XV. Kebenaran yang Disembunyikan (3)

Salah besar kalau Luna mengira semua ini akan berjalan lancar.

Mengendap-endap ke ruangan terlarang perpustakaan—yang meski mendapat izin dari Kepala Akademi sendiri—tentu saja akan menimbulkan resiko lain. Tapi dia tak pernah memikirkan tentang sosok lain yang menciduknya tengah mengambil beberapa buku kuno di area terlarang, bukannya para penjaga akademi. Terlebih, dia juga menyeret Aileen dalam situasi berbahaya ini. Dia tak sampai hati melihat teman sekamarnya yang menggunakan bahunya sebagai tameng, menangis terisak.

Saat itu mereka tak bisa menghindar dari takdir.

Sosok misterius mengayunkan tangannya yang dipenuhi aura kegelapan. Dalam sekejap, tubuh mereka terhempas ke belakang menabrak rak buku. Luna berani bersumpah tulang punggungnya seperti akan remuk. Dia ingin muntah, akibat  membentur benda keras. Ketika sempat melirik ke Aileen, gadis itu sudah terkulai lemas tak bergerak. Luna meringis, berharap gadis itu tidak apa-apa.

Tak membiarkan mereka bernapas, akar-akar kegelapan yang pernah dilihat Luna dalam mimpi muncul dari permukaan tanah, mengangkat tubuh mereka tinggi sampai kepala membentur langit-langit ruangan. Leher mereka tercekik, napas tercekat. Luna megap-megap, mencengkram lilitan asap kegelapan yang melingkari lehernya. Yang bisa dia lihat saat itu adalah pandangannya yang berubah kelabu dan samar. Kepala gadis itu pusing akibat terbentur dan rasa sakit di punggungnya masih menggerogoti tulang.

"Aku akan membunuhmu kali ini, Luna." Sosok itu menyeringai, masih mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Sekali mendayung dua pulau terlampaui."

Luna tidak kuat. Cekikan di lehernya semakin mengencang. Dia memejamkan mata, merasa seperti inilah ajalnya. Beginilah cara Dewa Kematian menjemputnya.

Entah bisa dibilang keberuntungan berpihak pada gadis itu atau tidak. Tiba-tiba saja cahaya yang sangat terang muncul dari arah pintu. Kurungan akar-akar kegelapan terbuka, menjatuhkan kedua gadis itu begitu saja di atas lantai berbatu yang dingin. Si Sosok misterius mengerang perih kala cahaya yang diatur temperaturnya menjadi panas itu membakar tangannya.

Mata Luna sempat terbuka sebentar, mengerjap-erjap. Seorang pria jangkung dengan punggung lebar tengah berdiri di depannya. Yang terlihat dari pantulan cahaya hanyalah surainya yang berwarna kuning keemasan.

Sebelum kembali memejamkan mata akibat rasa pusing yang terus menyerang, dia mendengar orang itu menyerukan namanya berkali-kali.

****

Setelah lima jam lamanya, kelopak mata Luna akhirnya bergerak-gerak. Bau obat-obatan menyambut hidungnya. Bising, indera pendengaran gadis itu menangkap suara seseorang yang sejak tadi terus mengoceh tak habis-habisnya.

"Kalau aku sedang tidak mendapat jadwal patroli malam itu, entah apa yang terjadi."

Siapa?

Luna ingin membuka kelopak matanya yang dirasa terlalu berat. Seluruh tubuhnya kaku seolah-olah telah dibius. Dia kemudian merasakan sapuan lembut di atas punggung tangannya. Saat itulah dia berhasil menarik ujung kelopaknya pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk.

Pemandangan ruang kesehatan akademi menyapa pengelihatannya, dipenuhi rak-rak kayu dan botol-botol kaca dengan cairan beragam warna. Ketika dia menoleh ke samping, seseorang tengah terduduk di sebelahnya, mengelus lembut punggung tangannya.

Ketika menyadari siapa yang tengah menunggunya, Luna lantas menarik tangannya dalam satu hentakan.

"Kau ...," katanya dengan suara parau. Dia  ingin berteriak tapi tenggorokannya yang serak tak mengizinkan.

Bagaimana rasanya ketika orang yang mulai kau percayai justru mengkhianatimu?

