4. Psithurism: Empat

Malam kian larut. Perayaan yang semula ramai dan penuh dengan keriuhan mulai berubah menjadi sepi. Sebabnya, beberapa dari mereka telah memutuskan untuk undur diri lantaran kantuk dan letih.

Satu dari yang masih bertahan di perayaan itu adalah Oscar. Tak dipedulikan olehnya jam yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Dia terus menikmati kebersamaan itu terlepas dari fakta bahwa Era pun sudah meninggalkan pesta dari sejam yang lalu.

"Alpha."

Oscar berpaling dan mendapati segelas bir terarah padanya. Jadilah disambutnya minuman itu sambil berkata. "Terima kasih."

"Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Alpha," ujar Dom sembari duduk. Kedua tangannya naik dan beristirahat di atas meja. "Aku benar-benar bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk melayanimu, Alpha."

Pada dasarnya, semua kawanan pastilah akan merasakan kebanggaan ketika melayani alpha dan luna. Oscar menyadari itu, tetapi dirasakan olehnya ada yang berbeda dari cara Dom bicara. Dia merasa ada sesuatu yang terkesan pribadi di sana. Jadilah dia langsung menodong Dom dengan satu pertanyaan. "Ada apa?"

"Aku pernah mendengar satu mitos, Alpha."

Bola mata Oscar memutar sekali. Sekarang, kalau dipikir-pikirnya maka Dom sangat terobsesi dengan segala macam mitos. Jadilah dia berdoa di dalam hati, semoga saja semua mitos itu tidak membuat Dom lalai akan tanggung jawab yang baru saja diberikan padanya.

"Apakah kau pernah mendengarnya, Alpha?" tanya Dom sesaat kemudian. Ditariknya perhatian Oscar dengan cara yang tepat. "Mitos mengenai alpha yang terlahir pada bulan emas."

Oscar tertegun dengan serta merta. Kali ini dahinya mengerut samar, tampak tak yakin.

"Konon dari cerita yang kudengar, alpha yang terlahir pada bulan emas memiliki karunia istimewa. Aku memang tidak mengetahui apa tepatnya karunia istimewa itu, tetapi yang kutahu adalah kau terlahir di bulan emas. Bukankah begitu, Alpha?"

Mata Oscar menyipit. Sorotnya menajam, tak ubah membidik Dom. "Apa yang kau pikirkan, Dom?"

"Tidak ada, Alpha," jawab Dom lugas sembari menggeleng sekali. Dibalasnya tatapan Oscar dengan sorot yang tak mampu untuk diartikan. "Aku hanya ingin kau tahu sesuatu, Alpha. Kau adalah satu-satunya alasan aku kembali ke Xylvaneth."

*

"Selamat pagi, Aaron."

Pagi hari yang cerah, Era bangun tepat pada waktunya terlepas dari kenyataan bahwa dia tidur larut malam semalam, tepatnya dini hari di pukul dua pagi. Perayaan gamma baru yang penuh dengan kemeriahan benar-benar membuatnya bersuka cita. Jadilah diabaikannya waktu hingga tubuhnya berada dalam kelelahan tak terelakkan.

Era memilih tetap duduk di tempat tidur untuk sejenak sembari menyugar rambut yang berantakan. Pandangannya mengitari keadaan sekitar tanpa bermaksud mengabaikan keberadaan Aaron yang tengah menyajikan sarapan untuknya. Dia mencari keberadaan Oscar yang ditebaknya telah bangun sedari tadi.

"Selamat pagi, Luna," balas Aaron setelah tuntas menyajikan hidangan sarapan di aas meja. Setelahnya dia memasang sikap sopan. "Bagaimana keadaanmu pagi ini?"

Era tersenyum walau lelah terlihat jelas di wajahnya. "Baik, Aaron. Seperti biasa," jawabnya sembari turun dari tempat tidur. Dikenakannya jubah piama sambil menuju pada meja makan. "Jadi, apakah Oscar sudah pergi ke kantor?"

Aaron menyilakan Era untuk duduk di meja makan. "Ya, Luna. Alpha sudah pergi dari jam enam pagi tadi bersama dengan Philo. Sepertinya mereka hari ini akan pergi ke Mezona Timur."

"Oh."

Oscar memang selalu sibuk. Era tak heran sama sekali. Jadilah diputuskannya untuk tak melanjutkan topik pembicaraan mengenai Oscar, melainkan diraihnya segelas air untuk melegakan tenggorokan yang terasa kering.

