27. Selenophile: Dua Puluh Tujuh

Kepulangan Oscar ke Istana membuat gempar semua orang. Sebabnya, mereka mendengar desas-desus yang beredar bahwa Oscar melakukan perjalanan dadakan ke Celestial City untuk menjemput Seth dan setelahnya langsung bertolak ke desa Runevale. Mereka menduga bahwa itu pastilah berhubungan dengan Era.

"Jadi, apa lagi yang terjadi sekarang? Apakah terjadi sesuatu pada Era?"

Philo baru saja menjejakkan kaki di lantai aula dan bersamaan dengan itu, datang pula Aaron, Ursa, dan Julie dari arah berlawanan. Jelas sekali mereka sedang terburu-buru dan merasa bersyukur karena bertemu dengan Philo sebelum menuju ke ruang kerja Oscar.

"Kudengar kabar, katanya kalian pergi ke desa Runevale. Apakah itu benar?"

Philo menjawab pertanyaan Julie dengan sebuah anggukan. "Ya."

"Apa yang terjadi di sana? Ehm. Itu pastilah berhubungan dengan Era bukan?"

Tentu saja, tetapi Philo merasa bukanlah kewenangannya untuk menjawab pertanyaan Julie karena itu berhubungan dengan Era. Segala sesuatu mengenai Era adalah hal sensitif. Ia tak ingin salah bicara dan mengakibatkan kemarahan Oscar.

"Sepertinya Alpha sudah menunggu kita," ujar Philo mengelak sembari melihat pada jam tangan sekilas. "Lebih baik kita bergegas."

Philo segera beranjak dari sana. Ia menuju ke lift dan diikuti oleh yang lainnya. Mereka menuju ruang kerja Oscar dengan harapan yang sama, semoga saja keadaan tidak seburuk seperti yang mereka perkirakan.

*

Suasana di ruang kerja Oscar saat itu terpantau hening. Aaron, Ursa, Philo, dan Julie sama-sama berdiri dengan sikap siaga. Kepala sedikit tertunduk dan semuanya menunggu dengan perasaan gelisah. Mereka bertanya-tanya di benak masing-masing, apa lagi yang akan menjadi alasan Oscar memarahi mereka semalam itu?

Oscar mengembuskan napas dengan kasar. Tangannya naik satu dan ditunjuknya semua dokumen yang mengisi meja kerja. "Apakah semua ini tidak bisa menunggu waktu yang lebih tepat lagi? Apakah semuanya harus muncul hari ini?"

Tak ada yang menjawab pertanyaan Oscar. Agaknya mereka sama mengerti bahwa meladeni orang yang tengah emosi adalah hal percuma. Jadilah mereka tetap diam, seolah sudah pasrah untuk apa pun yang akan dilakukan oleh Oscar.

"Laporan kemajuan pelatihan warrior dan guard muda. Laporan pengadaan peralatan pelatihan warrior dan guard. Rencana keberlanjutan lingkungan hidup dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem manusia serigala. Proposal pengembangan produk organik. Laporan keuangan triwulan. Proposal proyek ekspansi pasar. Surat permintaan peninjauan kembali kontrak dengan klien utama. Analisis risiko terkini untuk portofolio investasi. Evaluasi kinerja tim pemasaran dan strategi kampanye. Revisi anggaran proyek R&D. Rencana keberlanjutan lingkungan untuk tahun depan. Riset pasar terbaru untuk produk baru. Dokumen persiapan rapat dewan direksi minggu depan." Oscar pikir dirinya akan sesak napas ketika membaca semua nama dokumen-dokumen tersebut. Jadilah ia memejamkan mata untuk sejenak tatkala merasa dekumen-dokumen itu seolah tengah menari-nari di hadapannya. "Ini belum ditambah dengan surel yang menunggu jawaban dan panggilan yang harus aku terima sepanjang hari. Apa kalian berencana untuk membunuhku secara perlahan?"

Tubuh Philo dan yang lainnya sontak menegang. Dengan posisi kepala yang terus menunduk, mereka mencoba untuk melirik satu sama lain. Mereka bicara tanpa suara, hanya melalui isyarat mata, agaknya tengah berdiskusi untuk memutuskan siapa yang harus angkat bicara pertama kali.

Oscar menunggu. Ia melihat mereka satu persatu dengan ujung telunjuk yang mengetuk-ngetuk meja. "Tidak ada yang mau menjawab?"

"Alpha."

Fokus mata Oscar tertuju pada Aaron. "Ya? Ada yang ingin kau katakan?"

"Tentu saja kami tidak berencana untuk membunuhmu secara perlahan. Sebaliknya, kesehatanmu adalah yang utama, Alpha."

