25. Selenophile: Dua Puluh Lima
Sebelumnya aku minta maaf karena Februari kemaren aku lenyap dari peredaran. Aku benar-benar keteteran dengan hal tak terduga yang datang di luar rencana. Jadi, terima kasih untuk pengertian kalian. Semoga bulan ini semua lancar dan terkendali.
Selain itu, karena bulan ini udah memasuki bulan puasa, jadi jadwal update aku sesuaikan ya. Kali aja kalian mau perbanyak ibadah atau ada aktifitas lainnya di siang hari. Jadi, aku update pukul 21.00 WIB biar kalian ga kepikiran sama cerita aku.
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Ada sesuatu yang menarik perhatian Dree sehingga ia menyipitkan mata. Tatapannya semakin fokus demi meyakinkan diri bahwa ia tak salah melihat dan ternyata, memang benar.
Dree berdecak sekali sembari meneruskan pekerjaannya, berkutat dengan mesin kasir. "Kasihan sekali. Dia pasti sengaja datang untuk menemui Era." Jari-jarinya berhenti bergerak di atas tombol angka. Samar, dahinya mengerut. "Apa sebaiknya aku memberi tahu kepadanya kalau Era cuti selama seminggu?"
"Aku tahu."
Dree baru saja mempertimbangkan hal tersebut dan tiba-tiba saja Seth sudah berdiri di hadapannya dengan dompet di tangan. Jadilah ia terbengong sejenak sehingga Seth tersenyum kecil.
"Era."
Dree mengerjap, lalu melirih singkat. "Oh."
"Terima kasih untuk niat baikmu, tetapi sebenarnya aku sudah tahu kalau Era cuti," ujar Seth lebih lanjut. Sekilas, ia manggut-manggut sembari mendeham. "Dia ada kegiatan penelitian di desa Runevale. Mungkin sekitar seminggu."
"Ah." Dree tersenyum salah tingkah. Tak diduganya bahwa Seth mengetahui hal tersebut sampai sejauh itu. "Ternyata kau tahu."
"Wajar. Kami satu kampus."
Dree mengangguk sekali, lalu buru-buru menghitung total pesanan Seth. Setelahnya, ia menyebutkan totalannya dan Seth pun menyerahkan kartu debitnya. Transaksi selesai tak sampai semenit kemudian dan ia mengembalikan kartu debit itu pada Seth.
Seth menyimpan kembali kartu debitnya di dompet. "Terima kasih."
"Sama-sama dan jangan lupa untuk datang kembali."
Sejatinya, Seth menyadari bahwa ucapan Dree tak ubah templat. Itu adalah prosedur standar keramahan karyawan. Walau demikian tak urung juga ia menanggapinya dengan satu anggukan. "Tentu saja. Aku pasti a—"
Ponsel berdering dari saku Seth. Ucapan terputus dan ia merogoh saku, mengambil ponsel. Wajahnya berubah seketika.
Dree menangkap perubahan ekspresi Seth. Ia sedikit menelengkan kepala, kemudian bertanya. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Seth cepat sembari menggeleng sekilas. Setelahnya, ia tersenyum kecil. "Sampai jumpa lagi."
Dree hanya mengangguk-angguk sembari melihat kepergian Seth.
*
Philo mempercepat langkahnya, nyaris bisa dikatakan seperti tengah berlari. Dilewatinya lorong panjang dengan terburu-buru. Sebabnya adalah Anne baru saja mengirim pesan singkat padanya, yaitu: sepertinya suasana hati Pak Oscar sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, Philo.
Satu kemungkinan langsung melintas di benak Philo. Jadilah ia memutuskan untuk segera ke ruang kerja Oscar. Namun, mendadak saja ponselnya berdering dan ia terpaksa menghentikan langkah.
Bola mata Philo membesar ketika melihat siapa yang meneleponnya. Ia buru-buru mengangkatnya sembari kembali melangkah cepat. "Halo, Alpha."
"Segera persiapkan helikopter."
Langkah Philo kembali terhenti. Dalam hati, ia bertanya. Lagi?
"Kita akan pergi ke Celestial City dan kemudian ke desa Runevale."
Philo paham. "Baik, Alpha."
Telepon berakhir. Philo segera melakukan perintah Oscar dengan tebakan valid yang tak akan meleset sedikit pun. Hari itu pasti akan menjadi hari yang panjang.
*
Sial! Sial! Sial!
Era mengumpat habis-habisan di dalam hati. Panggilan tak terjawab dari Oscar membuatnya panik tak karuan. Jadilah beragam kemungkinan buruk langsung mengisi benaknya.
Tidak mungkin.
Jiwa serigala Era mendengkus. Apanya yang tidak mungkin, Era?
