21. Selenophile: Dua Puluh Satu
Pikir Era, tak pernah ada tidur nyenyak yang didapatkannya setelah tragedi dramatis di hutan Lunaria. Jadilah hingga sekarang ia kerap bertanya pada diri sendiri, bila ia tak memasuki hutan Lunaria maka apakah semua ini tidak akan menjadi terjadi? Mungkinkah ia tetap menjalani hidup tenang seperti dulu?
Lantas satu pemikiran membuat Era meringis. Ingatan menyadarkannya bahwa ia memang tak pernah menjalani hidup tenang. Entah bagaimana caranya, pastilah ada kekacauan yang senantiasa suka mengusik kehidupannya.
Jadilah Era yakini bahwa hidupnya pasti akan tetap kacau walau tanpa ada tragedi dramatis di hutan Lunaria. Hanya bentuk kekacauannya saja yang mungkin tak sama.
Walau demikian bukan berarti Era sudah cukup berpengalaman dengan situasi tersebut. Nyatanya ia tak pernah bisa beradaptasi terlepas dari fakta bahwa kekacauan telah menjadi makanannya sehari-hari sejak dulu. Jadilah wajar bila mendapati ia kebingungan dengan sorot teman-temannya ketika ia tiba di kampus pagi itu.
Era menghentikan langkah. Ia melihat sekeliling dan dirasakan jelas olehnya bahwa para mahasiswa tengah menatapnya dengan sorot aneh. Tak hanya itu, agaknya mereka pun membicarakannya.
Ingatan akan kejadian kemarin melintas di benak Era. Jadilah ia memejamkan mata dengan dramatis. Disimpulkannya bahwa sambutan tak mengenakkan itu ada hubungannya dengan Gerald.
Era membuang napas panjang dan memutuskan untuk tak menghiraukan mereka. Ia kembali melangkah dan mendapati Seth baru turun dari parkiran. Seth menyadari kehadirannya dan lantas berseru.
"Era!"
Era menyerah. Setelah semua yang terjadi dan terlebih lagi Seth memang terbukti memiliki kepribadian yang menyenangkan, diputuskannya untuk tak menghindar lagi.
Seth berlari dan menghampiri Era. "Wow!"
"Apa?"
"Aku tak mengira kau akan menungguku."
Era mengangkat bahu sekilas. "Kupikir, lebih baik jalan berdua ketimbang sendirian."
"Kau benar," ujar Seth sepakat. Ia tersenyum dan tangannya bergerak. "Mari."
Mereka memasuki gedung kuliah. Keduanya melangkah santai dan tak peduli ketika beberapa pasang mata terus menatap pada mereka.
Seth sedikit terusik. Ia penasaran. Jadilah ia bertanya. "Apa kau tahu? Sepertinya hari ini kau kembali menjadi topik pembicaraan orang-orang."
"Aku tahu."
"Ehm." Seth mendeham dengan mata sedikit menyipit. Diusapnya dagu sekilas, lalu berkomentar. "Kau tampak tak peduli."
"Untuk apa aku peduli?" tanya Era tanpa benar-benar membutuhkan jawaban Seth. Nyatanya ia justru lanjut bicara setelah membuang napas. "Suka-suka mereka. Terpenting adalah aku tak mengganggu mereka. Aku hanya tak ingin menambah beban pikiran. Cukup Oscar saja yang menjadi beban pikiranku."
"Oh! Aku tak tahu kalau kau begitu memikirkan Alpha."
Langkah terhenti dan Era berpaling pada Seth dengan ekspresi horor. Bola matanya membesar. "Seth, aku bukannya memikirkan Oscar. Dia membuatku pusing."
Seth tergelak dan semakin geli ketika Era menganga lantaran perkataannya kemudian. "Hanya orang yang ada di pikiran yang bisa membuat pusing." Setelahnya ia putuskan untuk tak menggoda Era lagi. "Selain itu, sebenarnya aku juga merasa senang. Sepertinya kau sudah tak lagi menghindariku."
"Kuputuskan untuk menerima keberadaamu, Seth. Lagi pula kupikir, aku benar-benar tak ada hati setelah kau menyelamatkanku berulang kali.
