7. Welcome to Paris
Setelah kedatangan Daisy, hubunganku dengan Philip kembali menjadi dingin seperti sebelumnya. Pemuda itu kembali mengunci diri di ruang kerjanya dan tidak keluar hingga makan malam menjelang. Seketika itu juga, aku merindukan kebersamaan kami dan sedikit percakapan singkat dengannya di dapur sebelum kedatangan Daisy. Namun, agaknya momen indah itu tak akan pernah terulang lagi.
Keesokan harinya, saat aku turun dari bilikku, aku mendapati ruangan kerja Philip tidak terkunci. Ruangan itu kosong dan setelah mencari ke sekeliling rumah, aku tak dapat menemukannya di mana pun. Hal terakhir yang aku lakukan adalah mengintip pada kaca yang menembus ruangan kendaraannya terparkir dan tidak mendapati mobil Philip di sana. Detik itu juga aku tahu jika dia tidak ada di rumah.
Hatiku terasa menciut seolah diremas. Aku berharap ke mana pun Philip pergi, kepergiannya bukan untuk menemui Daisy Moreao. Memikirkan kemungkinan seperti itu saja membuat dadaku terasa sesak. Aku berharap Daisy benar-benar pergi dari kehidupan Philip.
Saat aku berusaha menyibukkan diri dengan membersihkan berbagai perabot unik dan antik di rumah itu, suara ketukan terdengar dari pintu depan. Aku tak serta merta menghampiri pintu dan membukanya, tetapi berdiam diri sesaat sembari menerka siapa gerangan yang mendatangi rumah Philip sepagi ini. Aku sama sekali tak berharap jika itu Daisy, meski kemungkinan itu bisa saja terjadi. Bayangan kemurkaan Daisy berkelindan di dalam benakku membuat keraguan menghalangi langkah kakiku menuju pintu.
Namun, saat ketukan itu terdengar lagi dan kali ini jauh lebih menuntut, aku bergegas menuju ruang tamu setelah menyimpan peralatan yang kugunakan untuk membersihkan perabot. Dari balik tirai transparan, aku dapat melihat siluet seseorang bertubuh jangkung membelakangi pintu dan orang itu tidak terlihat seperti Daisy. Aku mengembuskan napas lega karena memastikan bukan Daisy Moreao yang berdiri di sana, melainkan seorang laki-laki.
Dengan cepat kuputar anak kunci, kemudian menarik gagang pintu. Bersamaan dengan daun pintu yang terbuka, sosok itu berbalik ke arahku dan tersenyum lebar. Beaufort Blanc berdiri di sana lengkap dengan kacamata hitamnya dan tersenyum penuh percaya diri padaku.
"Hai, Rose, apa aku mengganggumu?"
Aku membuka mulut, bingung sekaligus tak menyangka dengan kedatangan pemuda itu. Saat kesadaran menamparku, aku melihat ke sekeliling Beaufort, khawatir jika ia membawa serta Daisy bersamanya.
"Kau sendirian?" tanyaku masih dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Beaufort mengedikkan bahu. "Tentu saja. Ah, ya, kau pikir aku datang bersama gadis yang waktu itu, ya?"
Aku menggeleng, tetapi dalam sekejap merasakan kelegaan. "Tidak juga," sahutku. Jujur aku memang tidak peduli dengan gadis pemarah yang ada di rumahnya tempo hari. "Kau ingin bertemu Philip?" tanyaku lagi.
Alis Beaufort mengernyit. "Aku kemari untuk bertemu denganmu, Rose."
Aku mengangguk pelan, sepertinya hubungan Beaufort dan Philip memang tidak sedekat yang kukira. Perkataan Daisy kemarin rupanya bukan omong kosong belaka. "Ada apa? Apa kau menemukan Merryweather?" tanyaku tanpa basa basi dan aku sama sekali tak menyilakan pemuda itu masuk.
