XI. Jiwa yang Hidup Berpindah

“𝕿𝖍𝖊 𝖍𝖎𝖉𝖉𝖊𝖓 𝖕𝖆𝖘𝖙 𝖈𝖆𝖓 𝖑𝖊𝖆𝖉 𝖞𝖔𝖚 𝖎𝖓𝖙𝖔 𝖆 𝖇𝖊𝖙𝖙𝖊𝖗 𝖋𝖚𝖙𝖚𝖗𝖊.”

Luna muncul di pagi hari dengan kantong mata menghitam.

Aileen nyaris menjerit melihat penampilan teman sekamarnya yang bagai panda tidak pernah diberi makan itu. Murung dan lesu. Ketika bertanya, Luna hanya menjawabnya dengan mimpi buruk.

Jelas dia tidak bisa tidur semalaman. Kejadian dalam mimpi yang bahkan terlalu nyata untuk disebut demikian itu terus menghantuinya setiap menutup mata. Benar-benar mengerikan. Luna menyadari perkataan bibinya benar, ada banyak orang yang mengincar nyawanya. Termasuk orang aneh di dalam mimpi. Luna tidak mengerti. Entah apa yang mereka inginkan dari seorang penyihir hitam. Luna bahkan tidak bisa menggunakan sihir utamanya. Dia juga tidak berbakat dalam sihir murni, jauh dari kata mahir.

Dia mendesah panjang, lelah. Sekali lagi menyalahkan takdir yang dianggap tidak pernah mendatangkan alur keberuntungan padanya.

Siapapun yang menurunkan ramalan itu pastilah psikopat, pikir Luna.

Tapi yang jelas, satu kesimpulan yang dapat dia tarik, Ayah dan Ibunya tidak mati dalam kecelakaan mobil sepuluh tahun yang lalu seperti apa yang pernah dikatakan Bibi Lia padanya. Mereka justru dibunuh oleh seorang penyihir bertudung keji. Entah apa alasan bibinya menyembunyikan fakta ini pada Luna, tepat ketika dia sempat mengalami amnesia jangka pendek saat dirinya masih kecil. Dia  berjanji akan bertanya pada bibinya saat pjlang dari Althoria nanti.

"Kau tidak bisa mengikuti ritual pemujaan seperti itu, Luna," ujar Aileen meringis. Dia kemudian berjalan menuju meja di sebelah ranjang, mengeluarkan cermin seukuran majalah dari dalam laci. "Duduklah, aku akan membantumu."

Luna bingung, tapi dia tetap berjalan mendekat. Begitu dia duduk, Aileen mengoleskan krim putih dari dalam pot kosmetik bening. Gadis itu lantas mendecak kagum melihat perubahan warna kantung matanya yang kembali normal dari pantulan cermin.

"Krim ini cukup mahal. Bahkan bisa menghilangkan jerawat tidak sampai satu jam. Mereka bilang krim ini dikombinasikan dengan sihir pemulihan." Aileen tersenyum lebar, puas dengan kinerja kosmetiknya. "Ayo pergi ke kuil, ritual pemujaan akan segera dimulai."

****

Ribuan warga akademi memenuhi kuil yang terletak tepat di belakang akademi. Mereka semua nampak mengenakan pakaian serba putih; perempuan bergaun putih panjang, lengan panjang dan berkerah tinggi, dengan ornamen emas, serta laki-laki dengan pakaian berlengan panjang berkerah tinggi putih dengan celana kain berwarna senada dan ornamen emas.

Terlihat seorang pria tua bersurai putih panjang yang tengah berlutut, menangkupkan tangan, di depan sepuluh patung Dewa-Dewi yang dikelilingi kolam berpinggiran pualam seputih salju. Luna memperhatikan gerak-gerik pria tua yang seperti berdoa, kemudian mendongak menatap setiap patung penuh minat.

Aileen menyenggol Luna, kemudian melirik pada tangannya yang ditangkupkan di depan dada, menyuruhnya untuk berdoa. Luna dengan canggung mengikuti.

Saat matanya hampir terpejam, sudut mata Luna menangkap warna hitam yang kontras di antara lautan manusia berpakaian serba putih. Dia lantas menolehkan kepalanya, tapi hanya mampu menangkap ribuan orang dengan mata terpejam dan mulut berkomat-kamit melantunkan mantra pemujaan. Ketika dia memicingkan mata, saat itulah Luna menemukan sosok itu, terselip di antara siswa-siswi akademi. Sosok itu pendek, tubuhnya seperti bocah berusia sepuluh tahun, bertudung hitam yang menutupi sebagian wajah sehingga membuatnya menjadi gelap. Namun bibirnya yang mungil dan masih dapat terlihat walau remang itu menyunggingkan seringaian menyeramkan pada Luna. Mendadak saja waktu seolah-olah berjalan lambat dan dunia menjadi buram, hanya berfokus pada sosok bertudung itu. Suara-suara di sekitar terdengar samar, seolah-olah tenggelam dalam air.

