4. Daisy Moreau
Philip menempatkanku dalam sebuah kamar yang tak terlalu besar di lantai atas. Tak banyak perabot yang menghuni tempat itu, hanya sebuah ranjang kecil dan lemari pakaian di salah satu sudutnya. Beberapa pasang pakaian wanita terlipat rapi di salah satu lacinya, sebagian lain bahkan terlihat belum pernah dipakai, bergantung dengan plastik penutup bening di sisi lain lemari. Aku tak berani menanyakan asal-usul pakaian tersebut padanya. Tidak, jika hal itu dapat membuatku sakit hati.
Philip tak mengatakan apa pun, saat kami tiba di kamar itu. Namun, ketika ia berbalik dan hendak menuruni tangga, ia menoleh padaku dengan wajah dinginnya. "Jangan pernah berkeliaran di lantai bawah selama aku di rumah. Tetaplah di kamarmu sampai aku meninggalkan rumah," ucapnya ketus. Kata-kata itu kembali mengiris hatiku.
Setelahnya, ia pergi meninggalkan rumah. Aku menyadari kepergiannya kala mendengar bunyi gemerincing anak kunci dari lantai bawah, disusul oleh deru mesin mobilnya yang menjauh. Untuk beberapa waktu yang cukup lama--- bahkan aku sempat terlelap, aku menanti Philip kembali. Akan tetapi, pemuda itu tak kunjung manampakkan batang hidungnya. Aku pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kamar dan menjelajahi rumah dua lantai itu.
Tempat pertama yang aku tuju adalah ruangan yang kuduga sebagai dapur. Perutku yang mulai bergemuruh secara naluriah menuntun langkahku ke sana. Di atas meja makan yang diselimuti kain bercorak bunga berwarna lavender telah terhidang beberapa jenis makanan, tetapi tak sebanyak hidangan yang disajikan oleh Beaufort. Aroma yang tercium sekilas seketika menggugah seleraku. Aku tak tahan untuk mengabaikannya sehingga beberapa saat kemudian, aku telah duduk di salah satu kursi dan meraup makanan-makanan itu dengan sebuah sendok yang paling gampang kugunakan.
Aku menandaskan makananku tepat saat langit telah berubah gelap sepenuhnya. Namun, Philip masih belum juga kembali. Ruangan di sekitarku semakin gelap dan aku tak mengerti mengapa ia bisa tinggal dalam rumah yang terlampau gelap seperti ini.
Di istanaku, dulu, kami memiliki begitu banyak lilin dan obor yang menerangi sepanjang lorong kastel. Raja dan Ratu tak akan membiarkan seinci kegelapan pun bersarang di kastel di malam hari karena kegelapan adalah ruang sembunyi bagi iblis dan penyihir jahat. Benar saja, saat setitik kelengahan kami lakukan, mesin pemintal terkutuk itu telah bersarang pada sebuah gudang di menara yang gelap tanpa siapa pun sempat menyadari. Selanjutnya, kutukan itu menimpaku, menimpa seluruh kerajaan. Pada akhirnya membuatku terdampar di dunia asing ini.
Kenangan menyedihkan itu berkelebat lagi dalam kepalaku, hingga membuat ujung jemariku berkedut seolah merasakan tusukan jarum pemintal sekali lagi, setelah sekian lama. Di saat bersamaan, bulu di sekujur tubuhku ikut meremang. Aku menggeleng pelan berusaha mengenyahkan kenangan buruk yang seketika merusak suasana hatiku.
Untuk mengalihkan pikiran, aku meneguk segelas air putih, kemudian beranjak dari meja makan. Aku berjalan pelan menyusuri ruangan dalam keremangan. Sesekali kakiku terantuk benda-benda yang bahkan tak kukenali bentuknya. Saat langkahku akhirnya menepi pada sebuah sofa di ruangan dekat pintu masuk, aku menghempaskan tubuhku ke atasnya. Setelahnya, satu-satunya hal yang dapat aku lakukan adalah memandangi kegelapan.
