22. Selenophile: Dua Puluh Dua
Pagi itu, Era bangun lebih cepat dari biasanya. Sebabnya adalah ia memiliki agenda pertemuan dengan Madeline hari itu. Persis seperti diskusi singkat mereka kemarin, tim penelitian yang melibatkan dirinya, Madeline, Clara, dan Frida akan bertemu berkenaan dengan rencana penelitian yang akan dilakukan.
Era segera turun dari tempat tidur. Diambilnya ikat rambut di nakas dan ia menguncir rambutnya dengan asal. Setelahnya ia berniat untuk segera menyiapkan sarapan, tetapi ponsel berdering dan jadilah bola matanya berputar dramatis ketika mengetahui siapa yang menghubunginya sepagi itu. Tentu saja, Oscar.
Tebakan Era adalah Seth telah melaporkan kejadian kemarin pada Oscar. Untuk itu ia mempersiapkan diri dan segera mengangkat telepon Oscar sebelum ponselnya meledak. Ia yakin, Oscar tak akan berhenti menghubunginya sebelum ia mengangkat panggilannya.
"Halo."
"Halo, Era. Bagaimana kabarmu?"
Era putuskan untuk meladeni Oscar sembari membuat sarapan. "Baik dan masih hidup. Setidaknya tidurku lumayan nyenyak semalam."
"Ehm." Oscar mendeham sejenak. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Tidak, tetapi kupikir belakangan ini hidupku memang tak tenang," ujar Era sambil membuka kulkas. Ia mengambil bayam, timun, wortel, dan dua butir telur. "Entah mengapa, selalu saja ada masalah yang terjadi."
"Kau bisa menceritakannya padaku, Era. Kau tahu, aku akan selalu mendengarkan ceritamu dan menyelesaikan semua masalahmu. Jadi, apa masalahmu?"
Era menjawab. "Kau, Oscar. Masalahku adalah kau."
Hening sejenak. "Kau serius?"
"Tentu saja. Kau selalu saja muncul dan membuat hari-hariku naik turun seperti roller coaster." Era beranjak dan mengambil mangkok kaca. Menu salad sederhana sudah muncul di benak dan membuat perutnya menjadi keroncongan. "Bahkan tanpa kau benar-benar muncul di hadapanku, entah bagaimana ceritanya, kau tetap saja membuatku geram. Persis seperti sekarang."
Oscar mendeham lagi. "Aku yakin itu berarti kau merindukanku."
Untung saja mangkok kaca itu tidak lepas dari tangan Era. Ia tidak berniat untuk menambah kegiatan paginya dengan memungut pecahan kaca di lantai.
"A-apa? Apa yang kau bilang, Oscar?" tanya Era dengan gelagapan, nyaris tak bisa bernapas. "A-aku merindukanmu?"
"Tentu saja. Kau selalu memikirkanku dan hanya dengan bicara di telepon saja sudah membuatmu penuh semangat."
Era memejamkan mata dengan dramatis. Satu tangan naik dan mulailah ia memijat kepala. "Terima kasih sudah memberiku semangat, Oscar."
"Sama-sama, Era. Aku senang bisa membuatmu bersemangat dan aku senang melihatmu penuh semangat. Kau memang calon luna idamanku."
"Wow!" Era yakin pengendalian dirinya sudah di ambang batas. Perkataan Oscar yang barusan benar-benar membuatnya merinding hingga ke ujung kaki. "Aku yakin, kau pasti sedang bersiap ke kantor bukan? Kau pasti sangat sibuk hari ini."
"Oh, astaga! Bagaimana kau tahu kalau jadwalku hari ini sangat padat?"
Jadilah Era bengong. "A-apa?"
"Kau membuatku terharu, Era. Sungguh, aku tak mengira kalau kau ternyata memperhatikanku."
Era tidak berniat, tetapi ucapannya tadi memberikan indikasi sebaliknya. Jadilah ia tak bisa berkata-kata.
"Aku yakin, hari ini aku juga akan penuh semangat sepertimu. Selamat beraktivitas, Era."
Panggilan berakhir dan Era masih melongo untuk sesaat. Setelahnya, barulah ia membuang napas sembari geleng-geleng. "Sepertinya Oscar memang gila."
*
Madeline tiba di kampus sekitar pukul setengah sembilan pagi. Ia memarkirkan mobil di area parkir khusus dosen, lalu bergegas turun dan menuju gedung kampus. Disapanya seorang petugas kebersihan sebelum masuk ke ruang kerja.
