VI. Seringai dalam Gelap
“𝕸𝖆𝖌𝖎𝖈 𝖈𝖆𝖓 𝖐𝖎𝖑𝖑 𝖞𝖔𝖚. 𝕭𝖊 𝖆𝖜𝖆𝖗𝖊.”
Apa kalian pernah melihat hantu?
Apa yang kalian rasakan setelah melihat makhluk tak kasat mata itu menampakkan diri?
Bagi manusia normal, tentu ketakutanlah yang akan menguasai pikiran mereka. Namun bagi sebagian orang bermental baja, mereka justru menganggap hantu adalah makhluk tanpa bayangan yang jauh lebih lemah dibanding manusia. Dan untuk golongan manusia gila tertentu yang suka menantang maut, mereka menganggap hantu adalah sarana uji nyali. Sungguh menggelikan.
Tapi sayangnya, alih-alih mental baja, Luna termasuk dalam golongan manusia normal. Dia nyaris memekik kencang ketika manusia bersurai hitam panjang menutupi wajah dan kulit pucat berdiri di ambang pintu asramanya. Terlebih lagi, sorot matanya kosong seolah-olah tanpa emosi.
Beberapa menit yang lalu, Luna menghabiskan waktunya untuk merebahkan tubuh di atas ranjang asrama yang empuk. Setelah pertemuannya dengan Lucius yang menyebalkan, dia memutuskan untuk tidur sebentar demi memulihkan energi. Sesuai ucapan Kepala Akademi, kelas pertamanya akan dimulai besok. Sayangnya, Althoria Academy adalah sekolah sihir yang mengelompokkan kelas tahun pertama untuk murid berusia lima belas tahun. Itu artinya Luna harus mengejar keterlambatannya. Solusi paling pertama yang ditawarkan Kepala Akademi alias bibinya sendiri adalah mencarikannya mentor pribadi dari anggota Magica Consillium dan dia sudah mendapatkan kandidat yang cocok.
Yah, apapun itu, aku hanya perlu belajar sampai pintar, memenuhi ramalan, lalu pulang ke rumah untuk memanggang kue lagi, pikir Luna sederhana.
Untuk ukuran kamar asrama, tempat itu cukup luas. Awalnya Luna mengira dirinya hanya akan mendapatkan kasur single bed bertingkat yang sempit, membuatnya harus mengubah kebiasaan tidurnya yang hobi terlelap dalam posisi mirip bintang laut. Namun ranjang berukuran double sized bed untuk satu siswa itu membuatnya gembira, ditambah lagi dengan bantal guling yang empuk. Furnitur ruangan semuanya terbuat dari kayu berukiran antik. Kedua meja belajar diletakkan di dekat jendela, bersebelahan dengan setiap ranjang di sisi kanan dan kiri. Sehelai karpet persegi panjang tergelar di tengah-tengah. Terdapat dua sofa dan satu meja kaca di dekat lemari, tempat yang juga membuat Luna gembira karena dia gemar minum teh di sofa empuk saat sore hari.
Mata Luna sudah setengah tertutup ketika dia mendengar ketukan di pintu. Dia sudah tahu kalau kamar itu tidak dihuninya seorang diri dengan mendapati lemari sebelah terisi penuh. Ketika gadis itu membuka pintu, yang didapatinya bukan teman sekamar, melainkan hantu berkulit pucat.
Hantu itu sama terkejutnya melihat Luna dan nyaris berteriak. Ketika mulutnya terbuka, Luna menoleh ke bawah dan mendapati hantu itu masih berpijak di lantai. Diam-diam dia menghela napas lega dan menutup mulut hantu yang ternyata teman sekamarnya itu sebelum dia membuat keributan. Hantu ... maksudku, teman sekamarnya ditarik masuk ke dalam dan didudukkannya di atas sofa sementara Luna menutup pintu.
Meski sudah yakin manusia bersurai hitam panjang itu masih berpijak di atas lantai, Luna ingin memastikannya sekali lagi.
"Kau ... bukan hantu, kan?" tanya Luna dengan suara bergetar dan deru napas yang cepat. Punggungnya menegang, bersandar pada pintu kamar.
Sosok itu menggeleng kuat. Sebelum dapat menjawab, dia bisa merasakan sesuatu dalam perutnya seperti diaduk, memaksa untuk keluar. Melesat dengan kecepatan tinggi, ia berlari menuju kamar mandi.
