1. Briar Rose
Setelah mimpi yang sangat panjang, kesadaran akhirnya menyusup dalam kepalaku. Mulanya samar serupa bisikan, lambat laun menjadi kentara bagai embusan. Sesuatu di dalam tubuhku seolah ditarik paksa oleh lubang yang tak terlihat, begitu pun dengan mimpi panjangku yang lantas ikut tersedot ke dalamnya. Seketika, aku merasakan kelegaan yang tak kasat mata. Setelahnya, ujung jemari tangan dan kakiku perlahan mulai berkedut.
Aroma debu yang pekat dan menyesakkan menusuk penghiduku, sebuah sensasi yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku nyaris tersedak. Jari-jariku refleks membersihkan segumpal debu yang menyumbat di sana. Garis-garis cahaya menerobos paksa kelopak mataku yang mulai merenggang, membuatku mengernyit, berusaha merapatkan kembali kelopak mata karena silau.
Aku meracau sekilas, kemudian berdeham. Suaraku serak dan parau karena ratusan tahun tak terjamah air. Namun, sekali lagi, anugerah dari para peri penjagaku secara ajaib mampu membuatku tetap hidup. Satu hal lagi yang patut disyukuri tentang ini adalah aku dapat mendengarkan suaraku dengan sangat jelas, pertanda sepasang telingaku masih berfungsi. Kenyataan ini meyakinkanku bahwa yang kualami barusan bukanlah mimpi.
Aku lantas menggeliat, merasakan otot-ototku merenggang. Bunyi gemeletuk tulang-belulang diiringi sensasi yang melegakan membuatku serta-merta membuka kelopak mata perlahan. Sepasang netraku agaknya mulai terbiasa menerima cahaya. Garis-garis cahaya yang menyelusup kelopak mataku kemudian menampilkan visual bayang-bayang yang ganjil. Pemandangan yang sama sekali tidak familier. Akan tetapi, yang terpenting adalah akhirnya aku telah terbangun dari kutukan!
Aku terlonjak dari pembaringan keras yang menampung tubuh ringkihku, lalu memandang sekitar dengan gamang. Pemandangan selanjutnya yang aku dapati adalah seorang laki-laki berwajah dingin dengan kedua lengan terlipat di dada, berdiri seumpama patung di salah satu sisi petiku, menyorotku dengan mata melotot.
Hawa panas merambat di kedua belah pipiku saat netra kami akhirnya beradu, barangkali semburat merah telah bertengger di sana. Jantungku pun segera merespon dengan bertalu kencang tanpa aba-aba. Apakah pemuda rupawan itu adalah Pangeran Philip? Apakah dia yang menciumku dan mematahkan kutukan tidur panjang ini?
🌹
Aku menyunggingkan senyum terbaikku pada sang pangeran, meski tahu jika tampangku mungkin tak sebaik ratusan tahun yang lalu. Tidak, bukan karena aku menua. Merryweather, salah satu peri pengasuhku, menganugerahiku kemudaan yang nyaris abadi sejak aku jatuh tertidur karena kutukan jarum pemintal di usia 17 tahun. Aku berhenti bertambah umur hingga saat aku terbangun dari tidur panjangku, yaitu hari ini.
Kalian mungkin bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mengetahui apa yang terjadi selama aku tertidur. Ragaku memang tertidur, tetapi alam bawah sadarku memiliki fase terjaga. Saat itulah Merryweather akan menemuiku di alam mimpi. Ia akan bercerita tentang banyak hal yang terjadi di istana, yang secara umum terdengar baik-baik saja. Namun, dalam kurun waktu 100 tahun belakangan ini, Merryweather menghilang entah ke mana. Ia tak pernah menemuiku lagi di alam mimpi, bahkan hingga saat ini, aku tak dapat menemukannya di sisiku.
"Pangeran!" sapaku segera setelah keluar dari semacam peti mati mewah yang menjadi tempat tidurku dengan susah payah. Otot-ototku yang kaku benar-benar menyulitkan pergerakan. Anehnya sang pangeran tak sedikit pun berniat membantuku. Ia tetap bergeming di posisinya, bahkan saat aku sedikit terhuyung dan nyaris jatuh.