Era mulai menikmati sarapannya. Dikunyahnya sesendok salad sayur dengan penuh irama. Rasa segar dan lezat memenuhi indra pencecapnya. Lelah di wajahnya mulai tergusur oleh ekspresi kenikmatan.

"Apa?" Tiba-tiba saja bola mata Era membesar. Dia berpaling dan menatap Aaron dengan keterkejutan yang terlambat disadari. "Pergi ke Mezona Timur?"

Aaron tersenyum dan mengangguk. "Ya, Luna."

Garpu lepas begitu saja dari tangan Era. Dia melongo sambil terus menatap Aaron. Mungkin pikirnya Aaron akan meralat ucapannya, tetapi tidak. "Di-dia pergi ke Mezona Timur? Kota terujung negara ini?"

"Tepat sekali, Luna. Mezona Timur memang adalah kota terujung negara ini."

Era gelagapan. Cepat sekali otaknya berputar demi mengingat pelajaran geografi terdahulu. Lalu dia menebak. "Apakah itu ada kaitannya dengan rencana pembangunan perkebunan kamomil?"

"Sepertinya memang begitu, Luna."

Kini Era tak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya kelu dan dia hanya bisa melongo. Sungguh tak dikiranya bahwa secepat itu Oscar bergerak. Baru saja beberapa waktu yang lalu Oscar membahas perihal rencana pembangunan perkebunan kamomil dan sekarang rencana itu mulai menunjukkan langkah pertamanya.

"Dia ..." Era membuang napas seraya geleng-geleng. "... benar-benar penuh semangat."

Aaron tersenyum kecil. "Memang begitulah Alpha."

"Aku memang tahu kalau dia selalu bersemangat, tetapi aku tidak mengira kalau dia sesemangat ini," lanjut Era tak habis pikir. Jadilah dia terus geleng-geleng. "Lagi pula semalam dia baru saja merayakan penobatan gamma baru. Mungkin dia baru tidur pukul empat pagi dan bisa-bisanya dia langsung pergi ke Mezona Timur di pukul enam pagi."

Mungkin ada sesuatu yang harus diralat oleh Aaron. "Sebenarnya, Alpha baru meninggalkan perayaan itu di pukul lima pagi."

Kali ini Era sungguh tak bisa bicara lagi. Dia benar-benar membisu ketika membayangkan bahwa Oscar sama sekali tidak beristirahat dari semalam. Ditebaknya, Oscar kembali ke kamar hanya untuk mandi dan bersiap, lalu pergi.

"Katakan padaku, Aaron. Apakah Oscar memang begitu?"

Aaron membenarkannya dengan satu anggukan geli.

"Wow!"

Era butuh segelas air putih untuk meredakan syok yang dirasakan. Pikirnya, memang tak salah bila dia mencap Oscar sebagai pria gila. Tindakan Oscar seringkali di luar nalar, terlebih yang satu ini. Bisa-bisanya Oscar tak beristirahat sama sekali.

Secara logika, Era menyadari tugas dan tanggung jawab besar Oscar. Semestinya Oscar memang akan selalu sibuk, tetapi mungkin tak seharusnya sesibuk itu.

"Luna."

Era mengerjap dan tersadar dari perenungan singkat. "Aaron," lirihnya dengan kesan tak yakin. Tatapannya menyiratkan kebimbangan. "Apakah perayaan memang harus dilakukan di malam bulan purnama?"

"Aku yakin begitu, Luna. Lagi pula tak ada hal yang lebih sakral bagi manusia serigala ketimbang bulan purnama."

Semestinya Era tak menanyakan hal yang telah pasti jawabannya. Lagi pula dia sudah belajar banyak hal mengenai dunia manusia serigala, salah satunya yaitu betapa mereka sangat memuja bulan purnama.

Dari buku-buku yang sempat Era baca, keberadaan manusia serigala sangat erat kaitannya dengan bulan purnama. Dikatakan lebih lanjut bahwa bulan purnama merupakan sumber kekuatan untuk manusia serigala. Dengan alasan itulah sehingga kawanan kerap melakukan kegiatan ataupun ritual di malam bulan purnama.

Sayangnya malam bulan purnama tak terjadwal sesuai kalender Masehi. Jadilah bukan hal mengherankan bila kawanan melakukan perayaan di hari kerja.

"Baiklah. Aku yakin Oscar akan baik-baik saja walau tak tidur semalaman. Dia memang seharusnya tetap bekerja dan dengan begitu, aku pun bisa beraktivitas dengan lebih leluasa."

Era sisihkan ketakjuban akan semangat Oscar, dia pun memiliki agenda sendiri seharian itu. Beberapa di antaranya berhubungan dengan posisi luna yang baru saja diembannya dan yang lain adalah kegiatan pribadinya.

