9. Once Upon A Dream

"Daisy putus dengan Philip," ucap Beaufort pelan setelah menyesap anggurnya sesaat. Setetes anggur bertengger di ujung bibirnya seolah memperolokku dengan kenyataan bahwa ternyata Daisy dan Philip memang memiliki hubungan. Mereka adalah sepasang kekasih dan kenyataan bahwa mereka telah putus tidak mengubah apa pun yang aku rasakan saat itu. Hatiku tetap terasa perih dan hancur.

Aku meletakkan garpu dan sendokku di atas piring, terlampau keras hingga pemuda itu kembali mengerling ke arahku. Beaufort barangkali telah menyadari perubahan sikapku, sehingga saat pandangan kami bertemu, ia malah menunduk menatap piringnya yang nyaris kosong. Ia menghindari tatapanku dan itu semakin membuat hatiku mendidih.

Aku nyaris membuka suara, tetapi kuurungkan saat melihat Tatianna mulai membuka mulutnya. Wajah gadis itu masih diliputi ketidakpercayaan, seolah hal buruk semacam itu seharusnya tak mungkin terjadi pada Daisy dan Philip.

"Itu berita yang sangat mengejutkan," komentar Tatianna seraya meletakkan garpu dan sendoknya pelan di atas piring. Ia melipat kedua lengan pucatnya di atas meja makan dan tubuhnya sedikit condong ke arah Beaufort. "Jadi, kenapa dia mencarimu?" tanyanya lagi dalam suara setengah berbisik.

Beaufort mengedikkan bahunya tak acuh. "Dia bertanya padaku di mana Philip berada. Awalnya kupikir mereka hanya bertengkar."

Tatianna memicingkan matanya, tampak mempertimbangkan sesuatu. "Dari mana kau tahu jika mereka putus, barangkali mereka memang hanya bertengkar? Dan, kenapa Daisy malah mendatangimu, bukankah dia tahu bagaimana hubunganmu dengan Philip." Gadis itu mengembuskan napas panjang seolah permasalahan Daisy dan Philip adalah sebuah perkara yang sangat rumit sekaligus sangat penting baginya. "Barangkali Philip sudah terlalu lelah karena sering ditinggal gadis petualang itu. Dan, aku tidak percaya jika Daisy tidak punya lelaki lain di setiap tempat yang ia singgahi."

"Sayang, itu sama sekali bukan urusanmu!" William menyela mengingatkan kekasihnya seraya meletakan jari telunjuk pada bibir. Sementara, Tatianna mendelik tak suka pada lelaki berkepala botak yang duduk tepat di sampingnya.

Beaufort mendengkus keras. Ia melirikku sekilas sebelum menanggapi perkataan Tatianna. Jujur saja perasaanku saat itu sangat tidak karuan. Ucapan Tatianna, perkataan Beaufort, dan kejadian yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri di rumah Philip bagaikan potongan puzzle yang harus kususun agar aku dapat memahami semuanya, memahami Philip dan perasaannya.

"Mereka terlihat seperti itu. Lagi pula, Daisy menyebut jika dia tak akan kembali lagi pada Philip." Beaufort kembali melirikku. Kali ini salah satu sudut bibirnya tertarik. "Seseorang menyarankannya untuk menemuiku. Lucu sekali, bukan?"

Aku tersedak, terlebih saat itu aku sedang menyesap anggurku. Tatianna menepuk punggungku pelan saat aku mulai terbatuk dan dia menyodorkan selembar sapu tangan agar aku membersihkan sisa anggur yang tertinggal di pinggir bibirku. Aku mendelik pada Beaufort, sementara pemuda itu terkekeh sembari menatap pinggiran gelas anggurnya. Dia menyindirku.

"Kau baik-baik saja?" tanya Tatianna dengan raut wajah prihatin.

Aku mengangguk. Untungnya peristiwa itu tak menimbulkan kecurigaan siapa pun, kecuali Beaufort. Dia terus mencuri pandang padaku sembari tersenyum mengejek.

"Bukan begitu. Maksudku, harusnya dia tahu jika kalian tidak akur. Aku hanya tak habis pikir kenapa dia bisa menanyakan keberadaan Philip padamu. Bukankah itu aneh." Tatianna melipat lengannya di depan dada. Kelihatannya ia tak tertarik lagi untuk menghabiskan makanannya.

Marthin yang sedari tadi hanya mengamati teman-temannya akhirnya membuka suara. Dia terkekeh. "Barangkali dia mengincar Beaufort, setelah mengencani Philip selama 2 tahun. Dia pasti bosan dengan lelaki dingin dan kaku seperti kakakmu."

Dua tahun? Hatiku terasa diremas. Jadi Daisy dan Philip telah menjalin hubungan selama dua tahun. Hal ini menjelaskan betapa dingin dan tak acuhnya sikap pemuda itu padaku. Tiba-tiba sebagian hatiku rasanya ingin menyerah saja. Bagaimana mungkin aku menghapus kenangan dua tahun Daisy dan Philip?

