suka dengan kegiatannya dan Nova. 

"Nah, kalo udah ketagihan begini yang susah. Berarti lo di sini dari tadi karena bingung mau gituan sama Nova tapi di rumah masih pada aktif berkeliaran, ya? Pantes muka lo suram banget."

Lagi dan lagi Agus menjawab dan menyimpulkan sendiri. Sifat itu mirip dengan Nova, dan Teija memilih diam saja. 

"Gue kasih saran boleh nggak?"

"Saran apa, Bang?"

"Lo lakuin pas menjelang subuh. Pas fajarlah! Di rumah biasanya sepi jam segitu. Kalo masih jam 2 atau 3 kadang masih ada aja yang jadi kalong. Di bawah kamarnya Nova itu ada kamarnya Julian, jadi amannya main pas fajar."

Teija menahan napasnya sejenak, mulai memikirkan fakta bahwa tak ada anggota keluarga di rumah itu yang bisa dibilang normal. Namun, bukan berrati Teija tak menyerap ilmu dari kakak Nova yang sinting juga itu. Kini tampaknya Teija benar-benar tertular sintingnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top