🌹
Entah berapa lama aku jatuh tertidur di atas sebuah kursi panjang nan empuk di dekat pintu masuk, saat suara deru mesin mobil membuatku terbangun. Cahaya yang menyorot samar dari luar jendela membuatku mengernyit sesaat.
Aku memaksa tubuhku untuk beranjak dari permukaan kursi yang empuk kala suara anak kunci beradu dengan lubang pintu menyusul terdengar, menyadarkanku atas kedatangan Philip. Mengingat ultimatum yang pernah pemuda itu ucapkan padaku tadi siang, aku segera bergegas hendak beranjak menuju lantai atas.
Namun, sepertinya aku terlambat. Bola sihir pada langit ruangan mendadak menyala. Cahayanya membuat netraku tak kuasa menahan silau. Di saat bersamaan, daun pintu mengayun terbuka menampakkan sosok Philip yang berdiri di ambangnya dengan seorang perempuan. Perempuan cantik berpakaian minim yang menggelayuti salah satu lengan kokohnya segera saja merebut atensiku.
Sesuatu yang berat dan dingin seolah menghantam dadaku detik itu juga.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Philip yang terdengar dingin, tajam, dan penuh penghakiman itu menohokku.
"A-aku ...."
Aku mendadak kehilangan kata-kata atau barangkali kehilangan suara.
"Siapa dia, Philip?" Perempuan berambut cokelat dengan sedikit campuran warna gelap pada akar rambutnya itu bertanya dengan suara serak yang kedengaran manja. Ia mengerling padaku sekilas, sebelum mengeratkan tautannya pada lengan Philip.
Hatiku terasa diremas. Namun, aku tetap memaksakan seulas senyum di bibir. Rahangku terasa kaku. "Selamat malam," sapaku dengan suara yang terdengar sumbang di telingaku sendiri.
Philip melotot padaku, sebelum kembali membuka suara. "Dia pembantu baruku. Namanya Rose," sahutnya tak acuh.
Lagi-lagi kata-katanya menyengat hatiku, menghantam satu sisinya dengan godam tak kasat mata hingga hancur berkeping-keping. Beginilah rasanya tertolak dan patah hati, bahkan ketika belum sempat mengungkapkan perasaan.
Pemuda itu melewatiku. Harum tubuhnya mengusik penghiduku, mengusik pikiranku dengan cara yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Betapa pun hancur hatiku, harus kuakui jika aku masih menginginkannya. Aku sangat ingin menyusulnya, memeluk erat punggung tegapnya dari belakang, tetapi langkahku tertahan kenyataan saat perempuan berambut cokelat itu mengikutinya, mendahului langkahku.
Philip telah menghilang di balik ambang pintu. Sementara, perempuan itu menoleh padaku sebelum mengikutinya. "Hai, aku Daisy Moreau." Ia mengulurkan tangannya sembari mengukir senyum formal, tetapi aku mengenali sinar mata itu. Sinar mata para putri yang menghadiri pesta dansa, tetapi tak mendapat giliran untuk sekadar menyapa sang pangeran.
Dengan ragu aku menyambut uluran tangannya. Tangan yang dingin, sedingin tatapannya padaku. Senyum palsu di bibirnya tentu tak dapat menipuku. "Briar Rose," sambutku. Entah mengapa suaraku lebih terdengar seperti decit tikus dalam cengkeraman seekor kucing lapar.
"Kau berasal dari mana?"
"Aku ... Chinon. Aku berasal dari Chinon. Aku ingin menemui Philip," jawabku lugas. Entah kekuatan apa yang membuat kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku, tanpa dapat kutahan. Aku menyeret langkah ragu, mendekati pintu ruangan kerja Philip.
"Hei, kau pikir kau mau ke mana?" Perempuan bermata cokelat itu menuding bahuku, membuat langkahku terhenti dalam kegamangan.
"A-aku ...."
"Maaf, Rose, aku sedang sibuk. Daisy, kemarilah!" Suara panggilan Philip membuat perempuan itu melepaskanku. Namun, dari tatapan matanya yang tajam, aku dapat merasakan bahwa cepat atau lambat ia akan membuat perhitungan denganku.
