30. Selenophile: Tiga Puluh

Tidur Era terusik tiba-tiba tanpa ada penyebab sama sekali. Dia tersentak dan segera menoleh hanya untuk mendapati bahwa bantal di sebelahnya kosong. Tak ada Oscar di sana.

Era bangkit dengan tatapan yang tertuju pada jam dinding. Sudah pukul dua dini hari dan jadilah dahinya mengerut. Apakah Oscar masih bekerja?

Rasa penasaran mengusik Era. Keinginan untuk tahu membuat dirinya sontak turun dari tempat tidur. Dia meraih jubah piama dan mengenakannya sembari berjalan keluar dari kamar. Tujuannya adalah ruang kerja Oscar.

Jujur saja, sebenarnya Era tidak mau mengakui ruangan yang berada tak jauh dari kamarnya itu sebagai ruang kerja Oscar. Sebabnya, dari awal ruangan itu tak ubah perpustakaan yang menyimpan beragam jenis buku dan dia sering menghabiskan waktu di sana. Namun, Aaron sudah menyulap ruangan itu menjadi ruang kerja dadakan dari hari pertama Oscar pindah ke sana. Jadilah dia tak lagi menjejakkan kaki di sana.

Era berhenti melangkah tepat di depan ruang kerja. Pintunya tak tertutup dengan semestinya dan terciptalah celah kecil yang memungkinkan dirinya untuk bisa mengintip ke dalam. Dia melongok dan dilihatnya Oscar duduk di meja kerja.

Komputer menyala. Banyak kertas memenuhi meja. Kacamata bertengger di pangkal hidung dan Oscar tampak menarik napas panjang sesekali.

Pemandangan itu membuat Era jadi tertegun. Disadarinya, Oscar memang adalah pria yang sibuk, tetapi tak dikira olehnya bila sesibuk itu. Oscar selalu pergi pagi, pulang malam, dan setelahnya lanjut bekerja hingga nyaris pagi lagi. Paling tidak itulah yang dilihatnya selama seminggu mereka tinggal bersama. Nyaris bisa dikatakan bahwa Oscar tak benar-benar bisa menikmati istirahat yang cukup.

"Apakah melihatku bekerja adalah hobi barumu?"

Sontak saja Era tersentak. Dia mengerjap dan tersadar bahwa Oscar tengah menatap padanya sembari menyeringai.

Oh, astaga! Langsung saja wajah Era terasa panas, bahkan pipinya jadi bersemu merah. Dia malu sudah tertangkap basah dan membuat ego Oscar jadi bersorak gembira.

Era mendeham, lalu berusaha menebalkan muka. Diangkatnya wajah dan menjawab. "Ada banyak hobi lain yang lebih bermanfaat ketimbang melihatmu bekerja."

Mata Oscar menyipit dan nada suaranya terdengar berbeda ketika kembali bertanya. "Benarkah?"

"Tentu saja," jawab Era sembari mempertahankan ekspresi wajahnya yang kaku. Lalu dia pun beranjak masuk karena sudah kepalang basah. "Jadi, sebenarnya aku hanya penasaran saja. Aku tahu, kau memang sibuk dan punya banyak pekerjaan, tetapi apakah kau memang biasanya selalu sesibuk ini?" Dia berhenti tepat di depan meja kerja Oscar dan dilihatnya semua dokumen di sana walau hanya sekilas saja. "Sepertinya kau tak bisa dikatakan pernah beristirahat dengan semestinya."

Oscar manggut-manggut sembari melepaskan kacamata, lalu disandarkannya punggung di kursi. "Memang beginilah kegiatanku sehari-hari, tetapi tak seburuk itu. Biasanya aku selalu tidur sekitar pukul sebelas atau dua belas malam. Namun, pengecualian untuk dua minggu ini. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus segera aku tuntaskan."

Era diam sementara Oscar justru menyipitkan mata. Dipandanginya Era dengan sorot penuh selidik. Lalu tangannya terangkat, ditunjuknya Era dengan pena di tangan.

