26. Selenophile: Dua Puluh Enam
Era gelagapan. Mata mengerjap berulang kali dan napas mulai tak beraturan. Tubuhnya gemetaran hingga ke ujung kaki, disertai dengan rasa panas yang perlahan membuatnya gerah.
"Os-Oscar."
Sekuat tenaga, Era mencoba untuk tetap sadar. Namun, kewarasannya sudah berada di ujung tanduk. Fokus matanya mulai memudar dan semua seolah menghilang dari dunianya secara satu persatu. Perlahan semua menjadi kosong sehingga yang tersisa hanyalah ia dan Oscar.
Di antara mereka, ada ciuman yang membara. Disertai oleh sentuhan yang terasa membakar sekujur tubuh. Jadilah keringat perlahan memercik di mana-mana dan jantung pun berdetak dengan semakin cepat.
Era berusaha untuk mengumpulkan kewarasannya yang telah tercerai-berai ke mana-mana. Tangan naik dan ia mencoba untuk mendorong Oscar, tetapi matanya justru memejam dengan serta merta ketika satu kecupan mendarat di lehernya.
Geraman Oscar terdengar menggema di telinga Era. Satu tangannya menahan tangan Era di atas kepala, lalu tangannya yang lain mulai bergerilya di dada Era. Tujuannya adalah barisan kancing di kemeja Era.
Tenaga yang tersisa benar-benar tak seberapa lagi. Jadilah Era tak berdaya dan tangan yang semula ingin mendorong Oscar malah beralih fungsi seolah memiliki kehendak sendiri. Jemarinya bergerak, lalu justru meremas pundak Oscar.
Oscar kembali menggeram. Remasan Era melecut sehingga ia pun semakin mendesak dan tempat tidur pun melesak dibuatnya. Napas memburu, kemudian mulutnya berpindah dan menabur kecupan di bagian lain.
Sasaran Oscar selanjutnya adalah tulang selangka Era. Di sana, ia menjulurkan lidah dan menjilat. Sontak saja Era meremang dan melengkungkan jari-jari kaki.
Oscar semakin meragu. Cumbuannya semakin menjadi-jadi dan hasilnya adalah sebuah anak kancing kemeja Era sudah keluar dari lubangnya.
Kecupan Oscar semakin turun. Ditinggalkannya tulang selangka Era dan sekarang ia menuju pada payudaranya. Mulut membuka, ia berniat untuk mencumbu di sana, tetapi remasan di pundaknya berhenti dengan mendadak.
Cumbuan Oscar turut berhenti. Tangannya yang sudah bersiap mengeluarkan anak kancing kedua pun jadi tak bergerak lagi. Ia menunggu tak lama, hanya sekitar dua detik, dan Era bicara dengan suara bergetar.
"Hentikan, Oscar."
Tubuh Oscar menegang. Wajahnya mengeras dan geraman membuat dadanya bergemuruh. "He-hentikan?"
"Kau tidak bisa memaksaku dan aku tidak ingin dipaksa."
Gelegak hasrat Oscar meletup-letup. Ucapan Era menyenggol egonya. Ia adalah seorang alpha. Semua kehendak dan keinginannya adalah hal mutlak yang harus dipenuhi oleh siapa pun.
Namun, ini adalah Era. Ini adalah calon lunanya. Jadilah Oscar mendapati dirinya tak berkutik ketika Era kembali berkata.
"Aku tidak ingin dipaksa."
Oscar memejamkan mata serapat mungkin. Geramannya semakin menggelegar, tetapi sesaat kemudian justru memelan. Dihirup olehnya napas sedalam mungkin, setelahnya ia melepaskan tangan Era dan bangkit dengan susah payah.
Turun dari tempat tidur, Oscar mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya memerah dan ia mengangguk sekali. "Baiklah. Aku tidak akan memaksamu."
