V. Darah Kelabu
“𝖂𝖍𝖆𝖙 𝖉𝖔 𝖞𝖔𝖚 𝖉𝖔 𝖎𝖋 𝖞𝖔𝖚 𝖍𝖆𝖛𝖊 𝖙𝖜𝖔 𝖐𝖎𝖓𝖉 𝖔𝖋 𝖒𝖆𝖌𝖎𝖈𝖘?”
Halusinasi, Luna pernah mengalami hal itu sebelumnya. Tidak, bukan karena kelaparan selama lebih dari tiga hari atau tidak tidur selama berhari-hari. Melainkan berhalusinasi di siang bolong mengenai idolanya. Hal yang tentu saja sangat wajar dilakukan remaja seusianya.
Namun kali ini berbeda sebab halusinasi yang biasa terjadi di kepalanya itu mendadak dapat dilihatnya dalam bentuk manusia sungguhan.
Luna tidak pernah pergi ke psikolog sebelumnya. Awalnya dia benar-benar yakin tengah berhalusinasi tingkat tinggi atau mungkin mengidap Skizofrenia setelah melihat wajah ibunya yang telah meninggal secara nyata di depan mata. Tapi gaya bicara yang santai dan blak-blakan, gaya berpakaian dengan warna-warni yang dapat membuatmu sakit mata, serta sorot mata penuh santai namun penuh ambisi itu, semuanya bukan milik Olivia. Wanita yang tengah duduk santai di hadapannya ini sedikit ... nyentrik.
Ruang Kepala Akademi yang mereka tempati saat ini pun seolah-olah mengikuti kepribadian si pemilik. Ada patung burung merpati yang bertengger di sudut meja besar di dekat kaca raksasa, patung yang akan menoleh secepat kilat padamu begitu kau menatapnya lebih dari tiga detik. Kemudian gantungan bulu burung berwarna biru muda yang membentang dari ujung ke ujung ruangan bagai dekorasi untuk acara ulang tahun, barang-barang antik yang tidak diketahui fungsinya, serta peri kecil yang sejak tadi meletakkan bokongnya pada bahu Kepala Akademi, tidak melepaskan pandangannya dari Luna.
Teh hangat dengan bunga kebiruan yang ada di dasarnya sejak tadi belum disentuh Luna. Meskipun si empunya ruangan sudah meneguk habis teh miliknya sejak tadi. Tapi dia sungguh terganggu dengan tatapan penuh curiga dari si peri.
"Pixie, tidak sopan menatap tamu kecil kita seperti itu," tegur Kepala Akademi pelan, sukses membuat peri kecil sialan itu menundukkan kepalanya.
"Tapi, apa Anda benar-benar yakin dia tidak berbahaya? Dia penyihir hitam!" Pixie, nama peri itu, nampak berusaha mendebat Kepala Akademi.
Kepala Akademi hanya mengangguk sabar lalu beralih pada Luna. "Apa tehnya tidak sesuai ekspetasimu, Luna? Aku mencampurkan Ramuan Pemulihan ke dalamnya."
Wanita ini sejak tadi sudah memperkenalkan dirinya sebagai Odelia Evans, saudariaw sulung dari Evans bersaudara. Olivia adalah adik bungsunya, sementara Oliana atau Bibi Luna adalah anak tengah. Setidaknya Luna tahu alasan di balik mengapa wajah Kepala Akademi dan ibunya nyaris kembar. Sungguh mengejutkan baginya mengetahui fakta bahwa dirinya benar-benar murni keluarga penyihir. Sihir yang tidak pernah dia anggap sungguhan ada di dunia. Kesimpulannya, dia seratus persen telah mencetuskan opini yang salah karena nyatanya sekarang dia menyandang status sebagai penyihir hitam.
Pertanyaannya lagi, bagaimana bisa? Keluarganya adalah penyihir putih tapi kenapa dirinya tidak termasuk?
Mengingat wanita di hadapannya adalah Bibi keduanya selain Bibi Lia, seharusnya dia tidak punya keinginan untuk meracuninya bukan?
Dengan gerakan canggung dan ragu, Luna meraih cangkir dan membiarkan rasa teh yang manis bercampur mint meluncur masuk ke tenggorokannya yang kering. Rupanya Odelia tidak berbohong soal Ramuan Pemulihan sebab kini Luna dapat merasakan tubuhnya benar-benar lebih bertenaga dari sebelumnya.