Tawa Seth kembali pecah.
"Jadi, ya sudahlah." Era membuang napas. "Selain itu, sepertinya ada banyak hal lain yang lebih pantas aku hindari ketimbang kau."
Seth menyeringai. "Contohnya?"
"Gerald."
Seringai Seth semakin lebar, terlebih ketika ia mengikuti arah pandang Era. Dilihat olehnya ada Gerald dan teman-temannya di ujung lorong. Sikap dan ekspresi mereka masih seperti biasanya, yaitu memuakkan.
Fokus mata Era berpindah. "Aku yakin, ia tak akan menggangguku lagi setelah kejadian kemarin."
"Kuharap begitu. Karena kalau tidak, bukan aku yang akan turun tangan untuk selanjutnya."
Era mendadak berhenti berjalan. Ia berpaling dan Seth mengangkat kedua pundak dengan ekspresi kau-pasti-tahu-maksudku.
"Oh, Tuhan."
*
Barbara telah memutuskan untuk tidak pergi ke kampus hari itu. Perasaannya sedang kesal gara-gara Era dan tangannya yang terkilir membuat aktivitasnya jadi terbatas. Jadilah diputuskannya untuk sekadar bersantai saja di rumah.
Namun, kabar yang diberikan oleh temannya berhasil membuat Barbara terlonjak kaget dari kursi. Majalah jatuh dan mendarat di lantai sementara ia menganga untuk beberapa saat. Ia perlu memastikan bahwa telinganya tak salah mendengar.
"Apa kau bilang? Cooper menghajar Gerald dan teman-temannya?"
"Ya, Barbara. Kejadian itu membuat heboh kampus. Lagi pula, astaga! Selama ini tak pernah ada yang bisa mengalahkan Gerald. Kami benar-benar tak mengira kalau Cooper bisa membuat Gerald dan teman-temannya jadi babak belur."
Barbara menganga. Ia sungguh syok. "Mengapa kau baru mengabariku sekarang?"
"Kau yang menyuruhku untuk tak menghubungimu, Barbara. Kau mengatakan ingin kau kesal karena Era dan tak ingin diganggu."
Jadilah Barbara mengatupkan mulut rapat-rapat, merasa geram. "Aku memang tak ingin diganggu, tetapi ini berita penting, idiot!"
"Maafkan aku, Barbara, tetapi aku hanya khawatir kekesalanmu pada Era akan semakin menjadi-jadi."
"Apa maksudmu?"
"Mereka berkelahi karena Era."
"Sialan!"
Barbara langsung memutus telepon itu secara sepihak. Setelahnya ia buru-buru memanggil asisten rumah tangga.
"Bantu aku bersiap. Aku harus pergi ke kampus sekarang."
Satu jam berlalu dan Barbara telah tiba di kampus. Mobil berhenti di parkiran dan ia segera melepaskan sabuk pengaman. Setelahnya ia turun dan tinggallah di sana, seorang sopir yang ditugaskan untuk mengantar ia ke mana pun selama pergelangan tangannya belum pulih.
Barbara memasuki gedung kuliah. Tanpa kesengajaan, ia malah bertemu dengan dosennya yang bernama Madeline Timothy.
"Halo, Miss Barnes."
Barbara memejamkan mata dengan dramatis dan tangannya mengepal. Ditahannya untuk tidak mengumpat. "Halo, Miss Timothy."
Madeline mendekat. Satu tangannya membawa setumpuk modul ajar dan dilihatnya Barbara dengan dahi mengerut. "Koreksi aku kalau aku salah. Sepertinya kau tidak masuk di kelasku hari ini."
Barbara tak menjawab, melainkan mulutnya terus terkatup rapat menahan kesal. Bisa-bisanya aku malah bertemu perawan tua ini!
"Miss Barnes," lirih Madeline dengan penuh irama. "Aku menunggu jawabanmu."
Barbara mendeham. "Sepertinya yang kau lihat, Miss Timothy." Ia mengangkat pergelangan tangannya dengan hati-hati. "Aku cedera. Jadi, aku memang tidak masuk ke kelas mana pun selama beberapa hari ini."
"Oh, kau cedera."
