23. Selenophile: Dua Puluh Tiga

Untuk sesaat, Era tak bereaksi. Ia tak menanggapi perkataan Oscar ketika benaknya justru dipenuhi oleh beragam tanda tanya ketidakpercayaan. Apakah aku tak salah mendengar? Apakah barusan Oscar mengizinkanku untuk pergi tanpa Seth?

Oh, sial, Era. Sepertinya Oscar mencintaimu.

Era mengerjap. Jadilah ia bertanya pada jiwa serigalanya. A-apa? Apa yang kau bilang barusan?

Oscar mencintaimu.

Wajah Era berubah pucat. Tanpa sadar, ia bergumam. "Tidak mungkin."

"Apanya yang tidak mungkin?" tanya Oscar sembari mengerutkan dahi. "Apa ka—" Ia menyipitkan mata dan bangkit. Tatapan menajam dan ia tersenyum sedetik kemudian. "Apa yang kalian bicara?"

Percaya padaku. Oscar mencintaimu. Jadi—

Era memelotot. Diam kau!

Sontak saja tawa Oscar menyembur. "Apakah itu pembicaraan antar gadis yang tak boleh kuketahui?"

"Ka-kami tak membicarakan apa-apa," ujar Era memaksa diri untuk berbohong. Hasilnya Oscar malah mengulum senyum dan ia merutuk habis-habisan di dalam hati. "Itu adalah omongannya, bukan omonganku."

"Apakah kau tak mempercayainya?"

Mata Era membesar. "Tentu saja ya."

"Apakah dia pernah membohongimu?"

Mata Era mengecil perlahan. Suaranya terdengar melemah. "Tentu saja tidak." Ia membuang napas panjang. "Dia selalu jujur dan dialah yang paling mengkhawatirkanku selama ini. Jadi, dia tak akan pernah membohongiku."

Era.

Era mengerjap dan jadi bingung sendiri. "Aku. Ehm."

"Sepertinya kau lelah karena terlalu memikirkan soal penelitianmu itu."

"Mungkin." Era menarik udara sebanyak-banyaknya, lalu dirinya mulai merasa lebih tenang. Ia pun memutuskan untuk memindahkan topik pembicaraan. "Walau begitu aku berterima kasih."

"Berterima kasih?"

"Karena kau membiarkanku pergi tanpa Seth," ujar Era mengangguk sekali dengan mata yang menghindari tatapan Oscar. Sungguh, ia tak ingin tertangkap basah lagi. "Aku terhindar dari situasi tak nyaman karena pertanyaan heran orang-orang."

Oscar mengangkat dagu Era. "Jangan hanya mengingat bagian itu saja, Era. Jangan lupa untuk selalu mengabariku."

"Ya. Aku akan mengingatnya. Aku akan selalu mengabarimu. Dasar posesif."

"Kau tentu tahu bukan?" tanya Oscar tanpa menunggu jawaban Era. "Terlepas dari apa pun yang terjadi, keberadaan Seth memang ada gunanya. Lagi pula sebenarnya aku bukannya posesif, melainkan peduli. Kuharap kau tahu perbedaannya. Kalau posesif, kupastikan kau tak akan bisa meninggalkan Istana selangkah pun."

Era mengatupkan mulut rapat-rapat. Ia tak berkutik. Perkataan Oscar memang benar.

"Selain itu, aku hanya mengharapkan kabarmu. Setidaknya aku harus tahu keadaanmu. Aku harus memastikan keselamatanmu dan kepedulianku sudah cukup terbukti menyelamatkanmu."

Era benar-benar tersudut. "Baiklah, Oscar. Aku berjanji, aku akan selalu mengabarimu. Kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan melanggar janji."

"Bagus, aku senang mendengarnya." Oscar tersenyum dan tanpa peringatan sama sekali, ia menunduk. Diciumnya Era. "Apakah kau butuh bantuanku untuk berkemas?"

Era menggeleng kaku. "Tidak perlu. Ini akan selesai cepat. Lebih baik kau menunggu di luar saja."

"Baiklah. Padahal aku tak keberatan untuk mengemas pakaian dalammu."

