20. Selenophile: Dua Puluh
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Philo mengernyit ketika mendapati Anne datang menghampirinya dengan langkah tergopoh-gopoh. Dilihatnya wajah sekretaris Oscar itu tampak pucat, bibirnya bergetar, dan percikan keringat memenuhi dahi. Satu kesimpulan yang langsung diambil olehnya adalah Oscar sedang dalam keadaan emosi yang tak baik.
Tebakan Philo benar. Dikatakan oleh Anne bila Oscar mendadak marah dan menyudahi diskusi yang tengah berlangsung. Jadilah sekarang Anne mencoba mencari tahu penyebab kemarahan Oscar, salah satunya bertanya pada Philo.
Philo diam walau ia kembali menebak di dalam hati. Diduganya bahwa itu semua berhubungan dengan Era dan ternyata tebakan keduanya benar lagi.
Ponsel Philo berdering sebelum ia sempat bicara pada Anne. Itu adalah telepon dari Oscar dan ia mendapat perintah yang jelas sekali.
"Segera siapkan helikopter, Philo. Lima belas menit lagi kita pergi ke Celestial City."
Philo tak sempat mengatakan apa-apa dan telepon langsung diputuskan secara sepihak oleh Oscar. Walau demikian itu sudah cukup memberi petunjuk padanya. Jadilah ia membuang napas sambil berkata pada Anne.
"Tenanglah. Tuan Oscar sama sekali tidak marah pada kalian."
Anne mengerutkan dahi, jelas merasa bingung. "Apa katamu, Philo? Tuan Oscar tidak marah pada kami? Ehm. Mungkin seharusnya kau melihat kejadian tadi. Dia tiba-tiba saja menyudahi rapat dan menyuruh kami keluar tanpa terkecuali."
"Percaya padaku. Semua baik-baik saja dan kau tak perlu berpikir yang aneh-aneh."
Anne tetap tak percaya. Jadilah ia membuka mulut, berniat untuk kembali menyuarakan kekhawatirannya, tetapi Philo lebih dulu bicara.
"Aku bisa jamin seratus persen. Jadi, lebih baik sekarang kau mengerjakan hal lain. Kujamin, nanti emosi Tuan Oscar akan kembali membaik."
Demikianlah janji Philo pada Anne sebelum ia beranjak dan mengurus penerbangan mendadak ke Celestial City. Ia yakin, setelah bertemu Era maka emosi Oscar akan mereda. Seharusnya begitu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Philo mendapati perubahan ekspresi Oscar tidak sesuai ekspektasinya. Keluar dari kamar Era, Oscar memang tidak terlihat marah lagi, tetapi sebagai gantinya ia justru terlihat suntuk.
Philo mendekat. Ia berniat untuk bertanya, tetapi Oscar keburu berkata.
"Kita segera kembali Pondera E.V."
Philo mengangguk. "Baik, Alpha."
Oscar menghentikan langkah dengan tiba-tiba dan nyaris saja membuat Philo menabrak punggungnya. Ia mendeham, lalu memutar tubuh. Dilihatnya Seth yang berdiri dengan sikap siapa.
"Siapkan makanan untuk Era."
Seth mengerjap. "Baik, Alpha, tetapi makanan seperti apa yang disukai Era?"
Oscar mendeham. Mata menyipit dan wajahnya tampak serius. Lalu ia menjawab. "Beli semua menu vegetarian yang ada."
Seth hanya melongo dan Oscar lanjut berjalan. Philo sempat menatap Seth sekilas sembari mengangkat kedua bahu, agaknya ia ingin berkata bahwa membeli semua menu vegetarian tak lebih susah dibandingkan menyiapkan penerbangan mendadak dalam waktu singkat.
Oscar dan Philo kembali ke Pondera E.V. sesaat kemudian. Kedatangan mereka disambut oleh Anne dan pada saat itu Philo menyempatkan diri untuk memberi isyarat pada Anne melalui satu gelengan samar.
Anne menangkap isyarat Philo dan meneguk ludah. Ia mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi dan memang itulah yang terjadi.
