5. Selenophile: Lima

Jadi, gimana tanggapannya sejauh ini? Sejujurnya aku deg-degan karena sebelumnya ga pernah nulis cerita werewolf. Mungkin karena itulah kenapa cerita ini aku buat ga terlalu serius. Tentunya ada konflik, tetapi ga berat-berat banget kok. Selain itu, di cerita ini masih nyelip komedinya 😅 heran deh. Padahal di awal aku ga niat sama sekali buat nyelipin komedi. Semoga aja ga merusak suasana ceritanya 🤭

*

Bila ingin menuruti hasrat diri, tentulah Oscar akan ikut bergabung dengan Era yang berbaring di tempat tidur. Lagi pula itu adalah tempat tidurnya, kamarnya.

Namun, Ursa meyakinkan Oscar bahwa Era butuh istirahat. Terlepas dari fisiknya yang terluka dan lelah, ia juga mengalami syok berulang kali. Tidur bersama dan memberikan pemandangan mengejutkan lainnya jelas bukan hal bagus untuknya.

Jadilah Oscar terpaksa menyingkir ke satu kamar lain yang telah disiapkan oleh Aaron. Ia berbaring di tempat tidur dan tetap terjaga sampai pagi datang.

Oscar mengumpulkan Philo, Aaron, dan Ursa. Mereka duduk di meja bundar yang terletak di taman. Ada beragam menu nikmat yang tersaji dan mereka sarapan bersama.

"Jadi Philo."

Philo baru saja meraih garpu dan pisau. Ia berniat untuk segera menikmati suapan pertama, tetapi Oscar bicara padanya. Jadilah ia menaruh kembali alat makan tersebut.

"Bagaimana dengan Mosha? Apa kau sudah membereskannya?"

Philo mengangguk. "Sudah, Alpha. Mereka sudah tidak ada di dunia ini lagi."

"Bagus," ujar Oscar sambil menikmati sarapan. "Aku yakin dia pasti akan terus mencari Era. Jadi, kalau bisa diselesaikan lebih cepat, mengapa harus membuang-buang waktu bukan?"

"Benar, Alpha. Aku juga merasa begitu karena ternyata Era dijadikan alat penebus utang oleh ayahnya."

Garpu dan pisau di tangan Oscar berhenti bergerak. Dengan posisi cenderung menunduk dan melihat pada piring, ia bertanya demi memastikan.

"Dijadikan alat penebus utang ayahnya?"

"Itulah yang sempat aku dengar, Alpha," jawab Philo. Lalu ia pun menjelaskan. "Ayah Era yang bernama Amias Ross memiliki sejumlah utang yang tak sedikit pada Mosha. Dia terkenal suka mabuk-mabukan, berjudi, bermain wanita, dan mengonsumsi obat-obatan."

Oscar berdecak beberapa kali seraya kembali menggerakkan garpu dan pisau di tangan. "Dia memborong semua malapetaka dunia. Untunglah sekarang Era tinggal di sini."

Philo hanya mengangguk dan untuk sesaat, ia masih bergeming. Diputuskannya untuk belum memulai sarapan, jaga-jaga bila Oscar kembali menanyakan hal lain.

Oscar melirik. "Kau tidak sarapan, Philo? Apa kau menginginkan menu yang lain? Apa? Panggil pelayan."

"Tidak, Alpha," jawab Philo seraya buru-buru memulai sarapan. Ia meyakinkan sang alpha. "Ini sarapan yang sangat enak."

"Kau belum mencicipinya dan sudah mengatakannya enak? Ehm."

Philo jadi serba salah.

"Kalau begitu, sarapanlah yang banyak."

Philo memejamkan mata dan membuang napas panjang. Dirasakannya lega, lalu ia pun benar-benar menikmati sarapan tersebut.

"Oh ya."

Tubuh Philo seketika menegang, tetapi tak lama. Ia menyadari bahwa kali ini Oscar bukan bicara padanya.

"Bagaimana dengan persiapan Upacara Suci bulan depan, Aaron? Kau sudah mempersiapkannya bukan?"

