6. Selenophile: Enam

Hari kesekian tinggal di Istana, Era sudah tak lagi mencoba untuk melarikan diri karena hasilnya pasti tak akan berbeda—gagal. Nyatanya tak cuma sekali atau dua kali ia mencoba untuk pergi, melainkan berkali-kali hingga ia pun jadi lelah sendiri.

Pertama, tentu saja pagi pertama di Istana. Era mencoba kabur, tetapi ia malah bertemu Ursa dan Oscar. Mereka terlibat percakapan singkat dan diakhiri oleh perasaan tak nyaman yang membuat ia gelisah seharian.

Percobaan kedua, Era mencoba untuk memanfaatkan jendela. Ia pernah menonton Rapunzel dan bertekad melakukan hal yang sama. Sayangnya tekad menggebu itu langsung redup ketika melihat bebatuan terjal yang siap menunggunya kapan saja di bawah sana. Sial, tetapi ia belum mau mati konyol.

Pernah juga Era mencoba untuk memanfaatkan kebaikan hati Aaron. Mereka berjalan-jalan mengelilingi Istana dan kemudian ia pun kabur setelah mengecoh Aaron. Nahas, ia malah bertemu dengan seekor serigala—benar-benar serigala—dan untunglah Aaron datang menyelamatkannya.

Jadilah sekarang Era putuskan untuk tidak membuang-buang waktu walau bukan berarti ia akan pasrah begitu saja. Ia akan tetap mencari cara dan menunggu waktu yang tepat. Dengan kata lain, ia akan menunggu dan selama itu, tak ada salahnya bila ia menikmati semua fasilitas dan pelayanan yang didapatkan. Lagi pula kapan lagi ia bisa merasakan kenikmatan itu? Semua orang hormat dan sopan padanya, perlakuan yang tak pernah didapatkannya selama ini.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Suara Aaron membuyarkan lamunan Era. Matanya sempat megnerjap sebelum kembali fokus pada layar ponsel, lalu barulah ia berpaling. Ia mendapati Aaron menarik kursi dan turut bergabung dengannya, menikmati siraman cahaya pagi.

"Aku hanya sedang bertanya-tanya, mengapa langit di sini dan di Desa Avaluna sangat berbeda?" ujar Era menjawab pertanyaan Aaron dengan pertanyaan lain. Ditengadahkannya kepala dan matanya sontak menyipit, tak kuasa berlama-lama menantang cahaya matahari. "Di Avaluna, nyaris tak pernah matahari. Mungkin aku tak akan pernah tahu kalau matahari itu ada kalau aku tidak pergi ke Celestial City."

Aaron tersenyum kecil, lalu membuang napas panjang. "Konon menurut cerita, ada perjanjian antara manusia serigala dan vampir. Beribu-ribu tahun yang lalu mereka melakukan pertukaran, vampir menginginkan kegelapan dan manusia serigala menginginkan daerah buruan. Alam memberikan mereka jalan tengah dan inilah yang terjadi, seluruh daerah Avaluna hingga jauh ke arah barat sana selalu diliputi oleh kegelapan. Sementara Hutan Lunaria dan sekitarnya selalu dipenuhi oleh hewan buruan, tetapi anehnya tak terjamah oleh para manusia."

Kerutan samar hadir di dahi Era. Ekspresinya tampak tak yakin. Ditunggunya Aaron untuk tergelak, tetapi tidak terjadi.

"Kau serius?"

"Bagaimana menurutmu?"

Era menggeleng sekali. "Aku tak yakin. Hanya memikirkan soal manusia serigala saja sudah membuatku pusing, apalagi kalau ditambah vampir? Ehm. Jangan-jangan nanti kau malah membahas soal makhluk mitologi lainnya. Mungkin peri, goblin, atau kurcaci."

Tawa Aaron pecah sementara Era hanya berdecak dengan muka muram. Diputarnya bola mata dengan kesan acuh tak acuh.

"Aku senang kau bisa tertawa di atas penderitaanku."

"Percayalah, Era," ujar Aaron kemudian setelah berhasil menahan geli. "Aku juga pernah berada di posisimu. Malah mungkin lebih parah. Waktu itu aku masih berusia delapan tahun dan sesuatu terjadi pada ayahku. Mau tak mau, suka tak suka, aku harus menggantikan tugasnya. Kau bisa membayangkannya? Bocah delapan tahun harus melayani alpha?"

