III. The Murderer
“𝕭𝖑𝖆𝖈𝖐 𝖒𝖆𝖌𝖎𝖈 𝖈𝖆𝖓 𝖒𝖆𝖐𝖊 𝖞𝖔𝖚 𝖆 𝖛𝖎𝖑𝖑𝖆𝖎𝖓 𝖎𝖓 𝖏𝖚𝖘𝖙 𝖔𝖓𝖊 𝖉𝖆𝖞 𝖊𝖛𝖊𝖓 𝖎𝖋 𝖞𝖔𝖚 𝖍𝖆𝖛𝖊 𝖓𝖔 𝖎𝖉𝖊𝖆 𝖜𝖍𝖆𝖙 𝖞𝖔𝖚 𝖉𝖎𝖉 𝖜𝖗𝖔𝖓𝖌.”
Jika kau membaca sebuah buku atau novel, karakter mana yang lebih kau sukai? Protagonis atau antagonis?
Yah, kebanyakan orang pasti memilih protagonis, atau mungkin karakter sampingan pendukung tokoh utama yang ternyata memiliki peran besar dalam cerita. Tapi Luna bukanlah bagian dari kebanyakan orang itu, villain atau antagonis selalu menarik perhatiannya dalam kisah manapun. Terutama antagonis yang terlampau cerdik tapi memutuskan untuk bertobat di akhir cerita. Orang-orang menganggap gadis itu aneh karena dimana-mana, pahlawan seharusnya menjadi favorit semua orang dan penjahat akan dibenci seumur hidup sebab telah membuat hidup sang pahlawan sengsara. Luna bukannya membenci pahlawan, anti-heorine atau apalah. Namun perlu diketahui, alasan seorang penulis membentuk antagonis dan jahat bukan sifat mereka sejak lahir. Kepribadian yang bertolak belakang dengan protagonis itu mulai terbentuk entah karena masa lalu yang kelam, pengkhianatan, rasa kecewa, dan masih banyak lagi.
Karakter antagonis yang dulunya menjadi favorit Luna itu, kini adalah dirinya sendiri. Teriakan penuh kebencian yang ditujukan warga desa padanya itu semakin menjadi-jadi tepat sebelum pijakan kakinya berpindah ke dunia lain. Sekarang gadis itu benar-benar mengerti bagaimana perasaan seorang antagonis, terlepas dari kejahatan yang mereka lakukan. Jadi penjahat apalagi kesalahan yang kau lakukan bukanlah suatu kesengajaan ataupun dalam kesadaran penuh, sungguh tidak menyenangkan sama sekali.
Rasa mual dan pusing yang hinggap di tubuh Luna akibat efek samping menggunakan lingkaran sihir---belakangan ia tahu nama alat transportasi mereka---tak dihiraukannya kala masih banyak hal-hal lain yang harus ia pikirkan. Orang-orang dari Kementrian itu membawanya ke sebuah bangunan besar bergaya neo-klasik yang ramai. Gerombolan manusia yang berada di dalamnya sebagian besar menggunakan jas atau pakaian formal. Membuat gadis itu terlihat seperti pengemis kumuh yang ditangkap karena mencuri sepotong roti (omong-omong Luna masih mengenakan terusan berwarna cokelat tua dengan renda putih, tapi pertarungan tadi membuat beberapa bagian bajunya sobek dan kotor).
"Selamat siang. Ruang pengadilan hari ini berada di lorong kedua ruangan pertama di kiri," ujar seorang wanita dengan lipstik merah menyala dan rambut digulung tinggi, dia sempat melirik Luna sekilas begitu mereka menghampiri meja resepsionis.
Luna hanya bisa menatap lantai kantor Kementrian dengan tatapan pasrah dan putus asa. Orang-orang yang lewat akan mengira bahwa ia hendak meregang nyawa sebentar lagi, atau mungkin itulah yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Luna tidak tahu apa yang orang-orang Kementrian ini hendak lakukan padanya. Berkat kemampuan mengupingnya yang harus ia banggakan pada saat-saat seperti ini, dirinya hanya dapat mengulik informasi bahwa mereka harus menjatuhkan hukuman padanya sesuai dengan pasal-pasal yang ia langgar.
Pertanyaannya, hukuman seperti apa? Bagaimana kalau hukuman mati?
Ingatan Luna kembali membawanya ke beberapa waktu lalu. Ketika para warga desa menjadi gaduh dan melaporkan kejadian yang baru saja mereka lihat pada Kementrian. Ketidaktahuan Luna terhadap sihir dan mereka yang seolah-olah familiar dengan Kementrian Penegak Magis ini, membuat gadis itu merasa menjadi manusia paling kolot sedunia karena menganggap sihir adalah suatu yang mustahil. Mungkin ia hanya tidak tahu dan tidak percaya, itu saja. Dan Bibi juga tidak pernah menceritakan apapun padanya ....