Aaron menjeda sarapan dan mengangguk. "Sudah, Alpha. Walaupun Upacara Suci masih akan dilakukan bulan depan, tetapi aku sudah menyiapkan semuanya dini hari tadi. Tepat pukul tiga, semua yang dibutuhkan telah siap. Tidak ada satu pun yang kurang."

"Kau menyindirku, Aaron?"

Mata menyipit Oscar disambut senyum kecil Aaron. Ia menggeleng. "Tidak sama sekali, Alpha. Aku tidak bermaksud menyindir, tetapi sepertinya kau memang terlalu bersemangat."

"Kuanggap itu adalah pujian," tukas Oscar dengan wajah kesal. "Lagi pula bukankah lebih cepat dipersiapkan maka lebih baik? Sekarang kau bisa mengerjakan hal lainnya."

Aaron tak yakin. Upacara Suci tidak terlalu memerlukan persiapan besar-besaran. Hanya obor, wewangian khusus, dan daging buruan yang masih segar. Ia tak akan butuh waktu lama untuk mempersiapkan semua. Sebaliknya, daging buruan yang masih segar cenderung harus dipersiapkan ketika akan mendekati acara.

Namun, lagi-lagi Aaron menyadarinya bahwa ini ada kaitannya dengan gejolak emosi dan kekhwatiran yang sudah dipikul Oscar bertahun-tahun. Jadilah ia tak banyak mendebat dan mempersiapkan semua. Seorang pria serigala disuruhnya untuk berburu malam tadi walau ia tak yakin akan benar-benar menggunakan daging buruan itu untuk Upacara Suci. Ia akan mencari daging buruan lagi ketika mendekati malam penting tersebut.

"Satu hal hampir aku lewatkan. Mungkin untuk beberapa saat kau bisa menemani Era, Aaron. Sepertinya dia butuh waktu untuk beradaptasi di sini dan kupikir manusia adalah teman terbaik untuknya sekarang."

Aaron mengangguk. "Tentu saja, Alpha. Aku akan menemaninya dengan senang hati."

"Ingat," lanjut Oscar dengan sedikit berjaga-jaga, bahkan garpu di tangannya pun sempat naik sedetik. "Jangan mengatakan hal aneh tentangku kepadanya."

"Tentu saja tidak, Alpha."

Oscar abaikan kekehan samar yang tak mampu ditahan Aaron. Ia hanya mendengkus sekilas dan berniat untuk melanjutkan sarapan sebelum akhirnya teringat akan hal lain.

Mata Ursa terpejam dramatis. Ia menyadari bahwa sekarang adalah gilirannya. Setelah Philo dan Aaron, tentulah ini waktunya untuk ia yang diberondong pertanyaan oleh Oscar.

"Ursa."

Ursa membuka mata dan menjeda sarapan. "Ya, Alpha?"

"Kerjamu bagus. Jadi, apa kau ingin berlibur? Mumpung musim panas masih panjang."

Ursa bengong. Dibutuhkan beberapa detik untuknya mencerna pujian dan penawaran Oscar. "Li-liburan, Alpha?"

"Ya, liburan. Katakan padaku, apakah ada tempat yang ingin kau datangi? Hawaii? Bali? Aku akan menyuruh Aaron untuk mengurus semuanya."

Wajah bengong dan ekspresi bodoh Ursa membuat kekehan Aaron kembali terdengar. Philo melirik dan mau tak mau merasa kagum, sepertinya memang hanya Aaron yang bisa sesantai itu di depan Oscar. Anehnya, Oscar pun memang tak pernah marah dengan sikap Aaron, sekadar menegur pun tidak.

"Kuharap kau tidak iri, Aaron. Kau tidak bisa berlibur."

"Aku sama sekali tidak iri, Alpha," ujar Aaron sembari meraih gelas. Dibasahinya tenggorokan dan ia lanjut bicara. "Aku malah bersyukur karena kau ternyata memperhatikan Ursa. Dia memang butuh berlibur setelah semua yang terjadi."

Oscar tak berkomentar. Ia hanya melirik Aaron sekilas dan kembali beralih pada Ursa.

"Kau dengar apa yang dikatakan Aaron bukan? Setidaknya rilekskan pikiranmu dengan liburan."

