22. Psithurism: Dua Puluh Dua
Philo jelas menyadari bahwa pukul empat pagi bukanlah waktu lazim untuk lapor keluar, tetapi itulah yang dilakukannya. Semua barang-barang telah dikemasnya dengan rapi di sebuah koper berukuran 20 inci dan lalu dia pun keluar dari kamar. Dia menaiki lift, menuju lobi, dan menemui resepsionis. Setelahnya, dia meninggalkan hotel.
Mobil yang dikendarai oleh Philo melaju mulus di jalanan yang masih sepi. Dengan kecepatan tinggi, niatannya adalah tiba di Istana secepat yang bisa dilakukannya. Dia harus melaporkan hasil penyelidikannya sesegera mungkin.
Philo menginjak pedal gas semakin dalam. Kecepatan mobil meningkat dan tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Bersamaan dengan itu, layar dasbor pun menyala, menunjukkan sebuah panggilan masuk, dan nama yang terpampang membuatnya segera menepikan mobil dengan serta merta. Dia menekan tombol hijau di layar sentuh tersebut dan mengangkat panggilan.
"Philo."
Dahi Philo mengerut samar sembari menyahut. "Halo, Alpha." Suara Oscar terdengar berbeda, menyiratkan ketegangan dan kemarahan. Jadilah dia segera bertanya. "Ada apa, Alpha?"
"Kuperintahkan kau untuk segera pergi ke Istana Ryloston."
Satu nama itu membuat Philo membeku seketika. Dia ingin bertanya, tetapi Oscar lanjut bicara dengan begitu cepat.
"Mereka menculik Amias. Mereka mengancam Era dengan Amias. Jadi, sekarang juga kau pergi ke sana, Philo. Katakan pada mereka untuk menghentikan teror ini atau kalau tidak maka mereka akan menyesal."
Philo memahami perintah itu dengan sepenuhnya. "Baik, Alpha. Aku akan segera pergi ke Istana Ryloston."
Panggilan berakhir dan Philo menarik napas dalam-dalam ketika menyadari bahwa tujuannya pagi itu berubah. Harus ditundanya keinginan untuk pulang ke Istana. Ada perintah penting lain yang harus dituntaskannya.
Philo mengulurkan tangan ke layar sentuh dasbor, membuka peta digital. Jarinya dengan cepat menyentuh ikon 'tujuan' dan mengetikkan satu nama kota—Sableton.
Peta di layar mengubah rute, menampilkan jalan tercepat yang harus diambil. Philo meraih kemudi dan mobil pun kembali berjalan.
Perjalanan menuju kota Sableton membutuhkan waktu yang cukup lama. Setidaknya Philo menghabiskan waktu sekitar lima jam untuk tiba di distrik terluar kota Sableton walaupun jalanan sangat lengang dan mobil melaju dengan kecepatan yang tinggi. Lantas dia pun menempuh satu setengah jam perjalanan lagi untuk tiba di distrik Marindale, tepatnya di hutan Falindor.
Philo menyipitkan mata. Indra penglihatannya menangkap beberapa bayangan yang bergerak cepat di antara pepohonan besar nan menjulang tinggi yang mengapit di kiri dan kanan jalan. Namun, dia tak merasa terusik sama sekali. Dia tahu, itu pastilah beberapa manusia serigala Kawanan Ryloston yang sedang berpatroli. Pastinya, mereka akan segera melaporkan kedatangannya.
Sekitar lima belas menit berlalu dan Philo tiba di gerbang Istana Ryloston. Mobilnya berhenti melaju dan seorang penjaga menghampirinya.
Philo turun dari mobil. Ditunjukkannya sikap terkendali dan penuh ketenangan. Dia tampak sopan, tetapi tetap memberikan aura ketegasan yang tak bisa dipungkiri begitu saja.
"Aku adalah Philo Celeste, beta dari Kawanan Xylvaneth."
Si penjaga tampak menilai Philo dengan tatapan lekat. Diamatinya Philo dari atas hingga bawah. "Apa kepentinganmu datang ke sini?"
Philo menjawab tanpa ragu. "Aku ingin menemui Alpha Freddy Hart Wellington."
Mata si penjaga menyipit. Lalu dia mendengkus. "Apa kau bilang? Kau ingn menemui Alpha?"
Philo mengangguk. "Seperti yang kau dengar," ujarnya tanpa keraguan sama sekali. "Aku diutus oleh Alpha Oscar Donovan untuk menyampaikan pesan penting kepada Alpha Freddy."
Tampak si penjaga ingin membalas ucapan Philo, tetapi sesuatu menghentikan niatannya, yaitu perintah singkat dan jelas yang terdengar melalui earpiece di telinganya. Pada akhirnya, dia memberikan isyarat pada Philo. "Silakan. Kau boleh masuk."