Beaufort terkekeh geli. Tawanya membuatku sedikit terganggu. Padahal, menurutku tidak ada yang lucu dari tingkahku atau apapun yang aku kenakan. Setidaknya kupikir begitu. "Oh ayolah, Rose, hidupmu datar sekali. Aku ingin mengajakmu bersenang-senang, jalan-jalan dan makan-makan di luar. Barangkali aku juga bisa mengenalkanmu pada teman-temanku... " Beaufort menggantung kalimatnya sebelum melanjutkan. Dia mendekatkan wajahnya padaku. "Itu pun jika kau tertarik," lanjutnya.
Aku dapat merasakan sesuatu dalam dadaku membuncah. Gagasan mengenai jalan-jalan dan bertemu orang baru membuat minatku tersulut. Setelah semua kekalutan dan keterkurungan bersama Philip yang membuatku patah hati berkali-kali, ide mengenai sesuatu yang baru dan jalan-jalan adalah sumber pelarian yang tidak buruk. Aku memerlukannya. Aku ingin keluar dari situasi ini, meski hanya sebentar.
"Aku tertarik," sahutku cepat, takut jikalau Beaufort mendadak berubah pikiran. Jawabanku barusan mengundang senyum lebar Beaufort.
"Bagus," katanya. Ia nyaris menarik pergelangan tanganku. Namun, gerakan itu terhenti pada ruangan kosong di antara kami. Ia menatapku ragu, pandangannya menyisir dari kepala hingga ujung kakiku, menilik penampilanku.
"Ada apa?" tanyaku was-was. Jangan sampai Beaufort membatalkan rencananya.
Pemuda itu membenamkan kedua bibirnya terlihat berpikir, sebelum akhirnya membuka suara. "Kau tidak bisa pergi dengan pakaian seperti itu," tudingnya pada baju yang kukenakan.
"A-apa maksudmu?"
Aku melihat diriku sendiri untuk meyakinkan kesalahan yang kuperbuat. Aku mendesah pelan saat menyadari jika segala sesuatu yang kupakai tentu saja adalah kesalahan. Aku seorang putri dan secara natural aku memiliki selera yang bagus dari segi penampilan, tetapi pakaian seadanya yang kutemukan dalam lemari di bilik Philip memang tidak sesuai untuk bertemu dengan orang-orang baru. Namun, aku bisa apa, aku hanya menumpang di rumah Philip.
Aku menarik sweater berwarna kuning kentang kusam kebesaran yang kukenakan, kemudian melirik celana gombrang sepanjang betis sebagai padanannya dengan perasaan putus asa. "Aku tidak punya yang lebih baik," sahutku pelan, nyaris tak terdengar. Entah mengapa angan-angan mengenai jalan-jalan dan bertemu orang baru rasanya perlahan-lahan memudar.
Sedetik hening merayapi ruangan kosong di antara kami, sebelum Beaufort menarik salah satu sudut bibirnya. Dari matanya aku dapat melihat nyala antusiasme yang tadi nyaris hilang. "Kau jangan khawatir. Itulah alasannya kenapa aku datang menjemputmu pagi-pagi sekali. Kita masih punya banyak waktu untuk mendandanimu dan memilih beberapa gaun bagus. Aku tahu selera Philip memang payah. Tidak seharusnya dia menyimpan pakaian seperti itu di dalam bilik seorang gadis sepertimu," jelasnya panjang lebar.
Kata-katanya barusan mau tak mau membuatku menyunggingkan seulas senyum. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana jika aku tak pernah bertemu dengan Beaufort. Keramahan dan keceriaannya benar-benar selalu dapat membuatku tersenyum dan menghilangkan kegundahanku sejenak begitu saja.
Tanpa membuang banyak waktu, Beaufort dan aku meninggalkan kediaman Philip. Berdasarkan saran Beaufort, aku menyimpan kunci rumah Philip di dalam vas bunga di atas meja yang berada di teras. Saat mobil Beaufort akhirnya melaju di jalanan, aku dapat merasakan kelegaan sekaligus semangat membuncah di dadaku. Sejenak melupakan Merryweather dan kegundahanku tentang Philip tidak masalah bukan?