Bola mata Era membesar, tetapi Oscar sudah keburu melangkah pergi. Jadilah ia mengepalkan tangan dengan kesal. "Dasar pria gila."

*

Sebelum pukul lima pagi, Era dan kedua orang temannya telah tiba di kampus. Mereka tak menunggu lama dan Madeline pun tiba.

"Selamat pagi."

Mereka membalas sapaan Madeline bersamaan. "Selamat pagi, Miss."

Madeline memeriksa semua perlengkapan mereka dan memastikan bahwa tak ada yang terlewatkan. Lalu mereka mulai memasukkan semua buku literatur dan perlengkapan penelitian ke bagasi mobil. Setelahnya mereka pun pergi.

Sesuai dengan harapan Madeline, perjalanan menuju desa Runevale tidak menghalangi hambatan sama sekali. Kebetulan sekali jalanan tidak macet sehingga mereka bisa tiba lebih cepat dari perkiraan.

Madeline segera menuju hotel. Dua orang petugas hotel membantu mereka menurunkan barang-barang sementara ia berpesan.

"Lebih baik kalian istirahat dulu. Nanti, kita akan berdiskusi mengenai kegiatan besok saat makan siang nanti."

Mereke menuju ke kamar masing-masing. Era melepaskan tas rasel dan juga jaket, setelahnya merebahkan tubuh di tempat tidur.

Untuk sesaat, Era tak melakukan apa pun. Ia hanya memandangi langit-langit dan pelan-pelan senyum pun mekar di wajahnya. Oscar benar-benar menepati perkataannya. Seth sama sekali tidak mengikutiku.

Sejujurnya Era sempat meragukan ucapan Oscar. Siapa yang bisa menebak? Mungkin saja Oscar hanya bermanis mulut saja. Bisa jadi Oscar berkata demikian, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, diam-diam menyuruh Seth untuk tetap mengikutinya tanpa sepengetahuan dirinya.

Jadilah sepanjang perjalanan tadi Era terus menerus melihat pada spion. Dipastikannya tak ada mobil yang sama berada di belakang mobil Madeline.

Kekhawatiran Era lenyap, tetapi bukan berarti ia abai akan sesuatu yang penting. Ia merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Tanpa membuang waktu, ia segera menekan kontak Oscar.

Era menarik napas dan udara tertahan di dada ketika mendengar suara Oscar. Panggilan itu bahkan belum tersambung lebih dari satu detik.

"Halo."

Era mendeham sejenak. "Halo, Oscar. Apa aku mengganggumu? Ehm. Ini jam kerja, sebenarnya aku tak yakin untuk menghubungimu, tetapi seperti janjiku, aku harus mengabarimu sesering mungkin. Jadi, aku tak ingin mendengarmu mengomel karena mengganggu waktu bekerjamu."

"Kau tak pernah mengganggu waktu bekerjaku. Malah sekarang kupikir mungkin ada baiknya untukku mengetahui jadwal harianmu, jadi aku akan menyesuaikan waktu bekerjaku. Rapat, pertemuan dengan klien, survei lapangan, a—"

"Tidak," potong Era cepat. Refleks, ia bangkit dengan mata membesar. Terlintas di benaknya cerita Ursa beberapa waktu lalu. Cukuplah penghuni Istana yang kelabakan, ia tak ingin membuat orang-orang di kantor Oscar mengalami hal serupa. "Tidak perlu, Oscar. Seperti yang kau bilang, aku tak pernah mengganggu waktu bekerjamu. Jadi, tak masalah bukan kalau aku menghubungimu kapan saja? Tak ada hubungannya dengan jadwal harianmu bukan?"

"Kau benar."

Mata Era terpejam seiring dengan dirinya yang membuang napas lega.

"Oh ya. Jadi, apakah kau sudah sampai?"

"Ya. Aku sudah sampai dengan selamat dan sekarang sudah berada di hotel. Jadi, rencananya aku akan mengeluarkan barang-barangku, baru setelahnya aku akan beristirahat sampai makan siang nanti."