Oscar tidak mungkin akan muncul tiba-tiba di sini bukan?
Kau masih meremehkan Oscar?
Bola mata Era membesar. A-aku bukannya meremehkan Oscar, tetapi—
Oscar mempunyai helikopter. Dia bisa pergi ke mana pun setiap saat.
Itu memang benar, tetapi Era masih berpegang pada sedikit harapan. Di-dia tidak tahu di mana aku sekarang. Aku tidak memberi tahu Seth ataupun dia. Tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku sekarang berada di sini, di desa Runevale.
Kau benar-benar meremehkan Oscar, Era. Aku yakin, dia tak akan mengalami kesulitan sama sekali untuk menemukan keberadaanmu.
Sekarang, mata Era terpejam dramatis. Ya Tuhan.
Jadi, kusarankan padamu sekarang, persiapkan diri. Mungkin saja nanti Oscar tiba-tiba sudah ada di sini.
Era gemetaran. Jangan menakut-nakutiku.
Aku tidak menakut-nakutimu, tetapi aku memberimu saran.
Era tak bisa berkata-kata lagi. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi dan ia tak bisa beristirahat sebagaimana mestinya. Ia gelisah, terus saja ia mengubah posisi tidurnya, tetapi itu tak berguna sama sekali. Ujung-ujungnya ia pun bangkit sembari menggigit bibir bawah.
"Era." Madeline menghampiri Era. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Ada apa? Apa kau merasakan sesuatu? Wajahnya tampak lebih memucat dari sebelumnya."
Era mengerjap. "Ti-tidak, Miss. Aku baik-baik saja."
Menurut Madeline justru sebaliknya. Di matanya, Era tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dengan wajah pucat, tubuh gemetaran, dan keringat di dahi, tampaknya Era mengalami syok lebih dari yang sempat diduganya.
"Mungkin lebih baik kalau malam ini kau dirawat dulu di rumah sakit. Bagaimana?" tawar Madeline khawatir sembari mengulurkan tangan, diusapnya keringat Era dengan perlahan. "Aku tidak ingin keadaanmu semakin memburuk."
Era menggeleng kaku. "Terima kasih, Miss, tetapi tidak perlu. Aku baik-baik saja dan kuyakin, aku hanya perlu tidur saja. Jadi, bagaimana kalau kita sekarang kembali ke hotel?"
"Apakah kau serius?"
Era mengangguk cepat. "Aku serius, Miss. Aku baik-baik saja. Jadi, bagaimana kalau kita kembali ke hotel sekarang juga? Ehm. Bukankah urusan dengan kepolisian sudah selesai, Miss?"
"Memang sudah," jawab Madeline dengan wajah ragu. Polisi sudah menanyai Era dan Simon. Walau begitu bukan berarti sepenuhnya setuju dengan keinginan Era. "Namun, sepertinya akan lebih baik kalau kau beristirahat dulu di rumah sakit. Dokter dan perawat bisa memantau keadaanmu."
Bagi Era, tidak ada yang lebih baik dibandingkan kembali ke hotel secepatnya. Ia harus menghubungi Oscar dan tidak mungkin dilakukannya di tempat umum. "Aku baik-baik saja, Miss. Nanti kalau seandainya memang perlu bermalam di rumah sakit maka aku pasti akan mengatakannya."
Madeline membuang napas panjang. Era bersikeras dan ia tak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah. Aku akan bicara dulu dengan petugas yang merawatmu tadi, setelahnya kita akan kembali ke hotel."
Era mengangguk dan menunggu dengan perasaan tak sabar. Untungnya, tak lama kemudian Madeline kembali datang dengan membawa kabar seperti yang diharapkannya.
Petugas medis mencabut jarum infus dari tangan Era. Diberinya beberapa nasihat dan Era mengiyakan semuanya tanpa mendebat sedikit pun.
Detektif yang bertugas pun tak lupa memastikan Era untuk tetap kooperatif bila ada hal lain yang diperlukan pihak kepolisian. Era memastikan bahwa dirinya siap dipanggil kapan pun untuk membantu penyidikan walau dirinya sendiri ragu kalau keterangannya akan berguna.
Sepuluh menit kemudian, Era dan yang lainnya meninggalkan lokasi tersebut. Perjalanan itu terasa amat lama bagi Era dan ia nyaris tak bisa tenang.
Kekhawatiran Era semakin tak terungkap kata. Terlebih ketika disadari olehnya bahwa Oscar tak lagi menghubunginya. Itu tak ubah isyarat menakutkan untuknya dan ternyata, benar saja.
Era membeku jiwa raga ketika tiba di lobi hotel. Tatapannya langsung tertuju pada satu titik. Instingnya seolah menyadari bahwa ada kehadiran seseorang yang patut diwaspadainya.
