X. Pertemuan Dalam Kegelapan

“𝕽𝖊𝖒𝖊𝖒𝖇𝖊𝖗, 𝖞𝖔𝖚 𝖈𝖆𝖓𝖓𝖔𝖙 𝖙𝖗𝖚𝖘𝖙 𝖆𝖓𝖞𝖔𝖓𝖊 𝖎𝖓 𝖔𝖙𝖍𝖊𝖗 𝖜𝖔𝖗𝖑𝖉.”

"One, two, three! One, two ... aww! Luna! Kaki kananmu harusnya melangkah ke samping bukan ke depan!"

Oops, Luna tidak sengaja menginjak kaki bibinya ketika sedang belajar berdansa. Gadis itu sama sekali tidak memiliki basic menari meski tubuhnya selentur teratai. Odelia bersikeras mengajarkannya Waltz karena itu dansa wajib sebagai pembuka di Ballroom besok. Sudah terhitung dua belas kali Luna salah melangkah sejak pertama kali Odelia mengajarinya. Padahal Waltz termasuk dansa yang paling mudah, mengesampingkanTango, Foxtrot, bahkan Double-Paso yang tersulit.

Kini mereka tengah berada di ruang Kepala Akademi. Odelia menggunakan mantra ruang ilusi untuk menjadikan ruangannya sendiri seperti aula utama dansa.

Luna mendongak dan mendapati sederetan kalimat berwarna emas muncul di atas kepala bibinya yang tengah menghela napas kesal. Tentu saja, hanya dia yang bisa melihatnya. Kesal karena keponakannya tidak pandai berdansa. Begitulah yang tertulis. Sekedar informasi, Luna mendapatkan kebangkitan sihir putihnya kemarin malam, simbol mata emas yang muncul di paha bagian bawahnya, tapi masih tertutup rok. Dia masih perlu belajar cara menggunakan kekuatan ini karena berbagai macam informasi mengenai identitas setiap orang yang dilewati selalu muncul di hadapannya bagaikan buku tebal—dia sangat takjub mendapati kekuatannya juga bisa digunakan untuk mengintip biodata seseorang. Dan baru-baru ini, dia membuktikan bahwa kekuatannya tak hanya bisa digunakan pada makhluk hidup saja.

"Ah, maafkan aku, Bibi. Ini sulit sekali ...," cicit Luna malu seraya membenahi rok payung panjang yang diberikan Odelia untuknya sebagai pakaian berlatih. Tumitnya yang mengenakan sepatu dansa dengan hak setinggi lima sentimeter mulai terasa pegal.

Odelia mengusap wajahnya. "Ada banyak yang harus kau pelajari .... Ah, ini salahku karena baru mengajarimu sekarang. Nah, begini saja." Wanita yang mengenakan kemeja dan celana panjang itu meraih sesuatu dari sakunya, dan menyodorkan benda itu kepada Luna. "Aku akan tetap mengajarimu cara berdansa, setidaknya kau harus tahu dasar-dasarnya. Tapi besok, jika kau memang benar-benar lupa, gunakanlah ramuan ini."

Luna menerima tabung kecil seukuran jempolnya dengan cairan berwarna ungu muda di dalamnya. "Ini apa?"

"Ramuan penguat ingatan."

Mendengar jawaban itu, Luna tersenyum. Dengan ini, dia pasti bisa mengalahkan Lucius di pesta dansa. Setidaknya dia akan sengaja menginjak kaki pemuda itu berkali-kali. Jujur jika dipikir-pikir, Luna masih kesal setengah mati pada pemuda itu yang seenaknya menjadikannya pasangan berdansa. Padahal seingat Luna mereka tidak pernah membicarakan mengenai hal itu sebelumnya. Jadi bukannya itu adalah keputusan yang dibuat sepihak?

Tapi setelah mendengar alasan Lucius yang ternyata adalah untuk menghindari Rosetta dan baru dia dengar setelah keluar dari cafetaria, membuat Luna menyetujuinya. Lucius tahu betul Rosetta mengincar posisi Lucius yang hendak mewarisi takhta.

Tetap saja, gara-gara si Lucius Sialan, Luna yang awalnya memutuskan tidak belajar berdansa harus melakukannya dengan berat hati.

"Terimakasih, Bibi."

Odelia mengangguk dan kembali mengulurkan tangannya pada Luna. "Kita coba sekali lagi."

"Baik."