Luna hanya bisa melongo lalu meletakkan bokongnya pada sofa yang satunya. Lima menit kemudian, keluar sosok lain dari kamar mandi yang kemudian mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Memori Luna menghapal dengan benar bahwa manusia yang baru saja masuk tadi bersurai hitam. Tapi lihatlah surai ungu muda yang berkilau di bawah cahaya lampu itu, sungguh kontras dengan penampilan yang ada dalam ingatannya. Netra kekuningan bertubrukan dengan milik Luna sesaat, sebelum akhirnya dia memalingkan pandangan.
"Woah ... rambutmu cantik. Apa kau bisa merubah wujud?" tanya Luna kagum, masih dengan mulut membulat.
Gadis bersurai ungu itu menggeleng. "Ehm, bukan. Ceritanya panjang ...." Dia mengeluarkan tongkat sihir dengan batu sihir berwarna merah muda dan mengucapkan mantra, "siccatio," yang dalam sekejap membuat rambut basahnya menjadi kering tertata rapi. Lalu dia berpaling padaku, tersenyum dengan pipi memerah. "Oh, omong-omong aku bukan hantu. Namaku Aileen, Aileen Creighton."
Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Luna berdehem. "Oh ... begitu, ya, benar, tentu saja. Aku Luna Norwood."
"Oh ya, aku dengar semua orang membicarakanmu," lontar Aileen seraya mengacungkan tongkatnya lagi pada lemarinya, membuat sepasang cangkir teh dan teko melayang. Gadis itu memasukkan daun teh dan bunga berwarna kuning mirip dandelion dan mengaduknya. Dia kemudian kembali tersenyum, agak tersipu. "Ng ... ini, teh favorit keluargaku. Silahkan diminum. Ayah mengirim daun teh dan bunga Aibirin setiap bulan. Keluarga kami maniak teh."
Luna menatap cangkirnya yang terisi. Kali ini warna cairannya bukan coklat kemerahan yang pekat, melainkan bening dengan semburat kuning. Membuatnya bertanya-tanya apa benar benda ini bagian dari jenis teh. "Aku tahu dan terimakasih."
Percakapan ini membawa ingatannya ke beberapa menit lalu, sebelum Luna sampai di kamar. Di sepanjang lorong menuju asrama, bisikan penuh cela tak pernah meninggalkannga kemanapun kaki gadis itu melangkah. Sebagian mengatakan rambut merah darahnya---dulunya cokelat kemerahan, seiring kebangkitan penyihir membuat warna rambutnya berubah---adalah tanda bahwa dia penyihir hitam. Belakangan dia tahu kalau setiap bakat sihir seorang penyihir dapat ditebak melalui warna rambutnya.
"Meski kau tahu aku penyihir hitam, aku tak menyangka kau akan bersikap sesantai ini." Luna akhirnya menyeruput cairan dalam gelas itu. Yang anehnya ternyata terasa manis dengan sedikit asam, pun dengan efek menenangkannya. Seluruh saraf Luna seketika terasa lebih rileks.
"Yah ...." Aileen mengedikkan bahunya, tersenyum. "Kurasa aku bukan tipe yang mudah terhanyut rumor. Lagipula, kita ini sama."
Luna mengedipkan matanya lebih dari tiga kali. "Kau ... apa kau penyihir hitam?" Lawan bicara Luna menganggukkan kepala, membuat gadis itu membuka mulut karena terkejut. "Kenapa Kepala Akademi mengizinkanmu masuk?"
"Aku? Ceritanya sedikit panjang. Aku pergi ke akademi untuk menyelidiki kematian kakak laki-lakiku yang terjadi di akademi ini tanpa sebab yang jelas. Kemudian, karena warna rambutku dan sihir hitamku yang lemah, aku berhasil mengelabui semua orang bahwa aku adalah penyihir putih."
Gadis bersurai semerah darah itu membulatkan matanya, ternyata dia memiliki rekan sedarah sepenanggungan. "Apa jenis sihir utamamu?"
Aileen tersenyum tipis. "Bayangan, aku bisa mengendalikan bayangan atau menyatu di dalamnya. Sayanynya, kekuatan utamaku tidak terlalu kuat. Lebih tepatnya, aku tidak berbakat dalam sihir. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan bayangan benda kecil sedikitpun. Tapi pengetahuanku dalam bidang alkemi tingkat lanjut menjadi satu-satunya kebanggaan Mr. Patridge, guru ramuan kami." Aileen bercerita dengan nada bangga. "Aku mampu mengkombinasikan sihir dengan alkemi."
