IV. Wajah Ibu

“𝕰𝖛𝖊𝖗𝖞𝖔𝖓𝖊 𝖙𝖍𝖔𝖚𝖌𝖍𝖙 𝖙𝖍𝖊 𝖔𝖗𝖆𝖈𝖑𝖊 𝖜𝖆𝖘 𝖋𝖆𝖐𝖊 𝖆𝖓𝖉 𝖇𝖑𝖆𝖒𝖊 𝕽𝖍𝖞𝖒𝖔𝖘.”

Apa kalian pernah pergi ke luar angkasa? Oh, mungkin tidak. Aku mengajukan pertanyaan yang sedikit tidak masuk akal kecuali kalian adalah astronot.

Luna tidak berbohong ketika dia mengatakan bahwa kini tubuhnya tidak dapat merasakan gravitasi. Mengambang di udara, tidak berpijak pada apapun. Kegelapan memenuhi indera pengelihatannya. Atau mungkin dia hanya belum membuka mata? Entahlah, kedua hal itu sama saja baginya. Tak ada satupun cahaya yang mampu mengidentifikasi tempatnya berada saat ini. Terlalu banyak kejanggalan sampai-sampai Luna berpikir bahwa dirinya sudah mati kedinginan di dalam penjara.

Setidaknya, dia tidak mati untuk suatu hal yang sia-sia. Dia meninggalkan dunia karena telah menolong manusia.

Dalam beberapa menit ke depan, hal yang dirasakannya masih sama. Sebelum akhirnya Luna merasakan satu-persatu inderanya mulai berfungsi. Ditangkapnya suara-suara yang menyerukan namanya berkali-kali, membuat Luna bertanya-tanya siapa yang memanggilnya dalam kegelapan.

Oh, apa mungkin itu Dewa Kematian? pikirnya.

"Luna."

Itu adalah panggilan yang ke-tujuh kali sejak pertama kali telinganya berfungsi normal. Dan ketika itulah cahaya mulai menyeruak masuk ke dalam pengelihatannya. Luna mengerjap, menyesuaikan silaunya cahaya yang masuk. Matanya yang buram perlahan menangkap dua sosok lain selain dirinya yang ada di dalam tempat tanpa gravitasi ini. Tapi mungkin Luna tak bisa lagi menyebutnya begitu karena nyatanya kini kedua kakinya sudah berpijak pada lantai yang terasa dingin seperti lantai batu di penjara.

Ketika matanya sudah dapat melihat dengan normal, dua orang di hadapannya tersenyum penuh haru seolah-olah Luna adalah bagian mereka yang hilang. Mulut gadis bersurai merah gelap itu terbuka lebar dengan tubuh yang bergetar begitu menyadari siapa sosok yang tengah berdiri di hadapannya.

"A-ayah? Ibu?" Luna bertanya lebih pada dirinya sendiri. Sebab melihat orang yang telah meninggal hidup kembali membuatnya bisa disangka seorang pengidap Skizofrenia. Tapi apa yang dilihat Luna benar-benar nyata, dan mereka berpijak di lantai yang sama dengannya.

Melihat respon kedua orang itu yang mengangguk membuat air matanya menggenang. "Kenapa ...?"

Luna memaksakan kakinya untuk bergerak menuju kedua orangtua yang sangat dirindukannya itu. Mereka yang meninggal dunia sejak di usianya yang ke-empat tahun. Tanpa sempat berbagi cerita dan ikut melihat perkembangan Luna hingga putri tunggal mereka mencapai usia tujuh belas tahun. Marah, kecewa, rindu bercampur menjadi satu di hatinya. Bibinya sering bercerita bahwa orang mati bisa hadir di mimpi jika mereka ingin. Mengingat kedua orang yang selalu dinanti-nanti Luna baru muncul saat ini, apa itu artinya orangtuanya tidak ingin bertemu Luna?

Mendapat kesimpulan itu dari dalam otaknya, Luna menjadi kecewa.

"Kau tidak akan bisa menyentuh kami, Nak," sela Olivia, Ibu Luna. "Kami yang sudah terikat dengan alam kematian tidak bisa melakukan kontak fisik dengan mereka yang masih bernapas."