"Lalu, apakah ini semua bagus untuk kesehatanku, Aaron?" tanya Oscar sembari kembali menunjuk semua dokumen itu. Matanya pun membesar demi memberi penekanan. "Menurutmu, kapan aku bisa beristirahat kalau aku dihadapkan dengan pekerjaan bertumpuk seperti ini?"

Aaron mencoba untuk tetap tenang. Ia bahkan tersenyum. "Istirahatmu adalah yang paling utama, Alpha. Semua pekerjaan ini bisa menunggu sampai besok."

Mulut Oscar terkatup. Ucapan Aaron membuatnya tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Sederhana saja, sebenarnya ia bisa meninggalkan pekerjaan-pekerjaan itu. Ia bisa mengurusnya besok. Lagi pula siapa yang akan berani melarangnya?

Oscar mendeham, lalu mengangguk. "Sepertinya kau benar. Semua pekerjaan ini bisa menunggu."

"Tentu saja, Alpha," ujar Aaron lagi dengan terus tersenyum. Lalu ia bertanya. "Jadi, apakah kau ingin beristirahat sekarang?"

Anehnya, Oscar tak menerima tawaran bernada pertanyaan tersebut. Sebaliknya, ia justru tampak menimbang seolah istirahat bukanlah pilihan utamanya malam itu. Jadilah Aaron dan yang lain kembali menahan napas.

Lagi, keheningan tercipta. Berikut dengan hadirnya ketegangan yang membuat jantung mereka berdetak dengan tak nyaman. Semua menunggu dan ternyata Oscar bukannya menjawab pertanyaan Aaron, melainkan malah balik bertanya.

"Apakah aku harus beristirahat sekarang? Apakah aku bisa beristirahat dengan pikiran penuh?"

Aaron menarik napas. Agaknya malam itu Oscar sedikit sulit untuk ditenangkan. Jadilah diputuskannya untuk kembali mencoba membujuk Oscar secara halus. Sayangnya, Julie malah mendahuluinya di luar dugaan.

"Sepertinya istirahat memang pilihan tepat untukmu sekarang, Alpha. Lagi pula kau terlalu lelah hari ini karena pergi ke Celestial City dan desa Runevale."

Bukan hanya Aaron, melainkan Philo dan Ursa menunjukkan reaksi tak setuju dengan ucapan Julie. Dahi mereka mengerut samar dengan kompak. Agaknya mereka sama sepakat bahwa menyinggung hal yang berhubungan dengan Era bukanlah hal bijak. Oscar bisa saja kembali tersulut dan emosi yang baru sedikit meredup jadi berkobar lagi.

Namun, mungkin Julie memiliki pemikiran lain. Jadilah ia bicara tanpa tedeng aling-aling seperti tak berpikir dua kali.

"Sejujurnya, Alpha, kepergianmu hari ini ke sana membuat beberapa pekerjaan terbengkalai. Walau begitu aku yakin kalau semua bisa menunggu. Jadi, kau tak perlu khawatir. Lebih baik kau beristirahat sekarang. Kesehatanmu adalah hal terpenting di atas apa pun."

Oscar menyipitkan mata. Ditunjuknya Julie dengan ekspresi tak yakin. "Kau tidak sedang memprotes kepergianku ke desa Runevale bukan?"

"Tidak sama sekali, Alpha," jawab Julie cepat. Wajahnya tampak berubah dan ia buru-buru lanjut bicara. "Lagi pula aku pun bisa mengerti alasan kau mengabaikan beberapa pekerjaan hari ini."

Mata Oscar makin menyipit dan walau ia tak membalas perkataan Julie, reaksi spontan yang ditunjukkan olehnya lebih dari sukses untuk membuat Aaron, Philo, dan Ursa kian menegang.

"Semua yang berhubungan dengan Era adalah prioritasmu, Alpha. Namun, kuharap kau tetap memperhatikan kesehatan dan istirahatmu. Kau harus menyadari bahwa kami semua mengkhawatirkanmu dan walau secara pribadi aku merasa tak terima melihatmu seperti ini karenanya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa."

Oscar membuka mulut, tetapi ia tak bersuara untuk sesaat. Agaknya ia perlu waktu sejenak untuk menccermati ucapan Julie. "Bisa kau jelaskan apa maksudmu, Julie?"

"Kau adalah seorang alpha. Tak sepatutnya kau mengemis perasaan," jawab Julie sembari memberanikan diri untuk membalas tatapan Oscar. "Sebagai sesama wanita maka aku bisa mengerti alasan Era selalu menolakmu."

Mulut Oscar terkatup serapat mungkin. Wajahnya mengeras dan rahangnya berubah kaku. "Katakan padaku, apa alasan Era selalu menolakku dari sudut pandangmu sebagai sesama wanita?"