"Baiklah. Kau beristirahatlah. Kuyakin, kau akan sangat sibuk beberapa hari ke depan. Satu hal lagi, segera hubungi aku kalau terjadi sesuatu."

Era tak mendebat. Mengiyakan perkataan Oscar akan menjadi pilihan yang tepat. "Baik, Oscar. Kau tak perlu khawatir."

Panggilan berakhir. Era merasa beban ratusan kilogram terlepas dari pundaknya. Jadilah sekarang ia bisa kembali merebahkan tubuh di tempat tidur. Setidaknya, kali ini ia benar-benar bisa melepaskan diri dari Oscar dan semua yang berhubungan dengannya walau hanya untuk sementara.

*

Desa Runevale adalah salah satu desa di pinggiran Celestial City yang cukup terkenal oleh masyarakat luas. Ia berada di lembah yang terlindungi oleh perbukitan dan dikelilingi oleh hutan eksotis sehingga terciptalah keajaiban yang memikat. Dipancarkannya aura kedamaian dan keanggunan yang sulit ditemukan di tempat lain. Terlebih lagi di tengah-tengah desa terdapat Town Square yang menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi yang menjadi kebanggaan para penduduknya.

Town Square memiliki bangunan-bangunan bersejarah dengan arsitektuk pedesaan yang memukau. Di sana, ada alun-alun yang dihiasi oleh aneka bunga bewarna-warni. Selain itu, pasar tradisional yang berisikan penjual sayur, buah-buahan segar, dan kerajinan tangan lokal, menciptakan kehidupan yang ramai dan penuh warna.

Hal paling mencolok dari desa Runevale adalah adanya festival lokal yang selalu berhasil menjadi daya tarik para turis, baik lokal maupun internasional. Tak sedikit dari mereka yang sengaja datang hanya untuk menikmati festival lokal, bahkan di antaranya adalah para pasangan yang tengah berbulan madu.

Persis seperti desa-desa yang terletak di pinggiran kota lainnya, desa Runevale juga memiliki harmonisasi berkat keberadaan hutan eksotis di dekatnya, hutan Arbora. Masyarakat amat membanggakan hutan Arbora karena pesona pepohonan redwood yang menjulang dan moonlit lily yang mekar pada malam purnama. Jadilah mereka menerapkan aturan yang cukup ketat bagi semua penduduk desa dan juga pengunjung untuk selalu menghormati dan menjaga keseimbangan alam sekitar.

Berkat itulah Madeline mengalami kesulitan demi mendapatkan perizinan untuk melakukan penelitian. Ia sedikit kewalahan meyakinkan para pejabat desa ketika meyakinkan bahwa ia tak akan merusak hutan Arbora. Sebaliknya, ia jabarkan tujuan jangka panjang penelitiannya yang memprioritaskan untuk mendata tumbuhan eksotis dan menyimpan sampelnya sebagai informasi berharga yang pasti akan berguna demi keberlangsungan hutan di masa mendatang.

Pagi itu, Madeline bersama dengan Era, Clara, dan Frida telah berkumpul di lobi hotel. Mereka berdiskusi dengan para pejabat desa mengenai teknis keberangkatan dan menjelaskan secara singkat agenda acara itu. Pejabat desa paham dan telah menyiapkan empat orang polisi hutan untuk menemani mereka.

Diskusi berakhir. Madeline memastikan mereka membawa peralatan masing-masing. Selain itu, ia pun tak lupa berpesan.

"Selalu aktifkan ponsel kalian. Segera hubungi aku atau yang lainnya bila terjadi sesuatu."

Era dan teman-temannya mengangguk. Lalu, mereka berpisah mengingat ada empat titik hutan Arbora yang harus mereka survei dan setiap polisi hutan bertugas untuk mengantar, serta menemani mereka selama di hutan.

Bagian barat hutan Arbora menjadi tanggung jawab Era. Ia dan polisi hutan yang bernama Henry Phillips tiba sekitar empat puluh menit kemudian. Mobil berhenti di pinggiran hutan, lalu keduanya turun.

Henry berkacak pinggang sesaat sembari mengamati keadaan sekitar, lalu berkata sambil mengangkat boks botani. "Mari, Ross."