Barbara mengangguk dan berusaha tersenyum. "Ya, Miss Timothy."
"Lalu bisakah kau menjelaskan apa yang kau lakukan di kampus dengan tangan yang cedera? Bukankah seharusnya kau beristirahat di rumah?"
Nada sindiran terasa sekali di suara Madeline. Jadilah kekesalan Barbara semakin menjadi-jadi. Ia ingin bertemu dengan Gerald secepatnya, bukan malah meladeni ocehan Madeline.
"Aku memiliki urusan penting dan mendesak, Miss Timothy. Kuharap kau mengerti."
Madeline membuka mulut kembali, berniat untuk lanjut bicara. Namun, Barbara tak memberinya kesempatan.
"Baiklah, Miss Timothy. Semoga hari Anda menyenangkan."
Barbara langsung pergi dari sana tanpa memedulikan Madeline yang ternganga karena kelakuannya. Madeline sampai tak bisa berkata-kata dan untuk sesaat hanya bisa melihat kepergian Barbara dengan ekspresi syok.
Barbara telah menghilang dari pandangan Madeline. Bertepatan dengan itu, ada satu suara yang menyapanya.
"Selamat siang, Miss Timothy."
Madeline berpaling. "Oh! Selamat siang juga, Era."
"Apakah Anda baik-baik saja?"
Madeline mengangguk kaku. Pikirnya, pastilah Era memergoki dirinya yang terus menatap ke arah Barbara pergi. "Tentu saja, Era. Terima kasih."
"Miss, sebenarnya aku ingin bertanya mengenai perencanaan penelitian yang kita bicarakan semester lalu. Tepatnya sebelum liburan musim panas."
"Ah! Benar," ujar Madeline dan kali ini, anggukannya lebih natural. "Maafkan aku karena belakangan ini ada banyak hal yang harus kukerjakan. Jadi, bagaimana bila kita berkumpul besok?"
"Aku bisa, Miss."
Madeline tersenyum. "Bagus. Kau tanyakan juga dengan Clara dan Frida. Bila mereka bisa juga maka kita bisa berkumpul besok."
"Baiklah, Miss. Aku akan segera mengubungi mereka."
"Aku tunggu kabar selanjutnya, Era."
Seth datang di waktu yang tepat. Pembicaraan itu selesai dan Madeline berniat untuk segera kembali ke ruang dosen.
"Halo, Miss Timothy."
Madeline tersenyum. "Halo juga, Cooper. Semoga harimu menyenangkan."
"Terima kasih."
Madeline pergi dan begitu pula dengan mereka. Keduanya menyusuri lorong yang ramai dipenuhi oleh para mahasiswa.
"Ngomong-ngomong, apa yang kalian bicarakan tadi?"
Era melirik. "Bukan hal penting untuk kau laporkan pada Oscar."
Seth tertawa.
"Kami hanya membahas soal pertemuan tim penelitian. Rencananya besok, aku dan yang lainnya yang diskusi dengan Miss Timothy."
Tawa Seth berhenti dan sekarang ia manggut-manggut. "Di mana kalian akan melakukan penelitian?"
"Rencananya kami akan mengeksplorasi hutan di desa—" Era buru-buru mengatupkan mulut rapat-rapat. Dilihatnya Seth dengan mata menyipit, lalu ia berkata. "Jangan harap aku akan mengatakannya padamu."
Seth kembali terbahak. "Kupikir, kau sudah memutuskan untuk tak menghindariku. Mengapa tiba-tiba berubah?"
"Aku bukannya menghindarimu, tetapi ini kegiatan penelitian dan kau bukan bagian dari tim penelitian kami. Mengerti?"
*
Barbara tak henti-hentinya mengumpati Madeline sepanjang jalan. Hanya ketika ia melihat Gerald bersama teman-temannya maka umpatannya berakhir. Ia mempercepat langkah dan menghampiri mereka.
"Gerald."
Gerald mengangkat wajah dan berdecak sembari memejamkan mata dengan dramatis. Di dalam hati, ia merutuk. Bisa-bisanya Barbara datang ke kampus dan melihat keadaan mereka yang penuh memar, serta bekas luka.
"Barbara."