Hal pertama yang dilakukan Madeline setelah menaruh tas dan mantel di tempat masing-masing adalah membuat kopi. Ia menyukai aroma khas kopi, terlebih lagi rasa pahitnya. Tentu saja, kopi hitam merupakan favoritnya.
Ketukan di pintu menginterupsi kenikmatan Madeline yang tengah menghidu aroma kopi. Matanya yang memejam entah sejak kapan membuka secara perlahan. Lalu ia berseru.
"Masuk."
Pintu terbuka. Era masuk bersama dengan Clara dan Frida. Jadilah Madeline bangkit dan menyilakan mereka untuk duduk di sofa.
Madeline mengambil setumpuk dokumen sebelum turut bergabung dengan mereka. Ia memberikan mereka masing-masing satu map yang berisi rencana kegiatan selama seminggu di lokasi penelitian.
"Aku sudah menyusun rencana kegiatan kita di hutan Arbora di desa Runevale. Kalian bisa melihatnya," ujar Madeline sembari turut melihat rencana kegiatan tersebut. Dijelaskan olehnya secara singkat apa saja yang harus mereka lakukan selama tujuh hari berada di sana. "Pada dasarnya ada enam titik yang akan kita teliti dan untuk memanfaatkan waktu yang ada, masing-masing dari kalian akan bertanggungjawab satu titik sementara aku akan mengurus dua titik yang tersisa. Untuk itu, aku sudah menghubungi pihak laboratorium agar menyediakan peralatan yang kita butuhkan. Jadi, coba kalian cek."
Mereka mendengarkan penjelasan Madeline dengan saksama. Tak jarang pula mereka mencatat beberapa hal penting, termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang harus mereka persiapkan sebelum keberangkatan besok.
"Selain itu, jangan lupa untuk menyiapkan buku literatur."
Mereka mengangguk.
"Apa ada yang ingin ditanyakan?"
Mereka menggeleng.
"Baiklah," ujar Madeline tersenyum. "Kita berkumpul di kampus besok tepat jam lima pagi. Lebih cepat kita pergi maka akan lebih cepat kita sampai dan itu lebih baik untuk kita."
Keluar dari ruangan Madeline, Era dan teman-temannya segera berbagi tugas. Disadari oleh mereka ada banyak hal yang harus dipersiapkan dalam waktu yang kurang dari dua puluh empat jam. Jadi ketika Clara dan Frida memilih untuk mengecek peralatan di laboratorium maka Era pun mendapat tugas untuk menyiapkan buku literatur.
Era segera bergegas menuju perpustakaan. Dikeluarkannya kartu keanggotaan untuk bisa mengakses semua fasilitas perpustakaan yang ada, termasuk di dalamnya adalah komputer. Ia tak butuh waktu lama untuk mendapatkan daftar buku yang sesuai dengan topik penelitian mereka.
Setelahnya Era mengambil troli. Ia menuju pada barisan rak-rak yang berukuran besar dan tinggi. Dibaca olehnya setiap label yang tertempel di rak untuk menemukan buku yang ia cara. Ketika ia menemukan rak materi tumbuhan, barulah ia berhenti.
Era fokus pada bagian ilmu botani. Di sana ada beragam buku yang memuat informasi mengenai dasar-dasar pengelompokan tumbuhan berdasarkan bentuk fisiknya atau sering pula dikenal dengan istilah morfologi.
Setidaknya ada lima belas buku yang Era kumpulkan. Keseluruhannya memiliki topik khusus berkenaan dengan tumbuhan hutan, sesuai dengan topik penelitian mereka. Semua buku itu memiliki jumlah halaman yang banyak, nyaris tebal sekali, dan jadilah ia sampai kesulitan mendorong troli.
"Kuyakin kau membutuhkan bantuanku."
Era nyaris terlonjak. Ia memelotot. "Seth."
"Selamat siang, Era," sapa Seth sambil tersenyum cerah dan mengambil alih troli tersebut. "Biar aku yang mendorongnya. Ehm. Ini mau kau bawa ke mana?"
Era geleng-geleng melihat kelakukan Seth. "Tentu saja aku ingin membawanya ke petugas perpustakaan. Aku ingin meminjamnya."
"Ah! Kau benar!" Senyum Seth kian melebar, lalu ia mempersilakan Era. "Ayo! Kita ke depan."
Mereka menuju petugas perpustakaan. Seth menaruh semua buku-buku itu ke meja dan petugas perpustakaan segera memindai peminjaman dengan cekatan.
