24. Selenophile: Dua Puluh Empat

Era mengaduh ketika tubuhnya kembali mendarat di tanah dengan keadaan yang menyedihkan. Tulang belulangnya terasa remuk dan ia nyaris tak bisa berdiri lagi.

Saat itu, ada satu hal lain yang terpikir oleh Era, yaitu pria-pria itu bukanlah orang sembarang. Dengan kata lain, mereka bukanlah manusia biasa. Tak ada manusia biasa yang bisa menghempaskan orang seperti itu.

Dasar rogue bajingan. Aku akan menerkam dan mencabik-cabikmu.

Era bertahan dengan kedua tangan dan lutut. Ikat rambutnya putus dan jadilah rambutnya berantakan. Apa kau bilang? Rogue? Apa itu?

Sebelum jiwa serigalanya menjawab, Era teringat akan pelajaran yang didapatkannya dari Ursa. Ia mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya dan jadilah ia membeku.

Maksudmu, manusia serigala yang tidak termasuk dalam Kawanan apa pun?

Jiwa serigala Era menggeram. Ya, mereka adalah manusia serigala liar. Mereka tidak ada aturan dan etika. Mereka memuakkan. Rela melakukan apa pun demi uang. Sama sekali tidak memiliki harga diri.

Penjelasan itu membuat Era semakin bertanya-tanya. Mengapa mereka mengincarku? Aku sama sekali tak mengenal mereka.

Siapa yang tahu? Selain karena uang, mereka pun memiliki masalah pada emosi. Mereka bisa saja menyerang untuk kesenangan.

Menyerang untuk kesenangan? Era bangkit sembari menarik napas dalam-dalam. Ia sama sekali tak berniat untuk menjadi kesenangan siapa pun, terlebih lagi rogue.

Seorang rogue berdiri tepat di hadapan Era. Ia menatap Era dan menyeringai. "Sepertinya ini adalah hari keberuntunganku." Ia berpaling pada teman-temannya. "Dia adalah seorang luna."

Era menggigit bibirnya. Rasanya memuakkan, tetapi bila penjelasan jiwa serigalanya dan pelajaran dari Ursa memang benar maka nyawanya sedang terancam. Ia tak bisa melakukan apa-apa selain mengakui hal tersebut. "Aku senang karena kau mengetahui siapa aku. Jadi, kuharap kau jangan mengambil risiko."

Era sudah berusaha bersandiwara sebaik mungkin. Ditekannya ketakutan di dalam dada dan ia mengangkat wajah. Ia balas menatap rogue itu, tetapi yang didapatinya justru adalah gelak tawa yang membahana.

"Lumayan, tetapi itu tak cukup menggertak kami. Kau membutuhkan usaha yang lebih besar dari sekadar gertakan."

Era goyah sementara jiwa serigalanya meradang. Jangan takut, Era. Aku akan melindungimu. Kita tak akan pernah kalah oleh rogue mana pun.

Sepertinya Era berpikir sebaliknya. Ia tak memiliki pengalaman berkelahi dan keadaan itu tak menguntungkan dirinya sama sekali.

Rogue itu maju dan dengan cepat mencekik Era. "Aku penasaran, akan sesenang apakah aku bila berhasil membunuh seorang luna?"

Bajingan.

Kemarahan jiwa serigalanya membuat mata Era mendadak jernih. Teringat olehnya walau hanya sekilas, kejadian ketika Barbara ingin merundungnya. Aku tidak selemah itu.

Wajah Era mengeras dan kedua tangannya naik. Lalu dengan penuh kekuatan, ia menghentakkan satu sikunya di tangan rogue tersebut.

Cekikan terlepas. Era terbebas. Ia meraba leher dan menatap beringas pada rogue itu.

"Jangan sentuh aku."

Seringai lebar membentuk di wajah rogue itu. "Memang, sudah sepantasnya seorang luna melakukan perlawanan dan aku penasaran, apakah kau bisa membuatku berkeringat?"

Rogue itu langsung menyerang Era. Ia mengelak dengan cepat dan tinju rogue itu hanya menghantam udara.

Untuk sedetik yang amat singkat, Era merasa bersyukur juga. Agaknya menjadi manusia serigala tak hanya memberinya tubuh yang kuat, melainkan kepekaan yang lebih sensitif. Instingnya menyala dengan amat tajam sehingga mampu memperkirakan serangan yang akan didapat.

Era kembali berhasil menghindari tendangan yang mengincar perutnya. Ia berkelit dan napasnya mulai memburu.

