25. Psithurism: Dua Puluh Lima
Malam-malam sebelumnya memang berlalu dengan menyiksa. Era selalu gelisah lantaran memikirkan keadaan orang-orang di sekitarnya yang mengalami hal buruk karena dirinya. Namun, setidaknya dia masih bisa tidur walau tetap terbangun dengan rasa lelah. Sebaliknya, sekarang dia bahkan tak bisa memejamkan mata walau hanya semenit saja.
Perasaan Era benar-benar tak menentu. Bahkan kata gelisah, tak tenang, khawatir atau takut tak bisa mewakili perasaannya sekarang. Dia terombang-ambing, terjebak antara gelombang yang terus mencoba untuk menarik ke dalam samudera tak berujung.
Era menyerah. Mencoba untuk tidur adalah hal percuma. Memejamkan mata hanya membuat dia semakin lelah. Alhasil, dia turun dari tempat tidur.
Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan oleh Era sekarang, yaitu menyibukkan diri. Dia harus mengalihkan pikirannya. Dia harus menyibukkan diri atau kalau tidak jam di dinding akan meledak karena terus dipandanginya.
Era meraih jubah piama, lalu mengenakannya dengan cepat. Setelahnya, dia keluar dari kamar dan tak terkejut sama sekali ketika mendapati ada Aaron di sana.
"Luna," sapa Aaron sembari melipat koran yang dibaca dan menaruhnya di meja. Lalu dihampirinya Era. "Ada apa? Apakah kau membutuhkan sesuatu?"
Era menggeleng kecil. "Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa. Namun, kurasa aku ingin menemui Ursa."
"Ursa?" Aaron mengangguk dan merogok saku celana, berniat untuk mengeluarkan ponsel. "Baik, Luna."
Era melihat gelagat Aaron dan langsung mencegah. "Kau tak perlu memanggilnya," ujarnya cepat hingga membuat Aaron yang tengah memegang ponsel tampak kebingungan. "Aku akan menemuinya di Paviliun."
Aaron manggut-manggut, tampak paham.
"Jadi, apakah kau bisa menemaniku ke sana, Aaron?"
Aaron mengangguk sembari tersenyum, lalu tangannya bergerak demi menyilakan Era. "Tentu saja, Luna."
Bersama-sama, Era dan Aaron menuju pada bagian belakang Istana. Mereka tiba di Paviliun sekitar sepuluh menit kemudian dan di luar dugaan, ternyata Ursa juga terjaga walau malam telah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ursa tampak berdiri di depan Paviliun. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam. Dia tengah berdoa.
Lima menit berlalu. Ursa telah selesai berdoa dan dia pun berpaling. Disambutnya kedatangan Era dan Aaron dengan senyuman.
Ursa mengajak Era dan Aaron untuk duduk bersama di teras. Teh dan sepiring camilan tersaji di meja. Mereka menikmatinya walau menyadari bahwa itu tak cukup mampu untuk menenangkan pikiran mereka yang terus bergemuruh.
Era memang tak mengatakannya. Begitu juga dengan Aaron dan Ursa. Mereka sama-sama tak mengatakannya, tetapi mereka pun sama-sama mengetahui keresahan yang tengah bergelut di benak mereka.
"Jadi," ujar Era sembari mengembuskan napas panjang. Ditaruhnya cangkir teh kembali di tatakan. "Apakah kau memang sering berdoa seperti ini, Ursa?"
Ursa tersenyum teduh sembari memegang cangkir teh dengan kedua tangan. Suhu hangat teh menjalari kulitnya, mencoba untuk mengusir dingin malam yang membalutnya. "Lebih dari sering, Luna. Aku selalu berdoa. Aku menjadikan doa sebagai penenang diri. Selain itu, aku pun memiliki banyak hal yang bisa menjadi alasan untukku berdoa."
"Oh." Era melirih samar. Dia tampak manggut-manggut, lalu bertanya. "Jadi, alasan apa yang membuatmu berdoa tadi?"
