38. Selenophile: Tiga Puluh Delapan

Jangan dibaca saat puasa! Jangan bilang aku ga kasih peringatan.

*

Bisa dirasakan oleh Oscar, kala itu darahnya mulai berdesir. Ada sesuatu dari ucapan dan cara bicara Era yang menyalakan insting alamiahnya. Jadilah semua antisipasinya bersiaga, bersiap untuk semua kemungkinan yang bisa terjadi.

Oscar mencoba untuk menenangkan diri di tengah-tengah gempuran firasat yang membuat jiwa serigalanya terbangun seketika. Dihirupnya udara sedalam mungkin, ditekannya gemuruh yang mendadak saja sudah berkuasa di dada. Dia bertahan dan memutuskan untuk berhenti melangkah, tak berani dia mengambil risiko bila semakin dekat menghampiri Era, khawatir bila kekeliruan firasat membuatnya menjadi gelap mata.

"Sebenarnya," ujar Oscar sembari mengerutkan dahi sedetik kemudian. Bisa-bisanya suaranya terdengar bergetar seperti itu. Jadilah dia mendeham sejenak. "Apa yang ingin kau katakan, Era?"

Era membuang napas panjang. Lalu dia bangkit dan dihampirinya Oscar dengan ekspresi tak mengerti. "Aku tak tahu. Aku hanya menyadari sesuatu setelah terbangun dari koma."

"Apa itu?"

"Ada beberapa suara dan emosi yang terasa asing. Itu bukan milikku, tetapi aku bisa merasakannya," lanjut Era sembari menghentikan langkah tepat di hadapan Oscar. Ditengadahkannya kepala dan ditatapnya Oscar. "Seharian ini aku bingung ketika orang-orang mengatakan sesuatu dan aku merasa kalau aku mengetahuinya. Lalu aku malah bertanya-tanya, bagaimana bisa aku mengetahuinya?"

Oscar mengerutkan dahi. "Apakah kepalamu sakit? Aku akan menghubungi Landon. Kupikir ada—"

"Tidak," potong Era cepat seraya memegang tangan Oscar secara refleks. Dia menggeleng. "Aku tak butuh Landon. Ini bukan sesuatu yang bisa ditangani olehnya. Lagi pula sepertinya aku tahu apa yang sedang kualami."

Kekhawatiran di mata Oscar terlihat semakin menjadi-jadi. Pikirnya, ada sesuatu yang gawat tengah terjadi pada Era bila Landon saja tidak bisa menanganinya. "Kalau bukan Landon maka siapa yang bisa menanganinya? Katakan padaku. Aku akan segera menyuruh Aaron untuk menghubunginya."

"Kupikir kau."

Oscar tertegun sejenak. Agaknya dia butuh waktu untuk mencerna jawaban Era. Lalu ketika dirasa olehnya Era memang memberikan jawaban yang membingungkan maka dia pun mendeham dengan irama tak yakin. "Well, Era, kuyakin aku memang pasti akan selalu berusaha menjagamu, tetapi kedokteran bukanlah bidangku. Aku lebih ahli di bidang peternakan, perkebunan, dan—"

"Itu suaramu, Oscar."

Ucapannya terpotong lagi dan Oscar mengerjap. "Suaraku?"

"Ya, itu suaramu. Juga, itu adalah emosimu."

"Aku tak yakin mengerti maksudmu, Era," ujar Oscar bingung. Kerutan di dahinya bertambah. "Apa maksudmu?"

Era tak langsung menjawab, melainkan ditatapnya Oscar dengan lekat, tanpa kedip sama sekali. Agaknya dia tengah mencoba memastikan bahwa dugaannya tak keliru dan ternyata demikianlah adanya.

Jadilah Era merasakan sesuatu menghimpit dadanya. Tiba-tiba dia merasa sesak oleh beragam emosi yang diyakininya bukanlah miliknya.

"Aku bisa merasakannya, Oscar."

Suara Era terdengar lemah, nyaris tak mampu didengar. Namun, Oscar bisa mendengarnya dengan amat jelas. Jadilah dia lalu bertanya. "Apa yang kau rasakan? Katakan padaku."

