XII. Serangan Dalam Kegelapan

“𝕯𝖆𝖗𝖐𝖓𝖊𝖘𝖘 𝖈𝖆𝖓 𝖐𝖎𝖑𝖑 𝖞𝖔𝖚.”

Semenjak Luna mulai memimpikan sosok bertudung misterius itu, hidupnya tidak pernah tenang. Setelah pertemuannya terakhir kali di kuil, pikiran gadis itu meracau kemana-mana.

Bahkan saat ini, ketika Kepala Akademi yang tak lain dan tak bukan adalah bibinya sendiri tengah memberikan pidato panjang lebar— mengenai pentingnya belajar dengan sungguh-sungguh dan ucapan syukur serta terimakasih dalam menyambut hari ulang tahun akademi—Luna hanya bisa menunduk, memikirkan hal lain. Satu pertanyaan yang sama masih terus berputar-putar di kepalanya tanpa jawaban. Kalau penyihir hitam dipandang sebelah mata oleh orang-orang, lantas kenapa ada orang yang justru mengincar nyawanya? Semua orang tahu meski kini Luna dianggap menyebalkan dan perebut lelaki orang oleh sebagian gadis pendukung Rosetta, dia tidak pernah melakukan kejahatan sebelumnya yang membuat seseorang dendam padanya. Atau mungkin pengecualian untuk pemimpin perampok yang pernah dibunuhnya beberapa hari lalu. Luna berpikir hipotesisnya sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa manusia menghantuinya sampai Althoria?

"Luna, kau baik-baik saja?"

Menyadari seseorang memanggil namanya, Luna menoleh dan mendapati teman sekamarnya—yang kini tampil menawan dengan gaun ungunya dalam taburan serbuk emas—menyorot cemas. Dia tidak ingin Aileen ikut berpikir keras tentang masalahnya. Jadilah dia hanya menjawab, "Aku ... hanya sedikit pusing. Sungguh."

"Ya ampun. Kuharap itu bukan karena pidato Kepala Akademi yang sudah berlalu selama dua jam?" Luna menjawab dengan gelengan.

"Baiklah, demikian pidato panjangku hari ini. Melihat wajah masam kalian, aku yakin aku telah mengulur waktu acara terakhir yang sangat kalian tunggu-tunggu." Samar-samar, terdengar suara Odelia yang berdiri di atas balkon, dengan dua tangga di samping kanan dan kiri. Malam ini dia mengenakan gaun berwarna merah muda terang dengan banyak renda dan lipstik merah tua serta rambut panjang lurusnya yang ditata keriting. Membuat penampilannya semakin nyentrik. "Aku persilahkan untuk melakukan dansa pertama kalian, terimakasih" serunya sembari tersenyum kemudian turun dari tangga.

Luna menghela napas lega. Disamping pikirannya yang tidak bisa berhenti membayangkan sosok itu, kakinya juga pegal sebab berdiri selama dua jam lamanya. Dia segera berlari menuju sofa di sudut ruangan, meraih beberapa kudapan di meja sebelahnya dan diletakkan di atas piring kecil, kemudian duduk santai. Inilah tujuannya datang ke pesta dansa sejak awal, sekarang dia bisa menikmati kudapan lezat itu dengan tenang tanpa khawatir soal biaya.

Ketika dia baru saja hendak memasukkan sepotong canapé ke dalam mulutnya, mendadak seseorang mengulurkan tangan. Perutnya yang mengerang lapar hampir saja mengira orang itu hendak meminta canapé-nya.

"Di sini kau rupanya. Kau tidak akan hanya duduk diam di sana sembari makan sepanjang hari, kan?" Itu Lucius, berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk dan tangan terulur ke depan.

Luna mendecak. "Jangan ganggu aku." Lagipula apa kepala pemuda ini terbentur sesuatu? Sejak kapan dia ingin berdansa dengan Luna? Mereka kan saling membenci.

"Tentu tidak. Kalau kau mau berdansa satu lagu denganku," jawab Lucius tanpa menurunkan uluran tangannya.

Desahan kesal keluar dari bibir Luna, dia kembali meletakkan canapé-nya di atas piring kecil di meja bundar sebelah sofa. "Tidak akan pernah. Aku akan pergi kalau begitu."