Setelahnya, si penjaga memberi perintah kepada bawahannya untuk membuka gerbang Istana Ryloston sementara Philo masuk kembali ke dalam mobil. Gerbang Istana Ryloston terbuka, memberikan jalan untuknya.
Kedatangan Philo disambut oleh Bernard. Ditawarkannya jabat tangan sembari menyapa. "Selamat datang di Istana Ryloston, Beta Philo. Aku adalah Bernard Castillo."
Philo tak mengatakan apa-apa. Hanya disambutnya jabat tangan tersebut sembari mengangguk singkat.
"Silakan," ujar Bernard sembari mengiyaratkan pada Philo untuk masuk bersamanya. "Alpha Freddy sudah menunggumu."
Mereka berjalan melewati koridor panjang bernuansa kelabu dan merah, dihiasi oleh ornamen-ornamen yang berisikan sekelumit sejarah Ryloston, berfokus pada kekuatan yang memamerkan kebengisan dan keganasan mereka. Lebih lanjut, terpampang pula sebuah lukisan besar yang memperlihatkan seekor serigala hitam berukuran besar sedang berdiri di tumpukan serigala-serigala yang telah mati.
Bernard melirik Philo melalui sudut mata. Dalam perjalanan singkat itu, dicobanya untuk menilai reaksi Philo. Namun, tak ada yang didapatkannya. Philo tampak tenang dengan ekspresi datar.
Di lain pihak, Philo tentu tak akan membiarkan dirinya terintimidasi dengan begitu mudah. Bisa ditebaknya bahwa Ryloston berusaha untuk menekannya dan dia tak akan membiarkan hal itu terjadi.
Philo tunjukkan sikap terkendali. Sedikit pun dia tak terusik dan pada kenyataannya memang itulah yang terjadi. Dia sama sekali tak gentar walau banyak ornamen-ornamen mengerikan yang harus dilewatinya. Sebaliknya, dia malah penasaran akan sesuatu. Apakah Ryloston juga memajang ornamen kekalahan mereka dari Xylvaneth 22 tahun yang lalu?
Pertanyaan Philo terjawab ketika mereka sudah tiba di sebuah ruangan. Di dalamnya, ada Freddy yang sudah menunggu kedatangannya dan dia pun tahu jawaban untuk pertanyaannya tadi, yaitu tidak.
"Beta Philo Celeste dari Kawanan Xylvaneth," sambut Freddy sembari bangkit dari duduk. Dihampirinya Philo dan mereka berjabat tangan. "Selamat datang di Istana megah Kawanan Ryloston."
Philo mengangguk. "Terima kasih, Alpha Freddy."
"Silakan duduk," ujar Freddy sembari turut duduk pula sementara Bernard berdiri dengan sikap siaga. "Jadi, katakan padaku. Ada kepentingan apa sehingga kau ingin menemuiku, Beta Philo? Aku yakin, kedatanganmu ke sini bukanlah untuk sekadar berkunjung bukan?"
"Tentu saja, Alpha," jawab Philo dengan tenang. Lalu dia pun memutuskan untuk tak berbasa-basi sama sekali. "Kedatanganku ke sini adalah untuk menyampaikan pesan dari Alpha Oscar."
Freddy tersenyum penuh arti. "Katakan padaku."
"Alpha Oscar berpesan agar Ryloston menghentikan semua teror."
"Kalau tidak?" Freddy yakin, pesan Oscar tak cukup sampai di sana. "Apa yang akan dilakukan olehnya?"
Philo menjawab lugas. "Apa pun untuk memastikan bahwa Kawanan Xylvaneth bukanlah kawanan yang bisa diremehkan."
Freddy tertawa, sama sekali tak merasa takut ketika mendengar isyarat ancaman yang tersirat. Sebaliknya, dia malah menunjukkan sikap meremehkan yang bertentangan dengan jawaban Philo. Dia makin terbahak dan itu membuat Philo menahan napas di dada.
Philo mencoba untuk mengendalikan diri ketika menyadari sesuatu. Freddy bukannya menertawai jawaban yang diberikannya. Freddy menertawai Oscar dan dia tak terima.
"Sederhana saja, Beta Philo." Freddy bicara sesaat kemudian. Tawanya mulai mereda dan dia mengusap matanya yang basah. Setelahnya, dia menarik napas dalam-dalam dan wajahnya berubah serius ketika menatap Philo. "Serahkan Era dan semua teror akan berakhir."
*
Hari demi hari berlalu dengan semakin menyiksa. Istana Xylvaneth diselimuti atmosfer ketegangan. Bukan hanya Era dan Oscar, tetapi semua merasakan gelisah dan bersiaga untuk setiap kemungkinan yang bisa terjadi kapan pun.