"Kau tidak berpikir untuk memanfaatkan situasi ini agar aku kembali ke Istana bukan?"

Era mencibir. "Memangnya kau akan melakukannya kalau aku memang menginginkannya?"

"Tidak."

"Sudah kutebak," tukas Era sambil membuang napas panjang. Kemudian sekelumit senyum muncul perlahan di bibirnya. "Lagi pula semua ini akan berakhir sebentar lagi."

"Apa maksudmu?"

Senyum Era benar-benar merekah kali ini. "Maksudku adalah lusa aku akan pergi ke desa Runevale. Pagi tadi aku sudah berkonsultasi dengan Miss Timothy dan aku bisa meneruskan penelitianku. Menurutnya, keadaan di sana sudah terkendali."

"Oh."

"Jadi, silakan saja kalau kau masih ingin tinggal di sini. Terpenting adalah dua hari lagi aku akan pergi ke desa Runevale."

Sesaat, Oscar hanya diam seraya melihat ekspresi penuh kemenangan yang tercetak di wajah Era. Dia sempat mengusap dagu, lalu bergumam rendah, diulanginya ucapan Era tadi. "Dua hari lagi." Kemudian tangannya terulur dan meraih ponsel di atas meja. Dia menghubungi Philo. "Philo."

Wajah Era langsung saja berubah ketika mendengar Oscar menyebut nama Philo. Rasa senang yang sempat mengisi benaknya jadi hilang seketika. Firasat tak enak segera timbul dan ucapan Oscar selanjutnya membuat dia menggeram.

"Atur ulang jadwalku dari lusa selama tujuh hari ke depan. Era akan pergi ke desa Runevale. Jadi, kita berdua akan menemaninya."

Era memejamkan mata dengan dramatis. Kedua tangan bertahan di meja kerja, didengarkannya percakapan antara Oscar dan Philo sembari menahan gejolak emosi yang mulai menyala di dada.

"Tentu saja. Seth harus ikut juga. Selain itu, segera kau persiapkan penerbangan ke sana. Kita akan pergi dengan pesawat jet. Helikopter terlalu berisik. Aku tak ingin membuat Era menjadi tak nyaman. Ah! Terpenting adalah pastikan semua akomodasi selama di sana sudah siap."

Panggilan berakhir. Oscar menaruh kembali ponsel ke meja, lalu melihat Era dengan mata berbinar-binar. Sebaliknya, Era justru melihatnya dengan sorot seperti ingin mengirisnya hidup-hidup.

Oscar mengedikkan bahu dengan ekspresi senang. "Apakah kau tahu? Desa Runevale menjadi salah satu destinasi favorit para pengantin baru yang ingin berbulan madu."

"Kita bukan pengantin baru."

"Wow!" seru Oscar dengan mata berkilat-kilat. "Aku sama sekali tidak mengatakan bahwa kita adalah pengantin baru." Dia bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuh ke arah Era. "Walau begitu bukan berarti aku tak terbuka dengan gagasan-gagasan menarik. Kalau kau ingin kita menikah, tentu saja aku akan mengabulkannya. Dengan begitu hari-hari penelitianmu di desa Runevale pasti akan lebih menyenangkan. Bagaimana?"

Mulut Era terkatup rapat. Semula dia mengira bahwa melanjutkan penelitiannya yang tertunda di desa Runevale adalah kesempatan bagus untuk kembali menciptakan jarak dengan Oscar. Tak jadi masalah walau Seth pasti akan menemaninya, asalkan dia tak berdekatan dengan Oscar. Namun, ternyata dia terlalu cepat bergembira untuk hal yang belum pasti terjadi.

Era tak mengira kalau Oscar akan senekat itu. Lagi pula jarak antara desa Runevale dan Sonnet Springs bukan main-main. Walau Oscar memiliki helikopter, pesawat jet, atau roket sekalipun, dia tetap menghabiskan waktu di jalan. Dilihat dari sisi bisnis, tindakan Oscar jelas tidak efisien sama sekali.