Rogue itu berhenti sejenak. Dilihatnya Era dengan mata menyipit. "Apa kau tak bisa berkelahi? Kau hanya mengelak dan berkelit saja."

Wajah Era membeku. Jadilah rogue itu merasa di atas awan.

"Baiklah. Kalau begitu, aku tak akan membuang-buang waktu lagi."

Rogue itu kembali menyerang Era dan kali ini ia lebih beringas. Ia tak memberi kesempatan untuk Era sekadar menarik napas. Era terdesak dan satu tinju mendarat di perutnya.

Era terdorong beberapa langkah ke belakang. Ia memegang perut yang terasa pecah. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh dan mendadak saja satu tendangan menerjang dadanya.

Era!

Era kembali terpelanting. Pikirnya, ia tak akan mampu bangkit lagi. Namun, ia terkejut oleh kekuatannya sendiri.

Kaki Era sempat goyah, tetapi ia mencoba untuk mengumpulkan semua tenaga yang tersisa. Ia menarik napas dalam-dalam dan merutuk. Sudah lama aku tak dihajar seperti ini. Aku tak akan membiarkan orang-orang terus menghajarku.

Era teringat akan penyiksaan yang kerap didapatkannya dari Amias dulu dan belum lagi teman-teman sekolahnya semasa tinggal di desa Avaluna dulu. Ia memang menyedihkan dan semua orang memanfaatkan itu.

Sekarang tidak lagi. Era tidak ingin terus-menerus menahan sakit. Dipukul itu menyakitkan. Dihina, apalagi.

Sejenak, Era memejamkan mata. Semua ucapan Ursa menggema di benaknya. Ia berhasil tenang dan ketika membuka mata kembali, rasa panas menjalari sekujur tubuhnya.

Napas Era berubah berat. Ia menggeram, begitu pula dengan jiwa serigalanya.

Rogue berkacak pinggang. "Apakah kita akan menuju menu utama?"

Era tak menjawab. Ia memasang kuda-kuda, bersiap untuk melompat dan tiba-tiba saja ada seseorang yang entah datang dari mana telah berdiri membelakanginya.

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

Suara asing itu membuyarkan konsentrasi Era. Keinginannya untuk berubah terjeda dan ia berusaha untuk melihat pria yang baru datang itu, tetapi punggungnya yang bidang menghalangi niatannya.

Rogue menggeram. "Kau."

"Aku yakin kalian tidak terlalu bodoh untuk tahu di mana kalian berada saat ini," ujar pria itu dengan suara tenang. Dilihat olehnya para rouge secara bergantian. "Walau begitu aku akan bertanya demi memastikan. Apakah kalian tahu, sedang berada di wilayah kekuasaan siapa kalian sekarang? Apa kalian berani mencari masalah?"

Para rogue terdiam, terlebih lagi rogue yang menyerang Era. Wajahnya tampak mengeras dan berubah merah. Jelas sekali, ia merasa marah. Ia malu karena tak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Aku anggap jawabannya adalah ya. Jadi, kuharap kalian pergi dari sini sebelum kesabaranku habis."

Para rogue saling bertukar pandang. Agaknya mereka menyadari bahwa tak ada yang bisa mereka lakukan. Jadilah mereka menekan rasa malu, lalu memutar tubuh, berniat untuk pergi dari sana.

"Satu hal yang perlu kalian camkan." Pria itu kembali bicara dan membuat langkah para rogue tertahan sejenak. "Aku tak ingin melihat kalian lagi di hutan Arbora. Sampai kalian datang lagi dan membuat kekacauan maka kalian harus bersiap dengan akibatnya."

Setelahnya, para rogue benar-benar pergi. Jadilah pria itu berbalik dan melihat Era. Dihampirinya Era.

"Kau tak apa?"

Era mengangguk dengan payah. "Ya, terima kasih untuk bantuannya."

Sesuatu membuat pria itu mendeham dengan kesan ragu. Namun, tak urung ia menebak. "Kau tak tahu siapa aku." Sesuatu di mata Era membuatnya menatap. Lalu matanya membesar. "Kau—"

Ucapannya terputus. Mendadak saja mata Era tertutup dan ia hilang kesadaran. Ia pingsan dan beruntungnya adalah pria itu menangkapnya di waktu yang tepat.

*

Ketika sadar, Era mendapati dirinya berada di mobil ambulans. Ada seorang petugas medis yang mendampingi dan membantunya untuk duduk.