****

Seharusnya, perpustakaan menjadi tempat tujuan Luna sejak dia pertama kali datang ke akademi. Tapi padatnya jadwal latihan bersama Lucius membuatnya kehilangan kesempatan. Luna yang bisa dikatakan orang asing di dunia ini tentu memiliki terlalu sedikit pengetahuan umum mengenai Althoria. Dan di masa mendatang, ilmu di buku-buku perpustakaan akademi pastilah akan berguna.

Karena waktu luangnya cukup banyak, Luna yang memang gemar membaca akan meminjam setidaknya sekitar tiga buku. Buku mantra tingkat menengah, buku sejarah Althoria, dan buku yang bisa menjelaskan simbol di belakang leher Lucius yang belakangan membuatnya penasaran setengah mati.

Luna tidak bisa menahan kekagumannya begitu dirinya melewati pintu masuk perpustakaan. Di tengah-tengah ruangan terdapat patung seorang wanita yang tengah memegang sebuah buku di tangan kanannya, sekali lihat kita tahu bahwa itu adalah patung Dewi Athys, yang dikelilingi kolam kecil pula. Ruangan yang tidak bisa dideskripsikan luasnya itu terdapat lebih dari seratus rak buku. Rak-rak itu terangkai ke atas bagai gedung pencakar langit sampai ke atap yang dihubungkan oleh tangga-tangga untuk membantu para pengunjung naik, serta pagar-pagar putih yang membuat perpustakaan terlihat memiliki lebih dari satu lantai. Luna melihat beberapa penyihir berpakaian kemeja putih berdiri di dekat beberapa rak, mengayunkan tongkat mereka yang membuat beberapa buku melayang kembali tertata rapi di dalam rak buku. Meja-meja yang dilengkapi lentera kecil tersebar di setiap rak.

Dia tidak menyadari sebuah buku melayang ke arahnya, berbicara layaknya manusia, "Selamat datang di perpustakaan. Sebutkan nama dan tahun ajaran apabila Anda seorang murid."

Luna terperanjat mendapati sebuah buku besar terbuka di depannya. Kemudian menjawab dengan suara kecil, "L-luna Norwood. Tahun ke-dua."

Buku itu membuka halaman demi halaman. Kemudian bergumam dan berkata, "Terverifikasi. Silahkan masuk."

Luna nyaris kebingungan mencari buku yang dia incar di antara ratusan lebih rak itu. Untunglah setiap rak dilengkapi penanda. Dan dia dapat menemukan buku sejarah Althoria di rak buku sejarah dan berjalan menuju rak buku mantra untuk mendapatkan buku kedua.

Begitu melihat judul "Mantra Tingkat Menengah Paling Utama", Luna langsung berjinjit untuk meraih buku yang cukup tinggi itu sebelum sebuah tangan besar ikut memegang buku itu.

Luna menoleh dan mendapati seorang pemuda berambut pirang kecoklatan bertubuh tinggi tengah menatapnya juga. "Oh, Maaf, Nona. Aku tidak tahu ada yang menginginkan buku ini juga."

Orang ini cukup sopan, tidak seperti seseorang yang kukenal, batin Luna dalam hati. "Ah, iya, tidak apa-apa."

Pemuda itu kemudian meraih buku mantra yang diincar Luna, membuat Luna merutuk dalam diri harusnya dia datang lebih cepat. Tapi tak disangka, orang itu justru memberikan buku tersebut padanya. "Beritahu aku kalau Nona sudah selesai membacanya ya," ujarnya diselipi dengan senyum.

Luna menerima bukunya dengan malu-malu. "Uhm, terimakasih." Dia kemudian melirik bros pemuda itu yang berwarna merah, menandakan dia adalah murid tahun ke-empat.

"Apa ada yang Nona butuhkan lagi?" tanyanya ramah seraya menatap Luna dengan matanya yang berwarna sebiru langit.

Gadis itu nyaris terhanyut dengan mata itu kalau saja dia tidak mengingat tujuannya datang kemari. "Ah, iya, aku butuh satu buku lagi ... tapi aku tidak yakin dapat menemukannya sendiri."

"Buku apa itu, Nona?"

"Uhm, sebelumnya namaku, Luna. Senang bertemu dengan ...?"

Pemuda itu tersenyum lagi, "Aku Aaron. Senang mengenalmu, Luna."

"Baik, Aaron. Jadi, ehm, aku membutuhkan buku yang berisi penjelasan tentang sebuah simbol lingkaran hitam dengan bintang di tengahnya," jelas Luna.

Aaron sempat terdiam, kalau dilihat dari matanya yang sedikit melebar, mungkin dia sempat terkejut hanya saja pandai menyembunyikan ekspresinya. "Untuk apa kau mencari buku itu?"