"Aku ... punya banyak pertanyaan untukmu." Luna memutuskan untuk berhenti berbicara formal sejak wanita itu melarangnya. Sebagai gantinya, Odelia meminta Luna memanggilnya dengan sebutan Professor dan merahasiakan hubungan mereka pada warga akademi.
Odelia tersenyum sembari membuat cangkir-cangkir kosong melayang masuk ke ruangan yang berada di pojok dengan tongkat sihirnya, mungkin dapur. "Katakanlah."
"Bagaimana kau masuk dan meyakinkan mereka bahwa aku tidak bersalah?" tanya Luna heran.
Tawa keras terdengar dari bibir Odelia sebelum dia berucap, "bagaimana aku masuk? Itu privilege seorang Kepala Akademi." Dia mengedipkan sebelah matanya yang membuat Luna berpikir mungkin bibinya agak sedikit tidak waras. "Tapi ada satu fakta mengenai dirimu Luna, yang mungkin tidak pernah diceritakan oleh saudariku sebelumnya."
Luna menunggu dengan sabar ketika Bibinya itu memainkan tongkatnya di udara, membentuk sebuah mata berwarna emas di udara yang dikerumuni awan berkilauan.
"Eye of Judgement, kau memiliki itu. Mungkin belum mengalami kebangkitan, tapi kau faktanya punya bakat sihir putih dalam tubuhmu. Kau tidak sepenuhnya berdarah penyihir hitam, Luna," terang Odelia seraya membuat bayangan mata tadi melebur menjadi satu dengan udara. "Sihir putihmu itu mengizinkanmu untuk mengetahui mana yang benar dan salah, mana yang tulus dan tidak, jujur atau bohong, serta maksud sebenarnya di balik itu."
Jika terkejut dihadiahi setidaknya satu koin emas, Luna pasti sudah jadi orang kaya sekarang. Entah sudah yang ke-berapa kalinya dia menganga seperti orang bodoh. Sementara fakta-fakta yang membuatnya setengah percaya setengah tidak terus mengisi otaknya sejak dimulainya hari.
"Jadi maksudmu ... aku seorang darah campuran?" Pertanyaan Luna dijawab dengan anggukan oleh Odelia. "Sulit dipercaya."
"Memang," kekeh Bibinya. "Tapi begitulah kenyataannya." Sepersekian detik kemudian wajah Bibinya berubah serius dan mendekatkannya pada Luna. "Ingat Luna, kau tidak bisa mengatakan ini pada sembarang orang. Tolong ingat kata-kataku ini. Sebab ... argh!"
Odelia yang awalnya serius itu kini merubah ekspresinya menjadi kesakitan dengan satu tangan di pelipisnya. Kemudian dia mulai mengeluarkan makian-makian penuh cela yang sebaiknya tidak kusebutkan di sini. Sementara Pixie ikut memegangi pelipis majikannya dengan khawatir.
"Dasar Penyihir Iblis jahanam! Akan kupermak wajahnya nanti!"
Luna mengerutkan dahinya, tidak paham. "Apa yang terjadi, Professor? Kau baik-baik saja?"
"Oh, tolong panggil aku Bibi saat kita berdua saja," pintanya seraya memijat pelipis. "Kekuatan dewi-ku semakin melemah, dan ingatanku mengenai sejarah Althoria ditutupi hampir sepenuhnya oleh seorang penyihir bedebah di masa lampau yang membuat perubahan. Maka dari itu." Odelia tiba-tiba mencengkram kedua bahu keponakannya itu dengan sorot mata penuh harap dan nadanya menggebu-gebu. "Hanya kau yang bisa mengembalikan sejarahnya. Hanya kau yang waras, karena tinggal di dunia luar. Tanpa bilang begini pun, aku tahu kau pasti berusaha melakukannya. Sebab jika tidak," dia terdiam sesaat untuk menarik napas, "nyawamu akan diincar oleh banyak sekali penyihir yang haus darah."
Ketidakpahaman adalah satu-satunya yang ada di dalam otaknya saat ini. Biasanya, otak Luna bekerja dengan cepat karena dia anak yang lumayan pintar. Tapi kali ini dia sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan oleh bibinya.