"Tenanglah. Kau aman dan kau tak terluka parah. Kau hanya mengalami lecet-lecet. Semua akan membaik dalam beberapa hari."

Era meraba tubuhnya sepanjang penjelasan tenaga medis. Lalu ia mengangguk. "Terima kasih."

"Sama-sama. Jadi, silakan kau beristirahat sejenak."

Petugas medis berencana untuk turun dari mobil ambulans, tetapi sesuatu membuat Era menahan tangannya. Ia bertanya. "Bagaimana dengan petugas Phillips? Apa dia baik-baik saja?"

"Aku tak tahu pasti," jawab petugas medis itu. "Sekarang dia sudah dibawa ke rumah sakit. Semoga saja tak ada hal serius yang terjadi padanya."

Petugas medis pergi dan tinggallah Era seorang diri. Ia termenung sesaat dan berusaha mengingat semua kejadian tadi. Bola matanya membesar, ia teringat dengan pria yang menolongnya tadi.

Era beringsut dengan hati-hati. Dipastikannya bahwa jarum infus tidak bergeser sama sekali di pergelangan tangan. Ia duduk di belakang mobil, lalu barulah menyadari bahwa keadaan di sekitar sangat ramai.

Ada beberapa mobil polisi. Para polisi tampak menyelidiki sekeliling. Salah seorang di antaranya tampak berbicara dengan pria penyelamat Era tadi.

"Jadi, kau kebetulan sedang lewat sini ketika mendengar suara teriakan. Benar begitu, Simon?"

Simon Harrison Willis mengangguk. "Ya, Detektif. Begitulah."

"Apa kau mengenal mereka?"

"Sepertinya tidak," jawab Simon dengan berpura-pura seperti tengah berusaha mengingat. "Aku tak pernah melihat mereka sebelumnya. Berat dugaanku kalau mereka bukan penduduk asli Runevale."

Detektif mengangguk. "Aku sependapat denganmu. Semua masyarakat di desa Runevale adalah yang terbaik. Mereka tak pernah berbuat masalah. Kalaupun ada masalah, itu pastilah karena orang luar."

Simon tersenyum.

"Oke, sekali lagi terima kasih untuk laporan dan informasinya, Simon," ujar detektif sambil menutup buku catatannya. "Aku akan menghubungimu kalau ada sesuatu."

"Kapan pun, Detektif. Aku senang membantumu."

Mata detektif berkedip sekali. "Sepertinya kau tahu kalau itu hanyalah alasanku untuk bisa bertemu dengan sekretarismu yang cantik itu."

"Oh." Simon kembali berpura-pura. Namun, kali ini ia berpura-pura demi bercanda. Ia seolah syok. "Aku justru baru tahu itu sekarang."

Tawa yang meledak mengiringi kepergian detektif. Simon membuang napas panjang, lalu tersenyum kecil. Instingnya berkata bahwa ada seseorang yang tengah mengamatinya sedari tadi. Jadi, ia pun memutar tubuh dan mendapati Era yang duduk di mobil ambulans.

Simon menghampiri Era. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik. Tadi petugas mengatakan bahwa aku tak terluka, hanya lecet-lecet saja. Ini pasti akan sembuh dalam beberapa hari," jawab Era persis seperti ucapan petugas medis tadi. "Omong-omong, terima kasih banyak untuk bantuanmu tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi kalau kau tak tepat waktu."

Simon tersenyum. Wajahnya tampak teduh. "Sama-sama. Bukan hal besar."

Dia adalah seorang alpha.

Era tersentak. Dahinya mengerut. Apa kau bilang? Seorang alpha?

Ya, Era. Dia adalah seorang alpha, tetapi aku tak tahu dari kawanan mana. Kita belum pernah datang ke sini sebelumnya.

"Ternyata benar."

Suara Simon terdengar dan refleks sana Era mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu.

"Kau adalah—"

"Era!"

Satu teriakan histeris memutus ucapan Simon. Mereka berpaling dan ternyata adalah Madeline, Clara, dan Frida yang datang. Semuanya segera menghambur pada Era dengan wajah panik. Jadilah Simon terpaksa menyingkir dengan bola mata membesar.

"Era. Kau tak apa?" tanya Madeline sembari memeriksa keadaan Era. Ia tampak panik. "Aku mendengar kabar kalau kau diserang oleh para preman."

Era mengerjap beberapa kali. Ucapan Madeline membuatnya refleks melihat pada Simon. Kala itu Simon hanya mengangkat pundak sekilas.