🌹

Setelah acara makan yang terasa sangat lama dan membuat hatiku tak nyaman, Beaufort lantas mengajak kami naik ke lantai dua restoran. Lantai dua tempat itu kurang lebih dengan desain interior di  lantai bawah, beberapa meja dengan kursi yang menghiasi taplak meja bermotif bunga-bunga lembut tersebar di seluruh penjuru ruangan. Namun, ada yang berbeda dari tempat itu, sebuah panggung mini berada di bagian depan ruangan, menjadi kiblat seluruh meja di sana.

Hiasan lampu-lampu kecil aneka warna berkelip pada bagian atas panggung. Tanaman hias dalam pot berjajar rapi di bawahnya. Sementara seorang gadis duduk di tengah-tengah panggung sembari menggenggam sesuatu yang membuat suaranya terdengar jauh lebih besar dan jelas . Beberapa pria yang bermain alat musik memposisikan diri di belakang gadis penyanyi itu. Suara musik menghentak pendengaran berpadu dengan suara lembut sang penyanyi.

Aku terpana untuk beberapa saat lamanya hingga tak menyadari saat Tatianna dan kedua temannya telah duduk dan mengambil tempat di salah satu sudut ruangan. Aku masih berdiri dan menatap dengan perasaan kagum di depan panggung mini itu sampai Beaufort menepuk bahuku pelan.

"Kau menyukainya?" tanya pemuda itu tepat di depan telingaku. Embusan napasnya yang hangat membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh padanya lantas mengangguk riang.

"Kau ingin bernyanyi?" Beaufort bertanya lagi.

Aku membelalak. Raut wajah Beaufort tampak serius. Dia tidak sedang memperolokku atau yang semacamnya. Aku mengedip beberapa kali dan tak mendapati perubahan pada wajah pucatnya. "Aku ... tapi aku tak menghafal satu lagu pun," jawabku ragu. Tentu saja menyanyi dan menghafal lagu sama sekali bukan masalah bagiku. Aku dianugerahi kemampuan bernyanyi dan memainkan alat musik sejak lahir, tetapi aku meragukan apakah anugerah itu masih berlaku setelah kutukan dan tidur panjang yang aku alami.

Beaufort mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah, kemudian satu lengannya menarik pergelangan tanganku pelan ke arah panggung. "Aku akan membantumu. Kita akan bernyanyi bersama. Kau mau?"

Dia menatapku dengan sorot mata penuh pengharapan dan aku tak kuasa menolaknya. Jauh di lubuk hatiku, aku sangat ingin bernyanyi. Barangkali nyanyianku dapat mendatangkan Merryweather di mana pun dia berada.

Aku mengangguk dan membiarkan Beaufort menuntunku naik ke panggung. Gadis penyanyi yang sebelumnya menjadi pusat perhatian di atas panggung telah menyelesaikan lagunya. Dia tersenyum padaku sekilas, sembari menyerahkan benda hitam yang belakangan kuketahui bernama microphone. Para lelaki pemain musik mengikuti gadis itu setelah memberi salam pada Beaufort.

Terus terang aku gugup. Terutama saat Beaufort mempersilakanku duduk pada kursi bulat tak bersandaran di tengah-tengah panggung. Sementara, pemuda itu mengambil posisi di salah satu sudut panggung. Beaufort duduk dengan elegan di balik sebuah alat musik besar yang dominan berwarna hitam. Dia tersenyum padaku seraya mengangguk, membuat kegugupanku sedikit mereda.

Suara denting alat musik mulai terdengar pelan, mengalun dan menyihir seisi restoran yang semula riuh. Perlahan-lahan keriuhan mereda. Seluruh mata kini tertuju pada Beaufort. Tatapan kekaguman orang-orang itu membuatku merasa bagai setitik debu kecil yang menempel pada permukaan lantai di tengah-tengah panggung.

Aku menatap Beaufort, meminta pertolongan. Aku sama sekali tak mengenali musik yang dia mainkan. Aku tidak tahu harus memulai dari mana.

"I know you. I walk with you once upon a dream ...."

Aku terpana tepat saat Beaufort mulai membuka mulutnya dan melantunkan sebuah lagu yang terdengar sangat klasik di telingaku. Matanya mengunciku, tak berpaling sedikit pun. Sementara, samar-samar suara decak kagum para pengunjung restoran mulai terdengar.

"I know you. That look in your eyes so familiar, a gleam ...."

Suara nyanyian Beaufort seketika melemparkanku ke masa lalu, pada lantai dansa di kastel kelahiranku semasa remaja. Lantai marmernya yang seputih tulang memantulkan bayangan beberapa pasangan yang sedang menari di atasnya. Gaun-gaun indah aneka warna menyapu permukaan lantai. Musik lembut mengalun dari para musisi istana yang berbaris rapi pada salah satu sudut balairung. Lampu gantung hias yang  bercahaya kuning temaram menjadi satu-satunya penerangan. Hari itu aku berdansa untuk pertama kalinya dengan ayahku setelah belasan tahun hidup dalam pengasingan di tengah hutan.