"Terima kasih. Oh ya, bolehkah kami meminjam trolinya sebentar?" tanya Seth sembari melihat tanda pengenal yang menggantung di leher petugas perpustakaan tersebut. "Kuharap kau mengerti, Miss Lewis. Buku-buku ini sangat berat."
"Oh, tentu saja. Silakan kau pinjam, Cooper." Helma Lewis mengangguk beberapa kali dengan mata yang berbinar-binar. "Tak perlu sungkan."
Seth tersenyum. "Terima kasih banyak, Miss Lewis. Aku akan segera mengembalikannya."
Era merasa takjub dengan sikap Seth. Jadilah Seth tersenyum geli ketika mereka menyusuri lorong dengan Era yang terus menatap padanya tanpa bisa berkata-kata.
"Mengapa, Era? Ada yang ingin kau katakan?"
Era mengerjap. "Well. Semua orang tahu betapa Miss Lewiss memiliki sifat cenderung cerewet. Tak sedikit yang menganggap dia menyebalkan."
"Oh!" Seth mengerutkan dahi. "Apakah kau termasuk di dalamnya?"
Era mendeham dengan kepala yang meneleng ke satu sisi. "Aku yakin kalau aku terlalu sering bertemu dengan orang yang lebih menyebalkan ketimbang dia."
Seth tertawa. Lalu ia geleng-geleng. "Kau memang menyenangkan, Era."
"Aku senang kau menganggapku demikian."
Mereka membawa troli berisi tumpukan buku itu ke parkiran. Seth segera menaruh semua buku ke bagasi tanpa membiarkan Era sempat mengangkat satu pun.
Era hanya terbengong. Bagaimana mungkin Seth memindahkan semua buku tebal itu dalam hitungan detik yang amat singkat?
"Aku tahu manusia serigala memang kuat, tetapi apa kau lebih kuat?"
Seth tertawa. Dipamerkannya otot lengannya. "Targetku bisa melebihi otot Alpha."
"Hah?" Era semakin melongo dan geleng-geleng. "Kau memiliki inspirator yang unik, Seth."
"Semua dari kami pasti menjadikan Oscar sebagai inspirator. Lagi pula dia memang keren bukan? Dia tampan, gagah, kuat, berwibawa—"
"Pujilah dia sesukamu, Seth."
Jadilah Seth kian terbahak. "Kau tunggulah aku di mobil, aku akan mengambalikan troli ini pada Miss Lewis. Sebelum dia mencerewetiku juga."
Era tersenyum geli. Jadi sementara Seth kembali masuk ke gedung kuliah maka ia pun menuju ke kursi penumpang. Ia meraih gagang pintu mobil dan tatapannya tiba-tiba saja menabrak satu pemandangan ganjil.
Ada Gerald di seberang sana. Duduk seorang diri di bawah pohon dengan tatapan yang tajam tertuju pada Era.
Era membuang napas dan memutuskan untuk segera masuk ke dalam mobil. Ia tak ingin membuat tenaganya terbuang percuma hanya karena melihat Gerald lebih dari lima detik.
Seth datang sesaat kemudian. Ia masuk dan duduk di balik kemudi. "Ada tempat lain yang ingin kau datangi?"
"Tidak," jawab Era singkat sembari memperbaiki posisi sabuk pengamannya. "Aku ingin langsung pulang ke apartemen. Ada banyak hal yang harus kupersiapkan."
"Oke. Perintah dilaksanakan."
*
Seharusnya Era merasa heran karena Oscar sama sekali tidak menyinggung soal kepergiannya dalam rangka penelitian. Ia yakin, Seth pasti telah melaporkan hal tersebut, tetapi mengapa Oscar tidak membahasnya sama sekali?
Sayangnya Era tak memikirkan hal tersebut. Ia pun tak menyadari keanehan itu. Jadilah wajar saja bila ia sangat syok hingga tak bisa bergerak sedikit pun ketika mendadak saja ada Oscar yang berdiri di depan pintu kamarnya tepat di pukul sembilan malam.
Era membeku. Bahkan untuk sekadar mengucek mata demi mengonfirmasi bahwa ia tak salah melihat pun dak bisa. "Oscar."
Oscar melangkah masuk. Seperti biasanya, ia tampak penuh percaya diri. Ia menghampiri Era sembari melepaskan jas di badan, lalu menaruhnya di tempat tidur. Lalu dilihatnya beberapa pakaian yang berserakan di sana.