Bola mata Era membesar. Dilihatnya wajah Aaron yang telah berkerut di makan waktu, berikut dengan helaian abu-abu yang mewarnai rambutnya. Satu kemungkinan melintas di benak dan Aaron buru-buru berkata.

"Bukan Oscar, melainkan alpha terdahulu."

Era membuang napas, sedikit merasa lega. "Oh, astaga. Kupikir dia sudah tua."

"Walau mungkin memang lebih tua dari yang kau perkirakan."

Era jadi penasaran. "Berapa usianya?"

"Tiga puluh dua tahun."

"Ya ampun," kesiap Era horor. Ia nyaris terlonjak dari kursi. "Kami terpaut usia sebanyak sepuluh tahun."

"Itu menjadi alasan mengapa ia harus merana bertahun-tahun selain fakta bahwa jiwa serigalamu terikat. Kau masih di bawah umur ketika ia menjalani upacara kedewasaan."

Era tersenyum masam. Ia memilih untuk tidak melanjutkan topik tersebut. Jadilah ia alihkan perhatian dengan memandangi piring sarapannya yang nyaris kosong, hanya menyisakan dua potong tomat cherry, seiris daun selada, dan beberapa potong paprika merah.

"Apa kau menginginkan makanan yang lain?"

Pundak Era naik dengan pergerakan samar. Dipandanginya piring sarapan itu dengan sorot tak yakin, lalu ia malah balik bertanya pada Aaron.

"Apa kau yakin kalau aku adalah manusia serigala?"

Aaron mengerjap berkat pertanyaan dan perubahan nada suara Era. "Apa maksudmu?"

"Seperti yang kau lihat," ujar Era membuang napas panjang dan ia mainkan sisa sayuran di piring dengan garpu. "Aku vegetarian. Bagaimana mungkin ada manusia serigala yang vegetarian?"

Aaron membuka mulut, tetapi tak ada satu patah kata pun yang diucapkannya. Ia pun bingung.

"Selain itu, aku masih tak percaya kalau manusia serigala memang benar-benar ada. Ehm. Aku memang pernah bertemu dengan mereka ketika ingin kabur, tetapi rasanya masih tak masuk akal. Jadi katakan padaku, Aaron. Bagaimana kau bisa mempercayai mereka keberadaan mereka? Lalu mengapa kau bisa menjalani hidupmu di sini? Menjadi satu-satunya manusia di antara mereka?"

Untuk hal tersebut, agaknya Aaron tak kesulitan untuk menjawab. Pertanyaan itu lebih mudah ketimbang menjawab keanehan selera makan Era.

"Sebenarnya aku pun sempat mengalami masa pemberontakan. Seperti yang kukatakan tadi, aku masih berusia delapan tahun ketika harus melayani alpha dan hidup di antara mereka. Waktu itu kupikir aku sedang tertidur dan bermimpi buruk, persis seperti bocah pada umumnya. Namun, semua tak berubah dan pelan-pelan aku menerima semua."

Era tak berkomentar apa pun, melainkan dipandanginya Aaron dengan sorot penuh simpatik.

"Lagi pula aku tak punya pilihan lain. Keluargaku memang telah mengabdikan hidup untuk Kawanan Xylvaneth dari ribuan tahun yang lalu."

"Apa kau tak merindukan keluargamu?"

Aaron tersenyum. "Tentu saja aku merindukan mereka, tetapi aku menganggap ini tak lebih sebagai pekerjaan. Di luar sana pun banyak orang yang harus terpisah dari keluarga demi mencari nafkah. Benar bukan?"

"Kau benar, tetapi ..." angguk Era sembari membuang napas. "... sayangnya aku tidak ingin mencari nafkah dengan menjadi pasangan Oscar."

Senyum Aaron sontak berubah jadi kekehan.

*

Oscar meraih cangkir kopi. Dihidunya aroma khas yang menguar hangat dan ia manjakan indra perasanya dengan sesapan pertama. Rasa segar menyentak dan matanya jadi jernih kembali.