Pertanyaan tak terduga itu membuat Ursa tampak kesusahan untuk bicara. Namun, pada akhirnya dia menjawab pula. "Aku mendoakan keselamatan Alpha, Luna."
Era tertegun. Kala itu disadarinya bahwa dia sudah lama tidak berdoa. Sebabnya, ada masa di mana dia ditampar oleh kenyataan pahit. Dia terus berdoa, tetapi hidupnya masih menderita. Dia terus berdoa, tetapi Sylvie tetap mati. Dia terus berdoa, tetapi Amias malah semakin kejam padanya. Alhasil, dia berhenti berdoa. Dia tak lagi ingin berdoa karena semua tampak sia-sia.
"Luna?" panggil Ursa dengan penuh kehati-hatian karena melihat perubahan pada ekspresi Era. Dia khawatir ada ucapannya yang menyinggung Era. "Ada apa? Apakah ada sesuatu?"
Era mengerjap. Lalu ditatapnya Ursa dengan sorot tak berdaya. "Menurutmu, apakah kalau aku berdoa maka aku juga bisa merasa tenang?"
Ursa meraih tangan Era, meremas jemarinya. "Luna."
"Aku benar-benar tidak tenang, Ursa. Aku ... aku ...." Era menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menekan gejolak emosi di dada. "Aku tak ingin ada hal buruk yang terjadi pada Oscar."
Ursa jelas bisa merasakan ketakutan yang tengah mengusik Era. Tanpa diberi tahu pun dia bisa menyadarinya, dia bisa melihatnya di sepasang mata Era. "Tentu saja, Luna. Kau bisa menumpahkan semua kekhawatiran dengan berdoa. Kau bisa mengungkapkan semua pengharapanmu. Lepaskan semua dan kau akan lebih tenang."
Era tak tahu apakah sekarang dia akan kembali mempercayai doa atau tidak. Baginya, dia hanya ingin mengeluarkan semua isi di hatinya. Dia tak ingin terus menerus dihantam perasaan negatif. Dia ingin menenangkan diri dengan semua perasaa positif, dengan keyakinan bahwa Oscar akan kembali persis seperti janjinya. Jadi, dia sama sekali tak menolak ketika Ursa mengajaknya untuk beranjak dari teras.
Wajah terangkat dan Era mendapati bahwa di sana ada purnama penuh yang bersinar dengan amat terang. Cahayanya menyilaukan, seolah menjanjikan kedamaian untuk malam kelam.
Era menatap purnama dengan lekat, nyaris tanpa kedip. Setelahnya, dipejamkannya mata sembari mengembuskan napas panjang. Di dalam hati, dia pun berkata. Aku akan menunggumu hingga matahari terbit, Oscar. Persis seperti perkataanmu.
Doa itu tak hanya dipanjatkan sekali oleh Era. Bukan pula dua kali. Alih-alih tak terhitung lagi berapa kali dia menggemakannya di dalam hati. Pada akhirnya, perasaannya pun berangsur membaik.
Semua pikiran buruk tersingkirkan oleh harapan. Era tak lagi berfokus pada hal-hal buruk yang bisa saja terjadi, melainkan pada hal-hal baik, pada hal-hal indah yang akan didapatinya setelah ini, tentunya bersama dengan Oscar.
Kekhusyukan Era terusik oleh suara lari yang datang mendekat. Jadilah matanya membuka dan dia berpaling. Didapatinya ada Bogy dan Irene yang datang dengan wajah panik.
"Luna."
Era melihat bergantian pada Bogy dan Irene. "Ada apa? Apakah ada yang terjadi?"
"Sepertinya kau harus kembali ke Istana, Luna," jawab Bogy dan memberi isyarat pada Irene. Setelahnya, dia lanjut berkata. "Irene akan menjagamu."
