I. Utusan Dewa [REVISI]
"𝕿𝖍𝖊 𝖊𝖝𝖎𝖘𝖙𝖊𝖓𝖈𝖊 𝖔𝖋 𝖒𝖆𝖌𝖎𝖈 𝖎𝖘 𝖗𝖊𝖆𝖑, 𝖞𝖔𝖚 𝖏𝖚𝖘𝖙 𝖉𝖔𝖓'𝖙 𝖇𝖊𝖑𝖎𝖊𝖛𝖊 𝖎𝖙. 𝕭𝖚𝖙 𝖘𝖔𝖒𝖊𝖙𝖎𝖒𝖊𝖘, 𝖙𝖍𝖊𝖗𝖊 𝖆𝖗𝖊 𝖘𝖔𝖒𝖊 𝖙𝖍𝖎𝖓𝖌𝖘 𝖞𝖔𝖚 𝖉𝖔𝖓'𝖙 𝖓𝖊𝖊𝖉 𝖙𝖔 𝖐𝖓𝖔𝖜."
"Lulu masih belum ketemu ya, Bi?"
Seorang wanita paruh baya berambut coklat hazel menggeleng dengan raut wajah sedih. Dia mengeratkan balutan jaket di tubuhnya seiring dinginnya cuaca malam yang semakin menusuk kulit.
Bulan sudah semakin tinggi, menggantikan tugas matahari. Langit berubah gelap, dihiasi taburan bintang yang tak bisa dihitung jumlahnya. Jalanan desa nampak sepi, orang-orang lebih memilih untuk meringkuk di bawah selimut atau menikmati cokelat panas di depan perapian daripada berkeliaran di luar pada cuaca sedingin ini. Pengecualian untuk pasangan bibi dan keponakan yang tengah dirundung rasa cemas dan gelisah sejak matahari masih terik tadi.
Kucing kesayangan mereka yang berbulu putih salju dan bertubuh gempal itu tak kunjung kembali sejak siang tadi, tepat ketika mereka baru saja kembali dari supermarket untuk membeli beberapa keperluan. Awalnya mereka menganggap kucing bernama Lulu itu pergi berkencan dengan kucing tetangga yang berjenis kelamin laki-laki-entahlah, mereka tidak pernah mengerti komunikasi antar para kucing. Namun kenyataannya sampai matahari terbenam, Lulu yang biasanya tahu waktu-karena itu waktunya makan jadi pasti akan pulang sendiri tanpa perlu dicari-tak menunjukkan keberadaannya.
Gadis berambut merah kecoklatan menghela napas, menggigit ibu jarinya gelisah. "Ke mana perginya ya ... aku sudah mencari sampai ke gang sebelah. Tapi setahuku Lulu tak pernah bermain sampai sejauh itu ... bagaimana kalau dia-"
"Hush!" desis bibinya dengan alis tertaut. "Mungkin dia keasyikan berpacaran dengan kucing berbulu hitam itu," tebaknya membuat gadis berambut merah kecoklatan membayangkan kucing tetangga yang berbulu hitam legam dan berwajah garang itu. "Aku yakin besok pagi dia akan pulang, Luna."
Lagi-lagi, Luna menghela napas. Dirinya semakin gelisah ketika membayangkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang terbentuk dalam pikirannya. "Tapi, Bi ...."
"Sudah." Bibinya menepuk pundak Luna dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah. "Kita masuk saja dulu, cuaca semakin dingin. Percayalah, dia akan pulang besok."
****
Kenyataannya, ucapan bibi Luna salah besar.
Ini sudah sore, matahari akan segera terbenam, meninggalkan semburat berwarna oranye di langit. Tapi Lulu masih tak kunjung pulang.
Dengan langkah gontai dan putus asa, Luna menyusuri jalanan desa yang sudah sepi. Wilayah yang dia tinggali bersama bibinya termasuk desa kecil dan jauh dari perkotaan, juga kurang diperhatikan oleh pemerintah. Penduduknya juga tergolong sedikit, tapi semuanya selalu saling membantu dan ramah. Untuk Luna yang menyukai ketenangan, dia menyukai tempat tinggal barunya ini, semenjak meninggalnya orangtua Luna dalam kecelakaan sepuluh tahun yang lalu.