Langkah Luna terhenti sepenuhnya, tepat sekitar dua langkah di depan mereka. Deru napasnya berubah cepat, mungkin karena emosi yang meluap. "Kenapa? Setelah sekian lama ... kenapa baru muncul sekarang?"

Kedua orang itu saling berpandangan. Berperang dalam otak masing-masing demi menyusun kata untuk menjelaskan situasi mereka pada putrinya.

"Banyak hal yang harus dilakukan untuk muncul dalam mimpi seseorang, Luna. Tentu saja itu tidak mudah dan ada bayarannya. Kami tidak bisa datang seenak jidat ke mimpi seseorang," tutur Albert, Ayah Luna, singkat. "Kami datang karena harus menyampaikan sesuatu. Waktu kami tentu sangat terbatas, jadi kami harap kau mau mendengarkannya sebelum kami benar-benar pergi."

Luna terdiam, menyeka matanya dengan punggung tangan. Dia masih marah pada kedua orangtuanya, tapi tidak mendengarkan mereka akan membuatnya menjadi anak durhaka. Suara Luna bergetar ketika dia berbicara, "memangnya apa? Ucapan sampai jumpa karena aku sebentar lagi akan mati?"

Olivia menggeleng sabar. "Kau akan tetap hidup, Luna." Dia terdiam sebentar untuk tersenyum. "Setelah ini, kehidupanmu akan benar-benar berubah drastis. Kami dengan sungguh-sungguh meminta maaf karena telah menempatkanmu pada tanggung jawab yang begitu besar. Tapi kami juga tidak berdaya setelah mengetahui ramalan para Dewa dan Mr. Goblick, Tetua Agung."

"Ramalan itu tertuju padamu yang lahir pada bulan ke-tujuh dan tanggal ke-tujuh yang akan memulihkan sejarah Althoria. Tentu saja itu tidak mudah. Akan ada banyak orang yang mengincar nyawamu saat itu. Maka dari itu, kami berpesan padamu." Suara Albert perlahan memudar, bersamaan dengan tubuh mereka yang seolah-olah akan menghilang. "Ikutilah jalan kebenaran dan percaya dengan kemampuanmu. Ketahuilah bahwa orang-orang di sekitarmu .... Sebab kau juga memiliki .... Pastikan menggunakannya dengan baik dan bijak."

Dahi Luna berkerut, alisnya nyaris menyatu. "Aku tidak bisa mendengar kalimat terakhir Ayah."

"Ingat! Ikutilah jalan kebenaran, dan jauhkan dirimu dari ...! Mereka ... dan ...!"

Albert dan Olivia tidak berbohong soal waktu mereka yang terbatas. Itu adalah kalimat terakhir yang seolah-olah belum genap terucap dari Albert. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya kalimat utuh yang hendak diucapkannya kecuali Tuhan dan Albert sendiri. Luna menggaruk kepalanya frustasi. Bagaimana bisa dia mengetahui pesan yang hendak disampaikan orangtuanya jika kalimatnya saja belum genap terucap?

Belum sempat merangkai kata-kata yang baru saja didengarnya, mendadak kesadaran Luna kembali berpindah. Kini bukan hanya kakinya yang berpijak pada lantai dingin, melainkan seluruh tubuhnya. Luna sepenuhnya terjaga, dan menyadari sekarang dirinya sudah kembali terbaring di penjara. Mimpi tetaplah mimpi, tapi perasaan nyata itu membekas dalam pikirannya.

Rasa sakit di bagian punggung dan lemas di seluruh tubuh masih membekas sejak kemarin. Namun Luna memaksakan menarik tubuhnya dari lantai yang dingin, mengubah posisinya menjadi bersandar pada dinding batu. Dia menarik kedua lututnya ke arah dada, mengalungkan lengan dan membenamkan kepala. Tepat ketika seseorang berdiri di sela-sela jeruji besi yang memisahkan mereka. Luna mendongak dan mendapati salah satu anggota Kementrian menatap lurus ke arahnya.

"Kepala Akademi Althoria ingin bertemu dengan Anda."

