3. Selenophile: Tiga

Aaron Rivera menyadari sepenuhnya bahwa luna akan selalu menjadi persoalan serius untuk setiap kawanan mana pun, terlebih lagi untuk Kawanan Xylvaneth yang telah melalui total selama 14 tahun tanpa keberadaan luna. Sebagai seorang watcher yang nyaris seluruh hidupnya berada dalam dunia manusia serigala, diketahuinya baru kali inilah ada kejadian di mana alpha tak bisa menemukan pasangannya. Jadilah ia tak merasa heran sama sekali ketika mendapati sang alpha yang kembali uring-uringan.

"Kuharap ramalan Ursa kali ini benar. Karena kalau tidak ...."

Aaron menghampiri dengan nampan di tangan. Di atasnya, ada secangkir teh hangat. Ia berkata. "Silakan diminum, Alpha. Secangkir teh kamomil diyakini mampu untuk menenangkan pikiran."

"Menurutmu yang kubutuhkan sekarang adalah secangkir teh kamomil?"

Aaron tersenyum, tampak biasa-biasa saja ketika menghadapi luapan emosi sang alpha. "Tentu saja tidak, tetapi aku yakin kau butuh sesuatu untuk sekadar melegakan tenggorokan. Kau terlalu banyak berteriak belakangan ini, Alpha."

Tatapan tajam menghunjam Aaron. Namun, seperti tadi, ia pun tetap santai. Ia seperti tak memiliki ketakutan untuk menghadapi emosi sang alpha yang benar-benar tak stabil akhir-akhir ini.

"Silakan, Alpha Oscar."

Aaron meletakkan teh tersebut di atas meja kerja sang alpha. Sikapnya sopan dan penuh tata krama, terlebih dengan senyum yang terus terukir di wajah. Ia berikan pelayanan sesempurna mungkin walau sang alpha justru menampilkan ekspresi sebaliknya—kusut, suntuk, dan tertekuk.

Disadari Aaron, memang begitulah sifat sang alpha. Jadilah ia tak merasa tersinggung sama sekali terlepas dari kedudukannya yang memang tak memberi hak untuk itu.

Lagi pula ini bukanlah kali pertama Aaron menghadapi situasi demikian. Untungnya pengalaman melayani alpha terdahulu memberinya banyak pelajaran. Jadilah ia bisa terus tenang bila itu berhubungan dengan gejolak tak menentu emosi sang alpha.

Selain itu, ada hal penting lainnya yang terus Aaron camkan di benak. Terlepas dari karakter dan sifat Oscar yang memang cenderung berapi-api, persoalan luna mau tak mau turut memegang andil. Seorang alpha tanpa luna adalah bencana, apa lagi bila alphanya adalah Oscar Donovan.

"Kuharap teh ini benar-benar bermanfaat seperti yang kau katakan."

Oscar membuang napas panjang. Diraihnya cangkir teh dan disesapnya minuman itu. Rasa hangat menjalari indra pencecap dan matanya memejam seketika. Sepertinya Aaron memang benar.

Aaron merasa lega. Sejujurnya saja ia tak berharap banyak pada secangkir teh kamomil. Ia mencoba dan untunglah berhasil. Setidaknya minuman itu bisa sedikit meredakan gejolak emosi Oscar untuk sesaat.

Semoga saja Philo membawa kabar baik. Semoga saja ramalan Ursa benar.

Bila tidak, Aaron tak bisa membayangkan akan semarah apa Oscar. Ia pasti akan mengamuk dan tak hanya itu, Kawanan pun akan semakin bingung.

Denting halus terdengar ketika Oscar menaruh kembali cangkir teh di atas tatakan. Aaron mengerjap dan dilihatnya Oscar yang kembali membuang napas panjang, lalu menyandarkan punggung di kursi.

"Mengapa Philo begitu lama? Apa seharusnya aku ikut pergi ke hutan Lunaria?"

Aaron yakin itu bukan ide bagus. Terakhir kali Oscar pergi bersama para kawanan dalam tujuan serupa, ujung-ujungnya adalah ia mengamuk karena ternyata ramalan Ursa keliru. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, mungkin sekitar dua belas tahun yang silam, tetapi masih sangat segar di ingatannya.