Dia mendesah panjang, lelah. Kemudian mendudukkan tubuh di salah satu kursi besi di teras sebuah toko kelontong. Luna mendongakkan kepala, menatap langit yang semakin menggelap.
Lulu, kemana perginya kau?
Ketika lehernya mulai pegal mendongak, dia meluruskan kembali pandangannya. Saat itulah matanya bertemu dengan sosok sesorang di jalan seberang, tepat di balik tiang listrik yang menjulang tinggi. Sosok itu tinggi, sangat tinggi dan berjubah putih dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Meski begitu, Luna yakin sosok itu tengah menatapnya sembari menyeringai. Bulu kuduknya meremang, menatap horror ke arah sosok misterius.
"Nak Luna?"
Saat pikirannya sedang digoyahkan oleh sosok misterius menyeramkan tersebut, seseorang memanggilnya dari belakang, lebih tepatnya dari pintu masuk toko kelontong. Seorang wanita tua yang rambutnya hampir dipenuhi warna putih memandang gadis itu cemas, berdiri di ambang pintu.
"Apa yang kau lakukan sendiri di sini, Nak? Ini sudah sore dan cuaca dingin, lho," ujarnya memperingatkan sembari tersenyum.
"Ah, Nenek Ame," sapa Luna seraya berdiri, kemudian menunduk.
Nenek Ame tersenyum. "Kau mau mampir, Nak? Kenapa belum pulang?"
Luna menggeleng. "Ah, saya sedang ...," dia menoleh sebentar ke jalan seberang. Tapi sosok itu sudah tidak ada di sana, membuatnya kembali menoleh pada Nenek Ame. "Mencari kucing saya. Apa Nenek melihatnya? Kucing berbulu putih dan berbadan gempal." Dia kemudian membuka ponselnya dan menunjukkan foto Lulu. "Seperti ini."
Nenek Ame bergumam dan melirik ujung kanan atas matanya sembari mengingat-ingat sesuatu. "Otakku yang tua ini agak lambat kalau sudah urusan mengingat, Nak." Dia terkekeh pelan lalu berseru, "oh, ya! Kalau tidak salah, siang tadi aku sempat bertemu kucing yang mirip di gang sebelah, dekat dengan rumah berpagar hitam."
Gadis itu terperangah, Rumah berpagar hitam di gang sebelah itu 'kan rumahnya sendiri. Tapi dia berani bersumpah dia tidak melihat kucingnya sejak pagi.
"Terimakasih, Nek." Luna mengangguk dan segera bergegas menuju rumah. Mungkin saja dia salah lihat. Atau ingatan Nenek Ame memang sudah sangat buruk.
Tapi dia terkejut kala mendapati ucapan Nenek Ame sepenuhnya benar. Lulu, kucing kesayangannya, tengah tertidur meringkuk di bawah pagar. Dia bangun terduduk dan mengeong pelan kala menyadari majikannya datang.
"Ya, ampun, Lulu!" pekik Luna dengan suara menahan tangis, berlari memeluk kucingnya. "Kau ini pergi ke mana saja, sih!"
Lulu hanya mengeong sebagai balasan. Namun tiba-tiba suara mengeong pelan itu berubah menjadi desisan mirip ular yang tidak bersahabat. Lulu terus memandang sesuatu di balik punggung majikannya sembari menggeram. Luna menyadari perubahan tingkah laku kucingnya dan menoleh ke belakang. Saat itulah dia melihat sesosok tinggi berjubah tadi berdiri di sana, menjulang bagai tiang raksasa.
Luna terkesiap, dia ketakutan kemudian mundur beberapa langkah. Lulu masih saja mendesis serta menggeram, menunjukkan rasa permusuhan pada sosok itu. Luna berpikir, siapapun orang itu, dengan niat apapun dia, orang itu tidak terlihat bersahabat.
"Kau, telah terjerat tali takdir yang menyedihkan, gadis muda," ujar sosok berjubah dengan suara berat dan datar seperti kaset rusak.