Oscar kembali mengumpulkan mereka. Diskusi dilanjutkan dan Anne beranggapan bahwa itu hanyalah alasan Oscar untuk mendapatkan celah sehingga ia bisa marah-marah lagi.
"Pada intinya, masyarakat tidak peduli apakah pangan yang mereka konsumsi itu organik atau tidak. Faktanya, prioritas masyarakat hanya satu, yaitu perut mereka kenyang. Kalian paham?"
Philo merasa prihatian melihat Anne dan yang lainnya. Namun, ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Jadilah ia maklum sekali bila mereka kompak membuang napas lega ketika Oscar bangkit dan berkata.
"Sebentar. Aku mendapat telepon yang sangat penting."
Oscar beranjak ke tempat yang lebih tenang. Diladeninya telepon itu dengan serius dan mendadak saja wajahnya jadi berseri-seri setelah telepon berakhir. Philo sampai tercengang melihat perubahan emosinya yang sangat tiba-tiba.
"Baiklah," ujar Oscar ketika datang kembali. Dimasukkannya ponsel ke saku celana, lalu ia mengusap dagu. Ia tak kembali menduduki kursi, melainkan berdiri di belakangnya. "Sepertinya diskusi kita cukup sampai di sini dan ah!" Ia tersenyum lebar sambil melihat pada Donald. "Aku suka ide industri pangan organik. Semakin lama, kesadaran manusia dengan kesehatan pangan yang dikonsumsi memang semakin tinggi. Jadi, prioritas jangka panjang kita memang bukan hanya soal kestabilan produk, melainkan kualitasnya."
Philo berusaha menjaga air mukanya untuk tetap stabil walau jelas sekali ia bisa menangkap kebingungan Anne dan yang lain. Mereka saling pandang hingga akhirnya Donald memberanikan diri untuk bertanya.
"Jadi, keputusan Bapak?"
Oscar berkacak pinggang dengan semringah. "Tentu saja aku setuju dengan proyek jangka panjang ini."
Donald memejamkan mata dan membuang napas panjang. Begitu pula dengan yang lainnya.
"Kau segera atur tim yang akan menangani proyek ini secara khusus. Jadi, aku harapkan semua produk Xylvaneth memiliki dua target pasar sekaligus. Baik mereka pro organik ataupun tidak, pilihan mereka tetap produk Xylvaneth." Oscar bertepuk tangan sekali, lalu jarinya menjentik hingga menimbulkan bunyi. Setelahnya ia menunjuk Donald sembari geleng-geleng. "Kau benar-benar cerdas, Donald. Aku beruntung memilikimu."
Donald mengangguk. "Terima kasih, Pak."
"Teruskan kerja bagusmu, Donald. Buat Xylvaneth menjadi perusahaan pangan nomor satu di dunia."
"Siap, Pak," angguk Donald penuh antusias. "Aku akan melakukan apa pun agar produk Xylvaneth beredar secara luas di pasaran. Aku akan menjamin bahwa produk Xylvaneth akan mengisi semua pasar menengah ke atas."
Oscar memberikan dua ibu jari pada Donald, lalu kembali memuji. "Bagus." Setelahnya ia melihat pada jam tangan. "Sekarang sudah hampir pukul enam. Kalian bisa melanjutkan diskusi di sini, santai saja. Sementara itu sepertinya aku akan pulang. Ini hari yang lumayan melelahkan."
Sontak saja mereka langsung bangkit dari duduk. Oscar mengenakan kembali jasnya dan Philo dengan gesit merapikan tas kerjanya.
"Ah! Satu pesanku," ujar Oscar sebelum benar-benar pergi dari sana. "Jangan terlalu memforsir diri. Aku tahu kalian para pekerja keras, tetapi jangan lupakan waktu untuk beristirahat. Aku tidak ingin kalian stres."
Jadilah Anne dan yang lainnya melongo. Mereka hanya bisa angguk-angguk dengan ekspresi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Di lain pihak, Philo hanya tersenyum kaku pada mereka, lalu buru-buru menyusul Oscar yang telah menuju pintu.
