23. Psithurism: Dua Puluh Tiga

Era bergeming seiring dengan dirasakannya perubahan atmosfer di ruangan itu. Dia mendeham, lalu menarik napas, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dilihatnya Philo yang baru saja mengatakan sesuatu yang tak masuk akal untuknya. Aku adalah keturunan terakhir Kawanan Selunar? Tak mungkin.

Kemudian Era beralih pada Dom. Dia ingat, beberapa saat yang lalu, mungkin hanya berselang beberapa menit sebelumnya, Dom sempat menanyakan perihal kemungkinan bahwa orang tuanya bukanlah orang tua kandung. Bagaimana mungkin dia menanyakan hal aneh seperti itu.

Terakhir, Era menatap Oscar. Dia diam sejenak sebelum akhirnya bicara dengan suara lirih. "Bukan, Oscar." Dia menggeleng. "Itu bukan aku. Aku tak mengetahui apa-apa soal Kawanan Selunar. Itu adalah gosip yang tak mendasar sama sekali. Aku adalah putri dari Amiass Ross dan Sylvie Blair."

Kali ini Oscar yang tak mengatakan apa-apa. Hanya ditatapnya Era dengan lekat dan tanpa kedip. Sorot matanya tak terbaca hingga membuat Era menjadi tak nyaman.

Era menggigit bibir bawah. Dicobanya untuk mengendalikan diri ketika rasa tak nyaman itu menimbulkan gelagat aneh. Tepatnya, itu bukanlah sekilas gelisah yang bisa diabaikannya begitu saja.

Rasa tak nyaman itu muncul setitik. Lalu ia tumbuh dan menciptakan sulur-sulur yang merambati sekujur tubuh Era. Ia merengkuh setiap jalinan tali saraf dan meracuni setiap aliran darah di pembuluh darah Era. Ia tak melepaskan Era.

Era mengerjap dan tangannya refleks naik. Diusapnya setitik basah yang mendarat di pipi—air mata.

"Era."

Era merintih. "Oscar. Itu bukan aku."

"Kita akan mencari kebenarannya," ujar Oscar sembari menenangkan Era. "Kita akan mengetahui semua secepatnya. Aku berjanji."

Era memejamkan mata dengan dramatis. Sebabnya, mendadak ada satu hal menggema di benaknya. Bagaimana kalau aku yang tak ingin mengetahuinya?

"Sekarang, mungkin lebih baik kalau kau beristirahat, Era. Kau pucat dan berita ini membuat keadaan semakin lebih buruk."

Era tak menolak. Dia hanya mengangguk dan bangkit.

Oscar meraih tangan Era. Diajaknya Era untuk beranjak dari sana tanpa lupa memberikan isyarat mata pada Philo dan Dom—mereka akan bertemu nanti, paling tidak setelah Era beristirahat.

Tiba di kamar, Oscar segera membaringkan Era di tempat tidur. Diselimutinya Era dengan penuh perhatian. Dipastikannya Era untuk benar-benar merasa nyaman.

"Oscar."

Oscar mendapati Era meraih tangannya, lalu menariknya pelan, isyarat untuknya agar tidak pergi. Alhasil, dia pun duduk di tepi tempat tidur.

"Ada apa?" tanya Oscar sembari merapikan sejumput anak rambut di dahi Era. Lalu dibelainya tangan Era yang masih menggenggamnya. "Apakah kau menginginkan sesuatu?"

Era menggeleng. "Tidak. Aku hanya ...." Ucapannya menggantung. Sebagai ganti, dia malah mengembuskan napas panjang. "Apa yang dikatakan oleh Dom dan Philo benar-benar tak masuk akal. Mustahil Mama dan Papa bukan orang tua kandungku. Lebih mustahil lagi kalau aku adalah keturunan terakhir Kawanan Selunar."

Oscar diam. Tak dikomentarinya ucapan Era. Sebaliknya, dia hanya menatap Era.