Ide bagus, tetapi Ursa menggeleng. "Terima kasih, Alpha, tetapi sepertinya sekarang belum waktunya untukku berlibur."

Ursa memikirkan Era. Mereka semua mengerti kekhawatiran Ursa dan Oscar nyaris melewatkan hal paling penting.

"Kau benar. Dia masih syok. Mungkin memang untuk sementara kau tidak ke mana-mana. Kau dan Aaron harus mendampinginya."

Mengatakan itu, Oscar menjadi gelisah. Jadilah ia tuntaskan sarapannya. Ia menandaskan segelas air putih dan membuang napas panjang, lalu menyandarkan punggung di kursi.

"Aku akan berterima kasih denganmu, Ursa, kalau dia cepat mengakhiri syok tersebut. Kau harus mencari cara agar dia bisa menerima kenyataan. Paling tidak, buat dia menyadari keberadaan manusia serigala. Lebih bagus lagi kalau kau juga bisa meyakinkan dia mengenai takdir kami. Aku punya kekhawatiran kalau dia akan mencoba kabur dari sini."

Ursa tak punya pilihan untuk menolak. Jadilah ia mengangguk walau ragu. "Baik, Alpha."

"Sebenarnya, Alpha."

Suara Aaron terdengar. Ia putuskan untuk menceburkan diri dalam topik tersebut setelah menangkap sekilas keraguan di wajah Ursa. Geli ada, kasihan pun ada. Walau begitu ia tak ingin melihat Ursa mengeluh mengenai ubannya yang bertambah seperti yang sudah-sudah.

"Kau hanya perlu bersabar hingga malam Upacara Suci nanti. Semuanya pasti akan .... Ah!" Aaron membuang napas dan geleng-geleng. "Maaf, Alpha. Kau memang tidak akan bisa bersabar sampai selama itu."

Oscar memutar bola mata. "Kalau bisa lebih cepat, mengapa harus menunggu lebih lama?"

"Sayangnya semua butuh proses dan waktu, Alpha. Lagi pula itu adalah hal besar yang perlu diterima olehnya secara perlahan. Aku tidak bisa membayangkan kalau kau mendesak dan benar-benar tidak bisa bersabar. Bisa-bisa kau langsung berubah di depannya."

Oscar dan Ursa sama-sama diam. Mereka saling pandang untuk sesaat, lalu Oscar mendeham seraya melihat ke arah lain.

Aaron melongo. "Alpha, kau tidak mungkin berniat untuk menakutinya bukan?"

Oscar tak menjawab. Jadilah Ursa yang ditodong tatapan ingin tahu Aaron dan Philo. Ia mengangguk sehingga membuat mereka memejamkan mata dengan dramatis.

"Sarapan selesai," ujar Oscar seraya bangkit. Dilihatnya jam tangan, lalu bicara pada Philo. "Ayo. Kita harus mengecek kuda-kuda yang baru masuk hari ini."

"Baik, Alpha."

Setelah kepergian Oscar dan Philo, tinggallah Ursa dan Aaron. Keduanya tak mengatakan apa-apa, tetapi sama-sama mengerti.

"Sudahlah, Ursa. Setidaknya sekarang kau bisa bernapas lega. Jadi, nikmatilah sarapanmu."

*

Keadaan Istana sunyi serupa hari biasanya. Hening menyelimuti seolah waktu tak menjamah. Beberapa orang terlihat, tetapi hampir tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti pada umumnya. Mereka bernapas, berjalan, dan bekerja nyaris tanpa menimbulkan sedikit pun suara.

Hanya sesekali terdengar mereka bicara, ketika rasa penasaran membeludak dan akhirnya memaksa keluar dalam bentuk pertanyaan. Itu pun setelah mereka memastikan bahwa tak akan ada telinga lain yang mendengar.

"Kalian sudah melihatnya? Kudengar, dia adalah warga desa Avaluna."

"Oh, yang benar saja? Desa Avaluna? Desa yang tak pernah memiliki sinar matahari itu? Bagaimana mungkin? Aku lebih percaya di sana ada vampir ketimbang manusia serigala."