"Oscar."
*
Philo telah berusaha mati-matian untuk menahan Oscar. Begitu juga dengan Seth. Keduanya memberikan banyak alasan masuk akal mengapa sebaiknya Oscar menunggu di lobi hotel ketimbang langsung menyusul Era di hutan Arbora.
"Maaf, Alpha, tetapi sepertinya lebih baik kalau kita menunggu di hotel saja. Aku yakin, Era pasti akan kembali dalam waktu dekat."
Oscar bangkit dari duduk. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadilah ia berkacak pinggang dan memelotot pada Philo. "Apa aku bisa diam saja dengan duduk manis di sini?"
Philo dan Seth kompak menahan napas di dada. Pertanyaan dan pelototan Oscar membuat mereka bungkam. Jadilah keduanya bergeming, agaknya tak berani bergerak. Lagi pula mereka sadari bahwa Oscar sama sekali tidak duduk manis dari tadi.
Oscar nyaris membanting cangkir kopi yang disediakan oleh hotelier. Koran pun tak luput menjadi sasarannya. Ia meremas koran dan mungkin saja saja mencabik-cabiknya kalau Philo tak segera mencegahnya.
Oh, astaga. Philo menyadari bahwa kecakapannya sebagai beta tak berguna sama sekali bila masalah yang sedang dihadapi Oscar berkaitan dengan Era. Ia pun tak bisa melakukan apa pun, selain berusaha mengulur waktu sembari berdoa. Semoga saja Era akan segera datang sebelum Oscar benar-benar lepas kendali dan berubah bentuk, lalu menyusuri jalan dengan wujudnya yang besar dan garang itu.
"Tidak, Philo," geram Oscar dengan wajahnya yang semakin mengeras. Sebulir keringat sebesar biji jagung muncul di dahinya dan meluncur di rahang. "Aku akan pergi se—"
Ucapan Oscar terhenti di tengah jalan. Ia segera berpaling, begitu juga dengan Philo dan Seth.
Oscar tak membuang-buang waktu. Ia segera beranjak sementara Philo dan Seth kompak membuang napas lega. Akhirnya, Era datang juga.
"Oscar."
Oscar menghentikan langkah tepat di hadapan Era. Diabaikan olehnya sorot bingung Madeline, Clara, dan Frida. Tatapannya tertuju hanya pada Era dan ia bertanya dengan suara yang terdengar amat berat.
"Apa yang terjadi padamu, Era?"
Pertama, Era benar-benar syok. Ia sungguh tak mengira bila Oscar mengetahui keberadaannya di sana. Kedua, ia juga tak mengira bila Oscar akan datang secepat itu.
Oh, astaga. Wajar saja bila Era sekarang membeku jiwa raga. Ia bergeming dan tidak bergerak sama sekali.
"Aku menghubungimu berulang kali, Era," ujar Oscar dengan rahang yang kaku. Tatapannya berubah semakin tajam seolah ingin menghunjam Era. "Namun, kau tidak mengangkatnya."
Era jadi bingung sendiri. Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan Oscar ketika ada dosen dan juga teman-temannya di sana? Ia mendeham dan menggaruk tengkuknya, berusaha untuk mencari jalan keluar dari situasi tersebut.
"Maaf, tetapi siapa kau?"
Oscar berpaling dan menjawab pertanyaan Frida tanpa tedeng aling-aling. "Oscar Donovan, kekasih Era."
Madeline terbengong. Begitu juga dengan Clara dan Frida. Sementara Era hanya bisa memejamkan mata dengan dramatis.
"O-oh. Kau adalah kekasih Era," ujar Madeline dengan gelagapan. Lalu, ia mengangguk beberapa kali. "Ehm. Jadi, begini. Ada sesuatu yang terjadi dan—"
Oscar langsung memotong ucapan Madeline. "Aku yakin memang pasti ada sesuatu yang terjadi." Tatapannya kembali beralih pada Era. "Benar begitu, Era?"
Era terpojok. Ia meringis tertahan dan tak punya pilihan lain. Jadilah ia berkata pada Madeline. "Terima kasih untuk hari ini, Miss. Sepertinya ada yang harus kami bicarakan." Setelahnya, ia meraih tangan Oscar. "Ayo."
*
Tak ada tempat lain yang lebih aman dan tertutup dari pandangan orang-orang, selain kamarnya. Era menutup pintu dan menguatkan diri untuk menghadapi Oscar.
"Aku sudah berniat untuk menghubungimu, Oscar."
Oscar mendengkus. "Berniat? Apa kau bisa mengupayakan hal lain dibandingkan berniat?"