"Aku tak tahu mengapa mereka mencariku hingga tega menculik Papa, tetapi aku yakin ada kesalahan di sini," ujar Era sembari terus menahan gelisah. Dia bergumam. "Mereka salah mengira. Aku bukanlah keturunan terakhir Kawanan Selunar."

Pada titik itu, Oscar hanya bisa mengangguk demi menenangkan Era. Tak dibantahnya dugaan serupa harapan yang Era suarakan. Sebabnya, firasatnya mengatakan yang sebaliknya.

Oscar yakin, Era menyadari bahwa rumor itu benar adanya. Dia tahu, Era pastilah menyadarinya. Pun dia bisa meraba bahwa Era melakukan penolakan karena semua benar-benar di luar dugaannya.

Kehidupan Era mungkin tidak terlalu membahagiakan. Dia harus berjuang, terlebih bertahan di bawah perlakuan Amias yang kerap menyiksanya. Namun, dia tetap memiliki sekelumit kenangan indah, yaitu Sylvie.

Sepanjang hidupnya, Sylvie sangat menyayangi Era. Sylvie adalah ibu dan pelindung terbaik untuknya. Jadi, mungkin akan menjadi hal menyakitkan untuknya bila kenyataannya adalah Sylvie bukan ibu kandungnya.

"Semua akan baik-baik saja, Era." Oscar membelai Era dengan penuh kelembutan. "Percaya padaku."

Sejujurnya, ada banyak hal yang ingin dikatakan oleh Era, mayoritas seputar rasa tak percaya dan kegelisahannya. Namun, tatapan Oscar menenangkannya. Ucapan Oscar membuat jiwanya merasa tenteram. Dia merasa damai dan pada akhirnya, matanya pun terpejam.

Era tidur. Oscar pun merasa lega. Walau demikian dia tak akan langsung pergi dari sana. Diputuskannya untuk menemani Era sedikit lebih lama.

Persisnya sekitar setengah jam Oscar menemani Era tidur. Setelah dia yakin bahwa Era benar-benar terlelap maka dia pun beranjak dari kamar dengan penuh kehati-hatian. Diusahakannya untuk tak membuat sedikit suara pun yang bisa mengusik tidur Era.

Oscar menutup pintu kamar. Lalu, dia memanggil Aaron. "Era sedang tidur. Jadi, pastikan tidak ada yang mengganggu tidurnya."

Aaron mengangguk. "Baik, Alpha."

"Selain itu," lanjut Oscar sembari menatap Aaron. "Jaga dia ketika bangun nanti. Temani dia." Dia mengangkat tangan dan meremas lengan atas Aaron. "Aku mengandalkanmu, Aaron."

Aaron tersenyum dengan penuh pengertian. "Tentu saja, Alpha. Kau tak perlu khawatir. Luna akan baik-baik saja."

Perasaan Oscar menjadi lebih tenang. Sebabnya, dia yakin bahwa Aaron adalah salah satu orang yang bisa diandalkannya untuk menemani Era. Biasanya mereka membicarakan banyak hal dan itu adalah hal menyenangkan untuk Era.

Satu kekhawatiran Oscar telah teratasi. Era sudah beristirahat dan Aaron menjaganya. Maka sekarang adalah waktunya untuk dia mengurus hal lain.

Oscar segera menuju ke ruang kerja. Di sana, Philo dan Dom sudah menunggu kedatangannya.

"Pertama, Dom," kata Oscar langsung setelah dia duduk di kursi. Dia tak berbasa-basi sama sekali dan langsung memberi perintah. "Segera balas surat dari Kawanan Lynoria. Katakan pada mereka bahwa hanya ada satu cara untuk bisa mendapatkan Era, yaitu dengan menghabisi nyawaku."

Wajah Dom dan Philo berubah walau mereka tak mengatakan apa-apa. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa hal tersebut bisa memercik peperangan. Namun, di sisi lain mereka jelas menyadari bahwa tindakan Oscar sudah sepantasnya demikian.