Era mencoba untuk tak memikirkan perihal teror yang diberikan oleh Kawanan Ryloston. Dia tahu, Oscar sudah memerintahkan Philo untuk mendatangi Istana Kawanan Ryloston. Jadi, satu-satunya hal yang bisa dilakukannya sekarang adalah menunggu kabar dari Philo.
Sayangnya, sekelumit pikiran buruk menyelinap dan terus berusaha untuk mengguncang ketenangan Era. Jadilah dia bertanya pada diri sendiri. Bagaimana jika kedatangan Philo justru membuat situasi semakin memanas.
Era.
Era mengerjap. Suara jiwa serigalanya menggema di dalam benaknya. Aku benar-benar takut.
Tenanglah. Tak ada yang perlu kau takutkan. Oscar akan mengurus semuanya.
Era meringis tertahan. Aku tahu itu. Oscar pasti akan mengurus semuanya, tetapi aku benar-benar bingung mengapa semua ini terjadi. Papa dan Dree sudah terkena imbas. Lalu bagaimana kalau hal serupa akan terjadi pada yang lain juga?
Era, tenanglah. Aku berjanji padamu, semua akan baik-baik saja. Semua ini akan segera berlalu. Percayalah padaku.
Era memejamkan mata. Ada keinginan untuk membantah ucapan jiwa serigalanya, tetapi semua kata-kata lenyap dari dalam benaknya. Sebabnya, dia menyadari bahwa jiwa serigalanya tak pernah berbohong dan akhirnya, dia pun hanya bisa menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri.
"Era."
Era membuka mata seiring dengan terdengarnya sebuah suara berat yang memanggil namanya dengan nada penuh kekhawatiran. Dia berpaling dan mendapati Oscar menghampirinya. "Oscar."
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Oscar sembari merendahkan tubuh. Dia bertahan pada satu lutut, lalu meraih pipi Era dan mengusapnya lembut. "Kau tampak pucat." Ditatapnya Era sorot yang menyiratkan kecemasan. "Apakah kau sakit? Sepertinya aku harus memanggil Landon untuk memeriksamu."
Era segera memegang tangan Oscar. Dicegahnya Oscar yang berniat untuk bangkit. Lalu dia menggeleng. "Aku baik-baik saja, Oscar. Aku hanya tak bisa tenang. Aku benar-benar gelisah dan pikiranku terasa penuh."
Oscar terdiam sejenak. "Aku tahu," lirihnya dengan wajah berekspresikan penyesalan. Dia meraih tangan Era dan lantas mengecup jemarinya. "Kuharap kau bisa bersabar. Aku berjanji padamu, semua ini akan segera berakhir."
Era hanya mengangguk sekali dan memaksa diri untuk tersenyum. Tak ingin dia membuat Oscar khawatir. Sebabnya, dia menyadari dengan jelas bahwa bila ada satu orang yang paling direpotkan dengan situasi saat itu maka pastilah Oscar orangnya.
"Aku tahu itu," ujar Era sembari mengembuskan napas panjang. Ditariknya tangan Oscar, diisyaratkannya agar Oscar duduk bersamanya. "Jadi, apakah kau sudah menghubungi Philo?"
"Ya." Oscar melihat pada jam tangannya. Lalu dia berpikir sejenak sebelum lanjut bicara. "Aku yakin Philo sudah tiba di Istana Ryloston dari beberapa jam yang lalu. Jadi, sekarang kita hanya perlu menunggu kabar darinya."
Era tak mengatakan apa-apa lagi sementara Oscar meremas pelan jemarinya. Oscar menyiratkan agar dia tak perlu mengkhawatirkan apa pun dan di waktu bersamaan, datanglah Dom.
"Alpha," sapa Dom dengan hormat pada Oscar sebelum beralih pada Era. "Luna."
Oscar tak melepaskan jemari Era. "Ada apa, Dom?" tanyanya sembari melihat sepucuk surat di tangan Dom. "Apakah itu surat balasan dari Kawanan Lyoria?"
Dom mengangguk sembari menyerahkan surat tersebut. "Ya, Alpha."
Oscar menerima surat itu dan langsung membuka amplopnya. Dikeluarkannya sehelai kertas dari dalam amplop dan dibacanya kata demi kata yang tertulis di sana. Lalu, diremasnya surat itu dan dibantingnya ke lantai.
Dom menundukkan wajah. Matanya memejam dan sempat dirasakannya lantai bergetar hanya karena sebongkah kertas.
"Oscar, ada apa? Mengapa kau—" Ucapan Era terhenti seketika. Remasan Oscar di jemarinya menguat. "Apa isi surat itu?"