Kata orang, ayah adalah cinta pertama setiap anak perempuan. Begitu pun yang kurasa pada ayahku. Terlebih dia lelaki pertama yang mengajakmu berdansa tepat pada ulang tahunku yang ke-17. Aku tidak begitu mengenalnya untuk jangka waktu yang cukup lama, begitu pula halnya dengan ibu, tetapi Flora, Fauna dan Merryweather selalu menceritakan hal-hal baik tentang mereka. Meskipun kami tinggal terpisah, ayah dan ibu selalu mengenangku, mendoakanku dan menyayangiku setiap hari. Perasaanku tumbuh bersama cerita-cerita dan keyakinan-keyakinanku mengenai mereka hingga saat aku benar-benar bertemu dengan kedua orang tuaku. Dari mata keduanya aku mengenali cinta.

"And I know it's true that visions are seldom all they seem
But if I know you, I know what you'll do. You'll love me at once
The way you did once upon a dream."

Suara Beaufort membawaku kembali dari lumpur kenangan masa lalu yang nyaris menyedot seluruh kesadaranku. Pemuda pirang itu masih menatapku dengan sorot lembut yang tak pernah kulihat sebelumnya. Di punghujung lirik lagunya, ia mengundangku untuk mengikuti nyanyiannya.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengerling sekilas pada para penonton yang memasang ekspresi menanti. Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya dan aku dapat merasakan telapak tanganku menjadi jauh lebih dingin dari yang semestinya.

Aku lantas menutup kelopak mata, membayangkan dan menghadirkan keindahan hutan di luar Forbidden Kingdom, tempatku menghabiskan masa kecil hingga remaja. Keheningan hutan menyeruak memasuki ingatanku hingga seketika aku merasakan ketenangan.

"But if I know you, I know what you'll do. You'll love me at once,
the way you did once upon a dream."

Nyanyian itu mengalun begitu saja dari bibirku dengan presisi yang tak akan pernah bisa kuduga sebelumnya. Anugerah dari Flora ternyata masih menyertaiku, membuatku takjub sendiri dengan nyanyi yang melantun dari bibirku. Beberapa detik setelahnya aku menjadi lebih percaya diri. Aku membuka kelopak mata dan mendapati wajah-wajah penuh kekaguman yang menatap padaku. Sesuatu di dalam dadaku membuncah. Aku merasa hidup.

Aku melihat Beaufort tersenyum lebar. Pandangan kami saling memerangkap. Permainan musiknya semakin lincah dan sarat emosi, mengiringi lagu yang kulantunkan. Sementara, aku sendiri merasa jika lirik yang kunyanyikan terasa sangat bermakna. Emosiku bagai gelombang lautan berpadu dengan intonasi nada yang kulantunkan.

Pada pengulangan lirik berikutnya, Beaufort menyertaiku dengan suaranya yang lembut dan dalam. Suara kami mengalun bersama-sama hingga akhir lagu, menyihir ruangan itu menjadi lantai dansa bagi beberapa pasangan yang telah maju ke depan panggung. Sebagai penutup, Beaufort memainkan irama yang sempurna dan lembut.

Gemuruh tepuk tangan sontak menyambut kami ketika musik yang dimainkan Beaufort berhenti. Pemuda itu bergegas berdiri di sampingku, merangkul pundakku lembut sembari membungkukkan punggungnya sekilas ke arah para penonton. Aku mengikutinya, melakukan hal yang sama.

Setelahnya Beaufort masih mengajakku bernyanyi, melantunkan dua atau tiga lagu. Pada lagu-lagu berikutnya, beberapa lelaki pemain musik bahkan turut naik ke atas panggung.

Aku menikmatinya. Aku berharap waktu berhenti selamanya di atas panggung kecil di mana aku dan Beaufort bernyanyi. Setiap bait lirik yang kunyanyikan seolah cerita yang telah lama kupendam dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.

Namun, seperti halnya kebahagiaan, aku pun tak bisa mengabadikan waktu. Kebebasan dan kebahagiaan sesaat itu lantas memudar saat ponsel Beaufort berdering kencang, tepat di saat kami menyelesaikan lagu ketiga. Dengan tergesa pemuda itu menuruni panggung mendahuluiku untuk menerima panggilan. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan wajah kusut.

"Kita harus segera kembali," ucapnya.

"Apakah itu Philip?" Aku menebak dan Beaufort hanya menjawabku dengan anggukan pelan.








Note: Lagu yang dinyanyikan Rose dan Beaufort ada di multi media \(^o^)/
Pontianak, 05 Oktober 2020 pukul 23.43 WIB


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top