Eh, tunggu. Aku melewatkan satu hal. Kurasa anggota Kementrian mengenal Bibi sebab mereka memanggilnya dengan nama lengkap. Kira-kira ....
Tarikan paksa dua orang yang memapah Luna membuyarkan lamunan sesaatnya. Seolah-olah ia kembali dipaksa menghadapi realita yang menyakitkan, dijatuhi hukuman untuk sesuatu yang tidak secara sadar kaulakukan. Luna kembali menghela napas, bagaimanapun juga, ia harus mulai menerima takdirnya yang menyedihkan. Tapi apabila Luna diizinkan membela diri, ia akan berusaha menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin.
Mereka menggiringnya ke ruangan sesuai petunjuk wanita di meja resepsionis. Ruangan dengan pintu berukiran rumit nan besar itu kini terbuka lebar. Kesan pertamanya adalah ruangan ini serba putih dan desainnya mirip dengan ruang pengadilan di dunia manusia. Hanya saja meja Sang Hakim terletak tinggi menempel pada dinding di depan sana. Suara desas-desus kebisingan orang-orang di dalamnya mulai memasuki indera pendengaran gadis itu. Dihujani tatapan-tatapan beragam dari semua orang membuat Luna menundukkan kepala dan menggigit bibir.
Luna melenguh kesakitan kala mereka melempar tubuhnya kasar ke tengah-tengah ruangan. Kegaduhan semakin bertambah. Sementara yang dilakukannya hanyalah menatap ke atas. Ketika mata gadis itu bertubrukan dengan tatapan seorang pria berjenggot putih tebal yang dingin dan tak berperasaan, ia kembali menunduk. Itu Sang Hakim.
"Hukum mati saja dia!"
"Gadis itu penyihir hitam!"
"Jangan biarkan gadis itu hidup!"
Teriakan-teriakan itu membuat Luna semakin kehilangan harapan untuk hidup.
Bagaimana kalau aku benar-benar akan dihukum mati? tanya Luna putus asa dalam hati.
"Tenanglah, semuanya," ujar Sang Hakim seraya melambaikan tangannya perlahan. Patung burung phoenix yang bertengger di mejanya perlahan membuka sayap lebar-lebar dan terbang mengelilingi seisi ruangan, dan kembali bertengger di ujung atas kursi Sang Hakim dengan sayap masih terbentang lebar. "Pengadilan akan segera dimulai."
Sedetik kemudian, kebisingan itu tergantikan oleh keheningan yang patut diacungi jempol. Sang Hakim berdehem sebentar sebelum akhirnya kembali menatap Luna, si tertuduh, dari atas sana.
"Luna Olivia Norwood. Putri tunggal keluarga Norwood, usia tujuh belas tahun, seorang Bloodmancer yang baru saja mengalami kebangkitan hari ini." Lirikan mata Sang Hakim bergeser seiring kata demi kata yang dibacanya dalam sebuah kertas mengambang di udara. "Dilaporkan telah membunuh manusia sebanyak tiga orang dengan sihirnya. Menurut Pasal 6 dan Pasal 7 Negeri Althoria, Anda akan dijatuhi hukuman mati. Apa Anda memiliki pembelaan, Nona Norwood?"
Oh, Tuhan.
Mendengar hukuman mati itu bagai petir di siang bolong untuk Luna. Seolah-olah ia bisa melihat kehancuran masa depan yang telah
disusun sebaik mungkin.
Namun pembelaan ini, adalah kesempatanku!
"S-saya ...." Suara serak Luna terdengar seperti sapi yang akan disembelih, tapi gadis itu tidak peduli. Sebab pembelaan diri adalah hal yang lebih penting saat ini. "Tidak melakukan itu dengan keinginan seorang pembunuh, Yang Mulia."
Ruangan masih hening, menunggu gadis itu melanjutkan ucapan. Luna akhirnya menceritakan kejadian bagaimana keinginannya untuk menolong seorang gadis kecil yang hendak dirampok itu, ketidaksadarannya tentang sihir hitam, serta saksi mata yang hanya datang di saat pembunuhan terjadi.
Sang Hakim menatap Luna tanpa ekspresi, nampaknya Beliau tengah membuat keputusan. "Menolong seorang manusia memanglah tindakan yang mulia, Nona Norwood. Tapi fakta bahwa Anda telah membunuh tiga manusia sekaligus tidak bisa dielakkan."
Oh, tidak. Apa itu artinya pembelaanku tidak berarti apapun? Aku akan benar-benar mati? Raut wajah Luna berubah panik.
"Lakukan prosedur pertama sesuai Pasal ke-7," perintah Sang Hakim pada anggota Kementrian yang sempat datang ke desa gadis itu beberapa waktu lalu.