"Kau sedang berkemas."
Era tersentak. Jadilah ia turut melihat kekacauan di tempat tidur itu dan matanya terpejam dramatis. "Apa maksud kedatanganmu, Oscar?"
Santai, Oscar menjawab sembari melepaskan kancing di pergelangan tangan dan lalu menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. "Untuk menuntaskan rindu."
"A-apa?" Era berusaha menarik napas ketimbang menarik dasi Oscar dan menyeretnya ke tempat tidur. Sebentar, apa? Ia memejamkan mata sejenak. Maksudnya adalah menyeret Oscar ke luar. "Rindu? Ehm. Kupikir baru sehari atau dua hari yang lalu kau ke sini."
Oscar mengangguk. "Kau benar, tetapi mau bagaimana lagi? Aku memang merindukanmu."
Era mengatupkan mulut rapat-rapat. Ia menggaruk pelipis, lalu menunjuk semua pakaiannya di atas tempat tidur. "Apa kau tak ingin menanyakan soal ini?"
"Seth sudah mengatakan padaku kalau kau akan melakukan penelitian di luar kota."
Era mengangguk. Tepat seperti tebakannya. "Lalu?"
"Itu adalah alasan keduaku mengapa aku datang ke sini."
"Jadi?"
"Jadi, kupikir sebaiknya Seth ikut denganmu."
"Tidak."
Mata Oscar membesar. "Mengapa tidak? Kau tahu bukan? Aku tidak tenang kalau kau pergi ke mana-mana seorang diri tanpa pengawalan, Era."
"Aku tahu," ujar Era sembari berusaha menenangkan diri. Ia tak ingin emosi membuat logikanya menjadi kabur. Berbicara dengan Oscar harus mengedepankan ketenangan dan juga kecerdasan. "Aku yakin kau mengkhawatirkan keselamatanku."
"Aku senang kau mengetahui itu dengan jelas. Terlebih lagi dengan semua yang telah terjadi belakangan ini, dari Barbara hingga Gerald. Seth telah membuktikan bahwa keberadaannya memang diperlukan."
Era berusaha untuk tersenyum. "Memang demikian, tetapi aku yakin kau juga perlu menyadari bahwa masalah Barbara dan Gerald tak akan terjadi kalau Seth tidak menjagaku dengan begitu mencolok."
Kali ini Oscar yang terdiam. Perkataan Era memang masuk akal.
"Seandainya aku tetap menjadi mahasiswa yang diabaikan seperti dulu maka semua tak akan terjadi."
Dahi Oscar berkerut. "Jadi, maksudmu adalah kau tak ingin Seth ikut pergi denganmu?"
"Ya. Lagi pula aku pergi dengan dosen dan dua orang temanku. Apakah tidak aneh bila Seth mendadak ikut juga?"
Oscar kembali mengakui kelogisan dari pendapat Era, tetapi ini bukan masalah logis atau tidak logis. Ini adalah masalah kekhawatiran yang membabi buta. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"
"Tidak mungkin. Lagi pula tempat yang menjadi lokasi penelitian kami bukanlah tempat yang benar-benar terpencil. Masyarakatnya banyak dan akses transportasi pun lancar."
Itu tidak cukup untuk Oscar. Namun, ia mencoba untuk mengendalikan kekhawatirannya. Jadilah ia meredam egonya sehingga wajahnya terlihat mengeras. Ia seperti tengah bertarung dengan dirinya sendiri.
Era geleng-geleng melihat kelakuan Oscar. Jadilah ia memutuskan untuk lanjut berkemas. Ia beranjak dengan niatan mengambil koper, tetapi malah mendapati Oscar meraih tangannya.
Langkah Era terhenti. Oscar menatapnya dan ia pun membeku.
Tatapan Oscar membuat Era menahan napas di dada. Sorotnya menghunjam dan sekilas terlihat ada pergolakan batin di sana.
"Baiklah," geram Oscar dengan penuh perjuangan. "Seth tidak akan ikut. Aku akan mengalah."
Agaknya seharian itu Era sudah berkali-kali dibuat melongo oleh sikap Oscar. "A-apa?"
"Aku mengalah. Aku akan mengatakan pada Seth untuk tidak perlu ikut pergi denganmu, tetapi aku meminta satu hal sebagai gantinya."
Era bersiap dengan permintaan Oscar. "Apa?"
"Kabari aku. Hubungi aku sesering mungkin. Itu saja."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top