Era diam. Di sebelahnya, Ursa merengkuh tubuhnya dan Aaron mengajaknya untuk segera kembali ke Istana. Sementara itu Irene tampak bersiaga penuh. Semua sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi. Apakah doaku tak akan terkabul lagi?
*
Suara gedebuk menggema ketika seekor serigala bersurai cokelat terhempas dengan amat kuat di lantai arena tarung. Ia tampak meringik samar, tetapi segera bangkit sedetik kemudian. Dikuatkannya keempat kakinya yang sempat goyah, lalu ia melompat, berniat untuk balas menyerang serigala bersurai emas yang telah berhasil membuatnya jadi bulan-bulanan sejak sepuluh menit yang lalu.
Serigala emas mengelak dengan enteng seolah serangan serigala cokelat tak ada apa-apanya, tak berbahaya sama sekali. Ia tak gentar sedikit pun dan malah lanjut menyerang dengan gagah berani.
Pergerakan serigala emas amat lincah dan tangkas sehingga membuat surainya berkelebat, memberikan kilau di mana-mana. Persis seperti ia yang tengah menerangi pencahayaan temaram Arena Tarung. Serangannya terarah, penuh dengan ketepatan dan kekuatan. Alhasil serigala cokelat terpojok dan penonton justru berdecak kagum.
Cakar serigala emas menyapu udara dengan kecepatan yang luar biasa. Serigala cokelat tak mampu mengelak. Dadanya sobek. Pembuluh darahnya robek.
Namun, serigala emas tak berhenti sampai di sana. Terus saja ia menyerang dengan membabi buta. Tak dibiarkannya serigala cokelat mendapatkan kesempatan untuk balik menyerang.
Serigala cokelat terdesak. Ia sudah kepayahan. Ia sama sekali tak memiliki waktu untuk bereaksi. Serangan demi serangan yang dilancarkan oleh serigala emas benar-benar membuatnya tak berkutik.
Pandangan serigala cokelat tak lagi fokus. Napasnya kacau. Tubuhnya mulai terasa lemah, terlebih karena ia telah kehilangan banyak darah berkat luka yang menggores di sekujut ubuh.
Namun, tak ada kata mundur di dalam pertarungan hidup mati. Pertarungan hanya akan berakhir ketika salah satu dari mereka mati dan agaknya, serigala cokelat bisa menebak akhir dari pertarungan itu.
Serigala cokelat mengangkat wajah. Dilihatnya serigala emas melompat dan menerjang ke arahnya. Ia ingin mengelak, tetapi kakinya sudah tak bisa bergerak lagi. Jadilah ia hanya bisa pasrah ketika taring serigala emas menancap dalam di lehernya. Ia mengerang, lalu dihempaskan dan tubuhnya mendarat di dekat tubuh kaku Nicholas. Setelahnya, ia pun benar-benar tak bergerak lagi dan tubuhnya berubah menjadi manusia kembali—mati.
Decak kagum berubah menjadi tepuk tangan yang meriah. Sebagian dari mereka bersorak walau tak menutupi kenyataan bahwa ada pula yang tampak tak senang ketika melihat serigala emas berhasil menjadi petarung terakhir yang berdiri tegak di lantai arena tarung untuk kedua kalinya.
Serigala emas melihat tribune dengan sorot tajam. Lalu pelan-pelan wujud serigalanya memudar dan tergantikan oleh sosok manusia dengan luka di berbagai tempat.
"Siapa lagi selanjutnya?!"
Tepuk tangan terhenti seketika. Semua diam dengan tatapan yang tertuju pada satu titik yang sama—Oscar.
"Persetan dengan mitos Selunar! Aku tak peduli kalau Era memang adalah keturunan terakhir Selunar yang berharga. Dia adalah lunaku sebelum semua mitos dan gosip itu menyebar ke mana-mana!" bentak Oscar dengan emosi yang tak main-main. Kemarahannya benar-benar memuncak sehingga udara di sekitarnya bergolak, menghantarkan panas ke mana-mana. "Jadi, untuk yang ingin menyusul Nicholas dan Powell, aku persilakan. Aku akan meladeninya dengan senang hati."