Barbara menarik kursi dan duduk. Sekilas, ia sempat melihat teman-teman Gerald sebelum mereka semua membubarkan diri. Pada Gerald, ia bertanya. "Apa yang terjadi padamu, Gerald? Aku mendengar kabar kalau ini semua adalah ulah Cooper?"
Gerald merasa malu. Seumur hidup, ia tak pernah babak belur dengan kekalahan. Jadilah wajar bila mendapati wajahnya memerah. "Berita yang kau dengar memang benar. Ini semua ulah Cooper."
Barbara sempat berharap bahwa kabar yang didapatkannya tadi salah. Namun, semua pupus ketika ia melihat bekas-bekas perkelahian di wajah dan tubuh Gerald. Sayangnya perkataan Gerald lebih mengejutkannya.
"Ba-bagaimana mungkin?"
Gerald menggertakkan rahanga dan menggebrak meja. Barbara terlonjak dan buru-buru menenangkannya.
"Maaf, Gerald. Aku tidak bermaksud menyinggungmu."
Gerald tak mengomentari permintaan maaf Barbara. Sekarang, pikirannya tertuju pada Seth sehingga tangannya pun mengepal secara di luar kesadaran. "Cooper sialan. Dia benar-benar sudah membuat kesabaranku habis."
"Tenanglah, Gerald. Aku tak akan diam melihat tindakan Cooper yang telah kelewat batas," ujar Barbara sembari memutar otak. Satu ide terbersit di benaknya. "Aku akan menemui ayahku sekarang juga. Aku akan memintanya untuk mengeluarkan Cooper dan Era dari kampus. Bagaimana menurutmu?"
Jujur saja, Gerald menginginkan pembalasan fisik yang lebih menyakitkan ketimbang yang dirasakan olehnya sekarang. Walau demikian bukan berarti ia menolak ide Barbara. Lagi pula sepertinya itu bukan hal buruk mengingat Era adalah mahasiswa miskin yang berjuang melalui beasiswa untuk bisa kuliah.
Gerald mendengkus dengan sekelebat imajinasi yang membayangkan Era memohon-mohon padanya. "Sepertinya idemu cukup menarik, Barbara."
"Baiklah. Kalau begitu, aku pergi sekarang."
Barbara mengucapkan pamit dalam bentuk ciuman. Gerald menyambut dan balas memagut bibir bawah Barbara. Tangan Gerald meremas bokong Barbara dan ia menggeram.
"Kutunggu kau di kelab malam ini."
Barbara mengangguk dan beranjak dari sana dengan napas terengah. Ia segera ke parkiran, lalu masuk ke dalam mobil.
"Kita pergi ke kantor. Aku ingin bertemu Papa."
Sopir mengangguk dan mobil pun meninggalkan kampus.
Barbara tiba di kantor ayahnya pada waktu yang tepat. Sang ayah yang bernama Oliver Barnes baru saja menghadiri rapat dan sekarang sudah kembali ke ruang kerjanya. Ketika masuk, dilihatnya kehadiran Barbara.
"Barbara, ada apa kau datang ke sini?"
Barbara bangkit dan mengekori Oliver yang menuju ke meja kerja. Ia duduk sementara Oliver melepaskan jas terlebih dahulu.
"Aku ingin Papa mengeluarkan Era dan Cooper dari kampus."
Oliver mengerutkan dahi dan turut duduk di balik meja kerja. "Era dan Cooper? Siapa mereka?"
"Azera Cordelia Ross, salah seorang mahasiswa penerima beasiswa tahunan dari kampus. Lalu Seth Cooper, seorang mahasiswa yang entahlah. Aku tak tahu siapa dia. Yang penting adalah dia membuatku kesal belakangan ini."
Wajah Oliver berubah. Jadilah ia bertanya demi memastikan. "Apa kau bilang? Seth Cooper?"
"Ya, Papa," jawa Barbara sembari menarik udara dalam-dalam. Ia mencoba mengingat sedikit informasi yang diketahuinya mengenai Seth. "Aku mendengar kabar yang berembus, sepertinya dia bukan orang sembarangan."