Setelah dapat berdiri dengan stabil, aku memegang kedua sisi gaun merah muda kusam yang kukenakan dengan canggung sembari menekuk satu kaki ke belakang, kemudian sedikit membungkukkan punggung memberi hormat.
Pemuda itu bergeming, masih dengan mata yang melotot tajam padaku, seakan aku adalah satu-satunya anomali di dalam ruangan ini. Tatapan itu benar-benar membuatku tak nyaman.
Aku menegakkan punggung kembali setelah gestur penghormatan itu. Berdiri gelisah di atas pijakkanku. Lagi-lagi, reaksi Philip benar-benar di luar dugaan. Alih-alih membalas penghormatanku, ia malah menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Arogansi yang ia tunjukkan membuatku sedikit terganggu. Ada apa dengan Pangeran Philip?
Tunggu dulu, ada yang aneh dengan Pangeran Philip. Pakaian yang dikenakannya terlihat tidak seperti pakaian yang digunakan kebanyakan pangeran. Alih-alih memakai mahkota, tunik selutut berwarna cerah dan selempang formal kerajaan, Philip malah memakai baju berkerah berwarna lembut, dengan bagian lengan yang hanya menutupi lengan atasnya saja. Sementara, bagian bawah bajunya diselipkan ke dalam celana kain berwarna gelap. Keanehan lain berasal dari tampilan gaya rambutnya yang dibiarkan tergerai begitu saja tanpa ditata sebagaimana mestinya.
Aku refleks menggelengkan kepala. Segala sesuatunya terasa sangat salah dan janggal. Pandanganku mengedar ke sekeliling ruangan. Ruangan itu juga ternyata sangat jauh berbeda dengan istana tempat tinggalku dulu, jauh lebih sederhana, tetapi dengan kerumitan tertentu di saat yang sama. Langit-langit yang lebih rendah dengan bola-bola sihir bercahaya yang menempel pada beberapa sisinya. Aneka perabot aneh dalam posisi yang tak beraturan membuat ruangan itu terasa lebih sesak. Semuanya terlihat berbeda. Tidak seperti keadaan diu Forbidden Castle.
Raja Stefan dan Ratu Leah yang menjadi orang yang paling aku harapkan untuk menyambut kebangkitanku tak jua terlihat batang hidungnya. Tidak ada para dayang dan sentinel kerajaan sama sekali. Pun tidak ada para peri pengasuhku; Flora, Fauna dan Merryweather. Tidak ada siapa pun, kecuali Philip yang aneh.
Sesuatu di dalam dadaku mendadak pedih. Bahkan, pandanganku kembali memburam. Jika ini bukan rumah, lantas di mana aku berada saat ini?
"Siapa kau?!"
Suara bariton itu sontak membuyarkan lamunanku. Aku gelagapan. Tanpa sadar meremas salah satu sisi gaun dengan gusar. Semoga dia mengingatku. "Aku Briar Rose," sahutku lirih, nyaris tak terdengar. Barangkali Philip memang tak mendengarkanku.
Pemuda itu mengernyit. Aku menggigit bibir berusaha menahan keinginan besar untuk menghambur ke dalam pelukannya dan menangis. Ini adalah pertemuan pertama kami dan aku harus bersikap mengesankan.
"Kenapa kau ada di sini? Bagaimana kau bisa menyelinap masuk ke tempat ini?!" hardiknya. Ia menilaiku dengan sorot matanya yang tajam dan dingin, dari kepala hingga ujung kaki.
Nada suara yang tajam itu menohokku. Aku membuka mulut, tetapi menutupnya kembali saat sebuah sensasi aneh menyerang tenggorokkanku. Aku terbatuk untuk beberapa saat sembari menepuk dadaku. Permukaan gaun merah mudaku mengepulkan debu. Aku mengibas-ngibaskan kepulan itu dengan satu tangan saat batukku mulai mereda.
"Aku ingin minum. Aku butuh air," raungku dengan tenggorokkan yang terasa kering dan perih.
Lelaki itu berdecak kesal. Salah satu tangannya memijat pelipis . "Kau bukan tamu di sini! Jadi berhentilah berlagak seolah-olah kau adalah tamu."
"Aku tak tahu kenapa aku ada di sini. Tempat ini sepertinya bukan istanaku." Aku kembali melemparkan pandangan ke sekitar. Berusaha mencari 'rumah' dalam istana asing itu. Akan tetapi, tak satu barang pun yang terlihat familier. Tak ada apa pun yang terlihat sebagai 'rumah'.