Mereka dengan cepat menghampiri Luna yang tengah terduduk pasrah di atas lantai dingin. Salah satunya membawa tabung berisi cairan putih terang yang entah kenapa nampak tidak bersahabat di mata gadis itu. Tongkat sihir teracung padanya, belum sempat mengucapkan sepatah kata, benda itu sudah mengeluarkan cahaya yang membuat mulut Luna terbuka lebar secara paksa. Dua anggota lain datang untuk memegangi tubuhnya sementara cairan dalam tabung tiba-tiba saja dicekoki ke dalam mulut gadis itu.
Netra Luna hanya mampu membelalak lebar, cairan itu perlahan-lahan meluncur masuk ke tenggorokan dan mencapai lambung. Awalnya ia tidak merasakan apapun sampai sesuatu yang terasa panas seolah-olah membakar jantung. Luna mengerang keras, ingin meminta pertolongan namun sadar tak satupun orang di sana akan peduli. Rasa panas itu kini berubah menjadi tusukan yang menghujani seluruh tubuhnya hingga membuat gadis itu hanya mampu terkulai lemas di atas ubin yang dingin. Sesaat, Luna mengira dia akan betul-betul mati.
Semua orang menyaksikan kejadian itu dengan wajah datar, seakan-akan mereka tak berperasaan. Atau sudah sering berjumpa dengan kejadian semacam ini dan hanya menganggapnya sebagai pertunjukan belaka.
"Baik, prosedur pertama sudah dilakukan," tandas Sang Hakim seraya kembali mengangkat satu kertas melayang di hadapannya. "Kami akan meninjau kembali pembelaan Anda, Nona Norwood. Untuk sementara, Anda akan ditempatkan di ruang bawah tanah sampai Kementrian menemukan kebenarannya.
"Pengadilan selesai."
Alih-alih mendengar suara ketukan palu seperti bagaimana pengadilan berjalan semestinya, suara itu digantikan dengan patung burung phoenix yang kembali terbang ke atas meja Sang Hakim kemudian bertengger tanpa membentangkan sayap.
Lagi-lagi Luna ditarik paksa dan diperlakukan kasar. Kini mereka memapahnya menuju pintu di ujung ruang pengadilan yang terdapat tangga di baliknya. Mereka menuruni tangga yang berjumlah ribuan itu dan tiba pada lorong yang lebih gelap. Kepala Luna yang tertunduk ke bawah tidak bisa melihat jelas apa saja yang terdapat di ruang bawah tanah. Tapi ia bisa dengan jelas mendengar suara teriakan-teriakan pilu, bentakan kasar meminta dikeluarkan, ataupun hanya doa-doa mirip pemuja aliran sesat dari orang-orang di dalam sel. Dirasakannya sebuah cahaya menyapa pengelihatan gadis itu, mungkin mereka menggunakan sihir sebagai sumber cahaya.
"Masukkan dia ke sel nomor 177," ujar salah satu orang yang memapah Luna.
Begitu mereka tiba di sel yang dimaksud, anggota Kementrian itu melemparnya---lagi---ke dalam sel dan mengunci jerujinya dari luar. Seolah-olah tidak ingin berlama-lama di dalam, mereka meninggalkan Luna secepat kilat sendirian.
Luna menjatuhkan tubuh ke atas lantai batu yang sangat dingin. Menumpahkan semua emosi yang tidak sempat dikeluarkannya sejak tadi. Isakan tangisnya berubah menjadi raungan setelah beberapa saat.
Kenapa takdir tidak berpihak padaku? Kenapa semesta tidak mendengarkanku? Atau memang aku tidak diizinkan untuk menikmati dunia sebagaimana mestinya seorang gadis remaja?
Nyatanya, Luna tidak bisa berpasrah dengan keadaan. Luna ingin hidup. Luna ingin keluar dari sini. Luna ingin kembali ke rumah. Luna tidak mau mati.
Luna terus mengulang-ulang kalimat itu di kepalanya. Sampai akhirnya rasa kantuk menghampiri dan tubuh gadis itu memasuki fase bermimpi, bertemu dengan kedua orangtuanya yang telah lama tiada.
To be continued ....
.
.
.
Althopedia!
Pengadilan Dunia Althoria : Kalau pengadilan di dunia manusia menggunakan jaksa dan pengacara sebagaimana mestinya, di sini Hakim Tertinggi-lah yang berperan sebagai penentu keputusan sekaligus pembicara selama pengadilan berlangsung. Pengadilan di dunia magis sepenuhnya berbeda dengan dunia manusia.
Author's note!
aku berusaha menyampaikan emosi Luna ke kalian. semoga tersampaikan dengan baik ya. bayangin aja, dia dipenjara karena kesalahan yang benar-benar tidak disengaja. bibinya gak bisa nolongin dia. dia benar-benar sendiri, di lantai batu yang dingin, Orang-orang juga berperilaku kasar ke dia.
aku jadi dia juga bakal nangis sampai mata bengkak, sih ....
oke segitu aja dulu. jangan lupa vote dan komen ya!
thank you for reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top