Luna nyaris berteriak kalau saja dia tidak cepat menutup bibirnya sendiri. Keringat dengan cepat mengalir di pelipisnya, degup jantungnya yang kencang seolah-olah memukul dada gadis itu. Firasat Luna mengatakan bahwa orang bertudung itu adalah orang dalam mimpinya kemarin. Dia ketakutan, tubuhnya bergetar, kaki Luna mendadak lemas.

"Luna ... hei!"

Dengan wajah pucat pasi, Luna menoleh. Mendapati wajah sahabatnya yang menyorot bingung.

"Kau kenapa? Dewa bisa kecewa padamu kalau melakukan pemujaan dengan tidak khusyuk," bisik Aileen masih dengan tangan ditangkupkan.

Luna menggeleng cepat, lalu kembali menoleh pada tempat di mana dia menemukan sosok bertudung. Tapi orang itu sudah tidak ada di sana, membuatnya menarik napas panjang, berusaha menormalkan detak jantung yang berdebum-debum keras. Akhirnya gadis itu memejamkan mata, berdoa semoga Dewa-Dewi di dunia ini mau memberikan pertolongan padanya.

Dia tahu semenjak tinggal di Althoria, itu artinya hidup Luna akan jauh dari kata normal. Tapi hari ini, firasatnya dengan kuat mengatakan bahwa hari-harinya akan terus dihantui dan dikejar-kejar sosok bertudung itu.

****

Jauh dari akademi, di tempat yang paling tidak pernah diduga oleh siapa pun, ruangan itu berada. Gelap, tanpa satu pun penerangan. Tepat ketika seseorang bertubuh pendek berjalan masuk, langkahnya menggema di seluruh ruangan. Dia mengibaskan tangannya ke depan, membuat bola berbentuk oval yang menempel di dinding mengeluarkan cahaya. Kemudian ke samping kanan dan kiri. Kini ruangan menjadi terang benderang.

Ruangan itu tidak begitu luas. Di dinding atas perapian terpatri simbol hitam dengan bintang di tengah. Semua perabotan terbuat dari pualam putih, termasuk meja besar yang terdapat di tengah-tengah ruangan. Satu tiang dengan ujung bola bercahaya berbentuk oval terletak di tengah.

Orang yang baru datang itu sudah tahu dia tidak sendirian di ruangan tersebut. Puluhan orang bertudung sudah duduk melingkari meja, beberapa di antaranya membuka tudung begitu menyadari ada yang datang. Mereka lantas berdiri, mengucapkan salam dengan gestur yang tidak biasa dan tidak pernah kamu lihat di manapun, yang tentu  saja tidak pernah tercantum dalam tradisi negara-negara di dunia.

"Duduklah." Orang yang terakhir datang itu membuka tudungnya, nampaklah wajah bulat khas bocah laki-laki berusia sepuluh tahun. Kemudian dia duduk di kursi paling ujung yang telah disediakan orang-orang yang datang lebih awal.

"Apa prosesnya lancar, Tuan?" tanya seseorang yang duduk di samping kanan dengan si bocah, dia adalah wanita paruh baya bersurai pirang dan mata merah menawan.

Si bocah yang dipanggil "Tuan" itu mengangguk dan menjawab dengan suara khas anak kecil, kontras dengan usia sebenarnya yang hampir mencapai kepala lima. "Mengambil tubuh bocah untuk wadah baru lebih mudah dibanding orang dewasa yang pasti akan memberontak." Dia kemudian menyatukan kedua tangannya dan bertumpu pada meja. "Aku sudah menemukannya. Gadis itu belum tahu jati dirinya sebenarnya. Kurasa akan lebih mudah mengambilnya dalam waktu seperti ini. Tapi keluarga si fanatik pemuja Dewi itu tidak akan membiarkan rencana kita berjalan mulus. Harusnya aku sejak awal memusnahkan seluruh keluarganya."

Ruangan hening sejenak. Kemudian seseorang yang duduk di sebelah si wanita berambut pirang membuka suara, "Apa yang harus kita lakukan, Tuanku?"

"Kita akan mengambil bahan utama terlebih dahulu." Si Bocah kemudian terdiam cukup lama. Seolah-olah teringat sesuatu, dia menoleh ke sumber suara, lalu menyeringai. "Aku lupa bahwa kita punya kau, Roger."

Pria paruh baya yang dipanggil Roger menatap si Bocah dengan wajah tegang, dia tahu apa yang hendak dilakukan oleh orang itu.

"Kau sudah melakukan sumpah setiamu padaku, bukan begitu?" tanya si Bocah. Suaranya berubah berat, kontras dengan pipi tembamnya sambil menelengkan kepala. "Maka bukankah kau harus melakukan sesuatu yang sudah seharusnya?"

