(c) Malam Pertama
[Bonus dini hari! Besok update kalo kalian juga komen dan vote nya semangat! Happy reading!]
Bukan hanya sekadar dugaan saja, nyatanya begitu mereka masuk ke dalam rumah, Agus sudah siap meledek mereka berdua yang terlihat bergandengan tangan. Agusta, Febrina, Meida, Julian, dan Septa memang selalu berkumpul di ruang keluarga dan menonton televisi bersama. Apa pun tontonannya, mereka akan secara bergantian jadwal mengikuti acara kesukaan masing-masing sesuai urutan lahir. Enam hari cukup untuk membagi tontonan secara adil, dan dihari ketujuh ayah mereka akan mengambil alih dengan sibuk menonton saluran berita.
Namun, karena mulai sekarang Nova tidak akan sibuk menonton bersama, maka satu hari kosong tambahan akan menjadi ajang rebutan. Mereka sibuk menggunakan metode 'batu, kertas, gunting' untuk menentukan siapa pemenangnya. Intinya rumah itu sangat ramai apa pun keadaannya.
Entah kebetulan atau memang sengaja, kali ini ada Arsaki dan Samila yang ikut berada di ruang keluarga. Padahal biasanya orang tua Nova sudah ngorok sejak jam delapan.
"Ulululu, yang abis indehoy! Cerah banget mukanya, nih!" goda Agus.
Nova yang sudah mantap tak ingin bicara sedikit pun hanya berdecak dan menggerakan bola mata kesal. Kakak keduanya itu memang luar biasa menyebalkan. Senang sekali mengejek orang. Lihat saja jika Agus nantinya menikah, Nova akan membalasnya lebih parah hingga pasangan lelaki itu akan kapok bertandang ke rumah orang tua mereka.
"Ibu, Ayah! Aku juga mau, dong, dipaksa nikah! Enak banget si Nopil bisa ena ena tanpa takut dosa."
Samila melirik anak keduanya dengan tatapan maut. "Jangan sembarangan kalo ngomong, ya, Gus! Kamu itu emang lebih tua dari Nova, tapi kelakuanmu justru bikin ibu nggak yakin, apa ada anak orang yang betah sama kamu karena hobinya main-main!"
Agus berakting seolah dadanya tertembak peluru besar. "Akh, Ibu! Ucapan Ibu setajam peluru TNI yang nyasar. Akh, tidak! Tolong!"
Arsaki dan Samila hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan anak kedua mereka. Sifat Agus jauh sekali dari Janu yang sangat tenang dan tegas. Namun, hingga kini, tak ada tanda-tanda bahwa Janu akan memiliki pacar. Anak tertua mereka itu terlalu serius menjalani hidupnya.
"Kalian berdua, ke balkon sebentar. Ayah sama ibu mau bicara." Arsaki akhirnya membuat semua orang terdiam penasaran.
Dengan langkah orang tua Nova lebih dulu memimpin, baik Nova dan Teija saling bertatapan penuh tanda tanya. Apa yang ingin kedua orang tua Nova bicarakan?
Begitu mereka berempat saling duduk berhadapan secara otomatis, diam-diam Teija dan Nova menarik napas dan mengembuskan perlahan karena tegang.
"Sebenernya ayah dan ibu nggak melarang kalian berduaan. Lagi pula kalian juga sudah menikah. Tapi masalahnya, pernikahan kalian masih siri. Kami, orang tua kalian, sudah sepakat menikahkan kalian secara legal setelah lulus SMA. Pernikahan kemarin tujuannya supaya kalian nggak mendekati hal-hal buruk yang nantinya akan membuat kalian menyesali masa muda. Kami juga cemas jika Nova hamil diluar nikah—"
"Ayah, Nova udah bilang berulang kali kalo nggak sampe kayak gitu sama Teja. Bahkan ibu dan mamanya Teja udah cek kandungan Nova. Nggak ada kehamilan!" sela Nova yang kesal.
"Iya, ayah tahu kamu nggak hamil. Kan, ayah cuma bilang cemas kalo kamu hamil duluan. Jadi, sebelum kalian keblablasan, kami nikahkan kalian lebih dulu."
Arsaki dan Samila sudah sangat mengenali putri mereka. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, ketimbang memilih melihat prakiraan cuaca yang seringnya tak cocok dengan keadaan semestinya.
"Ibu mau tanya, kalian sudah siap jadi orang tua muda?"
Nova dan Teija bertatapan penuh kebingungan.
"Hah? Ibu kenapa tanya gitu?" balas Nova.
Samila menghela napasnya dan menunjuk ke arah kaki Nova dengan dagunya.
"Ibu udah ngelahirin enam anak, loh, Nova. Kamu pikir ibu masih polos?"
Nova hanya bisa menggeram kesal karena sudah ketahuan oleh orang tuanya.
"Tante–eh, Ibu, yang salah itu Teija. Maaf karena nggak kuat nahan nafsu mudanya Teija."
Samila dan Arsaki menggelengkan kepala dengan kompak. "Kami tahu siapa dalangnya, Teija. Nggak usah dibela. Jawab aja, kalian siap jadi orang tua di usia yang sangat muda?"
Teija menatap Nova lebih dulu, ingin tahu apakah perempuan itu akan menjawab atau tidak. Namun, karena Nova melepaskan tautan tangan mereka, maka Teija mengerti bahwa perempuan itu menyerahkan jawaban pada sang suami.
"Kami pakai pengaman, Bu, Yah. Kami masih ingin mendaftar kuliah setelah lulus, jadi kami belajar banyak mengenai ... safety sex."
Arsaki dan Samila akhirnya mengangguk paham.
"Kami nggak larang kalian buat menuntaskan hasrat muda, tapi hati-hati. Dan jangan lagi melakukannya di luar! Di rumah, kan, bisa! Kalo ada temen sekolah yang lihat kalian gimana??" ucap Samila dramatis.
"Eh ... itu, Ibu ... kamar Nova di atas. Terus ... saudara Nova juga banyak."
Arsaki tertawa sedangkan Samila berdecak dengan kelakuan kedua anak itu.
"Di rumah kamu?"
"Mama saya suka asal masuk."
"Kuncilah!"
"Tapi mama saya punya kunci cadangan."
"Astaga, Teija. Ribetnya jadi kamu. Ibu sampe bingung mau kasih saran apa lagi!"
Samila menjadi gemas sekaligus tak habis pikir dengan alasan yang dikemukakan menantunya itu.
"Yaudah, pake kontrakan kosong punya neneknya Nova aja. Besok biar anak-anak ayah suruh bantuin bawa perabotan simple buat kalian. Pake pas lagi gawat darurat, sekalian belajar tinggal pisah walaupun nggak sepenuhnya."
Teija tahu pernikahannya dan Nova ini terbilang aneh, tapi dia tidak merasa aneh menjalaninya. Sepertinya ini keputusan yang tepat untuk Teija ambil. Dia tak menyesalinya. Ya, setidaknya dia menyimpulkan demikian karena belum ada satu minggu menjadi pasangan pengantin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top