Mengangguk-anggiukkan kepala, Luna paham kenapa warna rambut teman sekamarnya itu berwarna cerah. Dengan begitu, dia tidak terlalu dicurigai memiliki sihir hitam, kecuali menunjukkannya di depan umum.
"Oh, ya. Siapa namamu tadi?"
"Luna." Padahal belum ada lewat lima menit mereka saling memperkenalkan diri.
"Ah ya, benar. Luna." Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala. "Kau harus berhati-hati dengan murid bernama Rosetta. Sebisa mungkin jangan buat masalah dan jangan berurusan dengannya." Melihat ekspresi penuh tanya di wajah Luna, Aileen mendesah panjang dan menjawab, "dia hobi mengganggu murid yang lebih hebat darinya. Itulah alasan tadi kau melihatku dengan surai sehitam arang. Dia melemparkan ramuan pengubah warna pada rambutku."
Menelengkan kepalanya, Luna mengernyit. Ternyata di dunia penyihir pun ada golongan manusia seperti itu. "Lalu, apa kau tahu soal Lucius Lancester? Dia sombong sekali saat kami pertama kali bertemu."
Aileen agak terperanjat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Luna. Dia tahu betul pemuda yang tengah dibicarakan Luna adalah incaran para gadis. Tapi kebanyakan orang malas berurusan dengannya. "Ah, ng ... dia itu ...."
***
"Mulai sekarang, Ketua Magica Consillium sendiri-lah yang akan melatihmu, Nona Norwood."
Netra hijau dan ungu mereka saling bertubrukan, melempar tatapan bengis pada satu sama lain. Pemuda dengan jubah biru muda dan tinggi kurang lebih 180 cm itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sementara Luna tak sedetik pun melepaskan tatapannya yang menyiratkan permusuhan itu. Sejak kecil, dia benci orang yang berlagak dingin dan sombong.
Wanita bersurai hijau muda pendek ikal dan lipstik merah menyala yang selalu dipanggil sebagai Ms. Green itu memandang dua muridnya sembari menghela napas. "Aku harap pelatihan privat ini dapat mengejar ketertinggalanmu dalam pelajaran, Nona Norwood."
Yang dipanggil menoleh ke arah Ms. Green. Kalau dihitung, murid berusia tujuh belas tahun harusnya sudah berada di tahun ke-empat dan mengenakan bros dengan permata merah. Tapi nyatanya dia masih harus mengenakan bros berwarna hijau sebagai tanda tahun pertama* yang harusnya diisi oleh murid berusia lima belas. Semua itu tidak menyurutkan semangat belajar Luna, meski sesungguhnya rasa tidak yakin berperan lebih besar dalam pikirannya. Apakah dia benar-benar mampu menggunakan sihir setelah bakat sihirnya disegel?
(*baca di bab "Details. Dorm Room, Cast, Uniform, Etc.")
Lucius masih bergeming pada tempatnya, begitu pula Luna. Ms. Green menepuk tangannya satu kali. "Kalian berarti sudah saling kenal. Pelatihan ini akan semakin mudah. Selamat berlatih." Setelah mengucapkan itu, dia menghilang dalam kepulan asap berwarna hijau yang berbau rumput.
"Aku tidak suka kau menjadi pelatihku," ketus Luna dengan nada sedikit menggeram, menunjuk Lucius dengan telunjuk kanannya.
Lucius menaikkan sebelah alisnya, melipat tangan di depan dada. "Kau pikir aku suka?" Dia kemudian mengeluarkan tongkat sihir dengan batu biru muda di ujungnya dari dalam jubah. "Aku harap kau tidak membuang-buang waktuku yang berharga hanya karena kau sulit beradaptasi dengan pelajaran. Aku tidak cukup berbaik hati."
Tanpa aba-aba, Lucius mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. "Illusorium spatium."
Cahaya putih melesat tinggi ke langit. Perlahan berpendar, membentuk ruangan berbentuk setengah lingkaran yang melingkupi lingkungan di sekitar mereka berdua. Dalam satu kedipan mata, ruangan itu berubah menjadi pemandangan padang rumput yang luas nan hijau, dengan satu pohon besar di tengah-tengahnya.