"Pertumbuhan penjualan kita terus meningkat selama dua kuartal terakhir. Kita berhasil menarik perhatian pasar dengan strategi pemasaran yang lebih agresif, terutama di pasar internasional."

Oscar menaruh kembali cangkir kopi di atas tatakan, lalu bertanya pada direktur pemasaran yang bernama Donald Hall.

"Bagaimana dengan persaingan? Apa ada tren baru yang harus kita perhatikan?"

Donald menggeleng. "Sejauh ini, kita tetap unggul, tetapi saya menyarankan agar kita fokus pada inovasi produk. Kompetitor terus mencoba mendekati keunggulan kita di pasar premium."

"Bagaimana dengan proyek baru yang sedang kita kembangkan? Bagaimana kemajuannya?"

"Sekarang kita sedang dalam tahap uji coba untuk lini produk organik dengan jangkauan pasar yang lebih luas," jawab Donald seraya menggulir salindia yang ditayangkan oleh monitor proyeksi. Ditampilkannya salindia yang memberi alur tahapan dalam proyek yang dimaksud. "Ini akan melibatkan kolaborasi dengan petani lokal dan perubahan dalam rantai pasokan kita, Pak."

Oscar menarik napas dalam-dalam setelah memperhatikan salindia tersebut dengan lebih saksama. Ia mengangguk dan berkata dengan jari telunjuk yang terangkat. "Aku ingin melihat laporan proyek organik ini minggu depan. Fokuskan upaya pada kualitas dan keberlanjutannya."

"Baik, Pak. Selain itu, bagaimana dengan pertemuan investor potensial minggu depan? Apakah Anda ingin aku menyiapkan sesuatu untuk pertemuan itu?"

"Ehm." Oscar mendeham sejenak, berpikir. "Buat presentasi singkat tentang visi jangka panjang kita. Tekankan pada inovasi dan keberlanjutan. Aku ingin mereka melihat kalau kita tidak hanya berfokus pada keuntungan saat ini, tetapi juga pada masa depan industri."

"Baik, Pak."

Rapat berakhir sekitar sepuluh menit kemudian. Oscar tegaskan pada Donald agar tak lupa menyerahkan fail presentasi kepada sekretarisnya—Anne Young. Ia perlu mempelajarinya pula sebelum hari pertemuan dengan para investor tiba. Selain itu, tentunya itu adalah cara yang paling manjur untuk mengalihkan pikirannya. Nyatanya jeda sedikit saja bisa membuat ia tiba-tiba menggeram, persis sekarang dan Philo tersentak.

"Alpha."

Oscar mendeham sementara Philo melihat sekeliling, khawatir bila ada karyawan yang mendadak melihat Oscar menggeram dengan menakutkan seperti itu. Ia buru-buru menekan lift dan mereka pun masuk.

"Ini lebih melelahkan ketimbang yang aku duga. Sekarang aku jadi bertanya-tanya, mana yang lebih menyebalkan? Menunggu selama bertahun-tahun atau menunggu beberapa hari lagi?"

Philo memahami kegelisahan dan perjuangan Oscar selama ini, terlebih bila itu menyangkut kesabaran yang merupakan kelemahannya. Apalagi dengan keberadaan Era, jadilah sabar Oscar semakin terkikis tiap detiknya.

"Bersabarlah, Alpha. Tinggal dua hari lagi."

Oscar kembali menggeram dan Philo refleks melihat ke arah kamera pengawas yang berada di sudut lift.

"Dua hari yang sama lamanya dengan penantian 14 tahun."

Philo tak berkomentar. Ia memutar otak untuk mengalihkan pikiran Oscar. Sebagai beta yang juga merangkap posisi asisten pribadi untuk urusan pekerjaan, tentunya ia mengetahui nyaris semua kesibukan dan urusan Oscar. Jadilah ia coba untuk mengingat dengan cepat, tak masalah bila itu jadwal kerja, keluhan para kawanan, atau—

"Ada kabar apa mengenai kawanan? Apa mereka masih membahas soal Era?"

Masih menyangkut Era, tetapi ini lebih serius. Philo mengangguk. "Beberapa dari mereka masih ada yang meragukan kebenaran ramalan Ursa."

"Sepertinya mereka berharap aku tidak menemukan lunaku seumur hidup."