Hatinya sakit, Luna benci. Dia benci dibohongi. Sejak kematian orangtuanya yang ditutupi oleh bibinya sendiri yang sudah cukup menyakitkan, dia tak ingin lagi dibohongi. Dia sudah cukup percaya bahwa Lucius tak akan mengkhianati kepercayaannya. Dia sudah berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk mulai terbuka pada pemuda itu dan percaya bahwa Lucius tak pernah sekalipun memiliki kehendak untuk membunuhnya.

Tapi seluruh fakta yang dia temukan di tulisan dalam lembaran buku kuno itu telah menamparnya keras-keras. Nyatanya, pemuda itu tak berbeda dari mereka yang mengincar nyawa Luna. Dia berada di kubu yang sama dengan sosok misterius itu. Dia sengaja berada di dekat Luna dan menyelamatkannya untuk meyakinkannya bahwa dia adalah teman yang baik, kemudian menusuknya dari belakang.

Ya, pasti begitu.

Tanpa dia sadari, air mata Luna sudah menetes membentuk sungai kecil di pipinya. Kepalanya yang masih terasa sedikit berat tak dihiraukannya. Gadis itu menatap lurus-lurus ke arah Lucius. Tercetak jelas raut wajah kecewa di matanya.

Lucius yang menyadari perubahan ekspresi itu, lantas menatapnya dengan wajah bimbang. "Luna ... aku tahu kau—"

"Tidak, aku tidak mau mendengarnya." Luna  menutup kedua telinganya. "Aku tidak mau," dia kembali terisak. "Kau berbohong dan berbohong. Kau mengatakan omong kosong tentang tidak akan membunuhku. Kenyataannya kau sama seperti mereka, tandanya adalah simbol di belakang lehermu, Noctus." Luna memberi jeda untuk menarik napas. "Kau seorang pembohong, Lucius. Dan, yeah, kurasa aku-lah satu-satunya yang tolol di sini karena percaya dengan perkataanmu itu."

Dia kecewa. Rasa kecewa itu telah mengisi hampir keseluruhan emosinya sampai-sampai Luna tak bisa berpikir jernih.

Raut wajah Lucius terlihat sangat terpukul, membuat Luna sedikit bertanya-tanya. Tapi dia tidak peduli. Dia tidak mau percaya padanya lagi.

"Baiklah." Lucius menghela napas. "Walaupun saat ini aku memaksamu untuk mendengar penjelasanku, kau tak akan bersedia. Aku akan keluar, kuharap lain kali kau mau mendengarkannya." Dia kemudian beranjak dari kursinya. Sampai di ambang pintu, dia berhenti, berbalik. "Semoga lekas sembuh."

Luna tidak menjawab, dia menunggu Lucius benar-benar meninggalkan ruangan. Setelah ruangan sepi, Luna tak dapat lagi menahan emosinya yang hendak meluap keluar. Malam ini, dia benar-benar dirundung rasa kecewa.

****

Luna bangun pagi dengan mata sembab, membuat kelopak mata lebarnya menjadi sipit dalam semalam.

Kondisi kedua gadis itu sudah jauh lebih baik akibat obat dari akademi. Kini mereka tengah menyantap sarapan di dalam kamar. Luna enggan pergi ke cafetaria dan memaksa Aileen untuk ikut menemaninya. Tapi bukannya makan, Luna justru menusuk-nusuk sandwich-nya tidak minat.

"Luna," tegur Aileen lembut. "Tolong, jangan buat dirimu seperti ini."

Gadis yang dipanggil mendongak. Ekspresinya memprihatinkan. "Aku kecewa sekali, Aileen ...."

Aileen tersenyum prihatin. "Aku tahu. Aku tidak mendukung Lucius dan fakta jahatnya.  Tapi aku minta padamu, jangan biarkan ekspetasi dan rasa percaya itu mengkhianatimu, Luna. Ekspetasi itu juga terkadang membuat diri kita kurang waspada terhadap lingkungan sekitar. Kecewa? Wajar. Jangan terlalu berlarut-larut, ya. Ingat, kita masih punya banyak yang harus dikerjakan." Aileen menunjuk tumpukan perkamen tua dan buku Noctus di atas meja belajar.

Menghela napas, seulas senyum simpul terukir di bibirnya. Dirinya dan Lucius tak lebih dari hubungan mentor dan murid. Kenapa dia perlu sampai menggantungkan kepercayaan pada pemuda itu? Luna memang bodoh. "Kau benar."