Ketika Luna menunjukkan ekspresi kebingungan, Lucius menjelaskan dengan nada ketus, "mantra tingkat menengah, ruang ilusi. Dengan begitu tidak ada yang menyadari bahwa kita berdua ada di sini. Ruang ilusi menghapus eksistensi dan aura kita untuk satu jam ke depan." Luna mengerutkan alisnya, bingung. "Kau lebih bodoh dari yang kukira. Apa kau mau orang-orang tak berkepentingan mengganggu jalannya pelatihan privat ini?"
Luna tidak suka dipanggil bodoh. Jadi dia kembali memandang Lucius dengan tatapan penuh permusuhan. Meski dia tahu betul siapa yang dimaksud dengan orang-orang tak berkepentingan. Tentu saja itu perkumpulan gadis-gadis pengagum Lucius. Ia bergidik, entah apa yang mereka lihat dari pemuda ini.
"Jangan tatap aku seperti itu," protes pemuda itu. "Materi pertama adalah meditasi dan fokus memancarkan aura. Kau akan gagal dalam percobaan pertama kalau terus menggunakan emosimu." Lucius berjalan santai mendekati Luna sembari memasukkan satu tangannya ke dalam saku. "Sekarang, duduk bersila di atas rumput, letakkan dua tanganmu tegak lurus di atas lutus, dan pejamkan mata."
Tidak mengeluarkan sepatah kata apapun, Luna mengikuti seluruh intruksi Lucius dan meletakkan bokongnya di atas rumput yang hangat. Dia masih dapat mendengar suara jernih sekaligus berat milik Lucius di telinganya yang sensitif.
"Pusatkan pikiran pada seluruh organ tubuh. Rasakan bagaimana aliran darahmu mengalir melalui pembuluh darah. Tarik napas pelan dan hembuskan melalui mulut. Lakukan berulang kali sampai tubuhmu rileks. Setelah merasakan angin sedikit berputar di sekelilingmu, pusatkan pikiran kembali pada kedua telapak tangan."
Luna mencoba memusatkan pikirannya dan merasakan aliran darahnya mengalir melalui jantung ke seluruu tubuh. Namun tiba-tiba sesosok manusia muncul dalam kegelapan matanya yang terpejam. Manusia itu adalah seorang pria, wajahnya tidak terlihat alias hitam pekat kecuali bibirnya yang berupa satu garis putih, hanya mengenakan jubah sebagai penutup tubuh. Seringaian terbit di mulut itu, menampilkan taring-taring di baliknya. Cairan merah menetes dari ujung taringnya yang tajam.
Tubuh Luna bergetar, jelas dia ketakutan. Dia harus segera keluar dari kegelapan ini. Tepat ketika dia hendak membuka mata, telinganya menangkap suara angin berhembus tanda benda tajam yang dilemparkan dengan kecepatan tinggi ke arah gadis itu. Lantas dia menarik tubuhnya sendiri ke belakang. Benda berupa anak panah itu melesat dan menancap sempurna pada batang pohon.
"Kau tidak fokus."
Lucius menatap Luna datar, tongkat sihirnya teracung di udara. Gadis itu menahan napas, Berpikir bahwa baru saja pemuda itu hendak membunuhnya.
Althopedia!
Siccatio : mantra angin sederhana, temperaturnya bisa diatur.
Bunga Aibirin : bunga mirip dandelion, warnanya kuning terang dan bersinar saat malam hari. Hanya bisa dipetik saat malam, karena saat pagi hari bunganya akan kembali kuncup.
Illusorium Spatium : mantra yang dipelajari oleh siswa di semester lima. Membentuk ruangan setengah lingkaran yang melingkupi individu yang dituju. Ruangan di dalamnya adalah ilusi yang diciptakan oleh si pelafal mantra. Ilusi yang diciptakan bisa berasal dari tempat kenangan terindah dalam memori si pelafal, atau tempat mana saja yang dia ingat. Mantra ini juga sekaligus menghapus eksistensi dan aura si pelafal sehingga tidak bisa dideteksi oleh siapapun. Sayangnya, mantra ini hanya bertahan untuk satu jam ke depan.
Author's note!
next chapt aku mau nunjukkin seragam untuk Althoria Academy yg udah aku gambar sendiri heheheheh.
see you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top