(b) Naik Tingkat
[Ihiiiiyyy. Mana suaranyaaaaa??? Ayo, dong, komennya makin semangat! Masa awal-awal doang rajin komen. Makin kesini komennya makin jauh bgt :( Aku tungguin, pokoknya!]
"Lo, ngapain dari tadi melotot begitu, sih, Va?"
Mereka berdua kini sudah merebahkan diri di ranjang milik Nova. Meski sudah mengubah dalam mode istirahat, Teija masih bisa melihat tatapan tak biasa dari istrinya. Sejak tadi memang Nova tampak tak biasa saja saat melirik Teija, dan lelaki itu bisa merasakannya.
"Lo masih nggak ngerti juga?" ucap Nova.
"Apaan? Gue nggak paham apa-apa. Orang dari tadi lo cuma ngeliatin gue. Mana ngintilin melulu pas gue lagi ngobrol sama kakak-kakak lo."
Nova memiringkan tubuhnya, membuat Teija terkejut. Wajah Nova yang biasa saja tidak membuat jantung Teija berdebar. Namun, tubuh perempuan itu yang merapatkan diri membuat Teija tak tenang.
"Lo seneng banget, ya, bisa pisah dari gue?"
Teija yang tak memahami apa pun langsung membalas. "Apaan, sih? Kenapa jadi bahas pisah?"
"Ya gue bahaslah! Lo bakalan kuliah di kampus negeri kebanggaan bangsa, sedangkan gue? Kita beda kampus nantinya, Ja! Lo sadar nggak, sih, kalo kita udah beda kampus, kita bakalan makin jarang ketemu!"
Teija menghela napasnya, antara lega dan tak menyangka pemikiran Nova. Memang semua yang keluar dari Nova itu serba berlebihan. Teija tidak akan heran lagi dengan pemikiran perempuan itu.
"Astaga, Va. Jadi ini yang bikin lo sinis banget lirik-lirik gue dari tadi? Karena kita bakalan beda kampus?"
"Hm! Bilang sama gue, lo seneng jauh-jauh dari gue, kan?!"
Tanpa menunggu waktu lebih lama, Teija langsung menoyor kening istrinya itu hingga mendongak. Teija tak habis pikir dengan alasan sederhana yang ingin dibuat Nova menjadi lebih rumit.
"Gue bakalan pulang pergi, Va. Nggak ada istilahnya ngekos. Kan, tadi gue udah komit buat kita tinggal berdua. Apa pun kondisinya, gue bkalan jalanin kehidupan baru kita berdua selayaknya orang dewasa. Kita udah bukan anak SMA lagi, otomatis pemikiran kita juga dituntut lebih mateng lagi. Nggak usah ribet soal beginian, gue nggak akan ngekos cuma karena kita beda kampus. Duitnya bakalan gue bagi buat nafkahin lo dan ongkos kuliah."
Nova terlihat tidak lagi segusar sebelumnya. Dia lebih tenang setelah mendapatkan penjelasan dari Teija. Sebenarnya bukan apa-apa, Nova memang tak mau berjauhan dari Teija. Meski ketika dekat mereka berdua selalu berdebat, tapi Nova memang tak suka bila mereka harus mengalami hubungan jarak jauh. Ada sesuatu yang tidak asing di dalam hati Nova dan sesuatu itu membuatnya tak tenang bila tak ada Teija di sisinya. Kira-kira apa namanya, ya?
"Heh! Ngelamun apa lagi?" tegur Teija.
Nova menggelengkan kepalanya, tak mau bila Teija mengetahui pertanyaan di dalam pikiran Nova.
"Lo beneran bisa kuliah sambil kerja? Lo beneran punya penghasilan buat kita berdua?"
Teija menarik pinggang perempuan itu, memeluknya dan menyusupkan wajahnya diantara leher dan dada Nova.
"Pertanyaan itu nggak begitu penting, justru yang lebih penting adalah, apa lo bisa ngatur keuangan? Karena gue nggak mungkin kasih penghasilan setara pegawai tetap ke lo. Terus kebutuhan macam apa yang bisa lo handle karena kalo kita tinggal berdua doang, otomatis kebiasaan lo beli barang secara impulsif bakalan jadi masalah."
Nova tidak mendorong kepala suaminya itu, dia malah merengkuhnya dan menghela di atas kepala Teija. "Jadi beneran kita bakalan jalanin pernikahan yang serumit itu, ya?"
"Lo pikir waktu kita dinikahin, itu nggak rumit?"
Ketika mereka dinikahkan, Nova tak terlalu banyak memikirkan hal rumit. Karena masing-masing orang tua mereka masih bersedia menanggung kehidupan mereka berdua yang masih sekolah. Sekarang, ketika mendapatkan sindiran dari kakak tertua Nova, jadilah keputusan tinggal berdua saja membuat Nova ketar ketir sendiri.
"Lo nggak siap?" tanya Teija yang menjauhkan wajahnya untuk melihat ekspresi Nova.
"Siap nggak siap. Harus bisa belajar tanggung jawab sama diri sendiri dan rumah tangga kita, kan? Lagian gue juga nggak nyaman kalo tiap pagi dibikin canggung sama keluarga gara-gara lo yang hobinya main menjelang subuh!"
"Ya, gimana? Seenggaknya adek-adek lo nggak ikut paham. Cuma Bang Agus sama orang tua lo aja yag paham."
"Bang Janu juga, bego!"
"Ya, tapi kan nggak banyak omong."
Nova tidak membahas mengenai hal itu lagi, dia merapikan bantal kembali dan bersiap tidur. Namun, Teija menghentikan gerakan perempuan itu yang berniat membelakangi sang suami.
"Kalo lo keberatan main menjelang subuh, yaudah sekarang aja."
"Hah??? Maksud lo ... sekarang lo lagi pengen?"
Teija mengangguk, lelaki itu bahkan tanpa sungkan menunjukkan ereksinya di depan Nova.
"Teja!! Nggak kira-kira mesumnya!"
"Gue mesum juga karena lo, Va."
Nova memicing tak terima. "Kok, gue?"
"Ya, lo. Lagian malah tadi nempel-nempel, mana gue kecium bau body lotion lo segala. Ya, makin naiklah adek jantan gue ini."
Nova memang kesal pada Teija, tapi dia juga mau-mau saja melebarkan kaki dan memberikan ruang bagi suaminya itu. Ya, gimana ... gue diem-diem juga suka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top