Luna yang terkejut mendapati perubahan nada  dalam cara bicara Aaron, memelankan suaranya. "Aku pernah melihat simbol itu di suatu tempat dan penasaran."

Pemuda itu menghela napas. "Kau tidak akan bisa menemukan buku itu di manapun kecuali area terlarang akademi. Karena simbol itu adalah .... Ugh!"

Lagi-lagi, kejadian yang sama seperti bibinya terulang kembali. Aaron memegangi pelipisnya seraya menahan rasa sakit.

"Kau tidak apa-apa?" Luna hendak memegangi pelipis pemuda itu sebelum Aaron menyuruhnya tetap di sana dengan satu gerakan tangan.

"Kurasa aku tidak bisa membantumu, maaf." Kemudian, Aaron berjalan meninggalkan Luna begitu saja.

Luna bergeming di tempat, menatap punggung  Aaron yang sudah menghilang di balik pintu masuk perpustakaan. Melihat reaksinya yang sama dengan apa yang pernah dialami bibi, pastilah simbol yang tengah dicarinya berhubungan dengan sejarah Althoria yang entah kenapa membuat Luna berpikir ada sesuatu yang menutupi sejarah sebenarnya. Apa karena itu ramalan Dewa ditujukan padanya? Tapi  kenapa dia?

Aku 'kan penyihir hitam .... Batin Luna seraya mendekap bukunya erat.

Karena buku yang paling dicarinya itu berada di area terlarang akademi, berarti dia tidak bisa masuk ke area itu kecuali dia punya kuncinya. Area terlarang itu berada di pojok perpustakaan, dikunci dengan suatu sistem sihir yang tidak biasa. Bahkan kepala sekolah pun sulit membukanya. Tidak ada yang ingat apa isi di dalam area terlarang itu. Membuat Luna makin penasaran, tapi tidak sekarang. Bukan waktunya untuk mencari tahu.

Dia akhirnya memutuskan untuk duduk di lantai dua, di salah satu meja yang berhadapan dengan rak buku mantra. Tidak butuh waktu lama bagi Luna untuk tenggelam dalam rangkaian kata.

Dua jam telah berlalu. Luna menarik tengkuknya yang sempat menunduk, kemudian mengecek arloji. Angka tiga tercetak di sana, membuat Luna menguap. Dia berpikir mungkin untuk tidur sebentar tidak apa-apa. Setelah itu, dia melipat tangan di atas meja dan menenggelamkan kepalanya disana.

***

Luna melihat kegelapan. Akar-akar kegelapan itu telah mengurung Ayah dan Ibu, mengambil jiwanya. Sebuah belati menggores leher sang Ibu, darahnya dibiarkan mengalir ke dalam sebuah tabung kecil. Seorang penyihir bertudung menyeringai, sebelum dibakar habis oleh para Penegak Magis.

Dia merasakan mulutnya berteriak. Gadis itu yakin tidak merasakan dapat mengontrol tubuhnya. Tangannya yang mungil menandakan saat ini dia sedang berada di tubuhnya yang masih bocah.

"Luna ...."

Dia merasakan seseorang membawa tubuhnya ke dalam dekapan yang erat. Saat itu dia mencium aroma bibinya. Rembesan air mata mengenai bahunya, membasahi pakaian.

"Kita harus pergi dari sini," ujar wanita itu. Melepas  dekapannya dan menatap ke arah Luna sembari menyeka air mata. Wanita itu adalah bibinya, Oliana, hanya saja lebih muda.

Setelah itu, adegan berganti bagaikan potongan film rusak. Mereka berdua tengah berjalan di dalam hutan yang gelap. Hanya suara gemerisik angin membelah semak yang menemani mereka di bawah temaram cahaya rembulan. Luna kecil yang saat itu terlihat gusar, sedih, sekaligus marah tidak sempat memperhatikan langkahnya sehingga tersandung akar pohon yang timbul di tanah dan terjatuh.

Saat itu kesadarannya berganti lagi dengan kegelapan. Dia merintih, kepalanya teramat nyeri. Jantungnya berdetak terlalu keras, sampai-sampai Luna mengira akan meledak. Kemudian, di antara kegelapan, Luna melihat sebuah sosok bertudung berjalan mendekat. Tubuh Luna kaku, dia tahu orang itu adalah sebuah ancaman. Tapi kakinya tidak mau bergerak, lidahnya kelu. Dia hanya bisa berbaring di antara kegelapan, memohon pada Dewa agar tidak mengambil nyawanya.