Era mengangguk dan keduanya masuk ke hutan. Ia mencari lokasi yang memenuhi syarat survei, lalu mulai melakukan pengamatan.

Tas ransel turun. Era mengeluarkan peralatan dari dalam tas ransel. Ia mengamati tumbuhan dengan teliti dan mulai mengambil sampel yang dibutuhkan. Lalu semuanya disimpan di boks botani yang dibawa oleh Henry.

"Lanjut?"

Era mengangguk sambil mengangkat tas ranselnya kembali. "Ya."

Waktu berlalu dan Era sudah mendapatkan enam lokasi yang berbeda. Selama Era melakukan pengamatan, Henry hanya duduk di bawah pohon sembari memainkan ponsel. Bukan karena tak ingin membantu, melainkan karena ia pun tidak memiliki kompetensi di bidang tersebut. Jadilah ia diam saja dan malah mengamati Era yang serius.

Gemerisik menarik perhatian Henry secara alamiah. Ia berpaling dan segera bangkit dengan dahi mengerut. Dilihatnya semak-semak bergoyang. Ia menunggu, tetapi tak ada yang terjadi setelahnya.

Henry yang telah siap mengambil pistol di pinggangnya membuang napas panjang. Tangannya turun dari pinggang dan kembali berpaling. Ia berniat untuk kembali melihat Era dan tiba-tiba saja ada cengkeraman yang mencekik lehernya.

Napas Henry terhalang. Matanya memelotot dan ia berusaha melepaskan diri sambil berusaha bicara. "Ro-Ro—"

Henry tak bisa memperingatkan Era. Sebaliknya, ia malah terlempar beberapa meter dan menghantam pohon besar. Ia terjatuh di tanah, lalu tak sadarkan diri.

Suara itu membuat Era terlonjak. Ia berpaling dan kaget melihat keadaan Henry. Setelahnya, barulah ia menyadari bahwa ada seorang pria asing yang berdiri tak jauh darinya.

"Siapa kau?"

Pria itu tak seorang diri. Sedetik kemudian Era melihat ada enam orang lainnya yang keluar dari balik semak-semak. Tubuh mereka kekar dan wajah mereka menakutkan, tampak tak ada belas kasih sama sekali.

"Siapa kalian?"

Tak ada yang menjawab. Mereka justru mulai melangkah dan mendekati Era.

"Jangan mendekat," ujar Era berusaha untuk tidak panik. Ia meraba saku celana dan merutuk. Ponselnya ada di dalam tas karena ia takut akan menjatuhkannya selama menjelajahi hutan. "Aku bilang, jangan mendekat!"

Mereka tak menghiraukan ucapan Era dan semakin mendekat. Era tak lagi bisa tenang, diputuskannya untuk segera berlari dari sana.

Era mencoba untuk lari sekuat tenaga, tetapi ketujuh pria itu mengejarnya seperti tak mengalami kesulitan sama sekali. Mereka semakin dekat dan akhirnya, salah seorang dari mereka berhasil mendorong tubuh Era.

Mata terpejam. Era tak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya terdorong dan ia bergulingan di tanah. Ia meringis, rasa sakit mengingatkannya akan kejadian di hutan Lunaria. Sialan, aku benci hutan.

Era menggigit bibir dan berusaha menahan rasa sakit. Ia bangkit dengan penuh perjuangan. Disadarinya, para pria itu telah mengurungnya. Oh, astaga. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Sekilas melihat saja Era sudah mengetahui bahwa mereka bukanlah orang biasa. Mereka tampak kuat dan tak memiliki belas kasih. Walau begitu ada satu tanya yang melintas di benaknya.

"Apa yang kalian inginkan?"

Era berusaha mengingat, tetapi ia yakin bahwa ia tak mengenal mereka. Seorang pun tak dikenalnya.

"Kau cerewet sekali, Era."

Era mengerutkan dahi. "Kau tahu namaku? Apakah aku mengenalmu?"

Era tak mendapatkan jawaban berupa kata-kata, melainkan tindakan. Pria itu maju dan tiba-tiba saja Era mendapati tubuhnya melayang di udara.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top