Oscar memutar tubuh. Disambarnya jas yang sempat ia lempar ke atas lantai. Ia meremas jas dan beranjak menuju pintu. Niatnya adalah ingin segera pergi dari sana sebelum ia benar-benar lepas kendali, tetapi sesuatu membuatnya menghentikan langkah untuk sejenak. "Seth akan tinggal dan tidak ada kompromi apa pun."
Setelahnya, Oscar benar-benar pergi. Era membuang napas panjang dan tentu saja, ia tak akan mendebat keputusan Oscar kali ini. Ia menerimanya dengan lapang dada dengan satu alasan, yaitu tidak ingin Oscar berlama-lama ada di kamarnya.
Era memejamkan mata dan mengepalkan tangan seraya meringis tertahan. Ia mengumpati diri sendiri secara habis-habisan di dalam hati. Sialan!
*
"Ja-jadi, dia adalah Oscar? Ehm. Maksudku, dia adalah Oscar Donovan?"
"Oh, Tuhan. Pantas saja nama dan wajahnya tak asing. Lihat! Ini adalah fotonya ketika diwawancarai bulan lalu di televisi nasional."
"Benar begitu, Seth?"
Seth jadi kebingungan sendiri karena pertanyaan Clara dan Frida. Ia menggaruk pelipis dan tak bisa berbuat apa-apa. Jadilah ia mengangguk dengan ekspresi kaku. "Begitulah."
"Astaga," lirih Frida dengan melongo. Ia syok sampai-sampai berpikir dirinya tak akan bisa bernapas lagi. "Ja-jadi, dia adalah pacar Era? Ma-maksudku, tadi Oscar sendiri yang mengatakan hal itu. Apakah benar begitu?"
Dehaman Seth mengalun untuk sesaat, lalu ia kembali mengangguk. Disadarinya, ia tak memiliki jawaban lain. Terlebih lagi karena Oscar sendiri yang sudah mengumumkan hal tersebut. "Begitulah."
Clara menganga. "Aku jadi penasaran reaksi Gerald kalau tahu siapa pacar Era sekarang. Dia pasti syok dan berakhir menjadi gila." Ia membayangkan hal tersebut sembari melihat bergantian pada Seth dan Frida. Lalu mendadak saja ia terpikir sesuatu. Jadilah ia menatap Frida dengan lekat untuk sejenak sebelum beralih pada Seth. "Padahal selama ini kami sempat berpikir kalau pacar Era sekarang adalah kau."
"Mustahil," ujar Seth dengan serta merta. Ia menggeleng berulang kali dengan mata membesar. "Aku dan Era tidak ada apa-apa. Kami hanya berteman dan kalaupun kami dekat, ehm itu karena aku dan Oscar bisa dibilang memiliki hubungan dekat. Jadi, Oscar sering menanyakan Era padaku. Begitulah, tak kurang dan tak lebih."
Clara dan Frida manggut-manggut sementara Seth mulai merasa tak nyaman dengan percakapan itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Setelah kepergian Oscar dan Philo, ia pun diseret oleh Clara dan Frida yang menuntut penjelasan.
"Jadi, karena itu juga mengapa kau tinggal di sini?" Frida kembali bertanya dan kali ini ia memberanikan diri untuk menebak. "Apa kau disuruh untuk semacam ehm menjaga Era?"
Seth tak bisa mengelak, tetapi ia tak menjawab. Jadilah ia bangkit, diputuskannya untuk segera melarikan diri dari pembicaraan tersebut. "Sepertinya aku ada urusan lain. Sampai jumpa lain waktu."
Clara dan Frida tak bisa mencegah kepergian Seth. Mereka berdecak dan terpaksa harus menelan kembali daftar pertanyaan yang ingin sekali ditanyakan pada Seth. Walau begitu tak urung juga keduanya geleng-geleng.
"Nasib Era benar-benar bagus."
Frida mengangguk. "Kau benar. Dia benar-benar beruntung."
Di lain pihak, Seth membuang napas berulang kali. Ia memasuki lift dan berniat untuk menuju ke kamarnya ketika ponselnya berbunyi halus. Ada pesan dari Oscar yang berbunyi: Ada rogue di sana. Jaga Era apa pun yang terjadi. Bila ada sesuatu yang mencurigakan, segera hubungi aku.