"Aku merasakan gelisahmu," jawab Era setelah meresapi jejak emosi yang tertinggal di benaknya. Dirabanya dengan perlahan, lalu dicobanya untuk mencari tahu. "Selama aku koma, aku bisa merasakan gelisahmu. Aku bisa merasakan resah dan khawatirmu."

Tak sampai di sana. Bila Era memejamkan mata dan mencari dengan lebih dalam maka akan ditemukan olehnya jejak emosi lain yang tertinggal di sana. Sesuatu yang membuatnya menjadi kacau balau dalam terpaan gelisah serupa.

Era mencoba untuk bertahan demi menyelam lebih dalam. Jadilah ditemukan olehnya keping-keping emosi lainnya. "Kau tak nafsu makan. Kau letih, tetapi kau tak bisa memejamkan mata."

Ada kehangatan yang tiba-tiba timbul di sudut mata Era sehingga ketika dia membuka mata maka jatuhlah setetes air mata di pipinya. Mata Oscar membesar tatkala melihatnya yang tiba-tiba menangis.

"Era."

Era menggigit bibir. "Aku tak tahu mengapa, tetapi mengetahui hal itu membuatku merasa sedih juga. Kupikir, lebih baik menghadapi emosimu yang meledak-ledak ketimbang melihat sisi sedihmu."

"Ssst," desis Oscar sembari menangkup wajah Era dengan kedua tangan. Kedua ibu jarinya bergerak pelan demi mengusap lelehan air mata Era. "Maafkan aku. Aku tak mengira kalau kau akan merasakannya."

"Aku juga tak mengira dan aku tak mengharapkannya, tetapi itu terjadi begitu saja. Jadi, katakan padaku, apakah perasaan ini yang selalu kau rasakan?"

Oscar tersenyum, tetapi ada yang berbeda pada senyumnya kali ini. Tak ada arogansi, tanpa ada kesan menyebalkan. Sebaliknya, ada ketulusan di sana sehingga membuat Era menjadi membeku sekujur tubuh.

Senyum itu bukan hanya merekah di bibir Oscar, tetapi matanya pun menyiratkan hal serupa. Ada binar-binar di sana ketika dia berkata. "Aku senang kau mengetahuinya."

"Maafkan aku." Era meminta dengan penuh ketulusan. Sebabnya, rasa sesal itu benar-benar terasa jelas di dadanya. "Aku sama sekali tidak mengira kalau kau harus merasakan perasaan seperti ini setiap saat. Kau pasti sangat tersiksa."

Oscar menggeleng berulang kali. "Tidak sama sekali. Aku tidak merasa tersiksa. Sebaliknya, aku merasa sangat senang karena pada akhirnya aku memiliki seseorang yang harus kupedulikan secara pribadi."

"Oscar."

"Baiklah," ujar Oscar cepat ketika dirasakan olehnya nada suara Era sedikit meninggi. Era menuntut kejujurannya dan seharusnya dia memberikannya. "Aku memang merasa tersiksa. Di awal-awal malah lebih membuatku kewalahan."

Sontak saja benak Era menampilkan beberapa kilasan masa lalu di mana Oscar selalu berusaha untuk berada di dekatnya. Baginya, perilaku Oscar membuatnya terusik. Dia merasa tak nyaman. Namun, sekarang dia tahu alasannya.

Oscar hanya berusaha untuk mendamaikan resah dan khawatirnya. Perasaan yang persis dirasakan oleh Era beberapa waktu lalu, tatkala dia menunggu kepulangan Oscar dan kerap kali melihat pada jam dinding.

"Namun, Aaron banyak membantuku. Kupikir, teh kamomil yang disedunya bisa membuatku lebih tenang."

Refleks saja Era mendengkus geli. "Sepertinya mulai sekarang aku harus minum teh kamomil juga."

Oscar tertawa. Perasaannya terasa ringan tatkala menyadari bahwa sepertinya inilah kali pertama Era bersikap sesantai itu dengannya. Era menunjukkan rasa gelinya, sesuatu yang tak pernah didapatinya sebelumnya. Namun, itu bukan berarti dia melupakan hal terpenting dari pembicaraan tersebut, sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya. Sebabnya adalah dia perlu mendapatkan validasi bahwa dugaannya tak keliru.

