21. Psithurism: Dua Puluh Satu
Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa besarnya rasa bersalah yang tengah Era rasakan saat itu. Hatinya terasa amat berat, terbebani oleh perasaan berdosa untuk kejadian yang menimpa Irene. Pikirannya tak tenang, terus saja tertuju pada Irene sehingga dia pun tak bisa beristirahat walau malam sudah amat larut.
Sejujurnya ada niat yang sempat terbersit di benak Era untuk memanggil Irene agar mereka bisa berbicara berdua, tetapi kesempatan itu tak ada. Sebabnya, Oscar segera memerintahkan Irene dan yang lainnya untuk berkumpul lagi di ruang kerja setelah mengidentifikasi mayat manusia serigala di ruang autopsi.
Di lain pihak, kekhawatiran akan keadaannya—baik secara fisik maupun mental—mendorong Oscar untuk menyuruh Era beristirahat saja. Oscar putuskan untuk tak melibatkannya dalam pembicaraan lanjutan tersebut dan memerintahkan Aaron untuk mengantarnya ke kamar.
Era sempat ingin menolak karena dua alasan. Pertama, dia ingin mengetahui langkah selanjutnya yang akan diambil Oscar. Kedua, dia ingin mencari kesempatan untuk berbicara dengan Irene.
Sayangnya Aaron segera menghampiri dan mengajak Era untuk beranjak dari sana. Sikap sopan dan hangat Aaron membuatnya tak bisa menolak. Pada akhirnya, dia pun hanya bisa membuang napas dan sekarang di sinilah dia berada, di kamar dengan pikiran yang terasa tak menentu.
"Luna."
Era mengerjap dan berpaling. Dilihatnya Aaron tengah menyajikan secangkir teh kamomil. Jadilah napasnya berembus perlahan dan setelahnya dia bicara dengan nada rendah, mencoba untuk menciptakan percakapan yang bisa menyita perhatiannya. "Aku tak mengira kalau kau memiliki kualifikasi di bidang autopsi, Aaron."
Aaron tersenyum. "Ada beberapa hal yang harus kulakukan demi memenuhi persyaratan untuk terus mengabdi pada Kawanan Xylvaneth, Luna. Hal yang sama pun berlaku untuk watcher sebelum dan setelah aku. Jadi bisa dikatakan bahwa ini adalah hal biasa yang terjadi di keluargaku."
"Ah," lirih Era sembari manggut-manggut sekilas. Lalu tatapannya menyipit dengan sebuah kemungkinan. "Apakah itu artinya seluruh keluargamu berkualifikasi di bidang autopsi?"
"Tentu saja." Aaron menjawab sambil tersenyum. Lalu dia pun sedikit menjelaskan. "Sebabnya, ada hal-hal yang tetap harus terlindungi dari dunia luar."
Era mengerti dan topik berhenti sampai di sana. Tak diberikannya tanggapan lebih lanjut karena ternyata pembicaraan itu tak cukup mampu untuk mengalihkan pikirannya dari Irene.
Wajah Era kembali muram, malah semakin muram ketika dia memilih diam ketimbang mengajak Aaron untuk membicarakan hal lain. Agaknya dia menyerah untuk mencari pengalih perhatian. Hatinya benar-benar tak bisa tenang.
"Kau tak perlu khawatir, Luna. Irene baik-baik saja."
Era menyerah. Tak lagi dicobanya untuk bersikap biasa-biasa saja. Nyatanya, usahanya gagal dan Aaron bisa menebak kegelisahannya dengan amat mudah. "Aku tahu itu. Lagi pula aku sudah melihatnya tadi. Dia memang baik-baik saja dan tak terluka sama sekali," ujarnya dengan kesadaran yang bertolakbelakang dengan rasa gelisahnya. "Namun, aku tetap tak bisa berhenti memikirkannya walau aku pun menyadari bahwa tentunya Oscar mengutus Irene bukan tanpa alasan. Selain demi menjagaku, Oscar pasti telah mempertimbangkan kemampuan Irene." Dia tersenyum tipis. "Irene adalah wakil guard. Dia pastilah berkompeten."