"Aku tidak mengerti, Bibi. Tapi aku akan berusaha meski aku tidak yakin apa yang bisa kulakukan," sahutnya bimbang.
Odelia menjauhkan tubuhnya dari Luna dan menjentikkan jari. "Oh, kau akan tahu nanti. Nah, sekarang." Wanita jangkung itu berdiri dan nampak menggerakkan tongkatnya lagi di atas meja. Dalam sekejap, muncul tumpukan pakaian yang didominasi warna biru yang kemudian diserahkannya pada Luna. "Kau akan menjadi murid dari akademi ini. Perkuat sihirmu. Itu langkah pertama yang harus kaulakukan."
Jemari Luna menyambut tumpukan pakaian itu dan menimangnya. "Tapi sihirku sudah disegel, bagaimana aku bisa menggunakannya?"
"Oh, Sayangku." Odelia tersenyum lembut. "Setiap penyihir bisa menggunakan sihir murni jikalau sihir bakatnya disegel. Tidak perlu khawatir." Luna hanya menganggukkan kepalanya kaku. "Dan ini tongkatmu. Kau harus mencari sendiri batu sihir yang cocok untuk dirimu. Tanpa batu sihir, tongkat tetap bisa digunakan. Tapi akan lebih kuat jika menggunakannya."
"Lalu, apa arti simbol ini? Barangkali Bibi tahu." Luna mengubah posisi duduknya agak membelakangi Odelia, menyibak rambut yang menutupi tengkuknya.
Odelia lagi-lagi tersenyum. Entah sudah berapa kali hari ini. Luna sempat berpikir apa bibinya itu tidak pernah mengalami pegal-pegal di wajah akibat terlalu banyak tersenyum. "Itu tanda kebangkitanmu, Nak." Melihat ekspresi Luna yang kebingungan, bibinya menghela napas sabar. "Wajar kau tidak tahu, tinggal di dunia manusia akan menghambat semua pengetahuan yang seharusnya kaudapatkan sejak usia lima tahun.
"Setiap penyihir akan mengalami kebangkitan setiap mereka berusia tepat tujuh belas tahun. Kebangkitan akan selalu ditandai dengan simbol yang melambangkan bakat sihir mereka, bisa terletak di bagian kulit manapun." Odelia kemudian mendekat dan berbisik, "seseorang yang kukenal mendapatkan simbol kebangkitannya di bokong."
Luna hanya tersenyum geli membayangkannya. "Tapi, kau bilang aku punya dua sihir. Itu artinya aku akan mengalami kebangkitanku yang kedua?"
"Tepat sekali."
Gadis itu mengangguk paham dan menunduk, memandang tongkat pemberian Odelia. Untuk yang kedua kalinya Luna menimang benda sepanjang sekitar tiga puluh sentimeter itu. Luna bukan ahli tumbuhan, jadi dia tidak bisa mengidentifikasi jenis kayu yang digunakan tapi yang jelas benda ini ringan.
"Itu kayu Pohon Cedar," jelasnya cepat sebab ekspresi wajah Luna begitu mudah dibaca. "Aku sudah memanggil salah satu anggota Magica Consillium untuk mengantarmu ke kamar," tambah bibinya. "Dia sudah menunggumu di luar ruangan."
Luna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Baiklah ... Bibi, terimakasih. Kurasa aku akan pergi sekarang."
Wanita yang berperan sebagai Bibi sekaligus Kepala Akademi itu tersenyum melambaikan sebelah tangan kanannya. Tapi pertanyaan yang belum terjawab di kepala Luna membuat gadis itu kembali memutar tubuh, menghadap wajah bibinya yang bertanya-tanya.
"Ah, aku lupa sesuatu," katanya seraya menyeringai malu. "Apa semua penyihir hitam ... memang dibenci? Apa mereka pernah membuat kesalahan besar di masa lalu?"
Gadis itu merasa hanya karena sihir bakat mereka yang memang gelap dan hitam, bukan berarti hal itu memengaruhi watak mereka bukan? Bisa saja kaum penyihir hitam ternyata berhati mulia. Namun nampaknya setelah pertama kali menginjakkan kaki di dimensi ini dan mendapatkan tatapan penuh cela dari semua orang, Luna yakin bahwa posisi penyihir hitam dipandang sebelah mata.