Tindakan Kawanan Lynoria sudah melewati batas toleransi. Tentunya Oscar tak akan tinggal diam melihat Era diperlakukan seperti sebuah benda yang bisa berpindah-pindah kepemilikannya. Dia tak akan bersabar dan dia tak pernah bisa bersabar. Dia tak akan melepaskan Era apa pun yang terjadi.

"Sampai kapan pun, bahkan sampai dunia kiamat, aku tak akan membiarkan mereka bisa merebut Era dariku," ujar Oscar dengan kegeraman yang tak main-main. Wajahnya tampak mengeras, menunjukkan tekad yang tak terbantahkan. "Aku menantang Nicholas untuk bertarung satu lawan satu."

*

Istirahat yang cukup tak pernah menjadi jawaban untuk rasa gelisah yang tengah diderita, Era telah membuktikannya. Tak peduli sesering apa dia tidur atau selama apa dia tidur, pada kenyataannya itu tak membuat perasaannya menjadi lebih baik. Sebaliknya, dia malah kian tersiksa. Ketika tidur dia terjerat mimpi buruk dan tatkala bangun maka dia dihadapi oleh kenyataan buruk.

"Oscar?"

Era memandangi berkeliling dan mendapati keadaan kamar yang sunyi. Hanya ada dirinya di sana. Dia seorang diri, Oscar tak ada.

Rasa berat membuat napas Era tersendat. Persis seperti ada beban ratusan ton yang berusaha membuatnya tak berdaya. Namun, dia berhasil menggerakkan tubuhnya walau dengan bersusah payah. Dia turun dari tempat tidur dan bersamaan dengan itu, ada Aaron masuk.

"Luna." Aaron segera menghampiri dan membantu Era. "Bagaimana keadaanmu?"

Era meringis tertahan. Dia duduk dan Aaron dengan cekatan menyiapkannya segelas air hangat. "Aku tak pernah merasa seburuk ini, Aaron." Disambutnya air hangat itu dan diminumnya beberapa teguk. "Menurut Landon, aku baik-baik saja. Aku hanya perlu beristirahat, tetapi mengapa tubuhku terasa benar-benar tak berdaya?"

Aaron menerima kembali gelas tersebut, lalu menaruhnya di meja.

"Apa kau mengerti maksudku, Aaron?" tanya Era dengan wajah penuh bingung. "Aku makan. Aku tidak telat makan dan aku yakin, tentunya kau memastikan semua makananku adalah makanan yang bergizi. Selain itu, Landon pun telah memberikanku vitamin tambahan. Namun, aku benar-benar merasa lemah."

Aaron tampak melihat Era dengan tatapan penuh simpatik. "Itu karena perasaanmu selalu gelisah, Luna. Perasaanmu tak tenang dan pada akhirnya semua yang kami lakukan tak akan memberikan dampak apa pun untukmu."

Ucapan Aaron membuat Era tertegun. Dia hanya bisa mengangguk samar dan tersenyum tipis. "Sepertinya kau benar. Perasaanku memang tak tenang selama beberapa bulan belakangan ini."

"Jadi, bagaimana kalau aku menyeduhkan teh kamomil untukmu, Luna?" tawar Aaron sembari tersenyum lembut. "Apakah kau mau?"

Kali ini senyum di wajah Era merekah lebar dan begitu lepas, nyaris tertawa. "Kau, Aaron." Lalu dia mengangguk. "Baiklah. Aku sudah melihat kehebatan teh kamomilmu terhadap emosi Oscar. Jadi, aku tak akan menolaknya."

Aaron menyajikan secangkir teh kamomil untuk Era tak lama kemudian. Disilakannya Era untuk menikmati tersebut. Lalu dia bertanya. "Bagaimana, Luna?"

Napas Era berembus serupa alunan. Ditaruhnya cangkir teh kembali di tatakan setelah menikmati beberapa kali sesapan. "Akhirnya aku tahu alasan sehingga Oscar berencana untuk mendirikan perkebunan kamomil," ujarnya sembari melihar Aaron. "Teh kamomilmu memang yang terbaik."