Gadis yang diajak bicara masih bergeming di tempat, lututnya lemas. Instingnya meneriakkan waspada berkali-kali dan yakin orang ini bukan datang dengan tujuan baik. Tetapi kakinya tak mau diajak bekerja sama untuk masuk ke dalam rumah padahal jarak pagarnya hanya dua langkah di depan.
"Dan kami tidak punya pilihan lain selain menunjukmu, sebagai yang terpilih menjalankan ramalan," katanya lagi. "Kau harus setuju dengan ini, bagaimana pun caranya."
Dia sama sekali tidak paham apa yang orang ini bicarakan. Dia sempat mengira bahwa semua ini hanyalah bagian dari sebuah prank dengan lelucon paling tidak lucu sedunia. Akan tetapi gerakan bibir yang nampak mengancam itu terlihat amat nyata, bukan bentuk akting semata.
Luna memucat, terlebih lagi ketika kilat-kilatan putih seperti listrik melingkupi tubuhnya. Entah dia harus memercayai pengelihatannya atau tidak. Suaranya berubah serak ketika dia bertanya, "siapa kau? Mau apa kau datang ke rumahku?"
"Aku menunggu jawaban ya atau tidakmu. Jawaban tidak akan membuat kucingmu terbunuh. Sepuluh detik dari sekarang." Sosok berjubah mengangkat tangannya yang dipenuhi kilatan-kilatan berpendar liar. Yang entah bagaimana, membuat Lulu juga terangkat dari atas tanah. Kucing itu mengeong ketakutan.
Masih tak mengerti apa yang terjadi, Luna menjerit ketakutan. "Kau siapa?! Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan jadi turunkan kucingku!"
Harusnya dengan suara sekeras itu, paling tidak bibinya mendengar kegaduhan di luar dan berlari menghampiri Luna untuk membantunya keluar dari situasi menakutkan ini. Tapi nyatanya, jalanan saat itu tenang-tenang saja. Bahkan seekor anjing berbulu putih yang terkenal galak di rumah tetangga sebelah pun tidak mengeluarkan gonggongan nyaringnya kali ini.
Seolah-olah tak ada yang mendengar.
"Sepuluh." Sosok berjubah mulai menghitung.
"Aku tidak mengerti apa yang kau inginkan! Turunkan dia!" pekiknya lagi seraya mulai meneteskan air mata melihat Lulu yang semakin terangkat tinggi, nyaris menyamai kepalanya. Orang itu akan menghempaskan Lulu ke bawah saat hitungannya mencapai angka satu.
"Sembilan."
Lulu mengeong ketakutan, menatap majikannya dengan mata memelas.
"Aku bilang, turunkan!" Luna mencoba menggapai Lulu tapi sosok berjubah itu justru membuat kucingnya terangkat semakin tinggi, melewati tinggi pagar hitam raksasa di rumahnya.
"Delapan," dia masih terus menghitung. "Tujuh."
Luna panik, dia terus menatap ke arah Lulu yang terus mengeong ketakutan, meminta diselamatkan.
"Enam." Sosok berjubah tak bergeming dari tempatnya, terus menghitung dengan suara berat. "Lima."
"Baiklah! Baiklah! Aku akan menurutimu, tapi turunkan Lulu!" balas Luna sembari berteriak. Tepat ketika sosok itu menjentikkan jari. Lulu seketika terjatuh dari atas dan untungnya sukses ditangkap Luna.
"Pilihan bagus, gadis muda."
"Tunggu! Jangan pergi, sebelum kau menjelaskan padaku apa maksud semua ini," ancam Luna seraya menatap sosok itu nyalang. Dia tidak mengerti bagaimana caranya orang tersebut mengangkat Luna setinggi itu tanpa menggunakan alat apapun. Sihir? Itu hal konyol yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya.
Sosok itu tak menjawab dan malah membuat tubuhnya sendiri dibungkus oleh cahaya yang dapat membutakan mata. Setelah itu menghilang dari hadapan Luna.
Luna terduduk di atas jalanan, lututnya lemas. Dia masih menangis, tidak mengerti apa yang terjadi. Meski kebingungan, dia memilih memeluk kucingnya dan mengelus bulu Lulu penuh kasih sayang, takut kehilangan.