"Aku memang ingin menghubungimu. Aku bersumpah, aku memang ingin menghubungimu, tetapi saat aku sudah tiba di hotel. Aku tidak mungkin menghubungimu di keramaian, di mana ada petugas medis dan detektif. Apa kau mengerti?"
Akal sehat Oscar mengerti, tetapi sekarang ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Jadilah ia geram sendiri sehingga mengepalkan kedua tangan dengan kuat. Lalu mengumpat. "Sialan."
"Kau malah mengumpatiku?"
"Tidak!" jawab Oscar dengan nada tinggi. Matanya mendelik walau hanya sekilas. "Aku tidak mengumpatimu. Aku mengumpati diriku sendiri. Apa kau puas?"
Era menggeram. "Kau."
Agaknya emosi sama-sama menguasai Era dan Oscar. Jadilah tak aneh bila sesaat kemudian mereka kompak diam. Mungkin keduanya sepakat untuk menenangkan diri sejenak sebelum memulai pembicaraan lebih lanjut.
Waktu berlalu dan napas yang menderu perlahan memelan kembali. Sepertinya Era dan Oscar sudah mulai sama-sama tenang.
Oscar membuang napas panjang. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya sambil mendekati Era. Diraihnya tangan Era sehingga tatapan mereka bertemu. "Aku bisa mencium aroma manusia serigala lain di tubuhmu dan ...."
"Ada rogue."
Sedikit kerutan di dahi Oscar yang muncul ketika ia mencoba mengenali semua aroma yang menempel di tubuh Era menjadi buyar. Sontak saja matanya membesar. "Rogue?"
"Ya," angguk Era dengan berat hati. Jujur saja, ia tak ingin menceritakan peristiwa itu dengan detail. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia tak ingin melihat Oscar lebih mengamuk lagi dan membuat kekacauan di sana. "Mereka datang di saat aku sedang berada di hutan dan mereka menyerangku."
Oscar merasa jantungnya copot saat itu juga. "Apa? Ada segerombolan rogue yang menyerangmu?"
"Begitulah, tetapi kau tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja dan—"
"Lalu siapa alpha yang menyelamatkanmu?"
Era melongo. "A-alpha?"
Tangan Oscar menyambar tubuh Era. Ditariknya Era sehingga ujung kaki mereka bertemu di bawah sana. "Siapa alpha yang menyelamatkanmu, Era?"
"Aku tidak tahu siapa dia, Oscar. Aku tidak berbohong, aku sama sekali tidak tahu siapa dia. Tiba-tiba saja dia datang dan menyelamatkanku."
Oscar memejamkan mata. Setitik ketenangan yang berhasil diciptakan olehnya menjadi lenyap sudah. Emosi menggelegak di sepanjang pembuluh darah. Jelas saja ia tengah menahan marah walau tak pasti kemarahan mana yang lebih mendominasi, apakah pada rogue yang telah dengan berani menyerang calon lunanya atau pada alpha yang telah menyelamatkannya?
Ego Oscar terusik. Akal sehatnya jadi berantakan. Pandangannya tak lagi jernih dan kekalutan membuat keadaannya semakin tak karuan.
"Jadi, apakah ini yang kau maksud bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang bisa terjadi padamu? Seperti yang kau katakan tempo hari sebelum pergi ke sini?"
Era tak bisa menjawab. Lagi pula itu semua di luar kuasanya. "Aku tidak mengira kalau kejadiannya akan seperti ini."
"Apa kau tidak tahu? Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa diperkirakan? Tidak bisa diprediksi? Untuk itulah mengapa Seth harus ikut denganmu. Dia bisa menjagamu dan kau malah meremehkan kekhawatiranku!"
Mata Era membelalak. Mulutnya menganga, tetapi tak ada satu kata pun yang bisa diucapkannya.
Pergolakan batin terjadi. Era pun tak bisa berbuat apa-apa ketika disadari olehnya bahwa perkataan Oscar memang benar. Jadilah satu-satunya hal yang bisa diucapkannya adalah.
"Maafkan aku."
Oscar menyipitkan mata dan menahan napas di dada. "Maaf?"
"Lalu apa? Aku hampir celaka dan seperti biasa, kau selalu saja marah-marah," balas Era pada akhirnya. Ia sudah meminta maaf dan malah gantian Oscar yang meremehkannya. "Sekarang, kutanya padamu, Oscar. Apa yang kau inginkan?"
"Kau." Oscar menggeram. Matanya tampak berkilat-kilat. "Baiklah. Kau ingin tahu apa yang kuinginkan bukan?" Ia mengangguk. "Aku akan mengatakannya."
Firasat Era menjadi tak enak. "Apa?"
Oscar menarik Era dan menciumnya tanpa peringatan sama sekali. Jadilah mata Era membelalak dan ia berkata. "Kita berpasangan saat ini juga."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top