XIII. Kebenaran yang Disembunyikan (1)

“𝕾𝖔𝖒𝖊𝖙𝖍𝖎𝖒𝖊𝖘, 𝖙𝖍𝖊 𝖍𝖎𝖉𝖉𝖊𝖓 𝖙𝖗𝖚𝖙𝖍 𝖎𝖘 𝖍𝖚𝖗𝖙𝖘.”

Malam perayaan hari ulang tahun akademi menjadi kacau balau.

Setelah ledakan yang tiba-tiba itu, pesta dansa dihentikan dan semua murid diimbau untuk masuk ke asrama masing-masing. Kepala Akademi dan beberapa guru menduga ledakan itu adalah ledakan sihir yang disengaja. Sepertinya ada seseorang yang ingin membobol masuk ke dalam area terlarang perpustakaan. Karena dipaksa menerobos masuk, sistem kemananan yang menjaga area terlarang melepas ledakan karena adanya benturan antara sihir dan sistem. Ada dugaan lain lagi setelah melihat jejak kerusakan sistem. Sihir yang digunakan untuk menerobos adalah salah satu sihir kuno yang berhubungan dengan iblis.

Kabar baiknya—meski kini perpustakaan sedikit hancur di bagian belakang; rak-raknya runtuh dan buku-buku berserakan—tidak ada satupun barang di ruangan terlarang yang hilang. Perpustakaan akan ditutup sementara waktu dan dalam masa perbaikan. Sepertinya si pembobol langsung kabur begitu mendengar langkah kaki Kepala Akademi yang datang secepat kilat.

Luka di lengan Luna dikait-kaitkan dengan ledakan di akademi. Kepala Akademi menduga si penyerang dan si pembobol berada di satu kubu yang sama, karena kejadian itu terjadi dalam satu waktu. Pertanyaan yang belum terjawab adalah, apa yang mereka cari dan kenapa mereka menyerang Luna?

"Aw!" Luna meringis kala Lucius meneteskan ramuan berwarna hijau tua dalam tabung bening. Dalam sekejap mata, lukanya kembali menutup sempurna tanpa bekas.

Kini mereka berdua tengah berada di ruang unit kesehatan akademi. Odelia sempat hendak mengobatinya tapi Lucius lebih dulu menawarkan diri. Awalnya Luna tidak suka ditemani oleh mentornya itu. Tapi pada akhirnya dia menurut pasrah karena rasa perih di luka goresan yang lumayan lebar itu.

"Setelah ini kita harus kembali ke kamar. Tidak ada jaminan mereka tidak akan kembali lagi," ujar Lucius tegas seraya meletakkan ramuan ke dalam rak obat-obatan. Kemudian duduk di samping Luna, gadis itu hanya diam sedari tadi dan hanya mengeluarkan suara untuk meringis.

Untuk waktu yang cukup lama, keheningan melanda mereka.

Tanpa menoleh, Luna berkata dengan suara kecil, "kenapa kau membantuku? Kenapa kau cemas? Bukankah kau benci padaku?"

Lucius menoleh ke arah Luna, alisnya tertaut bingung. "Membencimu?"

Luna ikut menoleh, terlihat jelas wajah lelah di sana. "Bukankah kau berkali-kali mendecak saat berada di dekatku? Lalu kau juga berusaha membunuhku. Kau juga selalu menatapku dengan wajah tidak senang dan alis tertaut."

Selang beberapa detik terdiam, tawa Lucius menyembur. Membuat Luna mendelik kesal, "apanya yang lucu?"

"Tidak," ujar pemuda itu seraya menyeringai. Ini pertama kalinya Luna melihat Lucius tertawa lebar, tersenyum.

Ternyata begitu ekspresinya saat tertawa.

"Ya, aku membencimu." Jawaban Lucius membuat Luna menatapnya tidak suka. Tapi tulisan emas di atas kepala pemuda itu membuat Luna mau tak mau menahan ujung bibirnya yang hendak tersenyum; sangat membencimu sampai-sampai aku tidak bisa mengeluarkanmu dari pikiranku.

"Aku tahu kau berbohong," celetuk Luna seraya memalingkan wajah, membiarkan senyuman terukir di bibirnya.

Eh, untuk apa aku tersenyum? Dengan cepat gadis itu mengubah ekspresi.

Suasana tiba-tiba saja berubah canggung. Ruangan unit kesehatan yang sunyi membuat hanya suara denting jarum jam yang terdengar. Bulan semakin tinggi di luar sana, cahayanya menembus masuk melalui ventilasi udara.