🌹
Beaufort membawaku berkendara jauh ke luar Chinon. Aku menyadari hal itu saat pemandangan di sepanjang jalan yang kami lalui perlahan berganti. Deretan kebun dan bangunan serupa kastel yang mendominasi sebelumnya telah berganti menjadi pohon-pohon dengan jarak tertata dan bangunan-bangunan berbentuk persegi panjang dengan bagian atap tinggi maupun memiliki puncak yang runcing. Jalanan juga menjadi jauh lebih padat oleh kendaraan dan para pejalan kaki. Orang-orang yang berlalu-lalang mengenakan pakaian yang indah dan elegan menarik perhatianku sepanjang perjalanan. Sungguh, tertidur selama ratusan tahun telah membuatku melewatkan banyak hal.
Beaufort bernyanyi riang dan mengoceh sepanjang perjalanan kami. Berulang kali dia mengajakku bernyanyi, tetapi aku menolaknya dan dalam diam mengikuti lagu yang ia lantunkan. Agaknya tidak hanya aku yang merasa terhibur dengan perjalanan ini, tetapi dia juga merasakan hal yang sama. Sesekali aku mengajukan pertanyaan mengenai nama tempat yang kami lewati, meski sedetik kemudian aku tak dapat lagi mengingatnya. Aku tidak begitu peduli, yang terpenting bagiku adalah melihat-lihat semua keindahan ini dan menikmatinya.
Setelah dua kali berhenti untuk sarapan dan mengisi bahan bakar kendaraan Beaufort, kami akhirnya tiba pada sebuah jalanan yang cukup lengang dengan sederetan bangunan yang terlihat mewah berdiri kokoh saling berhadap-hadapan. Bangunan-bangunan yang terdiri dari beberapa lantai dengan kubah menjulang berwarna keemasan segera menarik perhatianku. Berbagai keindahan dan kemewahan ada di sana. Aku bahkan dapat mencium aroma harum berkelas yang sepertinya berasal dari setiap penjuru tempat itu.
"Selamat datang di Paris, Nona. Selamat datang di Avenue Montaigne!" bisik Beaufort tepat di telingaku.
Aku terkesiap, tersadar dari kekaguman yang masih mengambil alih pandanganku. Tanpa menoleh pada pemuda itu, aku mengangguk, kelewat antusias sehingga aku membiarkannya menarik salah satu pergelangan tanganku keluar dari mobilnya.
"Di sini adalah surga bagi para perempuan, Rose. Pakaian-pakaian indah dan berkelas keluaran terbaru semuanya ada di sini," ucapnya lagi dengan nada bangga seolah dia adalah pemiliknya.
Aku mengangguk, masih dengan kekaguman yang belum surut. Aku menggumamkan 'Avenue Montaigne' berkali-kali seolah kata itu adalah mantra atas segenap keindahan yang akan segera kureguk. Bagaimana pun juga aku adalah seorang putri dan aku merindukan momen-momen memiliki segala keindahan dan kemewahan seperti sebelum aku dikutuk dan tertidur panjang. Kunjungan ke Avenue Montaigne benar-benar telah memantik sisi lain dariku yang mungkin saja masih tertidur.
"Karena hari ini aku sedang senang, aku akan mentraktirmu, Rose. Kau bebas mengambil pakaian mana pun yang kau sukai." Beaufort menuntunku memasuki sebuah bangunan yang paling besar dan mewah pada deretan itu. Gedung itu didominasi oleh warna abu-abu gelap dengan lukisan besar sekuntum bunga di pinggir pintu masuk yang terbuat dari kaca. Di balik kaca bening transparan jendela-jendela toko itu, patung-patung yang mengenakan gaun-gaun mewah nan berkelas menyambutku seolah telah menanti untuk kukenakan.
"Benarkah?"
Beaufort mengangguk dan di saat bersamaan seorang penjaga toko dengan gaun dan dandanan menawan membukakan pintu kaca sembari menyilakan kami masuk. "Selamat datang di Valentino, Tuan dan Nona!"
Aku tidak pernah menyangka jika kemewahan memiliki bau yang khas. Saat aku menghidunya, aku merasakan semburat energi baru merasuki dan memberiku kekuatan. Aku merasa hidup. Langkah-langkah kakiku seringan ratusan tahun yang lalu saat aku menapak di kebun bunga liar di tengah hutan dekat bilik Flora, Fauna dan Merryweather. Tak ada apapun selain diriku dan keindahan yang berdampingan intim. Hal itu kurasakan kembali hari ini, setalah terbebas dari kutukan tidur panjang.