"Perasaan tidak bisa dipaksakan, Alpha."

Sontak saja Oscar bangkit dari duduk. Kursi terhentak dan terbanting ke belakang. "Pertemuan malam ini selesai. Kalian bisa pergi."

Julie mengangguk. "Baik, Alpha."

Setelahnya, Julie benar-benar pergi. Aaron, Ursa, dan Philo saling bertukar pandang sebelum Aaron memberikan satu anggukan samar pada mereka berdua. Ursa dan Philo keluar sementara Aaron masih bertahan di sana.

Oscar berkacak pinggang. Ditatapnya Aaron. "Mengapa? Apa ada hal lain yang ingin kau katakan, Aaron?"

"Sepertinya malam ini kau belum meminum teh kamomil, Alpha. Biarkan aku menyeduhnya untukmu sejenak."

Aaron beranjak dan benar-benar melakukan apa yang diucapkannya. Ia menyeduh teh kamomil sementara Oscar melongo melihat tindakannya.

Teh kamomil tersaji di meja kerja Oscar tak sampai dua menit kemudian. Lalu, Aaron pun menyilakan Oscar untuk menikmatinya. "Silakan diminum, Alpha."

Oscar nyaris tak bisa berkata-kata. Jujur saja, ia selalu dibuat takjub dengan ketenangan Aaron. Terkadang ia sering bertanya pada diri sendiri. Tidakkah Aaron merasa gentar ketika berhadapan dengan seorang alpha yang tengah bermasalah dengan pengendalian emosinya? Karena di matanya, Aaron tampak tak takut sama sekali. "Kau jelas tahu kalau yang kubutuhkan sekarang bukanlah teh kamomil bukan?"

"Tentu saja tahu, Alpha. Satu-satunya yang kau butuhkan adalah Era, tetapi aku yakin sekarang bukanlah waktunya."

Oscar menggeram. Ekspresinya tampak tersiksa sehingga ia pun mengepal tangan dan meninju udara. "Apa lagi yang harus kulakukan, Aaron? Kau ingat bukan? Aku sudah melakukan saranmu tempo hari. Aku memberinya kebebasan walau rasanya aku mau gila."

Tentunya Aaron ingat hal tersebut. Beberapa hari yang lalu Oscar sudah kebakaran jenggot berkenaan dengan informasi yang diberikan oleh Madeline, yaitu Era akan mengadakan penelitian lapangan di desa Runevale.

Aaron bisa menebak bahwa Oscar pastilah akan menyuruh Seth mengikuti Era dan ia memaklumi hal tersebut. Namun, ia juga menyadari bahwa Era pasti akan menolak ide tersebut.

"Aku sudah mengalah, Aaron, dan menurutmu, wanita akan luluh pada pria yang bisa diajak berkompromi. Namun, kau tahu apa yang kudapatkan?" tanya Oscar tanpa menunggu jawaban Aaron. "Dia malah." Lidahnya terasa kelu. Jadilah ia menarik napas sejenak. "Dia justru." Ia benar-benar tak bisa melanjutkan perkataannya dan ujung-ujungnya ia malah mengumpat. "Sialan."

Aaron diam. Diputuskannya untuk menjadi pendengar sejati dan ia biarkan Oscar untuk meluapkan semua emosinya.

"Aku benar-benar khawatir, Aaron. Selain itu egoku pun tercoreng. Bisa-bisanya ada alpha lain yang menyelamatkan calon lunaku? Di mana harga diriku?" Oscar mengusap keringat yang sudah membasahi wajahnya. "Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa tak berguna menjadi alpha. Bahkan melindungi calon lunaku pun aku tak bisa."

Sekaranglah waktunya untuk Aaron bicara. "Aku yakin, Era sama sekali tidak berpikir demikian, Alpha. Bukankah tempo hari dia jelas-jelas berterima kasih padamu untuk semua perlindungan yang telah kau lakukan?

Emosi membuat Oscar ingin membantah, tetapi sekelumit akal sehat yang tersisa justru membenarkan ucapan Aaron. Jelas sekali ia masih mengingat hal tersebut dan itulah yang dimanfaatkan oleh Aaron.

"Era hanya butuh waktu, Alpha. Jadi, satu-satunya yang bisa kau lakukan adalah bersabar."

"Bersabar?" Oscar melirik Aaron dengan sorot kesal. Tentunya juga disertai oleh decakan. "Aku ada di dunia ini bukan untuk bersabar."

Aaron berusaha untuk menahan senyum gelinya. "Tentu saja dan itu membuatku yakin kalau kau dan Era adalah pasangan yang serasi. Era ada untuk mengajarimu arti kesabaran."