"Terima kasih, Luna."

Era merasa dirinya menjadi lebih tenang. Bukan berarti semua gelisah dan perasaan tak tak nyamannya hilang dengan serta merta, tetapi paling tidak sekarang dia bisa bernapas dengan lebih ringan dari sebelumnya.

"Oh ya, Aaron." Era teringat sesuatu. Jadilah dia berpaling dan bertanya. "Di manakah Oscar? Aku tak melihatnya."

"Aku yakin Alpha sedang berada di ruang kerjanya, Luna. Apakah kau ingin menemuinya?"

Era mengangguk. "Ya. Aku akan ke ruang kerjanya dan kau tak perlu mengantarku. Aku baik-baik saja."

Segera saja Era bergegas keluar dari kamar sebelum Aaron meyakinkannya untuk menemaninya. Dia tak ingin merepotkan Aaron. Terlebih karena dia menyadari bahwa dia sudah cukup merepotkan Aaron beberapa hari ini. Sebabnya, Oscar yang amat mengkhawatirkan kesehatannya telah memerintahkan Aaron untuk melayani semua keperluannya secara khusus.

Era hanya berharap agar Aaron tak ikut-ikutan sakit karena mengurusi dirinya. Selain itu, dia sengaja memberikan sedikit waktu agar Aaron bisa beristirahat. Jadi, beralasan ingin menemui Oscar adalah pilihan tepat.

Langkah Era terjeda di depan pintu ruang kerja Oscar. Tangannya naik, berniat untuk mengetuk. Namun, tiba-tiba saja dia bergeming.

Tangan Era menggantung di udara. Napasnya tertahan di dada. Dia mematung ketika merasakan ada sesuatu yang mengusik perasaannya.

Rasanya panas, persis seperti kobaran api yang bersumpah akan melahap apa pun di hadapannya. Ia juga tajam, seolah menyeruak dari dalam jantung dan menusuk keluar sehingga darah pun bersemburan ke mana-mana. Ia menjanjikan kematian.

Era tersentak. Sekarang, napasnya malah memburu. Lalu dia menggeleng. Ini bukan kemarahanku. Ini adalah Oscar.

Tangan Era meraih daun pintu dengan cepat. Dibukanya pintu dan tatapannya langsung membentur tatapan Oscar.

"Era," lirih Oscar kaget. Wajahnya tampak memerah, perpaduan antara ekspresi kemarahan dan kekagetan. "Mengapa kau di sini? Seharusnya, kau beristirahat. Di mana Aaron?"

Era mengabaikan semua pertanyaan Oscar. Dihampirinya Oscar dan malah balik bertanya. "Apa yang terjadi padamu, Oscar?"

"Aku?" Oscar tampak kebingungan sesaat, tetapi setelahnya dia hanya memejamkan mata. Dia menggeleng, mencoba untuk mengelak. "Tidak ada apa-apa, Era. Semua baik-baik saja."

Era tak percaya. "Bohong. Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, Oscar."

Oscar tak sempat memberikan pembelaan ketika Era beranjak dari sisinya. Dilihatnya Era menatap bergantian pada Philo dan Dom, seolah meminta petunjuk. Namun, mereka bergeming.

Era meringis tertahan, tetapi tak kehilangan akal. Diedarkannya pandangan ke sekitar dan lalu dia menemukan sehelai kertas yang telah diremas di atas lantai. Dia tahu, itu adalah kebiasaan Oscar.

Tanpa keraguan sedikit pun, Era mengambil sehelai kertas yang ternyata adalah surat balasan dari Kawanan Lynoria. Dibacanya kata demi kata yang tertulis di sana dan dia bertanya. "Apakah maksudnya ini, Oscar? K-kau akan bertarung hidup dan mati?"

Oscar diam. Kedua tangannya berkacak di pinggang.

"Oscar."