Sekarang, para penonton di tribune malah saling pandang satu sama lain. Agaknya mereka sama-sama ingin tahu, siapa lagi yang ingin menjadi penantang Oscar.
Di lain pihak, dengan napas terengah, Oscar mengumpulkan kembali kekuatannya. Dia sempat merasakan ada tulang rusuknya yang patah, tetapi tak ditunjukkannya rasa sakit sedikit pun. Bahkan sekadar meringis pun tak dilakukannya. Dia tampilkan wajah keras dan tubuh yang tetap berdiri tegak demi mengintimidasi mental orang-orang di sana.
"Ck! Lagakmu sangat sombong, Oscar!"
Oscar dan yang lainnya berpaling ke sumber suara. Tampak seorang alpha berdiri di tengah-tengah tribun. Penampilannya tampak urakan—berambut panjang dan berewok tebal yang berantakan. Dia dikenal dengan nama Stephen Gonzalez dari Kawanan Barystonix.
Stephen beranjak. Kakinya melangkah santai ketika menuruni tangga tribune sembari lanjut berkata. "Aku ingin tahu, apakah kau masih bisa sesumbar sepuluh menit kemudian?"
"Sebaliknya," balas Oscar tak gentar sama sekali. Dia berkacak pinggang dengan ekspresi angkuh. "Kuyakin, aku hanya butuh lima menit untuk memberikanmu jawabannya."
Wajah Stephen berubah merah. Dia menggeram dan mengepalkan tangan dengan amat kuat, menunjukkan tekad bulat untuk mengalahkan Oscar.
Para penonton bersiap-siap untuk menikmati pertarungan selanjutnya. Mereka tampak antusias, juga penasaran siapakah yang akan menjadi petarung terakhir yang hidup di babak ketiga itu.
Stephen melompat dan mendarat di lantai arena tarung dengan mantap. Ditatapnya Oscar dengan sembari menyeringai dengan mimik merendahkan. "Kuharap, kau sudah menitipkan kata-kata terakhir untuk Era, Oscar."
Rahang Oscar berubah kaku. Giginya bergemeletuk. "Kau."
"Kau tak perlu khawatir. Kupastikan padamu bahwa aku akan memperlakukan Era dengan sebaik mungkin."
Gelegak emosi Oscar semakin menjadi-jadi, terlebih ketika dilihatnya Stephen tertawa terbahak-bahak. Jadilah dia membalas. "Seharusnya kau tahu sesuatu, Stephen. Era tidak suka dengan pria goa sepertimu!"
Tawa Stephen terhenti. Jelas saja dia tak terima dengan penghinaan Oscar. Maka dari itu dia berniat untuk segera menyerang Oscar, tetapi mendadak saja Philo turut naik ke arena tarung dan menghampiri Oscar.
"Alpha."
Oscar menyipitkan mata. "Ada apa?"
Philo mengangkat satu tangan ketika berbisik di telinga Oscar. Lalu wajah Oscar pun berubah pucat. Matanya membesar dan menyorotkan kekhawatiran.
"Kita pulang sekarang juga, Philo."
Oscar memutar tubuh. Philo mengikutinya. Namun, ejekan Stephen terdengar sedetik kemudian.
"Mau pergi ke mana kau, Oscar? Apakah kau takut?"
Langkah Oscar berhenti. Ditatapnya Stephen. "Takut dengan manusia goa sepertimu? Cih!" Dia meludah. "Tunggu sampai dunia kiamat, Stephen."
Stephen tak terpancing walau kemarahannya pun sudah tak tertahankan lagi. Oscar sudah mengejeknya hingga di luar batas. "Kalau aku tak bisa membunuhmu malam ini, Oscar, maka lebih baik aku menjadi rogue!"
