5. Bizarre Feeling
Aku merasakan gerakan pelan di bawah tubuhku, saat selimut tipis yang membungkus tubuh Philip terkuak. Aku yang tertidur dalam posisi duduk dengan lengan berlipat yang menopang kepala di tepi pembaringannya, sontak mengangkat wajah, lalu mengucek mata dalam gerakan cepat, sebelum sepenuhnya menyadari keadaan di sekitarku.
Sepasang netra biru Philip memerangkapku dalam tatapan yang tak dapat aku artikan. Rupanya pemuda itu telah bangun tidur lebih dulu. Rambut pirang gelapnya yang acak-acakan dan kantung mata gelap di bawah mata sama sekali tak mengurangi ketampanan parasnya.
"Bagaimana kabarmu? Kau terlihat lebih baik dari tadi malam? Apa yang sebenarnya terjadi semalam?" Dengan suara serak aku memberondong pertanyaan padanya. Aku tahu jika sangat kecil kemungkinan seorang Philip akan menjawab pertanyaanku. Namun, wajah terpuruknya tadi malam membuatku penasaran setengah mati dan aku sama sekali tak dapat menahannya.
Philip masih bergeming dengan wajah polosnya untuk beberapa saat. Ia menatapku cukup lama seolah sedang mengingat-ingat seuatu. Kepolosan pada wajah tampannya membuat tanganku refleks terulur untuk menyentuhnya. Saat jemariku hanya berjarak tak lebih dari seruas jari, Philip mendadak bergerak menghindar. Wajah malaikatnya sontak berubah, menampilkan ekspresi dingin dan galak yang sangat kukenali.
"Aku baik-baik saja," sahutnya ketus. Ia menyibakkan selimut yang membalut tubuhnya setinggi dada dengan kasar ke arahku.
Aku mendengkus saat tumpukan selimut menutupi lengan dan sebagian wajahku. Dia seolah sengaja melakukan hal itu. Kemudian, dengan gerakan cepat yang tak terduga, ia bangkit dari sofa yang menjadi pembaringan kami semalaman dan melewatiku. Susah payah, aku bangkit dari posisiku dan mengekorinya serupa sikap anak kucing yang membuntuti tuannya.
"Kau mau ke mana?" tanyaku di sela-sela upaya untuk menyejajarkan langkah dengannya. Meskipun demikian, aku tetap tak bisa menyusul langkah panjang dan cepat milik Philip. Aku tertinggal di belakangnya.
Di depan sebuah pintu ruangan kecil di seberang ruang kerjanya, Philip tiba-tiba menghentikan langkah. Aku yang terlambat memelankan jalanku sontak menghantam punggung lurusnya. Aku refleks mengerang lirih sembari terhuyung saat kurasakan keningku yang menghantam punggungnya.
Philip membalik tubuhnya menghadap ke arahku, tepat saat aku menggosok kening dengan salah satu telapak tangan. Pelototannya seolah menambah nyeri yang berdenyut samar pada keningku.
"Kau ingin mandi bersamaku?" hardiknya dengan suara meninggi. Salah satu alisnya terangkat. Wajah galaknya membuatku gemetar seketika.
Aku menggeleng cepat, walaupun sebenarnya ide itu cukup menggodaku. Entah mengapa, aku merasakan pipiku memanas perlahan.
Philip nyaris saja memutar langkah dan memasuki ruangan untuk membersihkan diri, sebelum gerakannya mendadak terhenti. Sementara, aku tak bergerak seinci pun dari tempat itu. Ia menoleh padaku dengan rahang mengeras dan ekspresi dingin yang tak berubah. "Jangan muncul lagi di hadapanku!" ucapnya sebelum berbalik dan membanting pintu di depan wajahku.
🌹
Aku nyaris menuruti kata-kata Philip, andai saja perutku tak bergemuruh dan rasa lapar mulai menggerogotiku. Alih-alih menaiki tangga dan kembali ke kamar, aku malah melangkahkan kaki menuju tempatku menemukan makanan pada hari sebelumnya.
Namun, aku kecewa saat menemukan tak ada apa pun di atas meja yang terletak di tengah-tengah ruangan itu selain peralatan makan kotor bekas makanku tadi malam. Aku menoleh panik ke sekeliling ruangan saat gemuruh di perutku berbunyi kian keras. Tak ada apa pun, selain barang-barang aneh yang tak begitu kukenali.
Pandanganku akhirnya terhenti pada sebuah benda berbentuk kotak setinggi tubuhku dengan pintu yang mirip dengan pintu-pintu lain di seluruh penjuru rumah ini. Warnanya abu-abu terang dengan motif siluet sekuntum bunga berwarna lebih gelap terukir pada permukaan pintu. Aku menggenggam gagangnya ragu untuk beberapa saat, sebelum menariknya hingga terbuka.