Gadis itu menepis uluran tangan Lucius kemudian beranjak dari tempat duduknya. Tujuan Luna adalah pergi ke balkon dan menatap bintang-bintang kalau saja dia tidak mendengar seseorang memanggilnya.

"Luna." Ketika dia menoleh, bibinya muncul dengan senyuman. "Kau baru saja akan berdansa, kan?"

Luna terdiam. Kemudian menggaruk tengkuknya. "Ah .... Itu, ehm ...."

Odelia berjalan mendekat dan memegang bahu Luna dengan kedua tangan, tersenyum dengan mengancam. "Kau tidak akan membiarkan latihan kita sia-sia, kan?"

Luna mengintip dari balik bahu bibinya yang lebar. Lucius berdiri di belakangnya, memutar bola mata malas. "Ng ... tapi ...."

"Iya, kan?"

Gadis itu menghela napas, memutuskan untuk mengalah. "Baiklah ...."

"Bagus!" seru Odelia kemudian berbalik dan menepuk bahu Lucius dua kali.

Luna mencebikkan bibir kesal, dia menatap Lucius penuh permusuhan sementara yang ditatap menghela napas dan kembali mengulurkan tangan. Dia bersungut-sungut menerima uluran tangan itu tepat ketika lagu Waltz mengalun pelan. Pupus sudah harapannya makan kudapan lezat sepanjang hari di pesta dansa. Kemampuannya dalam berdansa sangat buruk dan Luna sangat mengetahui hal itu. Meski dia sudah meminum ramuan yang diberikan Bibinya sebelumnya, itu tidak mengubah kebencian Luna terhadap dansa.

Mereka berdua berjalan ke tengah-tengah aula, bergabung bersama puluhan siswa-siswi lain yang hendak berdansa. Lucius maju satu langkah di depan Luna, menarik telapak tangan gadis itu sejajar wajahnya. Ada sensasi menggelitik yang aneh ketika Lucius mencium punggung tangannya dengan lembut. Luna melirik ke kanan dan kiri, semua pemuda melakukan hal yang sama pada pasangan mereka, dia tidak jadi protes.

Tangan Lucius sudah berada di pinggang Luna. Dan tangan Luna sudah berada di punggung pemuda itu. Meski membenci Lucius, dia mengakui mentor sialannya itu memiliki wajah yang kelewat tampan. Rambut kekuningan yang biasanya disisir seadanya kini ditata rapi, menambah pesona. Lihat, ada puluhan gadis yang mencuri-curi pandang ketika mereka berdansa. Luna benci perhatian.

Terpikir sebuah ide jahil di otaknya. Dia sengaja berkali-kali menginjak kaki Lucius seolah-olah salah melangkah untuk membuatnya kesal. Padahal dengan bantuan ramuan Odelia yang ternyata khasiatnya luar biasa, Luna lebih dari mahir mengingat seluruh gerakan yang telah dipelajarinya. Luna tersenyum mengejek mendapati air muka pemuda itu berubah masam.

"Kemampuan berdansamu sangat buruk," komentar Lucius di sela-sela gerakannya.

"Benarkah? Bukankah itu karena kau yang tidak bisa menyesuaikan langkahnya?" balas Luna sembari tersenyum miring.

Lucius yang merasa kesal menarik tangan Luna dengan kencang hingga gadis itu terhentak ke samping. Tangan Lucius yang diposisikan di belakang punggungnya menangkap dengan cepat. Untuk sepersekian detik wajah mereka nyaris bersentuhan. Jantung Luna yang berdegup kencang tak dibiarkan bernapas lega kala pemuda itu kembali menarik tubuhnya sesuka hati dengan kencang. Memaksanya bergerak cepat dan tepat dalam satu hentakan kuat. Ketika gerakan saatnya mengharuskan laki-laki mengangkat tubuh pasangannya dengan lembut dan menurunkannya, Lucius justru membuat Luna menjerit karena mengangkatnya terlalu tinggi. Murid-murid lain berseru, mereka tidak tahu bahwa itu sebenarnya dansa yang jauh dari kata romantis. Dansa Waltz yang harusnya lambat dan anggun, kini berubah menjadi tarian dua angsa gila.

"Kau sialan!" geram Luna di sela-sela giginya, tepat ketika Lucius memutar tubuh gadis itu dengan cepat.