"Dari dulu, aku sering mendengar pendapat orang-orang kalau wajahku terlalu dingin dan kejam." Lucius tiba-tiba membuka pembicaraan. Dia menyandarkan tubuhnya pada sofa. "Sikapku memang banyak diprotes orang-orang. Sombong, dingin, menyebalkan. Tapi aku tidak pernah sampai punya keinginan membunuh orang." Dia  terdiam sebentar. "Oke, kuakui metode pengajaranku memang sedikit sadis. Semua itu murni untuk dirimu. Kepala Akademi selalu berpesan padaku untuk melatihmu dengan cepat, agar kau bisa melindungi dirimu nantinya, Luna. Aku tidak bisa mengajari orang dengan baik, dengan metode yang lambat. Aku takut kau akan lama menguasai pelajaran yang kuajarkan padamu."

Untuk pertama kalinya, Lucius berbicara dengan nada lembut. Jauh berbeda saat dia menggunakan nadanya yang ketus dan sombong.

Lucius menoleh ke arah Luna. Netra hijaunya menatap dalam ke mata gadis itu. "Kita tidak tahu bahaya apa yang mengincar di masa depan. Seperti tadi contohnya."

Gadis itu terdiam. Entah kenapa suasana ini membuat jantungnya berdegup kencang. Padahal biasanya dia berapi-api sekali setiap melihat Lucius. Diam-diam ingin meremukkan tulang hidungnya. Tapi malam ini dia merasa nyaman, dia tidak merasa bahwa Lucius adalah musuh bebuyutan seperti biasa.

"Maaf."

Luna menoleh secepat kilat, mulutnya terbuka. Apa pemuda ini baru saja meminta maaf? "Kau? Meminta maaf?"

Ketika gadis itu berusaha menatap matanya, Lucius dengan cepat memalingkan wajah, pura-pura menatap jarum jam dinding. "Apa ada yang salah?"

Luna tersenyum jahil. "Aku tidak mendengarnya, coba ulangi." Lucius menoleh dengan ekspresi jengkel. "Apa? Kau sungguhan ingin minta maaf, kan?"

Helaan napas terdengar dari pemuda itu. "Aku minta maaf, Luna Olivia Norwood," ulangnya dengan nada lebih keras dan penuh penekanan. Dia kemudian menoleh pada Luna. "Puas?"

"Bagus." Luna terkikik dan kemudian beranjak dari sofa. Dia harusnya takut dan cemas karena baru saja mengalami petaka. Tapi entah kenapa suasana hatinya menjadi segar kembali. "Ayo kita kembali ke asrama."

Lucius ikut berdiri dan mengekori Luna. "Aku akan mengantarmu. Aku tidak ingin ada bahaya lagi yang datang."

Singkat cerita, mereka berdua berakhir berjalan berdua menyusuri koridor yang remang-remang sebagai penghubung gedung bagian kiri dan gedung asrama. Sepanjang jalan hanya keheningan yang mengisi mereka. Suasana berubah canggung. Untunglah jarak ke asrama tidak begitu jauh, membuat Luna bernapas lega dalam hati.

"Terimakasih, Lucius," ucap Luna pelan. Mereka sudah sampai di depan pintu kamarnya.

Dalam hati, dia bersyukur Lucius datang menyelamatkannya. Walaupun jujur, Luna masih tidak ingin mengakui itu  terang-terangan di depan wajah Lucius, malu. Bagaimanapun juga, Luna merasa harus tetap mengucapkan terimakasih.

Lucius hanya mengangguk dan mempersilahkan Luna masuk ke kamarnya. Sebelum dia menutup pintu, Lucius kembali memanggil, membuat gadis itu menyembulkan kepala dari celah pintu.

"Jangan pernah tiba-tiba pergi dan menghilang lagi."

Luna menahan senyum, mengangguk.

"Selamat malam." Lucius berbalik dan berjalan menjauh, kembali menyusuri koridor.

Tepat ketika Luna kembali samar-samar melihat simbol lingkaran dengan bintang di tengahnya yang bersinar di belakang leher Lucius.

****

Untuk saat ini, Luna memutuskan melepas label 'sialan'-nya untuk Lucius.

Meski pemuda itu masih saja menyebalkan, setidaknya Luna tidak perlu khawatir bahwa Lucius akan sungguhan membunuhnya. Lagipula, akan lebih baik bagi Luna jika fokus belajar saja, meningkatkan kekuatan. Luna memang sensitif dan keras kepala, namun dia tidak pernah melempar tatapan penuh permusuhan pada orang yang tidak menganggapnya musuh.

Walau begitu, karena kejadian kemarin dan simbol di belakang leher Lucius, Luna merasa harus mencari tahu sesuatu. Ada beberapa hal yang mencurigakan. Dan orang yang paling bisa dipercaya dan diandalkan dalam situasi ini adalah Odelia.

Bibinya menyambut Luna dengan baik di ruang Kepala Akademi, menjamunya dengan teh ber-aroma melati yang khas.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Odelia seraya duduk di sofa seberang Luna.