Bangunan yang di luarnya didominasi warna abu-abu kusam itu ternyata menyuguhkan sesuatu yang lebih lembut dan ramah di dalamnya. Dinding-dinding dengan aneka corak dan berwarna lembut yang senada ditambah dengan cahaya temaram lampu segera menyambut pemandanganku. Aku berjalan riang penuh kekaguman, terlebih pada patung-patung porselen ramping berwarna hitam dan putih yang mengenakan gaun-gaun indah. Aku rasanya ingin mengenakan pakaian-pakaian itu untukku sendiri. Namun, aku tahu, kemewahan ada harganya dan pastinya tidak sedikit.
Aku melirik sekilas pada Beaufort yang berjalan pelan mengekoriku, beriringan dengan perempuan penjaga toko. Dia tersenyum melihat tingkahku yang pastinya terlihat konyol, terutama saat aku menyentuh gaun-gaun indah itu dengan ujung jemariku. Aku menyukai semuanya.
"Gaun itu akan sangat cocok padamu, Nona," komentar perempuan penjaga toko. Dia tersenyum dengan bibir merah yang sudut-sudutnya ditarik terlalu lebar. Perempuan itu juga sangat kurus sehingga tulang-tulang pipinya yang tinggi terlihat terlalu menonjol.
Aku mengangguk dan tersenyum kecil untuknya.
"Tentu saja. Apa kau menyukainya, Rose?"
Aku menyentuhkan ujung jari telunjukku pada sebuah gaun hitam yang bagian bawahnya mengembang, panjangnya sedikit di atas lutut. Gaun itu berpotongan off-shouldier sabrina yang sangat indah, mirip potongan gaun lamaku tetapi sedikit lebih terbuka. Aku menyisir tiap jengkal gaun indah itu dengan tatapanku, menilai seberapa cocok aku terlihat di dalamnya.
"Cobalah, Nona." Si penjaga toko membujukku. Sementara, di sampingnya, Beaufort mengangguk antusias.
Aku tersenyum sembari mengangguk. Perempuan penjaga toko dibantu oleh seorang rekannya meloloskan gaun itu dari patung porselen berwarna hitam, kemudian memberikan gaun itu padaku. Aku menerimanya dan langsung membawanya ke ruangan ganti. Terselip sedikit kelegaan saat akhirnya aku berhasil melepaskan setelan baju yang kutemukan di rumah Philip, kemudian menggantinya dengan gaun hitam yang terasa sangat lembut di kulitku. Aku mematut diri di depan cermin panjang ruang ganti, mengamati kulit putih beningku yang semakin bersinar di dalam balutan gaun itu. Aku tersenyum dan setelah merasa jika keseluruhan penampilanku baik-baik saja, aku memutuskan untuk keluar dari ruang ganti.
Pemandangan pertama yang menyambutku adalah tatapan terpana Beaufort dan raut iri perempuan si penjaga toko. Aku melangkah canggung mendekati mereka, tak terbiasa dengan sepasang tungkaiku yang terlalu terekspos. Gaunku sebagai Putri selalu panjang, bahkan hampir selalu menyapu lantai. Namun, di tempat ini gaun semacam itu agaknya tidak lumrah.
"Kau ... sangat cantik," puji Beaufort dengan suara lembut dan intonasi yang tak pernah kudengar sebelumnya. Tatapannya masih lekat padaku, membuatku tersipu dan refleks menundukkan pandangan.
Perempuan penjaga toko berdeham agak keras, menyela kecanggungan di antara kami. "Nona Rose tentu saja selalu cantik dalam gaun model apa pun. Tubuhnya ideal semampai, kulitnya putih bening dan rambut pirangnya sungguh berkilau," cicitnya. Alih-alih merasa dipuji, aku merasa ucapannya malah bagai sindiran.