Jadilah para kawanan tak ingin mengambil risiko. Apa lagi karena mereka semua menyadari bahwa Oscar menjadi lebih sensitif bila itu berkenaan dengan pencarian sang luna. Sebenarnya mereka memaklumi hal tersebut, tetapi bukan berarti mereka siap menjadi bulan-bulanan kemarahan.

"Tenanglah, Alpha. Aku yakin Philo dan yang lainnya akan segera kembali."

Oscar meremas jari-jari tangan. "Kuharap mereka bukan hanya sekadar segera kembali. Kuharap mereka membuktikan kebenaran ramalan Ursa."

Demikian pula harapan Aaron dan semua kawanan. Selain karena mereka juga merindukan sosok luna, semua yakin bahwa masalah emosi Oscar selama ini ada hubungannya dengan hal tersebut. Konon menurut legenda, keberadaan luna bukan hanya sekadar menjadi pasangan alpha, melainkan juga menjadi penyeimbang emosi dan jembatan antara manusia serigala, alam, dan roh serigala.

"Kuharap juga begitu, Alpha. Lagi pula Ursa telah melaku—"

Tiba-tiba saja Oscar bangkit dan kursi terbanting ke belakang. Ucapan Aaron seketika terputus dan dilihatnya sang alpha dengan sorot bingung.

"Ada apa, Alpha?"

Oscar tak menjawab. Ia diam dengan mata tajam yang melihat lurus entah ke mana, seolah ia mampu menembus dinding dan melintasi gelap malam di luar sana. Wajahnya mengeras dan napasnya jadi memburu. Lalu ia menjawab.

"Dia datang."

Bola mata Aaron membesar. "Dia?"

Jakun Oscar naik turun. Diteguknya ludah dan ia rasakan darahnya menggelegak. Jiwa serigalanya meraung-raung dalam kegembiraan.

"Ramalan Ursa benar."

*

Untuk bilangan waktu yang tak diketahui berapa lamanya, Era merasakan dirinya terombang-ambing dalam kegelapan. Ia serupa melayang dalam dimensi hampa udara. Semua tanpa batas dan ia hanya bisa hanyut tanpa aliran.

Era gelisah. Lantas suara itu hadir dan menggema.

Era. Kau baik-baik saja bukan?

Era berusaha mencari sumber suara itu, tetapi hanya gelap yang didapatnya. Jadilah ia hanya bisa menjawab.

Aku baik-baik saja.

Terdengar suara itu membuang napas lega. Syukurlah. Aku senang kau baik-baik saja. Jadi, bangunlah sekarang.

Era masih ingin bicara dengan suara itu, tetapi tiba-tiba saja ada seberkas cahaya menyilaukan berpendar di sekelilingnya. Ia mencoba menjauh dan menghindar, tetapi percuma. Cahaya tersebut sangat besar dan pada akhirnya menelan ia.

Erangan menggetarkan tenggorokan Era. Denyut menghantam kepala dan ia meringis. Rasanya sangat sakit hingga ia mencoba untuk memijat kepala, tetapi ia justru menyadari bahwa tangannya sulit untuk digerakkan.

"Jangan terlalu banyak bergerak."

Suara berat terkesan teduh membuat Era justru meremang dalam waspada. Sontak saja matanya membuka nyalang dan mendapati seorang dokter tersenyum ramah padanya.

"Keadaanmu baik-baik saja dan yang kau butuhkan sekarang hanyal beristirahat. Semoga lekas pulih."

Diagnosis dan doa itu tidak membuat Era menjadi tenang, justru sebaliknya. Ketegangan semakin menjadi-jadi dalam melingkupi sekujur tubuhnya. Jadilah ia tak mengatakan apa-apa, melainkan hanya melihat sang dokter dengan ekspresi tak bersahabat.

"Siapa kau? Di mana aku? Apa Mosha yang menyuruhmu untuk mengobatiku?"

Dokter mengerutkan dahi, tapi mimiknya tampak geli. "Seperti yang kau lihat," ujarnya seraya melirik jas dokter yang dikenakan. "Aku adalah seorang dokter. Namaku Landon Atticus. Kau bisa memanggilku Landon dan kau sekarang ada di—"

Pintu terbuka, nyaris seperti dibanting. Era dan Landon seketika berpaling ketika Oscar masuk dengan diikuti oleh Philo dan Ursa.