"Sebentar," ujar Era dengan suara rendah. Dia menarik napas, lalu berdeham sekilas. "Kau tidak mungkin serius bukan?"

Oscar tak menjawab dengan kata-kata, melainkan hanya menyeringai. Ekspresi wajahnya tak ubah balasan untuk perayaan kemenangan yang terlalu cepat dirayakan oleh Era.

"Oh, yang benar saja!" Era tak lagi bisa menahan diri. Jadilah dia beranjak pergi dari sana setelah mengumpati Oscar. "Kau benar-benar pria gila yang menyebalkan!"

Kekesalan Era membuat Oscar tak mampu menahan rasa geli. Jadilah dia terkekeh untuk sesaat sebelum kembali meraih ponsel. Kali ini yang dihubunginya adalah Madeline.

"Halo, Alpha."

Oscar kembali menyandarkan punggung di kursi. "Apakah situasi di desa Runevale sudah aman?"

"Sudah, Alpha. Kawanan di sini tidak menemukan keberadaan para rogue itu dan karena itulah aku memperbolehkan Era untuk melanjutkan penelitaannya. Dia akan baik-baik saja."

Panggilan berakhir sesaat kemudian. Oscar membuang napas panjang, tetapi tidak merasa lega sepenuhnya. Informasi dari Madeline tidak bisa membuatnya tenang. Sebaliknya, instingnya justru memberikan peringatan. Jadi, untuk alasan itulah dia tak akan mengubah rencana. Dia akan tetap ikut pergi ke desa Runevale apa pun yang terjadi.

*

Ini bukanlah penelitian yang pernah Era bayangkan. Dulu sempat dikhayalkan olehnya ketika baru menjadi mahasiswa, pastilah kegiatan penelitian akan menjadi hal menyenangkan. Dia akan melakukan observasi bersama dengan teman-teman dan dosen. Mereka akan menjelajahi alam dan menemukan banyak hal baru yang menakjubkan. Sekarang yang terjadi padanya justru sebaliknya. Dia memang menyelisik hutan, tetapi tidak bersama dengan teman-teman dan dosen, melainkan dengan seorang pemimpin guard muda, seorang beta, dan seorang alpha.

Era menoleh ke belakang, lalu melirik tajam pada Seth, Philo, dan juga Oscar yang mengekori langkahnya sedari tadi. Ekspresi suntuk terpampang jelas di wajahnya sejak setengah jam yang lalu, tepatnya ketika dia mulai menjejakkan kaki di hutan Arbora.

"Keadaan di sini sudah aman. Polisi sudah mencari keberadaan para preman itu dan mereka tak menemukannya. Mereka pasti sudah pergi dari sini. Jadi, sebenarnya kau tak perlu sampai membawa teman-temanmu."

Era berpaling pada polisi hutan yang bertugas menemani mereka hari itu. Namanya adalah Noah Anderson. Sekilas, tampak Noah melihat pada Seth, Philo, dan Oscar sebelum kembali menatap Era. Dia tersenyum geli.

"Ah," lirih Era sembari mengusap tengkuknya, lalu tersenyum kaku. "Aku sudah mengatakan itu pada mereka, tetapi sepertinya mereka tidak ada telinga untuk mendengar."

Noah terkekeh kecil. Jadilah Oscar di belakang sana menyipitkan mata. Dia bergumam dengan rasa penasaran. "Apa yang mereka bicarakan?"

Mereka tiba di titik pengamatan pertama sekitar lima menit kemudian. Noah dan Seth segera membantu Era menyiapkan peralatan sementara Philo tampak mengamati keadaan sekitar.

Oscar mendekati Era. Dilihatnya Era yang mulai meneliti dengan serius, lalu dering ponsel membuyarkan keterpanaannya pada Era.

Era menjeda sejenak pengamatannya, kemudian berpaling. Tampak olehnya Oscar yang merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan sedikit beranjak.

"Halo, Julie."