Philo mengerutkan dahi, sepertinya bukan itu maksud gosip tersebut. Namun, ia putuskan untuk tak membahas lebih lanjut walau nahasnya bahasan itu justru kembali disinggung ketika mereka tiba di Istana.

"Apa tidak sebaiknya kau pertimbangkan lagi masalah ini, Alpha? Aku tidak yakin kalau dia benar-benar manusia serigala. Kau bisa melihatnya sendiri. Mana mungkin ada manusia serigala yang tidak makan daging? Dia adalah seorang vegetarian."

Oscar memutar bola mata. Ia baru saja lima menit tiba di Istana dan Julie datang. Dipikirnya ada sesuatu menyangkut kawanan sehingga ia putuskan untuk ke ruang kerja dan ternyata memang menyangkut kawanan walau bukan seperti yang dipikirkannya.

Philo menatap Julie. Diberikannya gelengan samar, tetapi Julie abai.

"Philo sendiri yang menemukan keberadaan Era dan itu sesuai dengan ramalan Ursa, lalu apa lagi yang perlu diragukan?"

Julie membuka mulut, tapi Oscar terus bicara.

"Kalaupun ada yang meragukannya, justru itu adalah tugasmu untuk menenangkan mereka Julie. Kau telah kutugaskan untuk memantau Istana dan Kawanan ketika aku tidak berada di sini."

"Itulah yang kulakukan, Alpha, memantau Istana dan Kawanan. Beberapa dari mereka masih ragu, apalagi dengan sikap Era yang tampaknya tidak menghormati para kawanan. Kau melihatnya sendiri bukan? Dia berusaha kabur berulang kali."

Oscar membuang napas dan wajahnya terangkat. "Menurutmu, apakah aku sebodoh itu?"

"Alpha."

Semangat Julie yang semula menggebu-gebu jadi redup ketika dilihatnya sorot tajam yang memancar dari sepasang mata Oscar. Wajah lelahnya berubah jadi serius sehingga Julie menahan napas. Oscar tak membanting kursi atau menggebrak meja, tetapi ekspresinya menghantarkan peringatan.

"Era adalah seorang manusia serigala. Kita semua akan membuktikannya di malam Upacara Suci dan bahkan tanpa itu, aku bisa mengetahuinya. Aku adalah alpha, Julie Davis, dan dia adalah calon lunaku."

Philo hanya membuang napas ketika dilihatnya wajah Julie berubah pucat. Satu kebiasaan Oscar selain melampiaskan emosi dengan bentuk tindakan, yaitu memanggil dengan nama lengkap.

"Ma-maafkan aku, Alpha. Aku hanya—"

"Aku yakin kau punya banyak pekerjaan lainnya."

Julie meneguk ludah, mengangguk. "Aku permisi, Alpha."

Kepergian Julie dari ruang kerja Oscar bertepatan dengan kehadiran Aaron dengan secangkir teh kamomil. Oscar menyambut minuman itu dengan embusan napas panjang dan Aaron yang sempat bertukar lirikan singkat dengan Philo lantas berkata.

"Hari ini Ursa telah memeriksa semua persiapan untuk Upacara Suci. Altar, lilin, wewangian, dan semuanya telah siap."

Suntuk di bola mata Oscar hilang dalam sekejap. Disambutnya teh kamomil seraya bertanya dengan mata berbinar-binar.

"Semuanya telah siap?"

Aaron mengangguk. "Semuanya. Bahkan Ursa pun khusus menyediakan gaun putih yang sangat cantik untuk Era."

Dehaman Oscar mengalun penuh irama. Disesapnya teh kamomil, lalu ia berkata.

"Sepertinya teh kamomil ini lebih nikmat dari yang sempat kuduga."

Aaron mengulum senyum sambil melirik lagi pada Philo. "Tentu saja, Alpha. Lagi pula kau harus tenang dan beristirahat dengan cukup."

"Kau benar, Aaron. Terima kasih."

Cangkir teh kosong dalam hitungan detik yang singkat. Oscar bangkit dan ia melangkah dengan perasaan enteng.

"Kalian bisa beristirahat."

Kepergian Oscar melenyapkan ketegangan di pundak Philo. Akhirnya ia bisa membuang napas lega sementara Aaron terkekeh samar.