"Ya, Miss," jawab Era membenarkan hal tersebut. Sedikit banyak, ia mengerti mengapa harus berbohong. Mereka tak mungkin mengatakan bahwa dirinya tadi diserang oleh para rogue, manusia serigala liar yang memiliki hobi aneh. Orang-orang bisa menganggapnya gila, persis seperti dirinya yang menganggap Oscar dulu gila. Ehm. Mungkin masih sampai saat ini. "Mereka menyerangku dan setelahnya, aku tak tahu apa yang terjadi."

Madeline mengangguk. "Terpenting adalah kau baik-baik saja, Era. Oh ya, aku mendengar kalau kau ditolong oleh seseorang. Siapa yang menolongmu?"

Era melihat Simon. "Dia adalah orang yang menolongku, Miss."

Madeline berpaling. Dilihatnya Simon yang berdiri sembari bersandar pada pohon dengan kedua tangan bersedekap di dada, ia tersenyum.

"Halo, Madeline."

Sekilas sapaan itu menarik perhatian Era. Namun, ia tak bisa melihat interaksi antara mereka karena Clara dan Frida yang menutupi pandangannya. Hal terakhir yang sempat didengarnya sebelum Frida bicara adalah.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Setelahnya, Era tak mendengar apa-apa lagi.

"Kau baik-baik saja, Era?"

Era mengangguk. "Aku baik-baik saja, Frida. Seperti yang kalian lihat," ujarnya sembari mengulurkan kedua tangan. "Aku tak terluka. Aku hanya lecet-lecet dan petugas medis mengatakan kalau aku hanya butuh istirahat beberapa hari. Setelahnya, aku akan sembuh total."

"Oh, untunglah," kata Clara sambil mengusap dada. "Ketika aku mendapat kabar kau diserang oleh preman, aku sangat ketakutan. Aku sama sekali tak mengira kalau ada preman di sini."

Frida membenarkan perkataan Clara. "Salah satu alasan mengapa orang tuaku mengizinkanku pergi tanpa keluarga adalah karena desa Runevale terkenal dengan keamanannya. Tingkat kriminalitas terendah senegara adalah di sini. Namun, siapa yang mengira kalau Era justru mendapatkan pengalaman buruk."

"Kuyakin, mereka bukan penduduk di sini."

Tentu saja. Kalau mereka penduduk asli sini maka pastilah mereka tidak akan macam-macam. Dia tahu ada alpha yang akan menendang bokong mereka.

Era menggaruk tengkuk. Jiwa serigalanya kembali mengomel. "Polisi akan menangkap mereka. Kalian tak perlu khawatir."

Berbicara mengenai khawatir, tiba-tiba saja Era membeku. Ia terdiam sejenak dan kebimbangan membuat ia bertanya-tanya. Apakah aku harus menghubungi Oscar? Apakah aku harus mengabarkan kejadian ini padanya?

Era memejamkan mata dan refleks saja tangannya memegang kepala. Hal tersebut membuat Clara dan Frida khawatir.

"Era, apakah kau merasa pusing?"

"Mungkin ada baiknya kau kembali berbaring. Kau perlu istirahat."

Era tidak butuh istirahat, tetapi ia tak mendebat hal tersebut. Jadilah ia mengangguk dan kembali masuk, lalu merebahkan tubuh. Sementara Clara dan Frida berjaga di luar, ia pun terus berpikir.

Nama Oscar berputar-putar di dalam kepala, tetapi Era masih bimbang. Ia bisa menebak respons Oscar ketika mengetahui kejadian itu. Namun, tak mengabari Oscar juga bukanlah hal yang baik.

Apa yang harus kulakukan?

Jiwa serigala Era berdecak. Oscar sudah memberi kelonggaran untukmu pergi tanpa Seth. Bila kau tak jujur, aku yakin bukan hanya Seth yang akan mengekorimu nanti.

Era tak ingin mengambil risiko. Kau benar.

Era pun bangkit dan mengambil tas ranselnya. Ia mengambil ponsel dan berniat untuk segera menghubungi Oscar. Namun, ia justru membelalak dengan mulut menganga ketika mendapati ada begitu banyak panggilan tak terjawab dari Oscar.

Era meneguk ludah. Sial.

*

bersambung ....

Note: Aku minta maaf, tetapi sepertinya aku ga bisa updat tanggal 8 dan 9 Februari 2024. Ada urusan penting. Jadi, kita ketemu lagi di tanggal 12 Februari 2024. Makasih untuk pengertiannya (❁'◡'❁)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top