Tawa berhenti. Oscar menarik napas sejenak, lalu ditanyanya Era. "Jadi, apakah itu ada hubungannya dengan fakta kalau kau tetap ingin berada di kamarku?"

Geli yang Era rasakan sontak menghilang. Ekspresi wajahnya pelan-pelan berubah. Dia tampak tegang dan di matanya tersirat pergolakan.

Oscar tahu, Era berada di posisi yang tak mudah. Semua takdir dan kenyataan itu datang dengan amat tiba-tiba sehingga Era pun berada di garis kebimbangan. Dia hanya berharap semoga Era bisa pelan-pelan menerima semua itu seiring dengan berjalannya waktu.

Harapan Oscar mulai menunjukkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan ketika didapatinya informasi dari Ursa. Keinginan Era untuk belajar dan berlatih demi menjadi manusia serigala seutuhnya adalah sinyal bagus. Namun, dia tak ingin terlalu jemawa dan menganggap bahwa itu juga adalah tanda bahwa Era telah menerima dirinya.

Reaksi Era memperkuat pemikiran tersebut. Jadilah Oscar tersenyum, dicobanya untuk menekan rasa kecewa yang mulai menyeruak di dada. Diyakininya diri bahwa dia tak apa-apa, pada akhirnya Era akan tetap menjadi miliknya seutuhnya.

"Tenanglah, Era. Kau tak perlu tegang seperti itu," ujar Oscar sembari tersenyum tipis. Dalam hati, dia berdoa semoga saja ekspresi wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. "Kau boleh tinggal di kamar ini sesukamu dan aku akan sangat senang berbagi tempat tidur denganmu. Aku berjanji padamu, aku tak akan mengusikmu sama sekali. Sekaligus, aku pun tak akan memaksamu."

Era menahan napas di dada. Sekelumit emosi asing terasa lagi olehnya. Jadilah tubuhnya bergerak di luar kesadaran.

Tangan Era naik. Dipegangnya tangan Oscar yang berniat untuk meninggalkan kedua pipinya. "Sepertinya, bukan itu yang kuinginkan sekarang, Oscar."

"Lalu, apa yang kau inginkan?"

Genggaman Era di pergelangan tangan Oscar menguat ketika dia menjawab pertanyaan itu. "Aku ingin kau memelukku selama aku tidur, Oscar, persis seperti yang kau lakukan selama aku koma."

"Era."

"Aku tak ingin kau melepaskan tanganku. Aku ingin kau terus menggenggamnya."

Oscar mengatupkan mulut rapat-rapat. Sontak saja wajahnya mengeras. "Era." Suaranya menyiratkan peringatan. "Kuharap kau tahu apa yang sedang kau katakan padaku."

"Aku tahu," ujar Era sembari mengangguk sekali. Lalu ditatapnya mata Oscar. "Aku tahu apa yang sedang kukatakan padamu, Oscar. Aku tahu karena memang itulah yang kuinginkan sekarang."

Sekarang, Oscar tak mengatakan apa-apa. Alih-alih dibalasnya tatapan Era dengan begitu intens. Jadilah Era membeku dan tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali.

Waktu berlalu dalam satuan detik yang mendebarkan. Udara di sekitar terasa berubah secara perlahan, suhunya meningkat dan menyebarkan panas di mana-mana.

Era bisa menemukan sumbernya, yaitu Oscar. Semua panas yang terasa menyentak-nyentak setiap saraf di sepanjang kulitnya itu berasal dari Oscar. Lalu disadari olehnya tak ada panas yang mampu membuat napasnya memberat dan jantungnya berdegup kencang seperti ini sebelumnya, tetapi Oscar mampu melakukannya.

Lama semakin lama maka panas itu terasa makin membara. Anehnya, Era tak kepikiran sedikit pun untuk menjauhi Oscar. Sebaliknya, dia malah memastikan tak ada lagi jarak di antara mereka. Jadilah jari-jari kaki mereka bertemu di bawah sana.