Beaufort mengedip, kemudian meraih beberapa helai pakaian lagi yang rupanya telah ia siapkan untukku. Aku mengintip sekilas gaun aneka warna dan corak di dalam rengkuhannya yang sungguh sangat menggoda. "Aku memilihkan beberapa gaun untukmu," ucapnya. "Kau bisa mencobanya dan tentu saja memilih gaun mana lagi yang kau suka di sini."
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha keras untuk tak berteriak kegirangan, kemudian meraih gaun-gaun itu cepat. Bahan gaun-gaun itu terasa lembut dan menenangkan di kulitku, seperti sutra yang sering kukenakan di istana. Nyaris sejam lamanya, aku berkutat dengan gaun-gaun yang telah Beaufort pilihkan di kamar ganti. Setiap kali mengenakan gaun itu secara bergantian, aku lantas mematut diri di cermin beberapa saat dan pilihan terakhirku akhirnya jatuh pada sebuah gaun berbahan chiffon bermotif bunga-bunga dengan sedikit penutup lengan atas yang bentuknya menyerupai kelopak bunga. Gaun itu akan kugunakan untuk keluar dari ruang ganti ini dan melanjutkan acara jalan-jalan kami. Aku sudah memutuskan untuk mengambil seluruh gaun pilihan Beaufort dan gaun hitam pilihanku sendiri.
Beaufort kembali menyambutku dengan penuh kekaguman. Dia tampak puas dengan pilihannya. Aku pikir sesi ini akan segera berakhir, tetapi aku salah. Pemuda itu sudah menyiapkan beberapa pasang sepatu dan tas tangan dengan pilihan warna yang senada dengan gaun-gaunku. Setelahnya, beberapa perempuan dalam pakaian berbeda membawaku untuk bersolek dalam sebuah ruangan lain, mengenakan riasan, dan menata rambutku. Aku menghabiskan waktu nyaris sejam untuk terlihat sedikit berbeda. Mereka memberiku pewarna bibir dan pemerah pipi sembari mengikat separuh rambutku.
Aku keluar dari ruangan itu dengan penampilan yang benar-benar seperti seorang Putri. Lagi-lagi Beaufort mengagumiku dengan tatapannya dan membuatku merasa canggung. Kali ini dia tidak memuji, tetapi menggandeng lenganku dan menuntunku menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Sementara para perempuan penjaga toko sibuk mengemasi barang-barang belanjaan kami.
"Aku tidak ingin kau menghabiskan kekayaanmu untuk ini," ucapku pelan. Barang-barang ini sungguh indah, tetapi keindahan dan kemewahan tentu ada harganya. Entah mengapa, seketika aku merasa bersalah terhadap Beaufort.
Pemuda itu menatapku sesaat sebelum akhirnya tergelak. "Aku tidak menghabiskan kekayaanku, Rose, tenang saja. Ini semua kekayaan orang tuaku."
Aku membelalak. Kekayaan orang tua yang dihabiskannya terdengar jauh lebih mengerikan. Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, ketika Beaufort melanjutkan kata-katanya.
"Aku hanya bercanda Rose. Kau tenang saja. Ini semua gratis karena aku akan mengencani Nona ... Emily. Benar kan, Sayang?" Beaufort mengedip genit pada perempuan petugas kasir di hadapan kami. Perempuan itu hanya membalas dengan senyuman seolah memaklumi kelakar Beaufort.
Aku mendelik. "Beaufort, kau---
"Rose, aku hanya bercanda. Ya ampun coba lihat wajahmu." Pemuda itu kembali terbahak, sementara aku memberengut di sampingnya tanpa perlawanan.
"Hei, jangan marah. Kau terlihat sangat menggemaskan dengan wajah seperti itu," rayunya.
Aku tak menjawab, hanya mengembuskan napas panjang. Aku terkejut saat salah satu lengan Beaufort tiba-tiba merangkulku begitu saja. "Sebelum bertemu teman-temanku, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, " bisiknya.
"Ke mana?"
Beaufort menarik salah satu sudut bibirnya dengan cara yang misterius. "Le Marais," jawabnya.
Dipublikasikan di Pontianak, 27 September 2020, pukul 21.48 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top