Menanggapi pertanyaan itu, bibir Odelia sempat terbuka lalu terkatup lagi berulang kali. Luna menduga ada sesuatu yang tidak bisa dikatakan bibinya 'lagi'. "Ya. Aku tidak bisa memberitahumu. Kau harus mencari tahu sendiri. Maafkan aku."
Sang pengaju pertanyaan menghela napas yang membuatnya terlihat seperti nenek-nenek berusia ratusan tahun. "Sudah kuduga." Dia kemudian kembali memutar tubuhnya menghadap pintu. "Terimakasih, Bibi. Aku akan pergi sekarang."
Tanpa menunggu jawaban dari bibinya lagi, Luna memutar kenop pintu dan tampaklah manusia jangkung di sebelah pintu keluar. Kalau dibandingkan, tinggi Luna hanya mencapai leher si pemuda jangkung. Jika diperhatikan, kau akan menyadari betapa berkilaunya surai kekuningan bagai emas si pemuda. Hidungnya mancung, sorot tajam dan licik itu terpancar dari netranya yang sehijau rumput di musim semi. Semua itu terbingkai dalam wajah dengan pahatan rahang tegas sempurna.
Saat itu, Luna berpikir bahwa dia tidak akan pernah menemukan paras seperti itu di dunia asalnya---setidaknya untuk ukuran warga sipil, bukan selebriti.
"Oh ...?" Luna membulatkan mulutnya.
Bahkan sebelum Luna menyelesaikan ucapannya karena terkejut---mungkin sedikit terpana---pemuda itu memindainya bagai scanner dari ujung rambut hingga ujung sepatunya.
"Kau ... Luna Norwood?" tanyanya dengan suara sejernih sumber mata air namun sekaligus dingin bagai salju di puncak tertinggi Mount Everest.
Luna mengerjap-erjapkan matanya berulang kali. "I ... ya," jawabnya dengan suara mirip cicitan tikus. Mungkin benar dia sudah tersihir oleh paras rupawan itu.
Tanpa banyak berbasa-basi, pemuda itu membalikkan badan dan melangkah maju. Ia rupanya tak peduli bahwa Luna masih terpaku di tempat.
"Lucius Lancester." Suara pemuda itu tiba-tiba menyadarkan Luna dari lamunan halusinasi remajanya. "Aku tidak suka orang yang lamban. Berusahalah agar kaki kecilmu itu dapat menyesuaikan langkahku," ucapnya dengan nada menyiratkan ejekan tanpa sedikitpun menoleh ke belakang bahu.
Luna sepenuhnya tersadar dari segala halusinasi konyolnya dan memutuskan bahwa pemuda ini hanya unggul di parasnya saja. Lihatlah sikap menyebalkannya itu. Orang mana yang akan mengeluarkan kalimat penuh ejekan di hari pertama mereka bertemu?
Mengernyitkan dahi penuh rasa tak suka, gadis itu berjalan dengan langkah lebar-lebar dan berhasil melampaui kecepatan Lucius. Melihat posisinya yang berada tiga langkah di depan pemuda itu membuat Luna kembali membangga-banggakan prestasinya sebagai atlet lari jarak jauh dalam hati. Dia melongok ke balik bahunya hanya untuk melempar senyum miring penuh kemenangan pada si pemuda.
Lucius berhenti melangkah, berkata dengan nada datar namun siapapun bisa menangkap maksud sarkas dalam kalimatnya, "aku sepertinya tidak perlu memandumu lagi karena nampaknya kau sudah hapal jalan di akademi."
Kata-kata itu sukses membuat pipi Luna merona semerah tomat dan kembali pada posisinya di belakang Lucius.
.
.
.
To be continued ....
Althopedia!
Penyihir hitam : kaum penyihir yang memiliki inti sihir gelap sejak lahir. Biasanya memiliki elemen yang berhubungan dengan kegelapan; darah, bayangan, kegelapan, kematian, dsb. Gelap dan hitam bukan berarti jahat, semuanya tergantung pada pribadi masing-masing penyihir.
Penyihir putih : kaum penyihir yang memiliki inti sihir putih sejak lahir. Penyihir yang memang mempunyai sihir elemen biasanya bersumber cerah atau terang; cahaya, air, api, es, tanah, tumbuhan, dsb.
Author's note!
terimakasih sudah mampir! jangan lupa tinggalkan jejak!
stay tuned for the next chapt!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top