Ini yang kedua kalinya Luna mengerutkan dahi mendengar nama yang sama sekali tidak pernah dia temui seumur hidupnya.

Siapa pula orang ini? tanyanya dalam hati.

Tak butuh waktu lama, muncul wanita bertudung biru muda dengan surai perak lurusnya yang menjuntai menyapu lantai. Luna semakin sulit mengidentifikasi identitasnya kala tudung itu menutupi sebagian wajahnya. Wanita itu menempelkan wajah pada jeruji besi, jemarinya yang bergetar mencengkram jeruji dengan keras.

"Demi jenggot Goblick!" pekiknya histeris. "Apa yang orang-orang Kementrian sialan itu lakukan padamu?"

Luna tidak menjawab, memilih menatap orang baru itu dengan penuh waspada. Takut jikalau wanita itu dikirim untuk melukainya.

Melihat sorot mata yang dilemparkan Luna, wanita itu mengukir senyum prihatin. "Oh, tenang saja Luna. Aku akan mengeluarkanmu dari sini, aku janji. Orang-orang sialan berbokong datar itu akan menyesal telah melemparmu ke penjara," tukasnya cepat sebelum berbalik dan menghilang dalam kegelapan lorong ruang bawah tanah.

Gadis itu benar-benar tidak mengerti kenapa wanita yang dipanggil Kepala Akademi Althoria itu terlihat sudah mengenalnya sangat lama dan begitu berapi-api untuk mengeluarkannya dari penjara. Dia mengernyit, bukannya itu hal yang mustahil? Kesalahan Luna sudah terlalu berat. Hukuman untuknya tidak akan diringankan meski mereka sudah meninjau ulang kejadian kemarin. Sebab fokus Kementrian adalah pada pembunuhan yang telah dilakukan Luna, bukan alasan dibalik itu.

Sistem yang bobrok menurutnya. Tapi Luna tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Kementrian karena baginya dia juga bersalah.

Luna menghela napas panjang, menoleh ke balik jeruji besi. Meski hari sudah pagi, tak ada satupun cahaya matahari yang masuk ke ruang bawah tanah. Penerangan hanya dibantu oleh obor-obor yang jumlahnya minim di dinding ruang bawah tanah. Hal itu wajar-wajar saja, sebab selain letak ruangannya, jendela sengaja tidak dimasukkan ke dalam desain ruang bawah tanah ketika bangunan pertama kali dibuat untuk mencegah kaburnya tahanan.

Gadis itu memejamkan mata, berusaha mengingat kembali maksud dari kalimat sang Ayah. Pikirannya tertuju pada ramalan yang dikatakan Albert. Setengah tidak percaya bahwa dirinya bisa tercatat dalam ramalan yang cukup aneh menurutnya, bahkan ditakdirkan untuk mengemban tanggung jawab yang luarbiasa beratnya.

Pertanyaannya, bagaimana bisa orang yang mendekam di penjara mampu memulihkan sejarah Althoria?

Tepat ketika pertanyaan itu genap dilontarkannya dalam pikiran, terdengar derap langkah beberapa orang yang terhenti tepat di depan selnya. Ketika Luna membuka mata, dia mendapati Sang Hakim berdiri di balik jeruji besi bersama seorang anggota Kementrian yang membawa setumpuk dokumen. Sementara wanita bertudung biru muda itu nampak tersenyum puas di belakang mereka.

Luna yang kebingungan hanya mampu menunggu sabar sampai Sang Hakim selesai berdehem membersihkan tenggorokannya sebelum mulai berbicara, "Luna Olivia Norwood. Kami telah meninjau ulang mengenai perbuatan Anda di Desa Leivinnia. Hasil yang kami dapatkan menyatakan bahwa Anda tidak bersalah. Namun Anda tetap dikenakan pasal 7 karena merupakan Penyihir Hitam."

Lagi-lagi, untuk yang kedua kalinya, mulut gadis itu menganga. Dia melirik sekilas pada senyum puas wanita itu yang berada di belakang orang-orang Kementrian. Mulutnya masih terbuka lebar ketika penjaga yang menjaga sel-nya membukakan pintu jeruji besi yang berat itu untuknya. Langkah kaki Luna bergerak ragu, masih menatap mereka tidak percaya.