Wajah Oscar mengeras, bewarna merah. Keringat memercik dengan tiba-tiba dan urat bertonjolan di dahinya. "Kawanan Lynoria menyuruhku untuk menyerahkanmu."
Bola mata Era membesar. "A-apa?"
"Mereka memintaku untuk menyerahkanmu dengan baik-baik. Apakah kau tahu maksudnya?"
Era tak bisa berkata-kata. Dia terdiam ketika menyadari bahwa tak pernah dilihatnya Oscar semarah itu.
"Maksudnya adalah mereka menginginkanmu untuk menjadi Luna Kawanan Lynoria. Nicholas menginginkanmu untuk menjadi lunanya." Kali ini Oscar benar-benar tak bisa menahan diri. Genggamannya pada jemari Era terlepas. Dia bangkit dari duduk. "Mereka benar-benar meremehkanku. Nicholas benar-benar meremehkanku."
Era berniat untuk menenangkan Oscar. Dia turut bangkit dan ingin meraih tangan Oscar. Namun, aura panas yang menguar dari tubuh Oscar membuatnya mengernyit. Kulitnya seperti meleleh dan jadilah satu-satunya hal yang bisa dilakukannya adalah bicara. "Oscar."
Oscar tak mendengar suara Era ketika kemarahan telah mendidihkan darah di sepanjang pembuluh darahnya. Dia meradang. "Aku tak akan tinggal diam. Mereka benar-benar harus diberi tahu dengan siapa mereka tengah berhadapan."
Era membeku. Tak bisa dirabanya maksud ucapan Oscar. Namun, ketika dia ingin bicara, terdengar Dom bersuara lebih dahulu.
"Alpha, maafkan aku, tetapi bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
Oscar melihat Dom dengan matanya yang memerah. "Katakan."
"Aku ingin mempertanyakan sesuatu yang tak seharusnya kutanyakan," ujar Dom dengan penuh kehati-hatian. Dalam hati, dia berharap semoga Oscar tak merasa tersinggung sama sekali. "Apakah kedua orang tua Luna memang adalah orang tua kandung?"
Kemarahan Oscar terjeda. Kerutan samar muncul di dahinya. "Orang tua Era?"
"Maafkan aku, Alpha. Aku hanya terpikir sesuatu. Aku sama sekali tak berniat untuk bersikap lancang."
Oscar mengangkat satu tangan, isyarat agar Dom berhenti bicara. Sebabnya, mendadak saja ada sesuatu yang berputar di dalam kepalanya. Alhasil bola matanya membesar dan dia beralih pada Era.
Era bergeming. Dia menatap Oscar dengan mata kosong. Agaknya, dia dan Oscar memiliki pemikiran serupa, yaitu ucapan Freddy beberapa waktu lalu ketika memberitahukannya perihal penculikan Amias.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, Era, tetapi yang perlu kau ketahui adalah ayah angkatmu saat ini tengah bersama denganku."
Era memucat. Matanya mengerjap dengan perasaan gamang. "O-Oscar."
Oscar segera meraih tubuh Era yang limbung. Dibawanya Era untuk duduk kembali. Ditenangkannya Era sementara otaknya berputar. "Sepertinya, aku harus memanggil Philo untuk segera kembali ke Istana."
Beruntung untuk Oscar, Philo datang sesaat kemudian. Rencananya, dia akan memerintahkan Philo untuk menyelidiki asal muasal Era. Dengan demikian maka mungkin mereka akan mendapatkan sedikit petunjuk.
Namun, Oscar tak akan lupa untuk tugas yang diberikannya pada Philo. Jadi, dia pun bertanya. "Bagaimana, Philo?"
"Aku sudah mendatangi Istana Ryloston, Alpha, dan mereka menolak negosiasi kita."
Oscar mengatupkan mulutnya rapat-rapat untuk sesaat. Sejujurnya, dia tak terkejut mendengar kabar itu. Sudah ditebaknya bahwa Kawanan Ryloston tidak akan mundur.
"Selain itu, Alpha, mengenai perintah yang kau berikan sebelumnya."
"Bagaimana?" Oscar bereaksi cepat. Ditanyanya Philo. "Apakah kau mendapatkan petunjuk mengenai semua peristiwa yang terjadi belakangan ini?"
Philo mengangguk. "Ya, Alpha."
"Katakan padaku."
Philo menarik napas. "Di luaran sana, telah tersiar satu gosip selama beberapa bulan belakangan ini."
"Gosip?" Oscar tampak bingung. "Gosip apa?"
Philo tak langsung menjawab, melainkan dilihatnya Era sejenak. Lalu barulah dia kembali menatap Oscar dan menjawab. "Luna adalah keturunan terakhir Kawanan Selunar."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top