"Benar sekali, Luna. Paling tidak untuk sekarang, Irene adalah wanita serigala terkuat di kawanan. Selain itu posisinya sebagai wakil guard mempertegas alasan sehingga tugas itu memang sudah sepatutnya diemban olehnya. Jadi, kuharap kau tak perlu merasa khawatir secara berlarut-larut."
Era hanya mengangguk singkat. Di benaknya, dia juga mengharapkan hal serupa. Lebih jauh, dia berdoa agar tak ada hal buruk lainnya yang akan terjadi pada orang di sekitarnya.
Sayangnya, takdir menjawab doa Era dengan hal sebaliknya. Bermula dari denting halus dari ponselnya, sempat dia mengira bahwa Dree yang mengirimnya pesan. Tebakannya adalah Dree ingin mengabarinya perihal pengunduran dirinya di kafe. Namun, ternyata bukan. Itu bukanlah pesan dari Dree, melainkan dari nomor Amias.
Tubuh Era menegang seketika. Satu keyakinan muncul di benaknya bahwa pesan tersebut bukanlah dikirim oleh Amias, melainkan oleh penculik Amias.
Rasa takut muncul. Kengerian menyebar ke sekujur tubuh Era. Ditahannya napas di dada ketika membuka pesan tersebut yang ternyata berisikan sebuah video.
Ketakutan bergumul dengan rasa penasaran. Era mengumpulkan keberanian untuk memutar video tersebut. Dikuatkannya diri untuk menonton walau jantungnya sudah berdebar dengan degup yang tak nyaman. Alasannya adalah wajah kesakitan Amias yang memenuhi layar ponsel mengisyaratkan penderitaan yang tak tertahankan.
Amias tampak meronta. Dia menangis dan begitu frustrasi ketika memohon. "Tolong, lepaskan aku. Kumohon."
Era membeku dalam dingin yang menusuk hingga kepingan tulang terdalam. Sebabnya, sepanjang hidupnya, dia sudah sering melihat Amias memohon, seringkali dilakukan oleh Amias kepada orang-orang Mosha ketika utangnya sudah bertumpuk dan waktu jatuh tempo sudah tiba, tetapi harus diakuinya bahwa baru kali ini dia melihat Amias memohon dengan begitu putus asa. Namun, harus diakuinya bahwa baru kali ini dia melihat Amias memohon dengan begitu putus asa. Ada sesuatu yang berbeda pada suara Amias, seakan-akan menyiratkan bahwa sekarang adalah akhir dari segala harapannya.
Praduga Era semakin mendekati kebenaran ketika permohonan Amias diabaikan begitu saja. Alhasil, Amias pun menangis dengan raungan yang tak terkira dan sesaat kemudian, keputusasaan membuatnya memberontak. Amias mencoba untuk melepaskan diri ketika ada seseorang yang melepaskan ikatan di kedua tangannya.
"Lepaskan aku sialan!"
Detak jantung Era meningkat ketika melihat rontaan Amias tak memberikan dampak apa pun, tak berarti sama sekali. Hanya dengan satu genggaman pada pergelangan tangannya maka Amias pun jadi tak berkutik.
"A-apa yang ingin kau lakukan?" tanya Amias dengan bibir memucat. Matanya membesar dan sorot yang terpancar menunjukkan ketakutan yang teramat sangat. Lalu dia menggeleng berulang kali. "Jangan, kumohon."
Perasaan tak enak Era semakin menjadi-jadi. Ketakutannya kian tak terbendung dengan sebuah pertanyaan yang berputar di dalam kepala. Apa yang akan mereka lakukan pada Papa?
Era tak menunggu lama untuk mendapatkan jawaban. Ironisnya, jawaban itu muncul dalam bentuk kengerian yang tak pernah dia bayangkan.
Amias mencoba peruntungan terakhirnya untuk melepaskan diri, tetapi gagal lagi, dia benar-benar tak bisa melakukan apa pun. Pada akhirnya dia pun hanya bisa meronta dan menjerit panjang ketika tangan kirinya ditarik paksa. Jari kelingkingnya dipegang, lalu sebilah pisau yang amat tajam memotongnya!