"Istanamu?"
Aku mengangguk mantap, mengabaikan tatapan anehnya padaku.
"Tunggu dulu. Ada satu hal yang harus aku luruskan di sini. Pertama, aku bukan pangeran. Namaku memang Philip, tapi aku bukan pangeran dan aku sama sekali tak mengenalmu. Keberadaanmu di sini adalah sesuatu yang ilegal. Aku akan memeriksa CCTV dan memastikan tak satu pun barang berharga yang hilang."
Penjelasannya tanpa sadar membuatku menganga. Philip berbicara seolah-olah dia berasal dari tempat yang sepenuhnya jauh berbeda dengan duniaku. Hal-hal yang ia sebutkan sama sekali tak kumengerti.
"A-aku tidak mengerti."
"Kau tidak perlu memahami apa pun. Sebelum aku melakukan hal-hal itu, sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini," jawabnya ketus.
Aku mendengkus. Permainan apa pun yang sedang dimainkan Philip kini rasanya mulai tak menyenangkan. "Pangeran, kau tak mengenaliku?" Pertanyaan memalukan itu akhirnya lolos dari mulutku, tanpa bisa kutahan.
"Sudah kukatakan aku tidak mengenalmu!" Nada suaranya yakin dan tegas.
Perkataannya barusan membuat pertahananku runtuh. Aku terisak. Kerinduan yang kutanggung selama tertidur panjang berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus aku hadapi saat ini. Aku merasa benar-benar hancur.
Philip mendengkus keras. Sepertinya ia tak menyukai tangisanku. Akan tetapi, ia tetap bergeming, sama sekali tak berniat untuk meredakan tangisku. Sikap Philip benar-benar mematahkan hatiku sekali lagi. Rasanya aku ingin kembali tertidur dalam peti mati dan mengunci diri di sana selamanya.
Aku tak tahu persis berapa lama aku menangis. Philip masih setia mengawasiku pada salah satu sudut ruangan. Tiba-tiba, aku mengingat Merryweather, harusnya ia ada di sisiku saat aku terbangun sebagaimana janjinya. Merryweater harus menjelaskan keanehan ini padaku karena dialah yang membuatku percaya bahwa jodohku adalah Pangeran Philip. Namun, Philip yang kutemui sekarang sama sekali tak terlihat seperti pangeran dan sepertinya dia bahkan sangat membenciku.
Aku mengangkat wajah dari telapak tanganku yang basah, sekali lagi mengedarkan pandangan pada ruangan asing itu.
"Kalau kau sudah selesai, kita harus segera keluar dari tempat ini!" Philip kembali membentakku.
Bunyi gemerincing yang cukup keras membuatku sedikit terkejut. Philip merogoh kantung celana kain hitamnya. Mengeluarkan satu renteng anak kunci berwarna perak sembari bangkit dari posisinya. Ia tak mengacuhkanku dan melewatiku begitu saja menuju pintu ruangan.
Setelah membuka pintu, Philip menoleh padaku, masih dengan wajah dingin. Ia melirik sesuatu yang melingkar di pergelangan tangannya. Satu tangannya mengetuk-ngetuk permukaan pintu dengan tidak sabar. "Cepat keluar!" desisnya.
Aku menggeleng pelan. Ini kesempatan terakhirku untuk bertahan di sini. Aku harus bertemu dengan Merryweather dan menanyakan perihal semua keanehan ini. "Aku Briar Rose," ucapku seraya berjalan mendekatinya. "Orang-orang menjulukiku Putri Tidur, kau pasti pernah mendengar kisah tentangku. Aku sama sekali tidak mencuri atau melakukan hal-hal semacam itu. Aku mohon, aku harus tetap di sini dan menunggu Merryweather." Aku menangkupkan kedua telapak tanganku dan memasang wajah memelas.
Anehnya, Philip malah tergelak. Akan tetapi, aku tahu dia tidak tertawa, dia sedang mengejekku. Setelah tawanya mereda, dia kembali menatapku tajam. "Dengar gadis dongeng, sepertinya kau kurang sehat. Aku dapat memaklumi jika tertidur di dalam peti mati memang bukanlah hal yang menyenangkan dan bisa membuat trauma. Akan tetapi, Merry Water atau siapa pun itu tak akan bisa menemuimu karena kau akan terkunci di sini jika aku pergi, jadi lebih baik kau menunggunya di luar."