Ekspresi Oscar sedikit berubah dan diliriknya lagi Aaron. "Menurutmu begitu?"

"Pasangan itu harus saling melengkapi, Alpha, dan sejauh yang kulihat, kalian adalah pasangan yang serasi," jawab Aaron dengan penuh keyakinan. Lalu tak lupa ia pun menambahkan. "Kau tak bisa bersabar sementara Era selalu membuat kau habis kesabaran. Era mati-matian untuk tidak lagi menjalani hidup dalam kekangan dan kau justru melakukan sebaliknya, Alpha. Jadi, bukankah masuk akal bila kalian butuh waktu untuk bisa dekat?"

Oscar manggut-manggut. Pikirnya, semakin ia mendengarkan ucapan Aaron maka semakin masuk akal semua situasi saat itu. Ia mengetahui kehidupan Era dulu, tentunya berkat laporan dari Philo, dan itu menyadarkannya bahwa memang wajar bila Era mati-matian untuk pergi dari Istana dan menolak penjagaan Seth.

Era ingin hidup bebas dan Oscar malah memberikan hal sebaliknya. Jadilah mereka selalu bertengkar dengan keinginan yang bertolakbelakang.

"Jadi, apa menurutmu aku harus bersabar lebih lama?"

Aaron mengangguk dengan sikap bijaksana. "Tak ada yang salah dengan bersabar, Alpha. Bahkan bila aku harus menambahkan maka aku akan dengan senang hati mengingatkanmu untuk sesuatu yang penting, yaitu kesabaranmu selama ini membuatmu bisa bertemu dengan Era."

"Ah!" Oscar mengangguk beberapa kali. "Kau benar sekali, Aaron." Ketegangan di wajahnya mulai mengendur dan ia meraih cangkir teh. Disesapnya teh kamomil itu sebelum lanjut bicara. "Sekarang kalau kupikir-pikir maka sebenarnya menunggu Era sebulan atau beberapa bulan tidak sebanding dengan penantian selama 14 tahun."

"Benar sekali, Alpha."

Emosi Oscar terpantau mereda. Wajahnya pun perlahan berubah santai. Urat-urat yang sedari tadi bertonjolan mulai menghilang dan aura panas yang menguar dari tubuhnya pelan-pelan lenyap.

Walau begitu Aaron menolak untuk lengah. Ia sudah amat berpengalaman dalam menghadapi lonjakan emosi Oscar yang bisa menjadi hal tak terduga. Di satu waktu, emosinya bisa seolah hilang, tetapi sedetik kemudian justru bisa melonjak kembali.

"Selain itu, kuyakin bahwa tak ada yang lebih penting bagimu dibandingkan dengan keselamatan Era."

Oscar mengangguk. "Kau benar. Setidaknya Era baik-baik saja dan itulah yang terpenting."

Aaron tak mengatakan apa-apa lagi. Ia memilih diam sembari terus memantau lonjakan emosi Oscar. Di dalam hati, ia berharap semoga emosi Oscar bisa benar-benar ditenangkan malam ini. Bukan hanya karena mata tuanya mulai terasa lelah, melainkan demi kedamaian Istana besok hari.

Oscar menyesap teh kamomil untuk kedua kalinya sebelum kembali menaruh cangkir teh di tatakan. Bertepatan dengan itu, terdengar dering yang berasal dari ponselnya. Jadilah ia mengambil ponsel dari atas meja dan nama penelepon yang muncul di layar ponsel membuat senyumnya timbul.

Sekaranglah Aaron benar-benar merasa lega. "Kutebak, itu adalah Era, Alpha. Apakah benar?"

"Ehm. Sepertinya teh kamomilmu memang adalah minuman yang paling tepat untuk menenangkan emosi, Aaron," ujar Oscar tak menjawab pertanyaan tersebut. Lalu ia menatap Aaron dengan sorot penuh arti. "Malam semakin larut, Aaron. Mungkin sebaiknya kau beristirahat sekarang. Aku tak ingin kau sakit. Kau tahu bukan? Philo tak bisa menyeduh teh kamomil sepertimu."

Aaron mengangguk, tentu saja paham. "Selamat malam, Alpha."

Tinggallah Oscar seorang diri di ruang kerja. Ia buru-buru duduk kembali dan mendeham sesaat sebelum mengangkat panggilan tersebut. "Halo."

"Halo, Oscar."

Oscar membuang napas panjang dan merasa ada salju yang menghujani hatinya. Jadilah bara yang sepanjang hari itu berkobar menjadi dingin seketika. Lalu, ia pun berpikir, apakah sebaiknya aku membangun perkebunan kamomil?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top