Sensasi dingin yang mengingatkanku pada badai salju di pondok Flora langsung menerpa wajahku. Hawa sejuknya yang menggigit kulit membuatku bergidik sesaat. Bulu-bulu romaku sontak meremang. Sebuah lampu menyala terang pada salah satu sudut di kotak dingin itu, membuatku seketika merasa lega. Terlebih, saat mataku menangkap pemandangan aneka buah dan sayur-sayuran segar yang berjejalan tak beraturan pada dua susun rak di dalamnya. Sementara berderet-deret botol minuman aneka warna dan bentuk tersusun rapi di sisi lain daun pintu. Jadi, di sinilah Philip menyimpan persediaan makananya.
Aku mengulurkan tangan terlampau terburu-buru, meraup sejumlah besar buah-buahan dan sayuran segar yang terasa dingin saat menyentuh permukaan kulitku dalam genggaman. Aku meletakkan bahan-bahan makanan itu di atas meja dan mengamatinya untuk beberapa saat.
Aku mengenali beberapa jenis bahan makanan yang biasanya disuguhkan oleh Merryweather di pondok kami. Namun, beberapa jenis sayur yang kukenal harus kuolah terlebih dahulu sebelum memakannya. Aku menggeleng putus asa untuk sayur-sayuran yang sebenarnya menggugah selera itu. Sejauh penglihatanku, Philip tak memiliki tungku atau apa pun yang setidaknya mirip seperti itu untuk memasak .
Pandanganku kemudian teralih pada setumpuk buah-buahan. Sudut-sudut bibirku tertarik melengkungkan senyuman demi mengenali buah-buahan yang dapat kumakan langsung. Tanpa berpikir panjang, aku meraih beberapa butir anggur sekaligus dan menjejalkannya ke dalam mulut, mengunyahnya dengan rakus saat merasakan pergolakan dari dalam perutku. Setelah menelan potongan terakhir anggur di dalam mulut, aku meraih sebutir apel dan menggigitnya begitu saja, mengabaikan suhu dingin yang membuat gigi-geligiku sekilas terasa ngilu saat mengunyahnya.
Setelah menghabiskan sebutir apel, perutku berhenti bergejolak. Aku kemudian membawa sayur-sayuran itu pada sebuah meja panjang yang menempel pada salah satu sisi ruangan, lalu meraih sebuah mangkuk paling besar yang dapat kutemukan dari tempat penyimpanan piring dan menempatkan sayuran segar itu ke dalamnya. Sebenarnya, aku ingin membersihkan sayur-mayur itu sebelum mengolahnya menjadi hidangan yang dapat Philip nikmati. Namun, agaknya itu semua hanya sebatas angan belaka.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati sebuah benda pipih persegi panjang terpajang di atas meja tepat di hadapanku. Wadah alumunium bertengger di atas sebuah tungku besi kecil yang mencuat di atasnya. Aku melongok ke dalam wadah itu dan mendapati air bening yang nyaris memenuhi keseluruhannya.
Aku masih terdiam di depan meja itu saat sebuah suara dingin nan tajam menusuk pendengaranku. Entah sejak kapan Philip telah berdiri tepat di belakangku, berteriak seolah aku seorang gadis tuli.
"Apa yang akan kau lakukan dengan bahan makananku?"
Aku menoleh padanya gelagapan. Dengan refleks, aku mengeratkan cengkeramanku pada pinggiran wadah penampung sayur.
Philip menarik kasar wadah dalam peganganku, tak mengacuhkan ekspresi terkejut dan kesakitanku saat ia melakukan hal itu. Aku meringis saat tepi wadah yang tajam menggores permukaan jariku.
"A-aku ...."
Philip memijat pelipisnya seakan muak dengan apa yang kulakukan. Penampilan pemuda itu terlihat jauh lebih baik sekarang. Pakaian yang ia kenakan sudah serapi biasanya. Aroma wewangian segar yang maskulin menguar dari tubuhnya membuatku nyaris kehilangan fokus.
"Biar aku yang melakukannya. Kau kembalilah ke kamar."
"Tapi. Aku ...."
Philip menatapku tajam. Wajahnya mendekat padaku. "Jangan pernah keluar dari kamarmu sebelum aku pergi. Mengerti?"
Wajah rupawannya yang mengintimidasi membuatku mau tak mau mengangguk lemah. Hal terakhir yang kulihat sebelum meninggalkan ruangan itu adalah punggung tegapnya dan kedua lengannya yang sibuk membersihkan sayur di dalam wadah. Aku berbalik, mengembuskan napas panjang, kemudian berjalan lesu menuju tangga.
🌹
Lagi-lagi aku terlelap dan rasanya telah melewatkan banyak hal, saat sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara gaduh. Kegaduhan itu agaknya berhasil menyeretku keluar dari alam mimpi. Aku mengucek mata sesaat sebelum beranjak dari tempat tidur.