Hal pertama yang dilakukan oleh Era setelah sarapan dan bersiap adalah meninjau laporan mingguan kawanan. Seringnya, itu hanyalah formalitas saja mengingat kawanan sedang dalam keadaan aman dan terkendali.

Selanjutnya, ada agenda yang mengharuskan Era untuk meninggalkan Istana. Tujuannya adalah rumah sakit yang khusus didirikan untuk memfasilitasi kesehatan Kawanan Xylvaneth.

Kedatangan Era disambut dengan amat meriah. Kawanan—tak peduli itu adalah petugas medis, karyawan biasa, atau bahkan pasien—bersuka cita ketika dia tiba. Mereka bercengkerama dan membicarakan banyak hal. Terpenting adalah dia tak lupa untuk memberi semangat pada para pasien untuk segera sembuh.

Era meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Seingatnya, dulu tak pernah ada orang yang akan menyambut kedatangannya dengan penuh antusias. Selain itu tak banyak orang yang akan menatapnya dengan mata berbinar-binar. Baru kali ini dirasakan olehnya semua perasaan itu dan ternyata, itu adalah hal menyenangkan.

Agenda Era dijeda untuk istirahat siang, lalu berlanjut hingga pukul empat sore. Ada waktu yang tersisa sebelum malam datang dan dia pun pergi ke arena pelatihan.

Niat Era bukan ingin melihat pelatihan Seth. Sebaliknya, itu adalah jadwalnya untuk berlatih dengan Bogy. Jadi, setibanya di sana maka dia pun segera mengganti pakaian. Diikatnya rambut dengan kuat, lalu dia pun siap menerima pelatihan dari Bogy.

Era telah bertekad untuk tak membebani siapa pun dengan keselamatannya. Baginya, tak ada yang lebih bertanggungjawab terhadap nyawanya selain diri sendiri. Jadi, dipastikannya untuk berlatih agar bisa menjadi lebih kuat. Terlebih disadari olehnya satu pemikiran menggelikan, yaitu dia menemukan luna yang lemah sepanjang membaca buku sejarah di Perpustakaan Istana.

Dari yang Era ketahui, semua luna adalah wanita serigala yang menakjubkan. Selalu, mereka kuat dan memiliki kebijaksaan sehingga mampu menciptakan kedamaian untuk kawanan. Mereka pun tak gentar untuk berdiri paling depan ketika keadaan mendesak.

Jadilah wajar rasanya bila Era akan melakukan semua hal agar tak sampai membuat rekor baru. Dia tak ingin menjadi sejarah memalukan.

"Kemajuanmu sangat signifikan, Luna."

Era terengah-engah. Kepalanya terasa pusing karena Bogy memutar tubuhnya di udara sebelum membantingnya di lantai arena. "Sig-signifikan?" ulangnya dengan susah payah. Mata memejam dan dia mengerang samar ketika bangkit. "Lalu mengapa yang kulihat sebaliknya? Hari ini kau membuatku seperti gasing saja."

Bogy tak bisa berkata-kata, hanya wajahnya saja yang sedikit berubah. Agaknya dia khawatir bila bertindak berlebihan. "Luna, aku—"

"Terima kasih," potong Era cepat. Dia menarik napas panjang sembari berkacak pinggang. Keringat membasahi sekujur tubuh dan wajahnya tampak merona, memperlihatkan aura positif. "Aku tak mungkin bisa sejauh ini tanpa bantuanmu."

Bogy mengangguk. "Sama-sama, Luna."

Era meninggalkan arena pelatihan dengan badan yang terasa remuk redam. Walau begitu sebisa mungkin ditahannya ringisan. Dia tak ingin memperlihatkan rasa sakit pada mereka yang kebetulan berpapasan dengannya. Untungnya, itu bukanlah hal sulit mengingat latihan fisik selalu memberikan dampak positif. Jadilah hormon endorfinnya melimpah ruah sehingga aura kebahagiaan pun menguar, dia tampak penuh semangat walau malam telah menjelang.

Agenda Era telah tuntas. Waktu untuk beristirahat telah tiba, tetapi keheningan kamar membuatnya merasa bosan. Jadilah diputuskannya untuk keluar dari kamar karena dia belum mengantuk untuk tidur dan juga tidak berniat untuk menuntaskan pengolahan data penelitian mengingat seharian ini dia menggunakan otaknya untuk terus berpikir.