"Benarkah? Bukankah itu karena pasanganku yang tidak bisa menyesuaikan langkahnya?" Kini Lucius balas tersenyum penuh kemenangan, membuat Luna bersumpah akan menginjak wajahnya dengan ujung hak sepatu.

Dansa berakhir dengan damai, pengecualian untuk dua angsa gila yang di sana. Mereka saling membungkuk. Kemudian tanpa membiarkan Lucius mengatakan sepatah kata pun, Luna melenggang pergi dan menghentak-hentakkan kakinya kesal. Dia duduk di sofa tempatnya semula, memasukkan  satu potong canapé bulat-bulat sampai pipinya menggembung.

"Oh, bukankah kau yang berdansa seperti angsa itu?" Luna mendongak ke sumber suara, mendapati tiga gadis asing di depannya kecuali seseorang bersurai merah muda itu. Siapa lagi kalau bukan Rosetta. "Luna Norwood, murid tahun kedua dan seorang penyihir hitam, apa aku benar?"

Oh Tuhan, tidak bisakah aku makan dengan tenang? Luna menggerutu dalam hati, mengunyah canapé-nya dengan cepat, lalu berkata, "ada perlu apa denganku?"

Mereka berempat saling pandang dan tertawa. Luna mengernyit bingung. Rosetta kemudian tersenyum. "Aku Rosetta Delarosa, putri Count Delarosa. Kau pasti tahu, kan? Aku cukup—"

"Tidak," jawab Luna santai sambil menyendok crème brûlée. Lalu tersenyum kagum, astaga ini enak sekali, jauh lebih enak dari yang pernah kubuat bersama Bibi.

Rosetta terdiam cukup lama. Ketiga temannya menatap Luna tak suka. "Kalau begitu kau juga harus banyak bergaul. Sebab kau juga harusnya pernah mendengar tentang bahwa pertunanganku dengan Pangeran Lucius yang akan diselenggarakan akhir bulan."

Luna tidak menjawab, sibuk mengunyah kuenya. Sikapnya itu membuat Rosetta semakin geram. Dia kemudian melihat pekerja akademi membawa baki-baki berisi minuman berwarna kemerahan, tersenyum licik. Rosetta memanggil salah satunya dan menawarkannya pada Luna.

"Apa kau mau segelas jus berry?"

Baru kali ini Luna menatapnya penuh minat. Tanpa merasa curiga, gadis itu menganggum. "Oh, ya, tolong."

Rosetta meraih segelas jus berry dari baki yang dibawa oleh wanita paruh baya, kemudian menuangkannya di atas gaun Luna, meninggalkan rembesan kemerahan yang kontras di sana. "Oops, maaf, tanganku licin. Lagipula kau lebih cocok dengan gaun yang warnanya senada dengan rambut merah gelapmu, bukan begitu, girls?"

Keempat gadis itu tertawa-tawa penuh kemenangan dan meninggalkan Luna yang meremas gaunnya kesal. Sejak awal, Luna bertekad datang ke pesta dansa hanya untuk makan. Dia tidak peduli dengan rumor apapun mengenai darah penyihir hitamnya maupun Rosetta yang ternyata akan bertunangan dengan Lucius. Tapi dia tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini, selain terakhir kali tentang kiriman cokelat berisi ramuan gatal itu.

Luna menggigit bibir, dia malu. Karena sekarang kebanyakan orang menoleh padanya,  sebagian penuh rasa ingin tahu, sebagian menatap mengejek seolah-olah Luna pantas mendapatkannya. Dia benci menjadi pusat perhatian untuk sesuatu yang membuat namanya meninggalkan kesan negatif. Semua itu bukan salahnya, Luna tidak pernah ingin dilahirkan sebagai penyihir hitam ataupun memilih Lucius sebagai pasangan dansanya. Harusnya sejak awal Luna menolak saja. Ingin sekali rasanya dia mencari Aileen untuk menemaninya tapi gadis itu nampak bahagia berdansa bersama salah satu murid laki-laki.