"Jadi apa saja yang terjadi hari ini di kantor?"

Philo geleng-geleng seraya menyugar rambut. "Alpha mengadakan rapat dadakan. Semua orang kelabakan dan untunglah bagian pemasaran membawa kabar baik. Walau begitu dia sempat menggeram dan nyaris berubah setelah rapat berakhir. Sebentar saja pikirannya kosong, pastilah Era yang akan dipikirkannya."

"Hal itu semakin membuatku yakin kalau Era memang adalah yang kita tunggu selama ini. Lagi pula apa-apaan gosip itu. Mustahil seorang alpha tak mampu mengenali lunanya sendiri," ujar Aaron sambil menaruh kembali cangkir teh ke nampan. Dilapnya meja kerja Oscar, lalu ia tersenyum. "Bukankah begitu, Philo?"

Philo hanya mengangguk.

*

Hari yang ditunggu oleh Kawanan Xylvaneth tiba juga. Malam tanggal 14. Semua bersiap dengan penuh debar-debar, tak terkecuali Era.

Gaun putih panjang yang cantik membungkus tubuh. Rambut ditata dengan elok. Wewangian disemprotkan dan mekap memulas wajah.

Era tak pernah tampil secantik itu sebelumnya. Ia nyaris tak mengenali diri sendiri ketika becermin hingga Ursa menyentuh pundaknya dengan lembut.

"Kita pergi sekarang."

Era menatap Ursa dengan sorot penuh emosi. Di sana ada kekhawatira, kegelisahan, kecemasan, dan semua emosi yang tak pernah Ursa temukan sebelumnya.

"Ursa."

Ursa meraih tangan Era, meremasnya pelan dan ia tersenyum dengan harapan bisa menenangkan Era. "Semua akan baik-baik saja. Lagi pula bukankah kau ingin mengetahui kebenarannya?"

Era terdiam, tetapi perkataan Ursa memang benar. Makin lama ia tingga di Istana maka jadi penasaran pula ia akan kebenaran yang sebenarnya. Apakah ia memang manusia serigala atau bukan?

Jadilah Era kuatkan diri. Ia mengangguk dan mereka pergi menuju ke sisi barat laut, tepatnya menuju hutan Lunaria dari sisi berbeda yang selama ini ia ketahui.

Mereka tiba dan para kawanan telah berkumpul. Era mengedarkan pandangan ke sekeliling dan matanya tertahan pada Oscar. Mereka saling menatap dengan Era yang terus berjalan dalam tuntutan Ursa.

Ursa membawa Era menuju pada altar. Mereka pinjak lantai berukiran kuno yang tampak berkilauan ditimpa siraman cahaya purnama. Lalu Era rasakan kesan magis dan mistis yang membuat tubuhnya bereaksi.

Tangan Ursa melepaskan Era. Ditinggalkannya Era di tengah-tengah altar sebelum ia mulai melangkah mengelilingi altar.

Era gelisah. Semua mata memandangnya, terlebih lagi Oscar. Dicobanya untuk tenang, tetapi tak bisa sama sekali, terelbih ketika Ursa mulai bersuara.

"Wahai anak-anak serigala!"

Semua kawanan menunjukkan sikap khidmat. Mereka tak ada yang bersuara. Mereka menyimak perkataan Ursa tanpa berkedip sama sekali.

"Malam ini, semua tabir akan terbuka. Ikatan akan terlepas. Jiwa yang terkurung akan terbebas."

Era mengerjap berulang kali. Dirasakannya napas menjadi sesak. Tubuhnya berubah panas dan ada gelegak yang membuat dadanya jadi bergemuruh.

Jadilah Era abaikan semua. Ia tak lagi tahu apa yang Ursa katakan, pun tak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya. Satu yang disadarinya adalah sebuah dentuman membuat dirinya berontak di luar kendali. Sakit meledak dan membuat setiap titik sarafnya menjerit-jerit.

Era tak bisa bertahan. Diremasnya dada, lalu ia terjatuh. Ia mencoba bangkit, tetapi tak bisa. Ngilu dan nyeri. Ia tak kuasa menahan semua dan akhirnya mulut membuka, ia pun menjerit panjang.

Tidak.

Era melolong panjang.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top