Aku mengawasinya dengan perasaan yang mendidih. Perempuan itu melewatiku dengan langkah anggun yang terlampau dibuat-buat, seolah sedang mengejekku. Aku membuang pandangan saat dia menutup daun pintu dengan gerakan pelan, menyusul Philip ke dalam ruangan yang temaram.
Aku meremas gaunku, menahan sesak di dalam dada saat dentuman pelan penanda pintu ruangan yang tertutup terdengar. Pelupuk mataku memanas. Setetes air bening akhirnya bergulir keluar. Jadi, Philip sudah punya kekasih?
🌹
Hari-hari berjalan sangat lambat, terutama saat aku hanya dapat menatap langit-langit pucat di atas tempat tidurku. Sesekali kubuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk dan menenangkan pikiranku yang kacau. Tak banyak pemandangan yang dapat kutangkap dari balik jendela kecil yang terhalang pagar batu yang berdiri setinggi atap rumah itu. Warna batunya menjadi satu-satunya pemandangan dominan di sana.
Selama di rumah Philip, aku tak dapat berpikir dengan jernih. Aktivitas yang kulakukan juga sangat terbatas demi menghindari pertemuan dengan Philip, seperti yang ia inginkan. Segala sesuatunya semakin memburuk, terlebih setelah kemunculan perempuan bernama Daisy Moreao itu. Sejak malam itu, Daisy selalu datang ke rumah Philip. Aku tak tahu, siapa dia sebenarnya, aku juga tak ingin menanyakannya, tetapi ia terlihat sangat menyukai Philip.
Hubunganku dengan Philip tak sedikit pun menunjukkan kemajuan. Kami tidak pernah berinteraksi sama sekali. Aku berandai-andai jika pada akhirnya Philip benar-benar akan melemparkanku ke jalanan, maka aku harus memahami dunia asing ini secepatnya agar aku tak tersesat kelak. Aku juga harus berhadapan dengan begitu banyak sihir yang tak kupahami hampir di seluruh penjuru rumah. Mulai dari bola sihir bercahaya yang kini selalu menyala otomatis setiap malam datang, bahkan saat Philip tidak di rumah; kotak ajaib yang dapat menampilkan gambar bergerak; sebuah tungku tempat memasak yang dapat mengeluarkan api berwarna biru dan masih banyak lagi. Barangkali aku akan menyimpan semua pertanyaan untuk kuajukan pada Beaufort kelak jika dia datang menjengukku.
Philip hampir selalu pergi pagi-pagi sekali dan belum juga kembali hingga malam menjelang hampir setiap hari. Sementara, aku dengan bodohnya selalu menanti kedatangannya dari balik tirai jendela yang setengah terbuka hingga jatuh tertidur.
🌹
Aku tak mendengar deru mobil memasuki halaman sempit rumahnya malam itu, tetapi saat aku membuka mata, aku telah mendapatinya berdiri di depan pintu dengan kedua lengan menumpu pada permukaannya. Bahunya terlihat berguncang samar.
Aku celingukan, mencari sosok Daisy di sekitarnya. Namun, aku tak menemukannya.
"Philip?" panggilku seraya beranjak dari kursi, kemudian berjalan mendekatinya dengan tergopoh. Sebuah kelegaan yang ganjil menyelusup di dalam hatiku saat mengetahui Daisy tak menyertainya.
Namun, kelegaan itu segera menguap tepat ketika tubuh Philip nyaris ambruk ke arahku. Dengan kekuatan seadanya, aku menangkap tubuhnya. Alih-alih membantunya berdiri, bobot tubuhnya yang jelas-jelas lebih berat dariku membuatku terdorong jatuh ke atas kursi. Tubuh jangkungnya menindihku dalam posisinya janggal.
Sekilas aku melihat kilatan air membanjiri wajahnya. Sementara, bau yang sangat menyengat menguar dari mulutnya. Philip terlihat sangat berantakan.
"Philip, kau baik-baik saja?" Aku berusaha menggerakkan tubuhnya yang bergeming di atasku. Namun, bobot tubuhnya membuat usahaku sia-sia.