Siapapun itu, dia hanya berharap sosok berjubah tak pernah lagi datang menyambanginya dan mencelakai Lulu.
****
Sepuluh kepala nampak menunduk, menatap pantulan kejadian dari dalam cairan kuali emas raksasa. Ketika cairan kekuningan yang semula bercahaya itu padam dan mengeluarkan asap berwarna putih, sepuluh orang dalam ruangan itu saling pandang.
"Bagaimana?" tanya Sang Dewa Ramalan, melipat dada.
Seorang dewi dengan helaian hijau terselip di rambutnya yang berwarna oranye menghela napas. Dia adalah Vatuna, Dewi Keadilan. "Kau menggunakan cara curang, Rhymos," komentarnya setengah tak setuju.
"Lantas, aku harus bagaimana? Tak ada lagi yang dapat menyelamatkan dunia mereka kalau bukan begini caranya. Ingat, ramalan tidak akan bisa terlaksana kalau orang yang bersangkutan tak siap memenuhi takdirnya. Jadilah aku perlu mengirim seorang utusan. Selama ini, gadis itu nampak ragu dengan masa depannya," jelas Rhymos panjang lebar.
"Aku tidak setuju." Kini semua pasang mata tertuju pada seorang dewi berambut perak. "Aku tidak menerima penyihir hitam sebagai orang yang menemnuhi ramalan. Dia bisa saja melakukan kesalahan dan membunuh orang."
Seorang dewa bersurai merah, Rhaelus, Dewa Perang, memganggukkan kepalanya setuju. "Benar."
"Tak adakah yang lebih pantas, Rhymos?" Durena, Dewi Alam berjalan memutari kuali, mendekati tempat duduk Rhymos yang berada di tengah-tengah. Tunas-tunas tanaman muncul di setiap bekas pijakan kaki sang dewi. "Aku khawatir, sama seperti Dydite."
"Aku tidak akan pernah mengakui ramalanmu, Rhymos." Sang Dewa Kematian, Azotyl, berjalan menuju pintu. Kemudian meninggalkan ruangan tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.
"Tenanglah, semua." Kini giliran seorang dewi bersurai biru tua dengan helaian rambut oranye yang berbicara, suaranya tenang dan mengalun lembut. Dia sang Dewi Pengetahuan, Athys. "Aku rasa Rhymos punya alasan."
Rhymos mengangguk, membenarkan ucapan Athys. Dia kecewa rekan-rekannya memprotes tanpa tahu alasan dibalik keputusannya itu. "Aku punya." Dia menoleh pada si Dewi Pengetahuan. "Kau tahu apa yang tercantum di buku sejarah negeri itu?"
Athys berpikir sejenak. Dia mengetahui seluruh isi buku yang pernah dicetak di dunia. Lantas mengangguk, "Ya."
"Dan gadis itu, adalah satu-satunya keturunan yang paling ditunggu-tunggu si penyihir keji. Hanya dia yang bisa menghentikannya."
Dydite terbelalak, menyadari sesuatu. "Itu berarti ...."
Rhymos mengangguk lagi. "Meski dia sanggup memenuhi ramalan atau tidak, nyawanya akan tetap menjadi incaran, semuanya tidak akan berjalan semulus itu."
****
Author's note!
who wants to be a witch/wizard?
entah kalian sadar atau tidak, aku mengubah lagi awalannya dan mengganti point of view dan mengganti chapter satu. rasanya kurang sreg kalau cerita fantasi tapi pakai sudut pandang orang pertama. plus, aku merasa chapter pertama kurang menarik.
semoga kali ini udah lebih baik yaa
jangan lupa untuk vote dan komen sebagai bentuk dukungan bagi penulis ya! berarti banget, serius.
tolong beritahu aku jikalau ceritaku terlalu bertele-tele :D aku bakalan langsung rombak lagi buat memperbaiki.
for those who reads this chapter until this part, really big appreciation for y'all ಥ_ಥ /sending hugs
love u guys, see u on the next chapter ! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top