"T-tapi, Tuanku ...." Roger terbata-bata, menatap ke seluruh isi ruangan. Orang-orang yang ada di sana hanya menunduk, takut, tidak berani menatap, memilih untuk tidak ikut campur. Mendadak, dia menyadari keputusannya untuk bertanya adalah hal yang harusnya tidak dia lakukan sejak awal.

Seharusnya dia tahu, bergabung dengan organisasi yang sudah dilarang pemerintah tentunya menanggung konsekuensi yang tidak sedikit. Semua orang yang ada di ruangan ini kebanyakan adalah mereka yang menerima uluran tangan dari si Bocah—yang notabene adalah orang yang paling dikutuk oleh Dewa-Dewi sejak sepuluh tahun lalu, membantu mereka keluar dari masalah-masalah mendesak seperti kemiskinan atau kematian. Posisinya dahulu adalah seorang Pangeran yang kini telah dianggap pergi menuju alam baka oleh semua orang. Maka mereka yang telah menerima bantuan dari si Pangeran, tentu telah memutuskan menjadi bawahan setianya, bahkan untuk di saat-saat seperti ini.

Tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang telah dibuang keluarganya, yatim piatu, atau orang yang kehilangan arah karena dibenci masyarakat. Berbeda dengan Roger. Dia masih memiliki keluarga yang menunggunya di rumah. Jika tubuhnya digunakan sebagai wadah baru si Pangeran, itu artinya dia akan mati dan tidak bisa pulang selamanya.

Tidak ada satu pun yang tahu bahwa si Pangeran ternyata masih hidup, melakukan banyak ritual agar jiwanya tidak benar-benar menghilang dari dunia. Hidup dengan menggunakan tubuh orang lain sebagai inangnya.

Dia masih harus melakukan ritual terakhir. Para iblis di bawah sana sudah berseru marah. Maka dari itu, si Pangeran harus mendapatkan bahan-bahan ritual sesegera mungkin sebelum jiwanya sendiri menjadi tumbal.

"Mohon maafkan saya, Tuan. Tapi saya tidak bisa melakukan ini .... Bagaimana dengan keluarga saya?" Suara Roger bergetar, dia berlutut, memohon.

Si Bocah menyeringai, mengeluarkan gelak tawa keji tanpa belas kasihan. "Sejak kapan aku butuh persetujuanmu?"

Roger hanya bisa membelalak lebar kala melihat kepulan asap hitam melesat ke tubuhnya dengan kecepatan cahaya. Lehernya tercekik, wajahnya pucat pasi menandakan darah seolah-olah tersedot habis. Setelah itu, dia jatuh terkulai lemas di atas lantai dengan mulut terbuka, pembuluh darah menghitam, dan mata melotot. Bola cahaya seukuran anggur keluar dari dada sebelah kirinya, terbang dan hinggap lembut di telapak tangan si Bocah yang terbuka.

Mata si Bocah terpejam, menggenggam bola cahaya itu. Kulit wajahnya nampak bergerak-gerak bagai permukaan air yang tengah direbus, merubah bola matanya yang berwarna biru menjadi kecoklatan, bibir merah muda mungilnya dihiasi kumis terpangkas rapi,  dan pipi tembamnya yang berubah menjadi rahang lebar. Tinggi tubuh itu yang awalnya hanya kurang dari satu setengah meter mendadak bertambah tinggi, nyaris dua meter. Setelah transformasi "wadah baru" itu selesai, si Pangeran tertawa puas, dia membentangkan tangan seolah-olah memamerkan tubuh barunya pada semua orang yang ada di sana.

"Aku merasa ... berbeda. Tubuh seorang guru akademi yang memang sudah terlatih terasa lebih segar dibandingkan seorang bocah ingusan. Dan tentu, ini akan mempermudah rencana selanjutnya." Si Pangeran masih menyeringai, kemudian beralih menatap pria yang duduk tepat di sebelah kirinya. "Apa kau sudah menemukan dimana keberadaan benda 'itu'?"

Pria yang dipanggil menganggukkan kepalanya. "Ada di salah satu ruangan yang dijaga ketat dengan sistem keamanan sihir, Tuanku."

"Tidak masalah. Jika aku ketahuan mengambil tubuh Roger saat rencana berjalan, aku masih punya rencana cadangan."

"Kapan kita akan mengambilnya, Tuanku?" tanya seseorang.

"Hari ini. Malam ini semuanya akan sibuk, kita bergerak saat malam tiba," balas Tuan mereka seraya menyeringai.

****

Author's note!

oh, anw, mulai masuk konflik nih. aku pengennya ini novel tamat dalam chapter sekitar 30/40 an. semoga bisa yak.

semoga enjoy ya sama ceritanya!

i'll be waiting you on the next chapter!

With Love,
jennashie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top