Era menyusuri lorong Istana yang telah sepi. Tujuannya adalah pintu belakang Istana yang akan langsung mengantarkannya ke Paviliun Ursa. Seperti biasa, berbincang-bincang dengan Ursa adalah ide menarik yang selalu membuatnya antusias.

Agaknya keputusan Era untuk mengunjungi Ursa adalah pilihan tepat. Sebabnya, Ursa pun tengah berkumpul dengan beberapa orang manusia serigala. Mereka tengah berbincang-bincang dan jadilah kedatangannya menambah suka cita.

"Luna!"

Era bergabung sembari melihat mereka satu persatu. Di sana, ada Ursa, Dom, Irene, Seth, dan beberapa orang guard. "Aku tidak tahu kalian sedang berkumpul," ujarnya tanpa melewatkan pemandangan berupa sajian makanan dan minuman di meja. "Apakah ada sesuatu?"

"Tidak ada, Luna," jawab Ursa seraya menyajikan secangkir teh untuk Era. Lalu dia duduk di sebelah Era. "Kami hanya berkumpul biasa dan mengingat ada banyak cerita yang belum kami dengarkan ..." Matanya berpindah pada Dom dengan sorot geli. "... maka kami pun memutuskan untuk mengundang Dom."

"Ah!" Era manggut-manggut dengan ketertarikan yang tumbuh dengan serta merta. Bola matanya membesar berkat rasa penasaran yang tak mampu dicegah keberadaannya. Lalu dia bertanya. "Jadi, kisah apa yang sedang kau ceritakan, Dom?"

Semangat tampak membara di sepasang mata Dom. Jadilah dia menegapkan punggung, memasang sikap siaga. Sebabnya, antusiasme Era menerbitkan rasa bangga tersendiri untuknya. "Sebenarnya, Luna, kisah ini masih berhubungan dengan ceritaku semalam. Mitos mengenai Kawanan Selunar dan Batu Bulan."

Tepat setelah Dom bicara maka semua diam. Tak ada lagi yang bersuara, termasuk Era. Mereka memasang posisi nyaman untuk mendengarkan kelanjutan kisah yang akan diceritakan oleh Dom.

"Menurut kabar yang kudengar, itulah sebabnya sehingga sekarang Kawanan Selunar mengisolasi diri dari dunia luar. Kutukan itu membuat mereka menjadi hilang kendali setiap bulan purnama. Mereka akan berubah menjadi serigala brutal yang tak memiliki akal sehat sama sekali."

Ursa mendeham singkat sehingga Dom berhenti bicara untuk sejenak. Kala itu tampak dahinya mengerut samar. "Jadi, karena itulah mengapa mereka membuat kekacauan bertahun-tahun lalu?"

"Tepat sekali!" jawab Dom cepat sembari menjentikkan jari hingga menimbulkan bunyi nyaring. "Mereka menyerang kawanan sekitar dan membuat manusia kebingungan. Sudah tak terhitung lagi nyawa yang melayang di tangan mereka."

"Lalu? Apa yang terjadi setelahnya?" tanya Seth tak sabar. Tanpa sadar, dia pun sedikit menggeser kursi agar bisa melihat Dom lebih jelas. "Apakah terjadi perang besar?"

Dom menyipitkan mata. "Nyaris kalau seandainya kawanan sekitar tidak ingat bahwa Kawanan Selunar adalah kawanan tertua. Karena itulah akhirnya Kawanan Selunar selalu mengurung diri di hutan Shadon setiap bulan purnama."

"Kasihan, tetapi itu pantas untuk mereka dapatkan. Lagi pula kawanan mana yang cukup gila untuk mengkhianati alpha dan luna mereka sendiri?" Irene geleng-geleng kepala dan menampilkan ekspresi tak habis pikir. "Jadi, sampai kapan mereka akan merasakan kutukan itu?"

"Sampai dunia kiamat."

Irene meneguk ludah. "Itu artinya selama-selamanya."

"Tepat sekali. Selama-lamanya atau jika takdir berpihak pada mereka maka kutukan itu bisa saja lenyap."

"Sudah kutebak, pasti ada cara untuk mematahkan kutukan itu," imbuh Irena sambil manggut-manggut. "Bagaimana caranya?"

"Caranya?" Dom mendeham sejenak sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Agaknya itu telah menjadi ciri khasnya ketika bercerita, memang sengaja untuk membuat suasana semakin menegangkan. "Mereka harus menemukan keturunan alpha dan luna yang tersisa. Karena konon dari cerita yang kudengar, setetes darahnya akan mendamaikan Batu Bulan dan melunturkan kutukan tersebut."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top