Aku menggeleng berusaha bertahan di posisiku.
Philip lantas mendekat dan mencengkeram salah satu pergelangan tanganku, menyeretku cepat melewati lorong temaram di luar ruangan tadi. Sesuatu seperti lilin yang bercahaya menempel di sepanjang dinding lorong dalam jarak tertentu. Sementara, lukisan-lukisan wajah mengisi jarak kosong di antara lilin-lilin ajaib itu. Lukisan-lukisan wajah yang tak familier, tetapi menguarkan aura misterius yang memukau.
Aku terpana dengan mulut menganga dan lupa untuk menanggapi ucapan Philip. Kami akhirnya sampai di penghujung lorong yang bermuara pada sebuah ruangan besar dengan lebih banyak bola cahaya ajaib pada langit-langit dan dinding. Tanaman-tanaman indah tampak tumbuh di beberapa sudut ruangan dan anehnya mereka tumbuh dalam sebuah wadah kecil, alih-alih tumbuh di tanah sebagaimana seharusnya.
Keterpanaanku belum juga usai hingga akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu kaca, yang entah bagaimana caranya, bergerak dan membuka otomatis saat tubuh kami hanya berjarak kurang dari sejengkal. Pintu itu juga rupanya menggunakan sihir.
"A-aku baik-baik saja, Pangeran. Tolong, jangan tinggalkan aku." Keterpanaanku menguap saat Philip melepaskan pergelangan tanganku dan berjalan menjauh. Dengan cepat ia 'mengunci' pintu kaca itu, bukan dengan anak kunci. Kemudian, melenggang pergi menjauhiku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Beberapa langkah di hadapannya, sebuah kereta besar berwarna hitam diam bergeming. Namun, aku tak melihat seekor kuda pun di sana.
Philip menoleh sesaat sebelum memasuki kereta. "Kau, bisa menunggunya di sini," katanya.
Aku sontak terserang panik. Dengan tergopoh-gopoh, aku mengejarnya. Pintu kereta telah tertutup. Namun, aku tak kehabisan akal. Kuketuk pintu kereta itu dengan membabi-buta. Sikapku itu agaknya berhasil membuat Philip kesal.
Tiba-tiba saja kaca pada pintu kereta itu bergerak membuka, persis seperti pintu istana tadi. Wajah memerah Philip terpampang di balik kaca seolah siap mengumpatku.
Susah payah, aku menyunggingkan senyum agar kemarahannya menguap. "Jangan tinggalkan aku di sini Philip. Aku mohon. Beri aku tumpangan sampai aku dapat bertemu dengan Merryweather."
"Bukan urusanku!"
Kaca bergerak nyaris menutup, tetapi dengan nekad aku menyelipkan tanganku di antara celah yang terbuka. Philip mendengkus. Kaca kereta kembali terbuka Setelah pemuda itu memencet sesuatu di dalam kereta.
"Ada apa lagi?!"
"Aku mohon Philip, bantu aku ..." Aku belum menyerah. Tidak akan menyerah sampai Philip mengenaliku atau aku menemukan peri pengasuhku. Aku yakin, Philip adalah jodohku sebagaimana yang pernah dikatakan Merryweather.
"Tidak. Dengar, Nona Rose. Sebaiknya kau berhenti membaca dongeng apa pun. Dongeng dapat merusak pikiranmu! Dan, sekali lagi aku tegaskan, aku tidak mau berurusan denganmu!"
Aku terdiam. Kata-kata tajam dan netra birunya yang menatapku dingin itu seolah mencekik tenggorokanku. Saat aku akhirnya tersadar dari keterpanaan, kereta ajaib yang ditumpangi Philip berlalu meninggalkanku dengan begitu cepat.
Pandanganku mengabur, sementara kurasakan pelupuk mata yang mulai kembali memanas. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang menganggapku sebagai dongeng bodoh adalah jodohku?
TBC
Pontianak, selesai ditulis pada 21 Agustus 2020 pukul 14.24. WIB
Dipublikasikan pada tanggal 21 Agustus 2020, pukul 22.50 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top