Langit-langit kamar yang terlihat gelap adalah pemandangan pertama yang kudapati saat membuka kelopak mata. Aku sontak melemparkan pandangan keluar jendela yang tirainya tak menutup sempurna untuk mencari pertanda alam. Sepotong langit kelabu mengintip di sela-sela tirai, langit mendung penanda hujan atau barangkali petang yang mulai membayang.
Telingaku kembali fokus pada suara keriuhan yang terjadi di lantai bawah. Setelah merapikan rambut pirangku sekenanya, aku segera menghambur keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan cepat. Aku menuruti rasa penasaran yang melecutku dan sepenuhnya mengabaikan larangan Philip.
Suara bantingan barang pecah belah terdengar semakin jelas kala aku menuruni anak tangga terakhir. Aku dapat memastikan jika suara itu berasal dari ruang kerja Philip yang pintunya terbuka lebar. Namun, keremangan cahaya membuatku gagal menerka apa yang terjadi di dalam tempat itu.
"Philip!" sapaku sembari berlari ke arah ruang kerjanya.
Aku menerobos pintu yang terbuka lebar dan mendapati kekacauan di dalam ruangan itu. Pecahan kaca dan kayu berserakan memenuhi nyaris seluruh permukaan lantai. Gambar-gambar kecil dan besar terselip di sela-sela pecahan itu, memberiku sedikit pemahaman tentang apa yang terjadi.
Langkahku berhenti saat mendapati sosok Philip yang sedang mengangkat tinggi-tinggi sebuah gambar besar yang dilapisi bingkai kaca. Napasnya terlihat memburu, sementara wajahnya disaput sisa-sisa air mata dan kemarahan. Mata nyalangnya kini teralih padaku yang berdiri hanya beberapa langkah dari ambang pintu.
"Philip, apa yang---
Pemuda itu mengempaskan benda dalam genggamannya dengan kasar. Emosi yang meluap-luap tergambar jelas di wajahnya. Rahangnya mengeras dan berkedut saat pandangannya jatuh pada gambar yang nyaris tertimbun pecahan kaca.
Aku mengikuti arah pandangannya, menatap lekat pada gambar dengan bantuan temaram cahaya yang berasal dari luar ruangan. Aku mengernyit, tak begitu yakin dengan apa yang kulihat, tetapi gambar sepasang manusia yang terpatri di sana terlihat familier.
"Daisy?" Tanpa sadar aku bergumam. Terlalu nyaring untuk disebut sebagai gumaman begitu aku menyadari jika Philip mungkin saja dapat mendengarku. Mulutku menganga saat mengenali jika sosok Philiplah yang berada di sisi Daisy pada gambar itu.
Pandangan nanar Philip teralih kepadaku. Namun, alih-alih merasa takut dan terintimidasi, aku justru melihat luka menganga dalam sorot matanya.
"Jangan ikut campur urusanku." Philip menggeram dalam suara yang terdengar goyah di telingaku.
Aku melihatnya. Dia mencoba untuk kuat, meski kutahu ia tak sekuat itu. Di saat bersamaan hatiku sekali lagi terasa retak. Sikap dan reaksinya saat aku menyebut nama perempuan itu menjelaskan segalanya dan itu membuatku sakit, sangat sakit.
Pandanganku memburam, lantas kualihkan pandangan dari matanya yang nanar. Perhatianku kini menyorot pada tetesan darah yang mengalir pelan dari sela-sela jarinya, membasahi serpihan kaca yang terserak tepat di bawah kakinya. Philip terluka.
Tanpa berpikir panjang, aku berlari menghampirinya, lalu meraih pergelangan tangannya, meski berkali-kali ia menepis dan mendorong tubuhku. Kegigihanku pada akhirnya membuat pemuda itu menyerah, merelakan luka di tangannya terkuak dalam genggamanku.
"Kau terluka," kataku lirih.
Philip bungkam, memalingkan wajahnya pada sisi lain ruangan.
Aku menyobek bagian bawah gaunku tanpa berpikir lebih lanjut. Dengan cekatan membersihkan serpihan kaca dan kayu yang menancap pada luka-luka di buku-buku jari Philip, sebelum membebatnya dengan sobekan gaun.
Pemuda itu tak mengacuhkanku, tetapi tak sedikit pun ia menolak perlakuanku. "Aku mohon jangan terluka lagi, apalagi karena dia yang melukaimu. Dia tidak pantas mendapatkannya."
Philip tetap bungkam. Namun, di dalam genggamanku, aku dapat merasakan tubuhnya bergetar samar. Meski ia menyembunyikan wajahnya, aku tahu dia sedang bersedih. Air mata memang tak mengalir di pipinya saat itu, tetapi aku tahu jika hatinya sedang menangis.
TBC. Pontianak, 11 September 2020 pukul 00.15 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top