*
Bukan hal aneh bila Oscar kembali mengumpulkan Dom dan yang lainnya pasca penyerangan yang menimpa Irene. Diinterogasinya Irene sehingga tak ada sedikit hal pun yang terlewatkan. Semua dipastikannya agar tak sampai keliru mengambil tindakan.
Oscar tak akan tinggal diam, itu adalah hal pasti. Irene memang tak terluka, tetapi tindakan Kawanan Lynoria tak ubah konfrontrasi terang-terangan, sebuah tindakan yang tak seharusnya dilakukan. Sebabnya, dia memastikan akan memberikan respons untuk semua bentuk ancaman yang datang kepada mereka.
"Jangankan pencegatan dan penyerangan," geram Oscar setelah mendengar laporan lengkap Irena. Tampak wajahnya memerah, menyiratkan marah tak terkira ketika menyadari utusannya telah diserang secara licik. "Bahkan satu kata ejekan pun harus mendapatkan balasannya."
Bila ada orang yang paling mengerti dampak buruk dari peperangan maka Oscar pastilah salah satunya. Dia telah merasakan sedih dan pilunya peperangan, dia telah meyakini bahwa tak ada satu hal bagus pun dari peperangan. Kehilangan adalah harga mati yang pasti akan dirasakan oleh semua pihak. Maka dari itu dia pun berikrar untuk menghindari peperangan sebisa mungkin.
Oscar membenci perang, tetapi di lain pihak, dia pun tak ingin orang-orangnya menderita. Kawanan harus aman dan sejahtera. Jadi, satu hal yang selalu dipegangnya adalah janji untuk tidak memulai masalah. Dia tak akan memulai konfrontrasi, tetapi bukan berarti dia adalah pengecut. Dia akan mempertahankan harga diri, juga keselamatan kawanan.
"Dom," panggil Oscar dengan suara rendah dan berat, menyiratkan kemarahan. Dilihatnya Dom dengan penuh keseriusan. "Kirimkan surat pada Kawanan Lynoria. Tanyakan pada mereka, apakah Kawanan Lynoria tengah menantang Kawanan Xylvaneth? Bila ya maka Kawanan Xylvaneth akan menerima tantangan itu."
Dom mengangguk. "Baik, Alpha. Akan segera aku laksanakan."
Oscar yakin tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan jawaban dari Kawanan Lynoria. Instingnya mengatakan bahwa Kawanan Lynoria akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menghadapi Kawanan Xylvaneth secara terang-terangan, kesempatan yang juga akan dia manfaatkan pula.
Di mata Oscar, penyerangan licik yang menimpa Irene adalah bahaya nyata yang mengancam keselamatan Era. Jadilah tak bisa dibayangkan olehnya bila benar-benar adalah Era yang pergi.
Satu hal membuat gemuruh emosi Oscar terjeda. Namun, bukan berarti karena kemarahannya mereda. Sebaliknya, ada sesuatu yang membuatnya jadi bertanya-tanya. Sebenarnya kawanan mana yang menculik Amias? Rasanya mustahil penculikan ini adalah perbuatan Kawanan Lynoria.
Alasannya sederhana. Oscar merasa bila penculikan itu memang adalah perbuatan Kawanan Lynoria maka mereka tak perlu menyerang Irene dalam perjalanan. Mereka hanya perlu menunggu kedatangan Irene di tempat yang telah ditentukan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada dua kawanan berbeda yang tengah bermain-main dengan Kawanan Xylvaneth pada malam yang sama.
Oscar menarik napas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan diri di dalam hantaman emosi dan juga rasa panik. Satu hal yang menjadi prioritasnya sekarang adalah tetap menjaga pikirannya untuk tetap jernih. Aku tak boleh gegabah. Aku harus tetap waras dan waspada.
Sebabnya ada hal terpenting yang menjadi fokus Oscar saat ini, hal terpenting yang menjadi sumber dari semua rasa penasaran dan geram yang membuncah di dadanya, yaitu akar permasalahan belum juga ditemukan.
Nama Philo segera melintas di benak Oscar ketika dia memikirkan hal tersebut. Jadilah niatan ingin menghubungi Philo muncul. Dia ingin menanyakan perkembangan dan hasil penyelidikan Philo.