Oh, ternyata Julie.

Era melanjutkan pengamatannya. Diambilnya termometer tanah dan kala itu didengarnya jiwa serigalanya berkata. Mengapa? Apakah kau cemburu?

Cemburu? Era mendengkus sembari membuat lubang di tanah. Ditancapkannya termometer tanah itu ke lubang dan dia menunggu sejenak. Untuk apa aku cemburu?

Oh ya? Soalnya, aku merasa sikapmu agak berbeda ketika mendengar nama Julie. Kupikir, kau mungkin saja cemburu.

Era mencatat angka yang muncul di termometer tanah itu. Tidak sama sekali. Aku tidak mungkin cemburu dengannya. Dia adalah gamma dan pastilah dia menghubungi Oscar karena ada hubungannya dengan kawanan.

Ehm. Ternyata kau telah dewasa.

Era putuskan untuk mengabaikan gurauan jiwa serigalanya. Dia melanjutkan pengamatan sementara Oscar masih berbicara di telepon.

"Mengapa mereka ingin bertemu denganku?"

Julie menjawab. "Para pemimpin klan ingin membahas soal peternakan sapi, Alpha. Jadi, apakah memungkinkan bila kau pulang sebentar ke Istana?"

"Pulang sebentar ke Istana? Oh, yang benar saja. Aku baru meninggalkan Istana sehari dan kau menyuruhku untuk pulang?"

"Alpha, aku tidak bermaksud begitu," ujar Julie buru-buru. "Aku hanya menanyakan kemungkinan kau bisa pulang ke Istana."

Oscar berdecak hingga membuat Philo mendekat. "Katakan pada mereka, aku akan menemui mereka nanti, setelah aku kembali dari desa Runevale, mungkin sekitar seminggu lagi. Jadi, selama itu aku tidak akan pulang ke Istana dan itu menjadi tugasmu untuk mengatur semuanya, Julie."

"Baik, Alpha. Aku mengerti."

Panggilan berakhir dan Philo memberanikan diri untuk bertanya. "Ada apa, Alpha?"

"Julie menghubungiku hanya untuk mengatakan bahwa para pemimpin klan ingin bertemu denganku. Mereka ingin membahas perihal peternakan sapi. Seperti tidak ada urusan yang lebih penting saja," gerutu Oscar panjang lebar sembari memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Lalu dilihatnya Philo. "Memangnya peternakan apa saja yang kupunya? Seingatku hanya peternakan kuda."

"Peternakan kuda, sapi, domba, ayam, bebek, ba—"

Oscar terkesiap dan langsung memotong jawaban Philo. "Sebanyak itu?"

"Ya, Alpha," jawab Philo lagi sembari mengangguk. "Selain itu, kau juga dalam rencana pembangunan peternakan alpaka."

Dahi Oscar mengerut, lalu mendeham sejenak. "Tak aneh kalau pekerjaanku selalu menumpuk."

"Mungkin ada baiknya kalau kau kembali ke Sonnet Springs kalau pekerjaanmu memang bertumpuk."

Oscar dan Philo berpaling. Era beranjak, di belakangnya ada Seth yang membawa boks botani.

"Aku tak keberatan sama sekali. Lagi pula sudah ada Seth di sini. Dia pasti akan membantu dan menjagaku. Bukankah begitu, Seth?"

Seth jadi serba salah sehingga menjawab dengan penuh kehati-hatian. "Semua sesuai dengan perintah Alpha."

Era menyadari bahwa Seth tak mungkin mengiyakan pendapatnya secara terang-terangan. Seth harus menjaga sikap, terlepas dari ada atau tidaknya keberadaan Oscar. Jadilah dia kesal, merasa bahwa tak ada yang berpihak padanya kala itu. Dalam hati, dia pun berdoa semoga enam hari ke depan bisa berlalu dengan cepat.

Di hari kedua, Era mencoba untuk tak terlalu menghiraukan keberadaan Oscar dan Philo. Dianggapnya mereka tak ada. Lagi pula mereka jarang bicara selama berada di hutan. Seringnya, dia lebih banyak berkomunikasi dengan Noah dan Seth.