Luna tidak ingin mengganggu, dia mengangkat gaunnya dan berlari keluar aula. Suara langkah kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi terdengar nyaring berpalu dengan lantai batu. Dia tiba di halaman tengah akademi, kemudian mendekati air mancur di tengah-tengah lapangan utama dan duduk di pinggiran pualam berwarna abu yang membingkai kolam air mancur. Gadis itu menatap sedih gaun keemasannya. Bibi mungkin akan marah melihat gaun itu kotor. Akan sulit membersihkan noda itu.

Menghela napas, gadis itu mendongak. Matanya sibuk menatap taburan kelap-kelip bintang di langit gelap. Walaupun kesal karena tidak bisa makan kudapan dengan tenang, setidaknya dia masih dapat melihat bintang. Awalnya dia kira bintang di Althoria memiliki bentuk dan rupa berbeda. Ternyata sama indahnya dengan di dunia manusia, bahkan lebih indah karena bulan terlihat lebih besar di langit negeri itu.

Tepat ketika awan kelabu yang datang entah darimana, bertiup menutupi sinar bulan. Suara gemerisik yang cukup riuh terdengar dari arah semak-semak lebat di taman depan air mancur. Luna menoleh ke sumber suara dengan wajah parno. Bersamaan dengan sebilah belati yang terbang membelah udara. Telinga Luna yang sensitif meloloskannya dari kemungkinan tertusuk di dada sebelah kiri, dan membiarkan belati itu hanya menyerempet lengannya. Meski hanya terserempet, belati tetaplah benda tajam. Darah mulai menetes membasahi sarung tangan keemasan yang dia kenakan, sementara  Luna menekan pendarahannya dengan tangan kanan dan beranjak dari tempatnya duduk.

"Siapa di sana?!" teriak Luna waspada. Dia menolehkan kepala ke kanan dan kiri seperti orang kesetanan. Dengan was-was dia berpaling ke arah kanan, tepat saat suara gemerisik terdengar lagi.

Sebuah belati kembali dilemparkan, kali ini tidak hanya satu, melainkan tiga. Luna tidak bisa berkelit, ketiganya diarahkan ke tubuh bagian atasnya. Luna tahu dia harus menghindar, atau dia akan mati, atau parahnya, hidup dengan tubuh penuh lubang. Tapi kakinya kaku, wajahnya pucat, waktu seolah-olah berjalan lambat. Terlambat, Luna tidak bisa menghindar. Dia hanya memejamkan mata, pasrah menerima takdir.

Dia ceroboh. Harusnya dia tahu bahwa nyawanya sedang diincar. Harusnya dia tetap berada di dalam akademi untuk memastikan dirinya aman. Sekarang Luna harus kehilangan nyawanya.

"Gelatius!"

Sepersekian detik kemudian, ketiga belati itu berhenti bergerak dan menggantung di udara. Luna membuka matanya perlahan mendengar seruan itu dan menyadari dia tidak hidup dengan tubuh penuh lubang. Ketika dia berbalik, Luna mendapati Lucius berlari cemas ke arahnya sembari menyimpan tongkat ke balik saku jasnya.

Tulisan emas tercetak di atas kepalanya; "sangat cemas".

"Hei! Apa yang kau lakukan di luar sendirian?" celetuk Lucius dengan wajah masam. "Untung aku tidak terlambat!"

Luna menunduk. Dia masih ketakutan. Fakta bahwa nyawanya menjadi incaran sosok tak terlihat masih membuatnya syok.

Pemuda itu melirik luka di lengan Luna yang sudah merubah warna sarung tangannya menjadi merah darah. "Kau terluka, kita harus pergi ke unit kesehatan segera." Lucius melepas jas-nya dan mengalungkannya di kedua bahu Luna, menariknya masuk ke dalam akademi.

Saat itu, terdengar suara ledakan dari bangunan atas di gedung bagian kiri akademi. Luna mendongak, itu tempat perpustakaan berada. Terlihat asap hitam mengepul keluar menembus jendela.

"Astaga, apa lagi yang terjadi sekarang?"

****

Author's note!

OMG OMG
aku ga sabar nulis puncak konfliknya hehe.

terimakasih banyak buat kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca dari awal sampai bab ini, aku benar-benar mengapresiasinya!

karena jujur, cerita ini terlalu sepi ... tapi  karena aku jadiin nulis sebagai hobi, setidaknya aku masih punya motivasi.

love u guys! see ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top