"Dia sudah bangun."

Landon mengangguk dan memberikan tempat untuk Oscar. "Ya, Alpha."

Era mengerjap dalam ekspresi berusaha mengingat-ingat. Siapakah Alpha? Ada hubungan apa antara Alpha dan Mosha?

"Bagaimana keadaannya?"

"Sepenuhnya baik-baik saja," jawab Landon seraya menarik napas sekilas. "Dia hanya mengalami sedikit memar dan luka. Selain itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Luka di dahinya pun pasti akan sembuh dalam beberapa hari."

Benar! Kepalaku!

Akhirnya Era menyadari dari mana denyut itu berasal. Kepalanya tadi terbentur batu dan pasti itulah penyebabnya.

Jadilah refleks membuat Era mengangkat tangan yang lain. Dipegangnya perban di dahi dan ia sontak meringis.

"Kau tak apa-apa?"

Era menahan ringisan. Matanya yang sempat terpejam langsung membuka ketika dirasakannya ada tangan yang memegang tangannya.

"Aku tidak apa-apa. Jadi, lepaskan aku."

Era menarik tangannya, lalu berusaha untuk bangkit duduk walau dengan penuh perjuangannya. Sekarang barulah jelas dirasakannya betapa tubuhnya remuk redam. Tulang belulangnya serasa patah dan persendiannya seolah copot semua.

Dibutuhkan waktu beberapa saat untuk Era bisa beradaptasi dengan rasa tak nyaman itu. Setelahnya ia mengedarkan pandangan dan mendapati orang-orang yang menatap lekat padanya. Perasaan gelisah hadir. Ia jadi bersiaga, terlebih ketika dilihatnya tempat ia berada, tempat itu bukanlah tempat biasa.

Aura kemewahan langsung menghantam Era sejak kedipan pertamanya menaruh perhatian pada kamar tersebut. Jadilah untuk sesaat ia abaikan mereka dan justru mengamati keadaan sekitar dengan dahi yang kian mengerut.

Kamar itu memiliki ukuran yang sangat luas. Saking luasnya, Era pun tak yakin di mana letak pintunya berada. Semua seolah begitu jauh sehingga benar-benar tak terjangkau oleh tatapan mata sekalipun.

Memiliki luas yang tak biasa, Era mendapati bahwa kamar itu didesain dengan amat apik. Jadilah tak akan ada jemu yang didapat sepanjang mata memandang, melainkan kekagumanlah yang membuncah tanpa putus.

Pertama, dinding-dindingnya dihiasi oleh panel kayu bewarna gelap yang memiliki ukiran dengan motif anggun. Desainnya menciptakan nuansa klasik, terlebih ketika lampu gantung kristal di langit-langit menumpahkan cahaya terangnya. Jadilah tercipta permainan bayang-bayang yang menakjubkan.

Sementara untuk memanjakan langkah-langkah yang berpijak, adalah lantai marmer putih bersih yang menjadi landasan. Keberadaannya tak ubah kristal cantik yang akan memberikan kesan damai dan menyejukkan ketika kaki menapak.

Tak luput dari perhatian Era adalah karpet tebal dengan pola rajutan emas yang rumit di tengah-tengah ruangan. Diciptakannya kesan halus dan lembut sehingga ia pun jadi tergelitik untuk memainkan jari-jari kakinya di sana.

Era menahan keinginan tersebut dan perhatiannya beralih pada aneka perabotan antik yang bersusun rapi, persis mahakarya seni yang menghubungkan klasiknya masa lalu dan modernnya masa sekarang.

Di sudut ruangan, satu meja rias yang megah dengan cermin berbingkai emas berhasil menarik perhatian Era. Barang-barang kecantikan tersusun rapi dan sebagai pelengkap, tak lupa sebuah kursi bergaya kuno disediakan dengan pelapisnya yang bewarna emas muda.