Dering ponsel menarik perhatian Era. Sempat ditebaknya bahwa Oscarlah yang mendapat telepon, tetapi salah. Adalah ponsel Philo yang berdering dan agaknya telepon itu memberikan kabar yang tak bagus.

"Apa?"

Sontak saja Era menghentikan pengamatannya. Dia berpaling dan mendapati wajah Philo berubah.

"Baik," ujar Philo sebelum mengakhiri panggilan tersebut. Setelahnya, dia menghampiri Oscar. "Alpha."

"Ada apa?"

Philo berbisik sehingga Era tak bisa mendengar perkataannya. Walau demikian dia menebak bahwa ada sesuatu yang terjadi. Sebabnya adalah wajah Oscar pun turut berubah sesaat kemudian.

Era bangkit. Dihampirinya Oscar dan Philo, lalu bertanya. "Apa ada sesuatu?"

"Ada pabrik yang terbakar," jawab Oscar dengan dahi mengerut. Ditatapnya Era dengan sorot bimbang. "Aku khawatir aku harus pergi untuk meninjau keadaan pabrik sekarang."

"Oh, tak apa. Pergilah. Aku yakin keberadaanmu sangat dibutuhkan oleh mereka sekarang."

Wajah Oscar mengeras dan matanya menyipit. "Sepertinya ada yang senang karena aku harus pergi saat ini juga."

"Memang, tetapi aku tidak mengharapkan kebakaran sebagai penyebabnya," tukas Era sembari membuang napas. "Kau tak perlu khawatir. Ada Seth di sini. Aku pasti akan baik-baik saja."

Oscar tak mengatakan apa-apa untuk sesaat. Dilihatnya Seth dan dia mendapatkan satu anggukan patuh Seth. Apa pun yang terjadi, Seth pastilah akan menjaga Era dengan mempertaruhkan nyawanya. Namun, dia tetap merasa berat untuk pergi.

Philo memanggil dengan nada rendah. "Alpha."

Oscar tersadar dari lamunan singkatnya. Dicobanya untuk menepis perasaan tak nyaman itu dan menatap Era. "Aku akan kembali secepat mungkin. Jadi, selama itu, jagalah dirimu dengan baik."

Era membeku, tetapi tak abai untuk mengangguk. "Tentu saja."

Kepergian Oscar dan Philo dilihat Era dengan pikiran kosong. Tanpa sadar, dia pun termenung untuk sesaat sehingga Seth pun menyadarkannya.

"Era, sepertinya kita harus bergegas. Langit mendadak saja berubah menjadi mendung."

Era mengerjap. "Oh, Seth," lirihnya sembari melihat sesaat ke langit. "Kau benar. Sepertinya kita harus ke titik pengataman selanjutnya sekarang."

Seth dan Noah segera mengemas peralatan sementara Era berkutat dengan buku catatan. Mereka segera berpindah ke titik pengamatan selanjutnya dan kala itu dirasa oleh Era bahwa agak aneh juga mendapati suasana yang sunyi. Sebelumnya, suasana selalu saja riuh berkat keberadaan Oscar. Apa pun bisa menjadi topik pembicaraan untuk Oscar, entah itu perihal jumlah spesies semut hingga pengaruh iklim terhadap warna dedaunan.

Era memelotot. Lalu bertanya pada diri sendiri. Mengapa aku malah memikirkannya?

Rasanya Era ingin mengumpati diri sendiri. Dia merasa kesal dan tiba-tiba saja Seth menahan tangannya.

Langkah Era terhenti seketika. Dia menoleh dan mendapati Seth mengamati keadaan sekitar dengan sorot penuh waspada. "Ada apa, Seth?"

"Ada yang datang."

Era ingin bertanya lagi, tetapi sekelabat bayangan melintas di depannya. Pekik kesakitan Noah membuatnya membeku seketika.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top