Oscar menggeram. Telah diberikannya waktu untuk Era menghindar, tetapi hal itu disia-siakan begitu saja. Era bukan hanya tidak menghindarinya, melainkan malah mengirimkan sinyal yang tak akan salah untuk diartikan olehnya.

Kedua tangan Oscar bergerak dengan cepat. Jadilah genggaman Era terlepas begitu saja. Lalu diraihnya tubuh Era dan digendongnya.

Era terpekik dan tiba-tiba saja disadari olehnya bahwa mereka telah mendarat di tempat tidur. Dia mengerjap, agak merasa kagum dengan kecepatan Oscar. "Os-Oscar."

"Aku bertanya untuk terakhir kalinya, Era," kata Oscar dengan suara yang terdengar begitu berat. Diangkatnya dagu Era sehingga tatapan mereka bertemu. "Apakah kau bersedia menjadi lunaku?"

Era merasakan aneka emosi membuatnya nyaris tak bisa bernapas, juga bicara. "A-aku tidak tahu, Oscar. Aku tidak tahu apakah aku bersedia menjadi lunamu atau tidak, tetapi yang kutahu adalah aku tak ingin kau merasa sedih. Aku hanya ingin berada dalam pelukanmu. Kau membuatku merasa damai."

Oscar tak pernah mengira bahwa Era bisa mengucapkan kata-kata semanis itu. Jadilah dadanya bergemuruh oleh gembira yang tak terkira. Jiwa serigalanya bersuka cita. Dia merasa amat bahagia dan sekarang diyakini olehnya bahwa pembicaraan mereka telah selesai sampai di sana.

Era memejamkan mata dan hal itu tak luput dari pengamatan sepasang mata Oscar, tepatnya beberapa detik sebelum bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Masih sempat dilihatnya bulu mata Era yang lentik sebelum pada akhirnya dia pun turut memejamkan mata.

Tak pernah Oscar rasakan perasaan lega yang lebih melapangkan seperti yang dirasakannya sekarang. Sebuah gestur sederhana yang Era berikan padanya, memejamkan mata dan menyambut ciumannya, adalah sesuatu yang tak perrnah dibayangkannya selama ini. Dia tahu bahwa itu bukanlah ciuman pertama mereka, tetapi ternyata penerimaan Era menjadikan ciuman itu lebih manis dari semua gula yang pernah dirasai olehnya.

Terbitlah candu. Rasanya membuat Oscar ketagihan sehingga ciuman tak menjadi sekadar pertemuan dua bibir belaka. Dia mengecup, lalu melumat. Dipastikannya untuk tak melewatkan setiap sisi bibir Era dari sentuhannya yang memabukkan.

Era mengerang samar saat Oscar memagut bibir bawahnya dengan dengan begitu bersemangat. Tubuhnya bergetar dan jadilah dia melengkungkan jari-jari kakinya. Dia mencoba untuk tetap waras, tetapi Oscar malah mendobrak kesadarannya dengan begitu mudahnya.

Ujung lidah Oscar menyapa. Pertama, digodanya sudut bibir Era. Selanjutnya, diterobosnya mulut Era. Dia masuk dan kehangatan pun menyambutnya.

Dua lidah bertemu dalam tarian sensual yang memabukkan. Mereka saling membelit dan lalu mencecap. Oscar menikmati rasa Era, begitu pula sebaliknya. Era isi indra pencecapnya dengan rasa Oscar.

"Os-Oscar."

Era mengerjap. Bola matanya berputar dengan tak fokus. Dia terengah dan merasa pusing ketika Oscar menukar ciumannya dengan cumbuan lain yang tak kala memabukkan, berupa kecupan-kecupan basah nan hangat yang mendarat di lehernya.

Sekarang Era malah mendapati dunia seperti berputar-putar. Jadilah dia berpegangan pada pundak kokoh Oscar. Lalu meremasnya sembari memejamkan mata.