Beberapa saat yang rasanya sangat lama, Philip hanya diam tak mengacuhkanku. Aku mulai resah, khawatir jika ia bahkan dapat mendengar detak jantungku saat itu. Namun, tanpa kuduga, pemuda itu kemudian mengangkat wajahnya. Ia menatapku dengan sorot mata sayu yang tak dapat kuartikan dan pipinya memerah. Aku dapat melihat bayangan hitam di bawah kelopak matanya, menggantung sendu, melengkapi wajahnya yang sembab.
"Philip ..." Aku ingin mengungkapkan padanya jika posisi ini menyulitkanku. Namun, belum sempat aku melanjutkan kata-kata, ia lantas menenggelamkan wajahnya pada ceruk leherku dalam gerakan cepat. Kemudian, suara tangisnya yang tertahan mengalun pelan. Hatiku tersayat seketika.
Philip menangis. Untuk pertama kali, aku melihatnya serapuh ini. Betapa aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tetapi alih-alih bertanya, aku hanya menepuk punggungnya lembut. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuatnya lebih baik.
Untuk waktu yang cukup lama, aku membiarkannya menangis, membasahi leher dan pakaianku, merasakan tubuhnya yang gemetar. Aku berharap jika aku benar-benar dapat menyerap seluruh air mata dan kesedihannya. Aku memeluknya erat saat tiba-tiba ia bangkit dari tubuhku.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku seraya mengangkat punggungku dari kursi. Tulang-tulang dan persendianku terasa ngilu.
Philip menggeleng pelan, seperti orang yang kehilangan separuh kesadarannya. Kemudian ia menatap mataku dalam dan lama, seolah dengan tatapan itu ia ingin menyampaikan sesuatu.
Aku menantinya, menanti semburan kata-kata yang mungkin sedang ia tahan. Namun, tak sepatah pun terucap. Pemuda berambut pirang gelap itu mendengkus sembari mengacak rambutnya dengan kasar.
Ia kembali memerangkap netraku dengan tatapannya. "Daisy ...."
"Apa?"
Suaranya lirih dan frustrasi. Akan tetapi, aku dapat mendengarnya dengan jelas. Dia menyebut nama perempuan itu, setelah menatapku cukup lama. Apakah dia bahkan membayangkanku sebagai Daisy saat ini?
Aku meraih satu lengannya, menuntunnya berdiri menuju kamar, mengesampingkan hatiku yang hancur berkeping-keping. Tanpa perlawanan, ia mengikutiku dengan langkah sempoyongan. Namun, baru beberapa langkah ia beranjak, tubuhnya mendadak ambruk lagi dan jatuh tepat pada kursi panjang empuk.
Aku panik. Aku tak pernah berurusan dengan seseorang yang mabuk seperti ini. Dengan gusar aku memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangannya, membenarkan posisi tubuhnya, membuatnya senyaman mungkin.
Kelopak mata Philip tertutup, mulutnya meracau lirih. Namun, aku dapat merasakan napasnya yang teratur, serta detak jantungnya. Aku mencoba meyakinkan diri jika dia baik-baik saja, barangkali dia hanya kelelahan atau terlalu banyak meminum anggur.
Aku menyeka rambut pirangnya yang menutupi wajah. Rambut itu terasa lengket dalam telapak tanganku. Wajahnya lembab, terlalu banyak air mata di sana. Bayangan hitam di bawah kelopak matanya yang menutup juga terlihat kentara.
Sesaat aku mengaguminya. Ujung jari-jemariku menyusuri garis wajahnya, hidungnya dan bibirnya. Akan tetapi, ternyata aku tak dapat mengenyahkan rasa sakit yang bahkan semakin kentara di dalam rongga dadaku.
"Daisy ...." Ia bergumam lirih.
Air mata bergulir di pipiku, meluruh menjadi butiran kristal bening yang dalam sekejap membanjiri pipi. Bahkan, di saat seperti ini, Philip masih menyebut nama perempuan itu.
TBC
Pontianak, 5 September 2020 pukul: 23.01 WIB.
Mainin multi medianya gengs untuk efek keambyaran yang haqiqi 🤧😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top