Luna menyadari tubuhnya sedang ada di alam mimpi. Meski begitu, semuanya terasa terlalu nyata untuk dianggap sebagai demikian. Dia benci kegelapan, dia ketakutan. Dia tidak mau merasakan hal yang sama seperti saat di penjara.

"Aku tidak akan membiarkanmu mengubah sejarah yang telah kubuat dengan susah payah, bocah."

Luna menggigit bibirnya. Kegelapan ini membuat wajah orang itu tidak terlihat, sulit mengidentifikasi identitasnya. Tapi dia dapat dengan jelas merasakan bulu kuduknya merinding, aura orang ini menguar kuat, mendatangkan rasa takut yang menggerogoti hatinya.

"Sekalipun para Dewa dan Dewi menunduk di atas sana untuk melihatmu, itu tidak akan mengubah apapun," katanya lagi. Suaranya terdengar ramai dan bergema, namun berat. "Aku ingin sekali bertemu denganmu. Tapi tidak sekarang, belum waktunya.

"Dan sampai saat itu tiba, tetaplah hidup. Karena kematianmu ada di tanganku."

Gadis itu ingin menangis. Dia sangat takut. Takut sekali, berharap seseorang segera mengeluarkannya dari kegelapan yang asing ini. Tapi air matanya tak kunjung keluar, seolah-olah telah kering selamanya.

Tepat saat itu, dia merasa tubuhnya basah. Mendadak cuaca berubah dingin menusuk. Matanya kembali membuka, kini cahaya yang dapat ditangkap, tak lagi warna hitam tanpa ujung. Begitu dia menarik kepalanya dari lipatan tangan di atas meja, dia menyadari matanya sudah basah, padahal tadi dia tidak bisa menangis.

"Bangun, bodoh."

Suara seseorang membuat Luna tersadar sepenuhnya, dia menoleh ke samping dan mendapati Lucius berdiri di sana. Tangan kanannya bertumpu pada sudut meja, sementara tangan kirinya mengambang di udara memegang sebuah botol air mineral yang telah kosong. Luna sadar setelah merasakan rambutnya yang basah, dia baru saja disiram.

"Kau ...! Kau menyiramku?" tanyanya setengah memekik.

Lucius mengubah posisinya, melipat tangan di depan dada dengan alis berkerut—ekspresi yang selalu tercetak di wajanya setiap kali mereka bertemu. "Lalu? Kau mau aku membiarkanmu di perpustakaan yang sebentar lagi akan dikunci sementara kau tidur seperti babi?"

Luna malas mengakui, tapi pemuda itu benar. Ketika  dia melirik arlojinya setelah tahu matahari hampir terbenam, jarum jamnya hampir menyentuh angka enam. Sekitar lima belas menit lagi sebelum perpustakaan dikunci. Menyadari ada cahaya emas berkedip-kedip di atas kepala Lucius, Luna lantas mendongak dan menatapnya penuh selidik.

"Sedang cemas, setengah dikejar waktu."

Dalam hati, Luna bertanya-tanya. Bagaimana pemuda ini bisa tahu dirinya ada di perpustakaan? Dan, bukannya Luna tidak berterimakasih, tapi, kenapa dia peduli?

"Jangan menatapku seperti itu. Cepat kembali, jangan buang-buang waktuku lagi." Setelah itu, dia berjalan menjauh.

Ketika itu, Luna masih menatap punggung lebar Lucius. Sederetan jendela informasi lain muncul di atas kepalanya lagi. Ketika mengalami kebangkitan sihir keduanya, Luna baru tahu bahwa dia juga bisa melihat biodata diri milik orang lain selengkap apapun yang dia mau. Alih-alih menemukan aib dalam biodata milik Lucius untuk mengejeknya, Luna justru menemukan sesuatu yang membuat alisnya berkerut.

Jendela informasi yang biasanya akurat itu nampak tumpang tindih satu sama lain. Seolah-olah pemuda itu memiliki lebih dari satu biodata.
.
.
.
Althopedia!

Perpustakaan Althoria Akademi :

kurleb mirip gini ya, patungnya itu anggap aja diganti sama patung Dewi Athys wkwkw.

Author's note!

kira-kira apa yang dilihat Luna ya?
udah menuju konflik nih. euhm, sekitar .... 30%? hehe

jangan lupa buat kasih dukungan berupa vote ya!

really appreciate siapapun yang udh baca sampe chapter ini karena ini cerita sepi bgt ಥ_ಥ

/bikin praying circle biar rame

see ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top