Mata Oliver memejam dramatis. Dikatupkannya mulut rapat-rapat dan wajahnya berubah keras. Ketika ia membuka mata kembali maka ia malah balik bertanya pada Barbara. "Katakan padaku kalau kau tidak berbuat masalah dengan Cooper, Barbara."
Barbara melongo. "A-apa, Pa?"
"Kau tidak berbuat masalah dengan Cooper kan?"
"Papa, aku—"
"Papa tidak ingin kau berbuat masalah dengan Cooper." Oliver mengangkat satu tangan ke atas meja dan jari-jarinya mengepal. "Saat ini, Papa sedang dalam pengajuan kerja sama dengan salah satu anak perusahaan keluarga Cooper, Barbara. Kalau kau sampai berbuat masalah sehingga Cooper mengatakan hal buruk pada keluarganya maka Papa tak akan memaafkanmu. Apa kau mengerti?"
Barbara mendengkus tak percaya. "Papa. Bagaimana mungkin Papa mengatakan itu? Sudah kukatakan tadi kalau dia mencari gara-gara denganku dan aku tak terima. Aku harus membalas Cooper dan juga Era."
"Papa peringatkan kau, Barbara. Jangan berulah. Setidaknya, jangan berulah dengan Cooper. Lain dari itu, suka-sukamu saja. Papa tidak ambil peduli."
"Oh, astaga." Barbara menyugar rambutnya dan geleng-geleng. "Jangan katakan padaku kalau Papa takut pada keluarga Cooper." Ia berdecih. "Bahkan untuk sekadar mengeluarkannya dari kampus pun tak beranih. Benar-benar memalukan."
Wajah Oliver berubah merah. "Apa kau tahu kalau keluarnya Cooper dari kampus adalah kerugian untuk kampus?"
"Apa maksud Papa?"
"Keluarga Cooper adalah penyumbang tahunan terbesar, nyaris 55%. Apa kau tahu itu?"
"Tidak mungkin."
Oliver menggeram. "Papa sebagai ketua perkumpulan orang tua mahasiswa tidak ingin mengambil risiko, Barbara. Terlebih lagi, Papa memiliki kepentingan sendiri dengan keluarga Cooper. Ah! Satu hal. Apakah kau tidak ingin memanfaatkan ini?"
"Memanfaatkan apa?"
"Putuskan saja pacarmu yang tak berguna itu. Keluarga Robinson tak ada apa-apanya dibandingkan dengan keluarga Cooper."
Sontak saja mata Barbara membesar. Ia bangkit dan menyimpulkan bahwa menemui Oliver juga tak berguna. Segera saja ia pergi.
"Barbara!" seru Oliver sambil bangkit dari duduk dan berkacak pinggang. "Sialan. Semoga saja dia tak berbuat masalah dengan Cooper."
*
Sepertinya emosi Gerald benar-benar diuji belakangan ini. Ia sudah menunggu kedatangan Barbara di kelab dan mengharapkan kabar baik, tetapi yang didapatkan justru sebaliknya.
"Apa kau bilang?"
Barbara membuang napas panjang dan menggeleng. "Papa tidak bisa berbuat apa-apa pada mereka, Gerald. Aku juga penasaran, sebenarnya siapa keluarga Cooper?"
Gerald tak memedulikan itu. Di kepalanya, hanya ada satu hal penting, yaitu ia ingin membalas dendam pada Era dan Seth secepat mungkin. Selain itu, tak dipedulikan olehnya. Bahkan ia abaikan Barbara yang bersikap manja padanya dan terus meneguk minuman beralkohol tanpa henti.
Barbara kesal sendiri dan memutuskan untuk pergi. Tinggallah Gerald seorang diri, lalu seorang pria datang menghampirinya sesaat kemudian.
"Sepertinya kau sedang ada masalah."
Gerald mengernyit dalam sensasi alkohol yang membakar lidah. Ia menggeram dan memandang kesal pada pria tersebut. "Siapa kau?"
"Aku?" Pria itu tersenyum. "Kau tak perlu tahu, tetapi yang pasti aku bisa membantumu."
"Membantuku?"
Pria itu mengangguk. "Ya. Kau tahu? Aku menawarkan jasa yang bisa kau gunakan untuk apa saja. Semua hanya soal harga."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top