Luna meneguk isi cangkirnya sampai tersisa setengah. "Aku penasaran akan sebuah simbol." Dia terdiam sesaat, melirik bibinya yang menatap penuh rasa penasaran. "Lingkaran hitam dengan bintang di tengahnya."

Hening beberapa saat. Ketika Luna kembali melirik, Odelia kini memandangnya dengan ekspresi terkejut; mata melebar syok. "Darimana kau melihatnya?"

"Uhm ... di kulit seseorang?" jawab Luna lebih kepada dirinya sendiri.

Odelia mendesah resah. Dia mengayunkan tongkat di atas meja. Bayangan ilustrasi yang dirajut oleh debu emas terbentuk. Menampilkan sosok pria usia empat puluhan berpakaian resmi ala anggota kerajaan berwarna biru tua. "Dia Gaian, Pangeran Kedua, penyihir putih." Gambar berganti tepat ketika tongkat kembali diayunkan, muncul simbol seperti yang pernah dilihat Luna. "Bagi orang yang punya kekuatan Dewi sepertiku, akan mudah mengetahui sejarah di masa lampau, meski tidak sepenuhnya. Aku hanya akan menceritakan apa yang aku tahu saja, karena kalau memaksa, mantra Gaian akan kembali bekerja padaku."

Luna menunggu penjelasan bibinya dengan sabar.

"Dia dulunya adalah penyihir yang pernah melakukan kontrak dengan iblis. Aku tidak tahu alasannya, tapi sepertinya dia gila akan kekuatan yang besar," jelas Odelia pelan, seperti ragu untuk melanjutkan penuturannya. "Karena kejahatannya itu, dia dieksekusi langsung oleh Kementrian. Aku, dan saudariku, Oliana, percaya bahwa Gaian tidak hilang sepenuhnya dari dunia ini. Dia masih hidup. Entah di mana dia sekarang. Tapi yang pasti, aku tahu penyerangan kemarin adalah pergerakannya. Dia mencari sesuatu di area terlarang akademi, untuk melanjutkan ritual terakhirnya yang sempat tertunda sebelum dia mati.

"Mantra Gaian bekerja pada semua orang, memanipulasi pikiran mereka agar hanya ingat akan sejarah yang telah dirubah. Pun buku sejarah Althoria yang kaupinjam. Semuanya mencantumkan bahwa penyihir hitam adalah pelaku kerusuhan ritual iblis beberapa tahun lalu. Dan penyihir putih adalah titisan Dewa. Itulah alasan penyihir hitam dipandang sebelah mata. Kami, keluarga Evans, masih belum mengetahui maksud dibalik perubahan sejarah ini." Odelia berhenti untuk menarik napas. "Dan ... simbol ini," ujarnya seraya menunjuk bayangan ilustrasi. "Adalah ... aarghhhh!"

Bayangan ilustrasi yang melayang di atas meja padam. Odelia mengerang kesakitan, memegang kepalanya dengan kedua tangan. Dia telah terlalu jauh membeberkan sejarah asli Althoria. Luna panik, dia berusaha mendekat ke arah bibinya. Tapi Odelia menahannya dengan satu jari.

"Tidak ... aku baik-baik saja," lirihnya seraya terengah-engah. Kemudian dia memberikan Luna sebuah kunci berwarna emas dengan permata berwarna ungu di gagangnya. "Ini ... kunci menuju area terlarang. Gunakan dengan baik. Kunci ini bisa membantumu keluar masuk area hanya sekali. Ingat, hanya sekali, setelah itu kau tidak akan bisa masuk atau keluar lagi. Jadi pastikan ambil semua barang yang kau perlukan."

Luna menerima kunci itu dengan mata berbinar. Kunci ini adalah petunjuk untuk semua pertanyaannya. Bagaimana sejarah Althoria sebenarnya, makna simbol itu, alasan dibalik kejahatan Gaian, dan masih banyak lagi.

"Tolong ... jaga baik-baik ...." Setelah mengucapkan itu, bibinya terkulai lemas di atas lantai tak sadarkan diri.

"Bibi! Oh, ya ampun!" pekik Luna panik.

Dia berusaha mengguncang-guncangkan tubuh Odelia. Keringat bercucuran membasahi pelipis wanita itu, wajahnya pucat dengan bibir memutih. Luna yakin, bibinya telah melanggar mantra Gaian terlalu jauh. Dia harus membawa Odelia ke unit kesehatan.

Luna meremas kunci yang telah diberikan padanya. Malam ini, dia harus pergi ke area terlarang. Dia harus mengembalikan sejarah Althoria. Atau semuanya akan hidup tersiksa di bawah mantra Gaian.

****

Author's note!

halo!

btw kalian lebih suka friend to lover atau enemy to lover? (˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵)

aku harap kalian terus menemani Luna di perjalanannya!

chapter selanjutnya akan mulai menegangkan, hehe.

terimakasih, dan jangan lupa tinggalkan vote + komentar! <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top