"Tepat sekali dan sejujurnya, aku pun ragu kalau wanita itu adalah orangnya. Bisa saja Ursa keliru dan—"

"Ehm!"

Dehaman membuat obrolan kecil itu berakhir. Mereka refleks menoleh dan sontak saja mata mereka membesar.

"Ursa."

Ursa tak mengatakan apa-apa, melainkan terus menyusuri lorong. Sikapnya yang acuh tak acuh malah membuat mereka jadi saling pandang dengan perasaan tak enak, lalu mereka pun lanjut bekerja.

Itu bukanlah kali pertama. Ursa yakinkan diri bahwa ia memang tidak tersinggung sama sekali, terlebih ada hal yang lebih penting ketimbang perasaannya.

Keberlangsungan dan kedamaian Kawanan, itulah yang utama.

Jadi sepatutnya bila Ursa putuskan untuk menuju kamar Oscar. Ia akan mengecek keadaan Era sebelum Landon nanti datang dan memeriksa lukanya. Pun sebelum Aaron berkeinginan untuk mengajak Era jalan-jalan mengelilingi Istana.

Ursa baru saja keluar dari lift yang mengantarkannya ke lantai tujuh, lantai tertinggi di Istana dan merupakan kawasan pribadi Oscar. Tak semua orang bebas menginjakkan kakinya di sana dan ia yakin alasannya cukup kuat untuk mendapatkan kelonggaran.

Satu pemandangan tak biasa menarik perhatian Ursa. Matanya menyipit dan jadilah ia menyegerakan langkah.

"Selamat pagi, Era."

Era berpaling. Diberikannya wajah putus asa yang membuat Ursa jadi serba salah. Ia tahu bahwa Era masih syok dan semua yang terjadi pasti sangat membingungkan, tetapi ia pun tak bisa berbuat apa-apa selain meyakinkannya. Selain itu ....

Bola mata Ursa membesar. Ditatapnya lekat-lekat mata Era dan ia yakin tak salah melihat. Jauh di dalam sana, terpantul di retina Era, ada sesosok jiwa yang tengah meronta.

"Kau sudah menyadari keberadaan jiwa serigalamu bukan?"

Era tertegun. Sikapnya memberikan jawaban tak langsung untuk Ursa. Jadilah sedikit ketidaktenangan Ursa benar-benar lenyap, Era benar-benar adalah manusia serigala dan ia telah ditakdirkan untuk menjadi luna mereka.

Sayangnya kelegaan Ursa justru menjadi ketakutan Era. Sejenak, ia terdiam. Setelahnya, ia menggeleng berulang kali. Ia menolak kemungkinan tersebut dan melangkah mundur. Dijauhinya Ursa seolah itu bisa membuatnya turut menjauh dari takdir yang kian mendekat.

Langkah Era tertahan sesuatu yang kokoh. Ia meringis dan nyaris terjatuh. Namun, sepasang tangan menahannya.

Era berpaling dan refleks memelotot. "Kau."

"Aku yakin maksudmu adalah selamat pagi."

Era langsung melepaskan diri dari rengkuhan Oscar. Diciptakannya jarak yang aman walau itu tak cukup mampu meredakan gemuruh yang langsung bertalu-talu di dada.

Oscar bersedekap dengan satu tangan yang mengusap dagu. Ia amati keadaan Era dari atas hingga bawah, lalu berkomentar.

"Sepertinya kau sudah membaik. Tubuhmu tidak sakit lagi bukan?"

Seketika saja Era memeriksa keadaannya. Dicermatinya rasa tubuh, lalu dipegangnya luka di dahi, dan ia mengangguk.

"Sepertinya aku memang sudah membaik."

"Syukurlah kalau begitu," ujar Oscar seraya melangkah mendekat. Diulurkannya tangan, berniat untuk meraih tangan Era, tetapi hanya udara kosong yang didapatnya. "Kau."

Era memasang antisipasi. "Apa yang mau kau lakukan?"

"Apa yang mau aku lakukan?" ulang Oscar mendengkus, lalu mendeham sekilas untuk sikap Era. "Ehm. Aku yakin kau menginginkan jawaban jujur."