*
Waktu telah berlalu sejak kejadian tadi dan Era yakin bahwa pastilah Oscar telah pergi dari sana sekarang. Untuk itu maka seharusnya ia sudah bisa menenangkan diri. Namun, nyatanya yang terjadi justru sebaliknya.
Era masih bergeming di tempat tidur. Matanya masih memejam dan ia benar-benar tidak bergerak sama sekali sedari tadi. Ia bukan tengah tertidur, melainkan tengah merenungi semua hal yang baru saja terjadi.
Terus saja beragam umpatan menggema di benak. Era memaki diri sendiri untuk pengendalian diri yang semakin lama semakin melemah di hadapan Oscar. Ia meradang dan menyalahkan takdir yang telah memberinya ayah seperti Amias. Satu keyakinan yang dipegang teguh olehnya adalah ia benar-benar lemah terhadap sikap pria karena perlakuan Amias selama ini.
Era ingat betul, dulu ia terjatuh dalam perangkap Gerald karena sikap manisnya. Sedikit saja Gerald bersikap lembut dan baik maka pastilah ia terbuai dengan serta merta. Ujung-ujungnya Gerald malah memanfaatkan perasaannya dan ia benar-benar tertipu tepat di depan mata.
Cukup sekali dan tak akan terulang untuk kedua kali. Setelah berhasil melepaskan diri dari Gerald, Era sudah bertekad untuk tidak bodoh lagi. Ia tak akan mempercayai perkataan pria semudah itu. Sekalipun bila pria itu adalah Oscar.
Oh, ayolah, Era. Oscar itu berbeda dengan Gerald. Dia bahkan berbeda dengan semua pria yang ada di dunia ini.
Era menggeram. Dia baik padaku, dia menjagaku, dan dia melakukan ini semua hanya karena ramalan itu. Karena menurutnya, aku adalah calon lunanya.
Well. Tentu saja. Oscar tidak akan sebaik itu pada semua wanita. Jadi, bukankah itu hal bagus?
Era diam. Disadari olehnya, jiwa serigalanya memiliki bakat berdebat yang cukup mengesankan. Ia benar-benar bisa memutar kata-kata sehingga jadilah Era yang tak bisa bicara. Sudahlah. Aku tak ingin membahasnya lagi.
Aku tahu, ini adalah hari yang benar-benar melelahkan. Kau memang harus beristirahat.
Era membuang napas panjang. Aku senang karena kita sepakat untuk hal yang satu itu.
Kali ini Era mencoba untuk benar-benar menenangkan diri. Ia memutuskan untuk meresapi rasa lelah yang membelenggu sekujur tubuh. Mungkin dengan cara itulah ia bisa menyingkirkan Oscar dari dalam kepalanya. Ia tak ingin terus-menerus teringat akan ciuman Oscar di bibirnya, sentuhan Oscar di kulitnya, dan—
Era memelototkan mata dan ada tawa yang menggema di dalam kepalanya. Jadilah ia kembali merutuk.
Kau merindukan Oscar, Era.
Era mencak-mencak. Tidak sama sekali.
Jangan berbohong dan segera ambil ponselmu. Hubungi dia dan aku yakin, tak sampai satu jam maka dia akan muncul di depan pintu.
Era yakin perkataan jiwa serigalanya memang benar. Bila ia sampai kehilangan kewarasan dan menghubungi Oscar maka bisa dijamin bahwa Oscar pastilah akan benar-benar datang. Tak tanggung-tanggung, imajinasinya pun sampai memperlihatkan Oscar yang buru-buru menyuruh pilot helikopter untuk berputar arah di atas sana.
Tubuh Era jadi bergidik. Ia memejamkan mata dan berulang kali. Dicobanya untuk mengusir imajinasi menakutkan itu. Tidak. Pokoknya tidak.