Oscar menyerah. "Aku yakin, itulah yang tertulis di sana. Nicholas tidak akan mundur. Aku menantangnya untuk bertarung satu lawan satu dan dia menantangku balik, bertarung hingga mati."

Surat itu terlepas dari tangan Era. Tubuhnya terasa limbung. Kedua kakinya goyah dan semua nyaris bergoyang-goyang di matanya. Dia pun buru-buru berpegang pada meja.

"Katakan padaku kalau kau menolaknya, Oscar," lirih Era sembari menatap Oscar. Dia menunggu, tetapi Oscar hanya diam. Oscar memberikan jawaban untuknya tanpa sepatah kata pun. "Kau tidak boleh menerima tantangan ini."

Oscar tahu, itu akan menjadi perdebatan yang menguras emosi. Oleh karena itu diberikannya isyarat pada Philo dan Dom agar keluar dari sana. Setelahnya, dia pun menghampiri Era, mengajaknya duduk.

"Aku harus menerima tantangan ini, Era."

Jantung Era seolah berhenti berdetak. "O-Oscar, ini adalah pertarungan hidup-mati. I-itu artinya kau bisa saja mati."

"Atau aku bisa saja hidup."

Air mata menetes di pipi Era. "Kumohon, Oscar."

"Maafkan aku, Era," pinta Oscar sambil mengusap lelehan air mata di pipi Era yang terus menderas. "Sebagai pasanganku, seharusnya kita mendiskusikan semua hal, tetapi tidak untuk yang kali ini."

Era memejamkan mata dengan dramatis. Ternyata, ketakutannya memang terus berlanjut. Setelah hal buruk menimpa Amias dan Dree maka sekarang Oscar.

Tangis Era semakin menjadi-jadi. Terlebih ketika ketakutan itu mulai bermain-main dengan bayangan mengerikan. Jadilah benaknya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan tragis yang bisa saja terjadi pada Oscar.

"Era."

Oscar menarik tubuh Era. Direngkuhnya Era. Diusapnya punggung Era. Dicobanya untuk meredakan tangis Era walau dia tahu, itu pastilah percuma. Sebabnya, pelukannya justru membuat tangis Era semakin menjadi-jadi.

"Kau pernah berkata akan memberikan apa pun untukku, Oscar. Apakah kau tak bisa mengabulkan permintaanku kali ini?"

Oscar tersenyum perih. Dia ingat betul, Era tak pernah meminta apa pun padanya. Sayangnya, hal pertama yang diinginkan Era justru tak mampu diberikannya.

"Maafkan aku, Era, tetapi aku berjanji. Setelah semua ini berlalu maka aku akan menepati janjiku. Untuk itu, kau harus mengetahui sesuatu."

Oscar mengurai pelukannya. Diciptakannya sedikit jarak agar bisa dilihat olehnya wajah Era. Dibersihkannya jejak air mata di sana hingga disadari olehnya bahwa Era menatapnya dengan sorot yang menyiratkan beragam emosi. Di sana, ada ketakutan, ketidakberdayaan, dan terutama pengharapan.

Rasa bersalah menggelayuti benak Oscar. Dia tahu, dia harus menjawab tantangan Kawanan Lynoria. Namun, di lain pihak, dia tak mengira bahwa hal tersebut akan membuat Era amat bersedih.

"Aku mencintaimu, Era," ucap Oscar setelah berhasil menenangkan gejolak perasaan yang membuncah di hatinya. Lalu dia membelai kepala Era, merapikan rambutnya yang berantakan, dan lanjut bicara dengan penuh keseriusan. "Kau adalah harga diriku dan Kawanan Xylvaneth. Jangankan mengharapkanmu atau menyentuhmu, bahkan hanya memikirkanmu dengan cara yang salah adalah sebuah dosa tak termaafkan. Untuk itu aku akan mempertahankan martabatmu apa pun yang terjadi, sekalipun itu berarti harus mempertaruhkan nyawaku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top