Era pikir, nyawanya pastilah sudah terbetot lepas dari tubuh. Sebabnya adalah Oscar menundukkan wajah sembari menarik turun gaun tidur yang dikenakannya. Setelahnya Oscar pun melahap puting payudaranya, mengisap, dan menggoda dengan rayuan yang amat memabukkan.

Remasan Era di pundak Oscar menguat. Jadilah Oscar menggeram dan tubuhnya menganggap itu tak ubah sinyal permohonan untuk cumbuan yang lebih memabukkan lagi.

Oscar meneguk ludah. Bersamaan dengan itu maka lidah dan jari tangannya bekerja sama untuk memanjakan sepasang payudara Era. Dia menjilat dan melumat, lalu tak lupa untuk meremas, juga mencubit-cubit lembut.

Tubuh Era melengkung dalam desakan alamiah. Desahannya lolos begitu saja tatkala Oscar membelai perut rampingnya dengan sentuhan seringan bulu, berlanjut hingga ke kakinya. Terus saja Oscar ciptakan berbagai sensasi yang tak pernah dirasakan olehnya selama ini.

Cumbuan Oscar sungguh melenakan. Era terbuai sehingga pemasrahan pun menjadi penyerahdirian sepenuhnya. Dia tak menolak, bahkan turut mempermudah ketika Oscar mulai melucuti pakaiannya satu persatu.

Tak ada lagi yang pakaian yang melekat di tubuh Era dan Oscar sesaat kemudian. Mereka sama-sama polos, sama-sama terbebas dari kungkungan tak seberapa yang menghalangi kulit mereka untuk saling bertemu.

Oscar menaungi Era. Lalu dibelainya sisi wajah Era dengan penuh kelembutan. Jadilah bola mata Era berputar dan lalu dia memejam. Era menikmati sentuhan itu hingga kembali mendesah secara di luar kesadaran.

Namun, satu pembelaan Era saat itu adalah dirinya memang telah kehilangan akal sehat dan kewarasan. Sebabnya Oscar benar-benar tahu cara untuk membuatnya terbuai, untuk menyalakan hasrat di dalam hatinya. Jadilah tak aneh bila sekarang didapati olehnya gairah alami itu telah mengambil alih kuasa atas tubuh dan pikirannya.

Era terlena. Nyaris benar-benar melupakan dunia hingga belaian Oscar bermuara pada kewanitaannya. Jadilah dia membuka mata dan antisipasinya menyala dengan sendirinya.

Ujung jari Oscar bermain-main di sekitar kewanitaan Era, seolah-olah dia tengah mempelajari tubuh Era. Lalu jarinya semakin turun sehingga tibalah dia di tujuan yang sesungguhnya. Dirasakan olehnya hangat dan lembab yang seketika membuat darahnya berdesir seketika.

Wajah Oscar mengeras. Rahangnya berubah kaku. Tubuhnya sontak menegang dengan semua khayalan yang berontak, semuanya menuntut untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Sayangnya masih ada sedikit keraguan yang menyelinap di benaknya. Jadilah dia terdiam untuk sesaat.

Era jelas merasakan ada yang tak beres sehingga ditatapnya Oscar dengan sorot penuh tanda tanya. "Ada apa, Oscar?"

"Kau tahu bukan konsekuensi dari keputusanmu?" tanya Oscar dengan suara berat. Tatapannya semakin tajam dan menghunjam Era. "Sekali kau menyerahkan diri padaku maka kau tak akan pernah bisa lepas dariku."

Era meneguk ludah. "Sebaliknya, Oscar. Kuharap kau tahu konsekuensi dari keputusanmu."

"Aku tak akan pernah menyesalinya, Era."

Seolah ingin membuktikan ucapannya maka Oscar pun langsung membungkam mulut Era dengan ciuman dalam. Dilumatnya bibir Era tanpa henti dan bersamaan dengan itu, dia pun mengambil posisi di antara kedua kaki Era.

Oscar memegang satu kaki Era. Dia sedikit beringsut dan mengarahkan kejantanannya di ambang kewanitaan Era.