"S-saya ... benar-benar bebas?" Pertanyaan itu hanya direspon anggukan oleh Sang Hakim.

Luna melangkahkan kakinya keluar dari mantan sel-nya dengan lebih percaya diri. Rasa sakit yang awalnya masih menggerogoti tubuhnya itu mendadak hilang akibat rasa senang sekaligus terkejut yang melandanya secara tiba-tiba.

"Tugasku telah selesai. Aku sarankan agar kalian berdua tidak berlama-lama di ruang bawah tanah karena suasana dan udaranya sedikit tidak nyaman," saran Sang Hakim sebelum berbalik meninggalkan Luna berdua saja bersama si wanita bertudung.

Kesunyian melanda dalam satu menit yang terasa panjang itu sebelum akhirnya Luna memberanikan diri membuka suara. "Saya tidak tahu siapa Anda, dan sihir apa yang Anda gunakan pada orang-orang itu, tapi terimakasih banyak."

Wanita itu mengibaskan tangannya. "Aku tidak menggunakan sihir. Cukup satu fakta tentang dirimu mampu membungkam mereka yang sempat ingin mendebat setelah mendengar permintaanku akan pembebasanmu."

Luna masih menatap wanita itu penuh tanya. Bagaimana bisa ada fakta tentang dirinya yang diketahui orang lain tapi tidak dengannya?

"Sekarang, haruskah kita ke akademi?" Wanita itu membuka tudungnya, menampilkan wajah familiar yang melekat di ingatan Luna sejak kecil.

Wajah Olivia, wajah ibunya tercinta.

To be continued ....

Althopedia!

Mimpi dan Orang Mati : setiap penyihir yang sudah meninggal tinggal di Alam Bayangan. Alam antara ada dan tiada. Tidak di dunia nyata, tidak di alam kematian. Mereka yang tinggal di Alam Bayangan adalah penyihir yang belum menuntaskan tugasnya di dunia, masih memiliki dendam, ataupun mati secara tiba-tiba. Mereka dapat pergi ke alam kematian apabila tugas terakhir mereka di dunia nyata sudah selesai. Dalam arti ini, mereka dapat mendatangi mimpi seseorang yang dekat dengan mereka demi meminta bantuan untuk menyelesaikan tugas mereka agar bisa pergi ke alam kematian.

Alam Bayangan : dijaga oleh Zubus, salah satu dari sepuluh Dewa/Dewi yang dipuja di Althoria. Mereka menyebutnya dengan Dewa Roh, atau The God of Souls. Mereka yang ingin pergi ke mimpi seseorang harus dengan persetujuan Zubus.

Dewa/Dewi :
1. Dydite, The Goddess of Life : Dewi kehidupan, bertanggungjawab atas semua kelahiran.
2. Azotyl, The God of Death : Dewa kematian, bertanggungjawab atas neraka dan dosa manusia.
3. Rhaleus, The God of War : Dewa perang, bertanggungjawab memimpin perang pada mereka yang memujanya.
4. Edia, The Goddess of Prosperity : Dewi kemakmuran, memberikan kemakmuran pada mereka yang memujanya.
5. Zubus, The God of Souls : Dewa Roh, menuntun roh di Alam Bayangan.
6. Vatuna, The Goddess of Justice : Dewi keadilan, memberikan keadilan di seluruh dunia.
7. Durena, The Goddess of Nature : Dewi Alam, mengatur alam semesta.
8. Undite, The God of Love : Dewa kasih sayang, membantu mereka dan memberikan kasih sayang pada mereka yang memujanya.
9. Athys, The Goddess of Wisdom : Dewi pengetahuan, membantu seseorang mencapai pengetahuan yang diinginkan bagi mereka yang memujanya.
10. Rhymos, The God of Oracles : Dewa ramalan, mencetuskan ramalan.

Author's note!

gimana tuh? ibu Luna kan udah meninggal? hidup lagi?

stay tune buat ketemu jawbannya di next chapter!

jangan lupa vote dan comment ya, hargai author ^^

see ya and thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top