(b) Teija Cupu!

[Repost 19 Juli 2024. Jangan lupa follow Instagram freelancerauthor, ya.]

Teija mendapat jatah membeli materai yang ternyata tak semudah itu untuk dilakukan. Selalu ada pertanyaan dari tindakan yang diambil. Apalagi sekarang dia ada di rumah keluarga Nova. Saat kakinya menapak turun tangga, semua mata otomatis tertuju padanya. Mulai dari Januar, Agusta, Meida, Julian, dan Septa. Kelima saudara Nova kompak menatap Teija yang langsung merasa nervous menjadi pusat perhatian.

"Hei, brother! Kok, turun? Masih jam delapan, nih. Nggak lanjut?" Agusta, yang lebih sering disapa Agus, memberikan sapaan lebih dulu.

"Aduh!" keluh Agus.

Tentu saja yang berani memukul bagian belakang kepala Agus adalah Janu, si sulung yang sejak acara berlangsung tak terlihat nyaman dengan kehadiran Teija sebagai anggota keluarga baru.

"Jangan dengerin Agus. Kamu mau ke mana? Pulang ke rumah?" tanya Janu dengan tegas.

Janu baru lulus kuliah dua tahun lalu, pria itu sekarang bekerja di salah satu perusahaan asing yang pekerjaannya dilakukan dari mana saja. Sudah pasti mengikuti jam kantor asing tersebut. Pembawaannya memang sangat dewasa, mungkin karena pengaruh anak pertama dan sudah terbiasa mengurus kelima adiknya.

"Bukan, Bang Janu. Saya mau ke fotokopi."

"Ngapain?"

"Beli materai sepuluh ribu," jawab Teija.

Janu melirik ke arah kamar orang tuanya yang tertutup. Sepertinya orang tua mereka sudah istirahat lebih dulu.

"Agus, anterin Julian beli materainya!" titah anak sulung itu.

"Lah? Kok, aku???" ucap Julian tak terima.

Janu tidak mengindahkan protes yang kedua adiknya lakukan. Meski tak suka disuruh, tapi keduanya tak membantah Janu yang kelewat tegas melebihi ayah mereka. Apalagi sekarang Janu sudah memiliki penghasilan, yang membuat adik-adiknya akan meminta jatah ini itu jika tak dituruti orang tua mereka.

"Bang Janu, saya bisa beli sendiri." Teija yang tak enak hati mencoba menghalau perintah Janu.

"Kasih uangnya sama Julian. Biar dia yang beliin. Ibu udah kasih aturan, kamu dilarang keluar rumah dulu."

Teija tidak bisa membangkang sama sekali. Sama seperti adik-adik pria itu, aura Januar Saki memang tak bisa dibantah.

"Agus, bawa motor yang bener. Jangan sampe Julian kenapa-napa."

"Iya, abang Janu bawel!"

Setelah kepergian keduanya, Teija menjadi bingung harus melakukan apa. Dia ingin naik ke atas, tapi materainya belum ditangan. Rasanya juga tak sopan jika nantinya membuat Agus atau Julian yang mengantarkan materai itu ke kamar Nova.

"Itu buat tugas sekolah?" tanya Janu.

"Hah? Oh, iya, Bang!"

Janu mengangguk. "Ada lagi yang harus kamu ambil ke rumah?"

Teija menggelengkan kepala cepat. Agak canggung karena sedikit berbohong mengenai materai itu.

"Kamu tunggu aja di kamar. Biar nanti Julian yang kasih kalo udah sampe. Biasanya, Agus sama Julian kalo udah keluar sekalian jajan. Jadi, agak lama. Atau kamu mau gabung nonton sama kita di sini?"

Teija hampir saja menggelengkan kepala dengan cepat lagi. Sikap seperti itu jelas tak sopan.

"Hmmm, makasih, Bang. Tapi saya naik aja, kayaknya Nova juga butuh bantuan."

"Oh, yaudah kalo gitu."

Teija menaiki anak tangga lagi dengan mengembuskan napas perlahan. Dia benar-benar tidak memahami situasi ini. Sepertinya lebih baik dia dan Nova mengontrak berdua saja dari pada canggung dan kikuk di rumah orang tua. Namun, Teija juga sadar diri belum memiliki penghasilan sama sekali. Uang mas kawin saja itu adalah uang orang tuanya. Tiga puluh juta adalah makna dari tanggal akad nikah yang terlaksana. Jika saja pernikahan ini tidak mendadak, pasti lebih banyak mas kawin yang keluar.

"Mana materainya?" ucap Nova.

"Dibeliin kakak sama adik lo."

"Kan, gue nyuruhnya lo, Ja. Kenapa lo malah seenaknya nyuruh sodara gue?"

Teija berdecak dan melangkah menuju ranjang Nova.

"Siapa yang berani nyuruh sodara lo, Va? Abang Janu yang kasih perintah. Katanya gue nggak boleh keluar rumah."

Kali ini giliran Nova yang berdecak. Gadis itu sudah selesai mengetik poin utama kontrak yang diinginkan. Hanya perlu mencetaknya dan memberi materai saja.

"Lo mau liat isi kontraknya nggak? Siapa tahu lo mau tambahin."

Teija tidak berkata, dia beranjak melihat layar monitor laptop Nova dan membaca setiap poin konyol di sana.

THE BABY'S CONTRACT

Pada hari ini, Jumat tanggal Tiga Puluh bulan Maret tahun Dua Ribu Delapan Belas (30-3-2018), yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Nama : Nova Saki

NIK : 1370002400151145

Pekerjaan : Pelajar

Umur : 18

Alamat : Jl. Kenangan No. 15 Jakarta

Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.


2. Nama : Teija Nero

NIK : 1730004567722943

Pekerjaan : Pelajar

Umur : 18

Alamat : Jl. Kenangan No. 24 Jakarta

Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

Bahwa sebelum ditandatanganinya Surat Perjanjian ini, Para pihak terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa pernikahan PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA tidak melibatkan kehamilan dan kelahiran bayi di dalamnya.

2. Bahwa PIHAK PERTAMA berhak menjalani hidup tanpa paksaan mengandung dan melahirkan bayi untuk PIHAK KEDUA.

3. Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA boleh menjalani kehidupan bersosialisasi selayaknya remaja pada umumnya.

4. Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA boleh mempelajari seks edukasi bersama dan mempraktikannya.

5. Bahwa PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA boleh melibatkan kehamilan dan kelahiran bayi ketika mereka siap untuk bercerai.

Demikianlah surat perjanjian kerjasama ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), untuk masing-masing pihak, yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup, yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dan berlaku sejak ditandatangani.

Jakarta, 30 Maret 2018

Pihak Pertama  Pihak Kedua

............................ ..............................

(Nova Saki) (Teija Nero)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top