Era merasakan samar sentuhan kejantanan Oscar, lalu tiba-tiba saja matanya membelalak, tepat ketika Oscar memasuki tubuhnya tanpa aba-aba sama sekali. Kejantanan Oscar meluncur masuk ke dalam kewanitaan Era, disobeknya selaput dara Era, dan mereka membeku sedetik kemudian.

Jeritan Era menggema di mulut Oscar. Dadanya naik turun, terengah-engah. Oscar membelai rambutnya, mencoba untuk menenangkannya.

Oscar memberikan Era waktu untuk menyesuaikan diri dengan dirinya. Setelah dirasakannya ketegangan Era telah pergi maka barulah dia mulai bergerak. Walau begitu dia mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru. Sebaliknya, dia ciptakan tempo yang tepat. Mulanya, dia bergerak dengan perlahan, terkesan lamban. Kemudian barulah laju pergerakannya meningkat secara bertahap.

Era tak memungkiri bahwa dirinya butuh waktu untuk beradaptasi dengan semua hal. Dimulai dari perasaan asing ketika Oscar menyentuhnya dengan begitu intim hingga ketika kejantanan Oscar memasuki kewanitaannya. Namun, semua tak sesulit itu ketika hasrat dan naluri alamiahnya sudah menerima Oscar sepenuhnya.

"Oscar."

Oscar mengerjap. Lirihan Era menghipnoti sehingga dia pun terpana. Dia tertegun, lalu disadarinya bahwa pipi kemerahan Era adalah hal tercantik yang pernah dilihatnya selama hidup di dunia.

Keringat memercik, di tubuh Oscar dan juga Era. Jadilah kulit mereka basah dan melekat dengan liat, tak ubah perekat yang akan membuat mereka terus merekat dengan erat.

Tangan Oscar meluncur. Diraihnya pinggang Era, lalu direngkuhnya dengan erat. Sedikit diangkatnya tubuh Era ketika hasrat yang menguasai dirinya membuat dia terlupa dengan tempo percintaan yang sempat dibangunnya.

Pergerakan Oscar berubah. Tak ada lagi irama yang mendayu-dayu, sekarang tergantikan oleh gelombang liar yang membabi buta. Dia mendorong dan terus mendesak sehingga Era terhenyak di tempat tidur.

Era memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak tak tentu arah. Terkadang diremasnya bantal di bawah kepala, lalu dia beralih pada seprai yang telah kusut tak berbentuk lagi. Ujung-ujungnya dia pun merenggut rambut Oscar.

Geraman menggetarkan dada Oscar. Reaksi Era menyulut egonya. Jadilah dia semakin terlecut dan tubuhnya kian menegang. Didekapnya tubuh Era dengan sekuat mungkin sehingga tubuh mereka benar-benar menempel tanpa ada sedikit celah pun.

Sebabnya Oscar tak akan mengabaikan satu hal terpenting yang harus dilakukannya. Betapa pun percintaan itu membuatnya terlena, tetapi dia tak boleh lalai untuk menyempurnakan semuanya. Jadi, ketika dia merasa bahwa dirinya akan meledak maka dia pun menyingkirkan rambut Era dari lehernya.

Era begitu terbuai sehingga tak mengantisipasi hal yang akan dilakukan Oscar sedetik kemudian. Jadilah dia terlonjak tatkala merasakan sengatan yang mendarat di lehernya. Dia membuka mata dan mendapati Oscar menggigit leher.

"Oscar."

Oscar mengusap leher Era, tetapi dia tak mengatakan apa-apa. Terus saja didekapnya Era. Kemudian didaratkannya kepala di lekuk pundak Era sembari terus menghunjam.

Era menarik napas dalam-dalam. Bisa dirasakan olehnya ada gelenyar asing yang menjalar di sekujur tubuhnya. Itu ada esensi Oscar—rasa dan emosinya. Dia bisa merasakan Oscar dan sekarang dia ingin Oscar bisa merasakan hal serupa. Jadilah dia menggigit leher Oscar pula.

Oscar memejamkan mata. Dirasakan olehnya gigi-gigi Era menancap di lehernya. Jadilah dia tersenyum sembari menghunjam untuk yang terakhir kali.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top