(c) Naik Tingkat
[Ihiiiiy. Sudah makin naik Tingkat beneran pasangan ini. Huru haranya dateng perlahan pokoknya. Ini cerita super santuy soalnya. Nanti mulai bab sepuluh(hitung sendiri sesuai judul bab) aku akan mulai pake juga sistem baca duluan di Karyakarsa. Sembari nunggu target komennya terpenuhi. Harganya gak akan mahal-mahal, sesuai sama jumlah kata setiap bab nantinya. Kalo dua ribuan kata, ya harganya 2ribu. Gitu aja. Happy reading.]
Seperti yang sudah dibicarakan, akhirnya pasangan muda itu benar-benar pindah ke kontrakan milik nenek Nova. Tempat yang biasanya hanya disambangi ketika ingin menghabiskan waktu berdua tanpa memusingkan omongan anggota keluarga, kini menjadi tempat tinggal baru bagi keduanya. Harus Teija akui, memiliki saudara yang banyak memang memiliki sisi menguntungkan. Khususnya saat pindahan seperti ini. Meski tak banyak barang yang bisa masuk ke dalam kontrakan, tapi yang namanya merawat tempat tinggal baru memang melelahkan jika dilakukan sedikit orang.
Angkat sana, angkat sini. Gotong sana, gotong sini. Pasang sana, pasang sini. Bersihkan sana, bersihkan sini. Semuanya membutuhkan tenaga yang tak sedikit. Jika dilakukan beberapa orang saja, sudah pasti membutuhkan waktu lebih lama. Karena gotong royong anggota keluarga Nova, semuanya bisa selesai setelah jam makan siang. Hanya tinggal membereskan pakaian dan merapikan kamar. Tidak ada yang mau menyentuh area pribadi, membiarkan Nova mengurusnya sendiri ingin seperti apa.
"Makan dulu semuanya!" teriak Samila.
Wanita itu bolak balik diantar Agus untuk menyiapkan makan siang. Sedangkan mamanya Teija sibuk belanja sayur untuk mengisi lemari pendingin pasangan muda itu. Sungguh perbandingan yang sangat drastis. Ibu Nova yang sangat taktis memilih belanja pagi hari dan langsung memasaknya. Sedangkan mama Teija memilih menimbun bahan masakan dan tak tahu kapan waktu yang tepat agar tak malas untuk mengolahnya.
"Nero, mama udah tata sayuran sama buahnya di kulkas, ya."
Teija dan Nova kompak mengangguk. Makan siang hari itu terasa ramai karena kedua belah pihak keluarga berkumpul. Meski rumah kontrakan agak terasa sempit, tapi suasana seperti ini cukup menyenangkan.
Sayangnya, keramaian itu langsung berubah begitu keluarga Teija dan Nova pulang. Sepi langsung menyelimuti pasangan tersebut.
Kasur yang sudah Nova pasang seprai menjadi satu-satunya tempat yang paling diincar. Mereka berdua merebahkan diri setelah lelah pindah rumah.
"Jadi gini rasanya jadi pasangan nikah yang beneran nikah. Ternyata sepi juga, ya."
"Kalo gue malah udah biasa ngerasa sepi. Tapi karena kenal keluarga lo, rasanya agak aneh juga tinggal berdua doang kayak gini."
Menatap langit-langit kamar, keduanya tidak berbicara apa pun lagi. Meski masih begitu muda, keduanya mau tak mau harus berpikir dewasa. Mereka harus membiasakan diri dan tak mengeluh dengan apa yang mereka miliki saat ini.
"Lo besok masa perkenalan di kampus, ya?" tanya Teija.
"Hm. Di kampus gue nggak ada temen barengan lagi. Sendirian lagi, deh!" ucap Nova.
Akhirnya perempuan itu memilih masuk ke universitas dimana Janu kuliah dulu. Ya, begitulah seorang adik, pasti mengikuti jejak kakaknya. Meski Agus memilih kampus yang lain, Nova tak berniat kuliah di kampus yang sama dengan kakak keduanya itu. Nova bisa dijahili oleh Agus jika tak sengaja berpapasan.
"Gue nggak bisa anterin, Va. Gue juga harus ke kampus soalnya."
"Iya, gue tahu. Kan, udah sepakat juga gue naik bus trans."
Menjadi pasangan yang menikah disaat masih menempuh masa pendidikan, otomatis membuat mereka tak hanya memikirkan kondisi tempat tinggal, tapi juga akomodasi selama kuliah. Teija jelas akan menggunakan motor besarnya ke kampus ketika masa perkuliahan aktif dimulai nantinya. Sedangkan Nova harus mau menggunakan bus Trans Jakarta untuk pulang pergi kuliah. Uang saku yang mereka keluarkan harus dipikirkan baik-baik, dan tidak mengganggu kebutuhan rumah. Semua sudah direncanakan, entah eksekusinya nanti bagaimana.
"Jangan sok tebar pesona lo nanti!" ucap Nova tiba-tiba.
Masalahnya, Nova mengucapkan peringatan itu dengan nada kesal. Bagaimana mungkin Teija tidak kebingungan jika ditodong begini?
"Lah? Siapa yang suka tebar pesona? Yang ada lo sendiri, Va. Gue mah nggak pernah deketin cewek dari zaman sekolah, kalo lo malah dideketin mulu sama temen sekelas lo itu."
"Niki??? Mana ada dia ngedeketin? Ini harus kita lurusin, ya, Ja. Niki itu cuma iseng. Dia kayaknya curiga aja sama interaksi kita berdua. Gue aja judes kalo dia nanya sesuatu."
"Ya, apa pun itu. Intinya malah lo yang sering deket sama lawan jenis."
Nova menghela napas panjang. "Udahlah gue ngalah kali ini. Kalo diterusin yang ada kita malah berantem."
"Yaudah, gue juga setuju. Daripada berantem soal nggak penting, mendingan kita berantem di kasur aja."
Nova langsung menatap lelaki itu dengan ngeri. "Anjir, Teja! Kenapa lo jadi makin mesum, sih?!"
"Mesum sama istri sendiri, Nova. Nggak ada salahnya. Kecuali gue mesum sama cewek lain. Mau lo?"
Nova menggeleng dengan cepat. Dia tak mau Teija berpaling darinya! Jika memang kegiatan bercinta bisa merekatkan hubungan mereka, maka Nova bersedia saja. Toh, baginya bercinta dengan Teija juga membuatnya terlena dengan kenikmatan, kenapa tidak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top