Jendela-jendela besar meliputi hampir seluruh dinding. Tirai-tirai sutra bewarna lembut dengan bordiran yang rumit menjadi penghiasnya. Semua itu menjadi pelengkap yang semakin meyakinkan Era bahwa kamar itu adalah kamar terindah yang pernah dilihatnya sepanjang hidup. Pun bila masih ada sedikit keraguan maka ia hanya perlu menunduk dan melihat tempat tidur apa yang sedang menjadi tempat beristirahatnya.

Jawabannya adalah sebuah tempat tidur mewah berukuran king-size. Empuk dan halus, dengan sehelai selimut sutra bewarna emas muda dan berbordiran indah menutupi tubuh Era. Berikut dengan bantal-bantal besar yang turut andil dalam memberikan pengalaman istirahat penuh kenyamanan.

Era jadi tertegun. Dilihatnya lagi keadaan kamar itu sehingga perasaan gelisahnya semakin menjadi-jadi.

Di mana-mana emas. Semuanya bewarna emas. Sebenarnya, ada di manakah aku sekarang?

Tak butuh waktu lama sehingga perasaan gelisah Era berubah menjadi ketakutan. Jadilah tubuhnya menegang dan ia memasang siaga, bersiap untuk setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Era melirik sekali lagi. Sedikit lega, sepertinya ia menemukan keberadaan pintu. Otaknya dengan cepat berputar dan bila takdir tak berpihak maka skenario terburuk pun bisa terjadi kapan saja. Ia melihat jendela dan menguatkan diri, semua akan dilakukannya bila memang terdesak.

"Jadi ..." Era menarik napas. Diremasnya selimut, lalu dilihatnya mereka satu persatu. "... siapa kalian sebenarnya? Aku ada di mana? Apakah kalian adalah orang-orang Mosha?"

Oscar menyipitkan mata. "Mosha? Siapa Mosha?"

Era melongo. Kebingungan Oscar malah membuat ia jadi bertanya-tanya. Namun, sedetik kemudian ada satu jawaban yang terdengar.

"Sepanjang yang aku tahu, Alpha, dia adalah mafia di desa Avaluna. Dialah yang menguasai kelab malam, perdagangan obat-obatan terlarang, dan beberapa hal lainnya di sana."

Oscar berdecih dengan ekspresi remeh. "Mafia di desa Avaluna? Menggelikan."

Respons Oscar menimbulkan satu kesimpulan baru di benak Era. Dia bukan orang-orang Mosha.

"Tunggu." Ekspresi Oscar berubah. Agaknya ia nyaris melewatkan sesuatu sehingga ia berpaling pada Philo dan bertanya. "Apakah itu artinya Mosha yang mengejarnya? Apakah Mosha yang membuatnya jadi seperti ini?"

Philo mengangguk. "Benar, Alpha. Mereka adalah orang-orang Mosha."

Wajah Oscar berubah jadi keras. Mata tajamnya tampak berkilat sehingga Era pun jadi menahan napas, ia belum pernah melihat sorot menakutkan seperti itu.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Philo."

Tentu saja. Philo kembali mengangguk. "Akan segera aku lakukan, Alpha."

Philo segera beranjak setelah mengatakan itu. Era jadi bertanya-tanya dengan sebuah kemungkinan yang langsung ditepisnya sejauh mungkin.

Mustahil kalau mereka akan melakukan sesuatu pada Mosha sebagai pembalasan untuk hal yang terjadi padaku.

Namun, Era pun tak peduli kalau dugaannya benar. Ia malah bersyukur setidaknya untuk dua hal, yaitu ia selamat dan mereka bukanlah orang-orang Mosha.

Sayangnya rasa syukur Era tidak bertahan lama. Sekarang ia malah bingung dengan hal lainnya.

"Kalau kalian bukan orang-orang Mosha, lalu siapa? Mengapa kalian menyelamatkanku? Aku tidak mengenal kalian."

"Aku adalah Oscar Donovan. Kau bisa memanggilku Oscar dan aku adalah alpha dari Kawanan Xylvaneth."

Era mengerjap tak yakin. "Oscar."

Nama itu terasa berbeda ketika diucapkan oleh lidahnya. Era menatap Oscar dan mendadak saja jantungnya berdetak dengan amat riuh. Darahnya bergejolak dan napasnya jadi berat.

Oscar meraih tangan Era, lalu lanjut berkata. "Selamat datang di Istana, lunaku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top