Oh, astaga. Mengapa wanita harus terlahir dengan sifat seperti ini? Rindu, tetapi tak ingin bilang. Merasakan sesuatu, tetapi tak ingin mengakui. Kukatakan sesuatu padamu, Era. Kau sedang menyiksa dirimu sendiri.
Sepertinya Era tak bisa hanya dengan berdiam diri saja. Ia harus menyibukkan diri atau kalau tidak pikirannya akan pergi ke mana-mana lagi.
Era turun dari tempat tidur. Ia berencana untuk menyalakan televisi, tetapi bel kamarnya justru berbunyi. Ada seseorang yang datang dan ia penasaran, apakah itu Seth?
Ternyata bukan. Ketika Era mengintip melalui lubang pintu maka adalah wajah cantik Madeline yang terlihat olehnya.
Era segera membuka pintu dan menyilakan Madeline untuk masuk. Ia menyadari bahwa bukanlah hal aneh bila mendapati Madeline datang ke kamarnya kala itu. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan oleh Madeline dan satu di antaranya adalah ia ingin memastikan keadaan Era.
"Aku baik-baik saja, Miss," ujar Era ketika mereka telah duduk di sofa. Senyum tersungging di wajahnya demi meyakinkan Madeline bahwa ia memang baik-baik saja. "Kau tak perlu khawatir."
Madeline membuang napas lega. "Oh, syukurlah kalau begitu. Jujur saja, aku benar-benar tak tenang."
"Terima kasih, Miss."
"Jadi, sebenarnya ada hal lain yang ingin kutanyakan padamu."
Madeline menatap dan jadilah Era menahan napas di dada. Tubuhnya sontak menegang dengan pemikiran yang mulai ke mana-mana. Satu dugaan muncul di dalam benaknya dan ia bertanya pada diri sendiri, apakah Miss akan menanyakan soal Oscar?
Kemungkinan itu membuat Era mengikrarkan sumpah di dalam hati. Ia akan menuntut pertanggungjawaban Oscar bila Madeline sampai mempertanyakan sesuatu terkait dengan kedatangannya tadi.
"Apakah kau merasa cukup baik untuk melanjutkan penelitian ini?"
Era terbengong sesaat. Ternyata dugaannya keliru. Jadilah ia mengerjap dan membutuhkan waktu sebentar untuk mencermati pertanyaan Madeline. "Ehm. Sepertinya begitu, Miss."
"Apakah kau yakin?" tanya Madeline lagi sembari menatap Era tanpa kedip. "Pastilah ini adalah hari yang berat untukmu. Kau diserang oleh para preman dan kau terluka. Aku hanya tak ingin kau memaksakan dirimu sendiri. Jadi, menurutku lebih baik kau benar-benar beristirahat dulu. Bagaimana?"
Dahi Era mengerut samar. Ia menangkap maksud Madeline, tetapi tak ada salahnya ia balik bertanya demi memastikan. "Apakah maksudmu, sebaiknya aku menunda penelitian ini?"
Madeline mengangguk. "Tak ada pilihan lain. Apalagi pihak kepolisian juga masih melanjutkan penyidikan di lokasi penelitianmu. Jadi, jalan tengahnya adalah aku harus memindahkan lokasi penelitianmu ke tempat lain yang sesuai dengan kriteria penelitian."
Era mengerti maksud Madeline. Tak ada pilihan lain dan jadilah ia mengangguk. "Baiklah, Miss. Aku mengerti."
"Bagus." Madeline tersenyum. "Penelitian memang penting, tetapi kesehatanmu lebih penting lagi. Untuk itu kau bisa kembali ke Celestial City besok. Beristirahatlah dengan baik."
Era mengangguk. "Tentu saja, Miss. Terima kasih untuk perhatianmu."
"Sama-sama."
Madeline meninggalkan kamar Era sesaat kemudian. Ia menyusuri lorong dan menuju ke kamarnya sendiri. Tiba di kamarnya, ia pun segera mengambil ponsel dari atas nakas. Ia mengusap layarnya dan segera mengirim pesan: Era akan pulang ke Celestial City besok, Alpha.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top