Perjalanan pulang menuju Istana terbilang aman dan terkendali. Philo yang sudah menyiapkan telinga untuk mendengarkan ocehan Oscar malah tak mendengar satu keluhan pun dari sang alpha. Oscar tampak tenang dan sesekali bersiul sambil bergantian melihat pada ponsel dan pemandangan di sepanjang jalan. Agaknya tak akan salah bila ia menebak bahwa suasana hati Oscar saat itu sedang dalam keadaan baik.
Philo menyipitkan mata. Dugaannya menebak lebih lanjut, ini pasti ada hubungannya dengan telepon yang didapatkan Oscar tadi.
Nama Era kembali muncul di benak Philo dan ia yakin seratus persen bahwa telepon yang didapat oleh Oscar tadi memang dari Era. Jadilah ia membuang napas panjang. Bukannya mengeluh, ia justru memuji walau dengan satire. Dia yang membuat suasana hati Alpha buruk dan dia juga yang membuat suasana hati Alpha menjadi bagus lagi.
Mereka tiba di Istana. Mobil berhenti di pelataran dan seorang penjaga membuka pintu mobil untuk Oscar. Oscar turun dan begitu pula dengan Philo.
"Kerja bagus hari ini, Philo," ujar Oscar ketika mereka telah berada di dalam lift. "Kuharap kau juga beristirahat yang cukup. Aku tak ingin kau sakit."
Philo mengangguk. "Baik, Alpha."
Lift berhenti bergerak. Pintu membuka dan Oscar melangkah keluar sembari memasukkan satu tangan ke saku celana, disusurinya lorong panjang dengan riang gembira.
Philo turut keluar sebelum pintu lift kembali menutup. Walau begitu ia tak menyusul Oscar yang jelas sekali menuju ke kamarnya untuk beristirahat, melainkan ia berencana ke ruang kerja Oscar untuk menaruh tas kerjanya. Namun, melihat sikap Oscar justru membuatnya lupa dengan rencana semula.
"Sepertinya bukan hari yang mudah."
Philo mengerjap dan berpaling. Didapatinya Ursa telah berdiri di sebelahnya dengan ekspresi geli. Jadilah ia berdecak. "Hari ini, kami terbang ke Celestial City."
Mata Ursa sedikit membesar.
"Alpha marah-marah dan membuat semua orang kelabakan. Proposal yang telah disetujuinya pekan lalu dibahas lagi dan nyaris dibatalkan."
Ekspresi geli Ura menghilang, sekarang ia malah melongo. "Dibatalkan?"
"Ya," jawab Philo sembari membuang napas panjang. "Jadilah semua orang berusaha meyakinkan Alpha untuk kedua kali kalau proposal itu memiliki prospek yang cerah. Untungnya, sebelum pulang ini Alpha malah kembali menyetujuinya."
Ursa semakin melongo. Ia tak bisa berkata-kata.
"Aku tahu, Alpha benar-benar ...." Philo putuskan untuk tidak melanjutkan perkataannya. Ia pikir kata 'merepotkan' sangat tidak pantas bila ditujukan pada seorang alpha. "Sudahlah. Terpenting adalah semuanya telah terkendali sekarang. Alpha baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ekspresi Ursa menunjukkan simpatik. Lalu ia pun menebak. "Ini ada kaitannya dengan Era bukan?"
"Tentu saja," ujar Philo sembari menarik napas dalam-dalam. Agaknya mendengar nama Era membuat ia jadi kembali pada masa beberapa jam yang lalu ketika Oscar kelabakan hingga membuat panik semua orang. "Hanya dia yang bisa membuat suasana hati Alpha naik dan turun dalam sekejap mata."
"Aku sependapat denganmu, Philo."
Philo mengernyit seperti sedang menahan tangis. "Sejujurnya, ini membuatku gelisah, Ursa. Aku khawatir keadaan ini berlarut-larut."
"Apa yang membuatmu gelisah, Philo? Apa yang membuatmu khawatir?" tanya Ursa tanpa benar-benar membutuhkan jawaban Philo. Ia bisa meraba maksud Philo. "Bukankah seharusnya kau menikmati situasi ini?"
"Menikmati?"