Oscar meraih ponsel. Ibu jarinya siap menekan kontak Philo. Namun, tiba-tiba saja dia bergeming.
Ibu jari Oscar menggantung di udara. Napasnya tertahan di dada. Sekujur tubuhnya menegang dalam antisipasi ketakutan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Bukan, itu bukan ketakutan Oscar. Itu bukanlah ketakutannya, tetapi dia berani bersumpah bahwa ketakutan itu persis seperti miliknya. Bahkan dia bisa merasakan dengan jelas sesak yang mengikat paru-paru, nyeri yang berdenyut di jantung, dan dingin yang menjalar pada setiap saraf—Era.
Sedetik perasaan itu timbul maka setelahnya Oscar pun langsung bangkit dari duduknya. Dibuatnya kursi terpelanting ke dinding hingga patah. Lalu dia berlari tanpa memedulikan kesiap kaget Dom dan yang lainnya.
"Alpha!"
Oscar berlari sekuat mungkin. Tujuannya adalah kamarnya dan ketika dia masuk selangkah maka terdengarlah gema jerit histeris Era.
"Era!"
Di sana, di tengah-tengah kamar, Oscar melihat Era berdiri dengan wajah memucat. Ada Aaron bersama Era, dia memegang Era, memberikan indikasi pada Oscar bahwa Era dalam keadaan tidak baik.
Oscar segera menghampiri Era. "Ada apa?"
Era tak bisa menjawab. Alih-alih dia segera memegang tangan Oscar seolah dia yakin bahwa dirinya akan segera jatuh ke lantai. "Oscar."
Suara Era terdengar amat rendah, ada getar-getar ketakutan yang menyertainya. Ditatapnya Oscar dengan mata yang berkaca-kaca, ada genangan air mata yang memenuhi kelopak matanya.
Oscar tak bertanya lebih lanjut. Sebaliknya, dia berpaling pada Aaron yang mengambil ponsel Era di lantai.
Aaron menghampiri Oscar dan menyerahkan ponsel Era. "Alpha."
Oscar menyambut ponsel Era. Dilihatnya ada satu video dan segera saja diputarnya video tersebut. Lalu wajahnya pun mengeras bertepatan dengan mendaratnya wajah Era di dadanya.
Era memeluk Oscar dengan erat. Kemudian dipejamkannya mata rapat-rapat. Tak ingin dilihatnya lagi video mengerikan itu sambil berupaya mengenyahkan ingatan yang telah tertanam di dalam benaknya.
Di lain pihak, Oscar merasakan emosi mulai bergemuruh di dada. Panas mulai menguar dari tubuhnya berkat kemarahan yang tak mampu ditahan. Dia memang tak peduli dengan keselamatan Amias, bahkan Amias mati pun tak akan membuatnya terusik sama sekali, tetapi dia tak akan bodoh bahwa bukanlah Amias yang ingin disiksa oleh si pengirim video tersebut, melainkan Era.
Si pengirim video tengah memojokkan Era. Video itu adalah ancaman. Dia ingin mempermainkan Era dan untuk itu, Oscar tak akan memaafkannya.
Oscar mengatupkan mulut rapat-rapat. Urat mulai bertonjolan di dahi, serupa pertanda bahwa kemarahan Oscar mulai melewati batas toleransi. Lantas matanya menyipit, dijedanya video tersebut, dan fokusnya tertuju pada dinding hitam di sana.
Persis Kawanan Xylvaneth, setiap kawanan memiliki Istana sebagai pusat aktivitas dan tempat perlindungan terakhir kawanan. Keberadaannya diusahakan untuk tampil dalam bentuk bangunan yang semegah mungkin demi memamerkan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki. Namun, setiap ornamen dan ukiran yang menghiasinya bukanlah sekadar untuk memenuhi unsur estetika saja. Sebaliknya, semua harus memuat filosofi, jejak sejarah, dan kebanggaan akan masa lalu kawanan. Dengan kata lain, istana adalah jati diri setiap kawanan.
Mata Oscar membesar sesaat kemudian. Diperbesarnya tampilan video tersebut demi memastikan dugaannya. Setelahnya, dia pun tertegun dengan satu kata yang terucap spontan dari mulutnya. "Ryloston."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top