Aileen mengangguk dan beranjak dari kursinya. Mengambil gulungan-gulungan perkamen dan meletakkannya di atas meja bundar tempat mereka makan. "Kita akan mulai menelusuri isi perkamen tua ini."

Luna akhirnya menggigit sandwich, memperhatikan huruf-huruf dan gambar asing yang terukir di atas kertas kecoklatan yang usang dimakan usia. Bau debu memenuhi hidung, membuatnya seketika terbatuk. "Tapi kau bilang ini menggunakan bahasa kuno. Jadi kita tidak akan bisa membacanya."

"Bisa, kita minta bantuan Kepala Akademi," kata Aileen mantap. Dia kemudian membuka buku berwarna merah tua tebal dengan simbol Noctus. "Kau tahu? Aku menemukan lembaran ini di dalam halaman terakhir."

Luna meraih selembar kertas usang dari tangan  teman sekamarnya. "Buku ini telah disita oleh Kementrian Penegak Magis dan berhenti dicetak sejak tahun 1180.  Cetakan ini adalah cetakan terakhir dan disimpan hanya untuk kepentingan mendesak. Dilarang menyalahgunakan isi dari buku ini."

Dia kemudian membalik halaman terakhir.
Alih-alih berisi profil penulis, justru tertulis sebuah paragraf yang menjelaskan bahwa Noctus telah dibubarkan tepat sejak buku Noctus berhenti dicetak.

Mereka lalu menghabiskan sisa waktu sarapan pagi dengan terlarut ke dalam halaman-halaman tua buku Noctus. Kebanyakan isinya adalah menjelaskan mengenai tradisi utama Noctus sebagai penerimaan anggota baru, ajaran-ajaran ritual yang berhubungan dengan kontrak iblis, mantra-mantra pengabdian terhadap iblis dan makhluk neraka, dan imbalan yang didapatkan berdasarkan tingkatan-tingkatan kontrak yang telah dilaksanakan oleh penyihir.

Tingkatan paling kecil memperbolehkan si pembuat kontrak untuk menggunakan kekuatan kegelapan atau energi dari neraka. Kemudian tingkatan terbesar dapat menjadikan puluhan ribu makhluk neraka sebagai prajurit pribadi beserta menjanjikan kekuatan besar yang membuat siapapun tunduk pada si pembuat kontrak. Bayarannya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pembuat kontrak harus melalui sebuah ritual yang dikenal dengan nama 'Ritual Gelap Terakhir'. Untuk bahan-bahan yang diperlukan sudah tertera di perkamen tua yanf telah mereka bawa.

Aileen dan Luna saling berpandangan, mereka melirik perkamen tua yang berada tepat di sebelah buku Noctus. Pastilah itu yang dimaksud dengan lingkaran sihir untuk Ritual Gelap Terakhir. Kini mereka mengerti kenapa perkamen itu ada di area terlarang akademi.

Tapi kenapa Kementrian tidak menghancurkannya saja ya? Dan siapapun yang berusaha keras melaksanakan ritual terakhir dan mendapatkan semua bahan-bahannya ini pasti sangat kejam, tak terhitung lagu dosanya ....

"Kita harus menghentikan seseorang mendapatkan gulungan perkamen ini dan juga buku Noctus. Karena sekarang kita sudah terlanjur mengeluarkannya dari area terlarang, itu berarti tanggung jawab menjaganya ada pada kita. Lagipula, ada orang lain yang tengah mengincar kita saat ini, termasuk sosok yang merasuki Mr. Patridge," terang Luna tanpa mengalihkan fokus dari gambar lingkaran sihir di perkamen itu. Suaranya gemetar, dia tengah gusar. "Tapi yang paling pertama harus kita lakukan adalah ...."

"Menemui Kepala Akademi untuk membaca perkamen!" seru kedua gadis itu berbarengan.

****

Althopedia!

Important Note : Lucius merupakan bagian dari anggota Noctus. Noctus memiliki tujuan tujuan gelap yang sangat bertentangan dengan ideologi negeri Althoria. Pria yang ada di dalam mimpi Luna saat di akademi adalah Gaian, yang berkata akan membunuhnya. Gaian adalah ayah Lucius.

That's why Luna kecewa sama Lucius. Plus, Luna itu keras kepala.

Author's note!

agak susah bikin part ini, karena perlu pake emosi juga bikinnya. wkwkwk.

terimakasih sudah membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top