Ursa tersenyum geli melihat Philo mengulang satu kata itu dengan mata membesar. Agaknya Philo tak mengira bila dirinya akan menggunakan situasi tersebut untuk menggodanya. "Aku bukannya tidak bersimpatik dengan keadaanmu, Philo, malah sebaliknya. Aku yakin kau benar-benar kewalahan dalam menyikapi sikap Alpha belakangan ini, tetapi setidaknya seperti yang kukatakan tadi, kau bisa menikmati situasi ini." Ia mengangkat tangan, lalu menunjuk ke arah kamar Oscar. "Lihatlah. Tidakkah kau senang melihat Alphamu begitu bersemangat dalam menghadapi calon lunanya?"
Philo tak menjawab, melainkan dihirupnya udara dalam-dalam. Sekilas berpikir, menurutnya Ursa memang masuk akal. "Walau begitu kuharap keadaan ini tidak berlangsung lama."
"Kuharap juga demikian, Philo. Jadi, lebih baik kau beristirahat sekarang. Selamat malam." Ursa tersenyum dan memutar tubuh. Kaki melangkah, tetapi sesuatu terlintas di benak dan membuatnya jadi berpaling kembali. "Ah, aku hampir melupakan sesuatu."
"Apa?"
"Mungkin ada baiknya kau juga mulai menikmati jatuh cinta. Dengan begitu, kau akan lebih bisa mengerti perasaan Alpha sekarang."
Philo mengerutkan dahi. Kata-kata yang diucapkan Ursa berputar-putar di kepala dan ia merasa tak yakin dengan maksud Ursa.
"Tentunya, bukan cinta semalam, tetapi jatuh cinta. Sekali lagi kukatakan, jatuh cinta. Perasaan alamiah di mana kau bisa tersenyum hanya dengan membayangkan wajahnya. Perasaan di mana kau akan kelabakan bila sesuatu yang buruk terjadi padanya."
Jadilah Philo benar-benar bungkam sementara Ursa menutup sarannya dengan senyum lebar, lalu ia benar-benar pergi. Tinggallah Philo seorang diri dan ia geleng-geleng sebelum memutuskan untuk turut beranjak dari sana.
Lift mengantarkan Philo ke lantai satu Istana. Ia melintasi aula dengan dahi mengerut. Dalam pikirannya, ucapan Ursa tadi terus berputar-putar.
Kemunculan Julie dari arah berlawanan membuat langkah Philo terhenti. Keduanya bertemu di tengah-tengah aula.
"Halo, Philo."
Tipis, Philo tersenyum. "Halo, Julie. Apa kabar?"
"Masih seperti ini," ujar Julie sambil menyugar rambut. Wajahnya menyiratkan lelah. "Tidak ada yang berbeda."
Philo manggut-manggut. "Apa kau masih memiliki pekerjaan malam ini?"
"Tidak ada. Mengapa?"
"Bagaimana dengan bersantai di luar? Sejujurnya, ini hari yang lumayan melelahkan juga untukku." Philo menjawab sembari membuang napas panjang. Ia pun melonggarkan lilitan dasi di leher secara di luar kesadaran. "Mungkin menonton atau sekadar minum di kelab."
Julie menggeleng. "Maaf. Kupikir, aku hanya butuh tidur."
"Oh."
"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Alpha? Apakah dia baik-baik saja?"
"Ya," jawab Philo sembari mengangguk sekali. "Alpha baik-baik saja."
"Syukurlah."
Philo menangkap sesuatu yang ganjil. Jadilah ia bertanya. "Mengapa?"
"Tidak. Aku hanya mendengar kabar kalau kalian pergi ke Celestial City. Ehm. Pasti ada hubungannya dengan Era."
Dahi Philo mengerut samar, tetapi ia tak mengatakan apa-apa.
"Baiklah. Aku akan beristirahat sekarang. Semoga malammu menyenangkan, Philo. Selamat malam."
"Selamat malam."
Julie pergi dan kembali, Philo menjadi seorang diri. Dihirupnya udara dalam-dalam dan dilihatnya kepergian Julie. Setelahnya, ia membuang napas sembari mengenyahkan omongan Ursa dari dalam kepala.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top