Ucapan Oscar membuat Ursa membeku. Ia buru-buru menggeleng, tetapi Oscar tak menghiraukannya sama sekali.

"Jadi yang mau aku lakukan adalah mengajakmu berpasangan. Apa kau siap? Lagi pula kau sudah sehat."

Astaga! Ursa sontak memejamkan mata dan buru-buru memegang dinding. Dalam hati ia merutuk, seharusnya ia memang sarapan dengan lebih baik seperti yang dianjurkan Aaron tadi.

"Bagaimana?"

Era melongo. "Kau gila."

Oscar tak tersinggung. Ia hanya manggut-manggut. "Aku bisa menunggu. Tak jadi masalah. Bagaimana kalau malam nanti? Lagi pula pagi ini aku memang sedikit sibuk."

"A-apa?"

"Ehm. Kupikir memang sebaiknya malam," lanjut Oscar sambil kembali melangkah, semakin mendekati Era. "Malam terdengar lebih intim dan menggairahkan."

Era gelagapan. Di antara serbuan detak jantung yang tak kira-kira, ia dapati sorot mata Oscar lebih membuatnya tak bisa bernapas. Jadilah ia semakin mundur dengan kedua tangan yang terentang ke depan.

"Jangan mendekat."

"Jangan mendekat?"

Era meneguk ludah. Ia terdesak dan refleks saja ia jadi bertanya di dalam hati. Apa yang harus aku lakukan?

Era menunggu. Sedetik, dua detik, dan ... seharusnya ia tak menunggu selama ini. Biasanya suara itu langsung hadir dan memberi petunjuk untuknya.

Di mana kau? Apa yang harus aku lakukan?"

Mata Oscar menyipit. Ekspresinya berubah, terlihat tak yakin. "Apa yang sedang kau lakukan?"

Era tak mengerti. "Apa maksudmu?"

Oscar pun tak bisa menjelaskan maksudnya. Dilihatnya mata Era lekat-lekat dan ia sadari bahwa ada hal tak biasa yang terpancar di sana. Ada sesuatu yang serupa magnet dan membuatnya ingin terus menatap.

"Itu adalah jiwa serigalanya, Alpha."

Oscar tertegun dan langkahnya terhenti seketika. Ia mengerjap, baru menyadari bahwa ia kehilangan kendali untuk beberapa detik.

Bagaimana bisa?

Tangan Oscar berada di leher Era. Wajah mereka terpisah jarak tak seberapa. Alhasil Era menahan napas dan membeku seluruh tubuh.

Oscar langsung mundur. Ia tak pernah hilang kendali, apa lagi bertindak di luar kendali. Apa yang terjadi barusan, itu benar-benar tidak ia sadari sama sekali.

Jantung Oscar memberontak. Darahnya mendadak panas dan jadi menggelegak. Napas jadi memberat sehingga ia pun terengah.

"Apa yang harus aku lakukan, Ursa?"

Suara Oscar berubah parau dan serak, serupa gelegar petir di siang bolong. Era tersentak dan buru-buru menjauh, ia gemetaran.

Ursa segera bertindak. Dilindunginya Era di balik tubuh, lalu ia berkata pada Oscar.

"A-aku yakin kuda-kuda yang baru masuk harus segera diperiksa, Alpha. Philo pasti sudah menunggumu."

Oscar mengerjap. Ia berusaha berkonsentrasi ketimbang menuruti naluri hewannya.

"Kuda?"

Oscar menggeram. Kedua tangan terkepal sementara keringat mulai memercik di wajah, perlahan menetes dan mengotori lantai.

"Ka-kau benar. Aku harus mengecek peternakan hari ini. Aku harus mengecek kuda-kuda yang baru masuk."

Oscar berpaling. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dipaksanya kaki untuk melangkah. Dicobanya untuk menahan gejolak jiwa serigalanya. Ia pejamkan mata dan sebisa mungkin, ditenangkannya hasrat primitif itu.

Oscar pergi dan tinggallah Era yang masih tertegun dengan yang terjadi. Dipandanginya ujung lorong, titik terakhir di mana Oscar menghilang dari pandangannya. Ia bergeming dan kemudian merasakan sesuatu yang asing di dalam sana.

Kehampaan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top