Oscar tak membalas ucapan Stephen, melainkan kembali melangkah. Tak lagi dipedulikannya pertarungan hidup mati itu. Sekarang, fokusnya hanya satu, yaitu kembali ke Istana secepat mungkin.
Namun, Stephen tak akan membiarkan Oscar pergi begitu saja. Jadi, ketika dilihatnya Oscar kembali melangkah maka dia pun melompat dan menerjang sambil membentak garang.
Oscar mengatupkan mulut rapat-rapat. Dirasakannya udara di sekitar bergejolak, persis seperti tengah memberikannya peringatan bahwa ada serangan licik yang mengincar kepalanya.
Tubuh Oscar bergerak refleks sesuai insting. Dia menunduk dan mengangkat kaki kanan. Ditendangnya perut Stephen dengan amat telak.
Stephen melayang beberapa meter di udara dan jatuh di lantai arena tarung dengan keadaan menyedihkan. Namun, dia masih bisa berdiri. "Kau!" geramnya tak terima. "Kau akan—"
"Kupikir, ini sudah terlalu malam untuk melanjutkan pertarungan hidup mati. Memang sudah sepatutnya pertarungan hidup mati ini berakhir sampai di sini. Bagaimana menurut kalian semua?"
Ucapan Stephen terputus oleh satu suara yang terdengar biasa-biasa saja, terkesan lembut, seperti tak menyiratkan emosi, berbeda jauh dengan suara para alpha kebanyakan yang cenderung berat dan dalam. Persis seperti seorang penyanyi yang tak seharusnya berada di sana.
Stephen memelototkan mata dengan sorot tajam. "Kau tak usah ikut campur, Simon. Ini bukan urusanmu!"
Bentakan Stephen dibalas senyuman oleh Simon. Reaksinya tampak biasa-biasa saja, sama sekali tidak menyiratkan ketersinggungan. Dia beranjak dari tempat duduk sambil kembali bicara. "Tentu saja ini juga adalah urusanku. Bagaimanapun juga aku tak ingin mengambil risiko. Hal buruk bisa saja terjadi malam ini."
Para penonton mulai berbisik-bisik. Sebagian dari mereka tampak mengangguk, agaknya setuju dengan pemikiran Simon.
"Pertarungan malam ini adalah pertarungan hidup mati antara Oscar dan Nicholas. Lalu seperti yang kita ketahui, Oscar memenangkannya," ujar Simon sembari beranjak dengan langkah santai. Sesekali, dia pun mengusap kedua tangan. "Secara logika maka agenda malam ini pun selesai. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pertarungan berlanjut dan hasilnya, sekarang ada dua kawanan yang kehilangan alphanya." Dia melihat ke lantai arena tarung. "Nicholas Ward dari Kawanan Lynoria dan Yazid Stefano Jones dari Kawanan Elven."
Ada jeda sesaat yang tercipta. Semua orang melihat pada jasad Nicholas dan Yazid. Sebagian tampak bersimpatik sementara sebagian lainnya tak peduli sama sekali.
"Jadi, kurasa bukan hal yang tepat kalau kita meneruskan pertarungan hidup mati ini hanya untuk melihat kawanan lainnya kehilangan alphanya." Simon menarik napas dalam-dalam. Lalu dilihatnya para penonton sebelum beralih kembali pada Stephen. "Selain itu, kuharap kalian semua bisa bersikap bijaksana. Jangan sampai salah bertindak karena kalian bisa memicu peperangan yang tak seharusnya."
Suasana berubah menjadi hening. Para penonton merenungkan ucapan Simon dan membenarkannya.
Di lain pihak, Oscar yang merasa tak lagi ada urusan di sana memutuskan untuk segera pergi. Dia hanya sempat melihat Simon sekilas. Kala itu, Simon tersenyum dan tak mengatakan apa-apa.
Pertarungan hidup mati berakhir. Semua orang mulai membubarkan diri sementara Stephen mengumpat habis-habisan sambil terus melihat Simon. Jelas saja, dia tak terima.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top