2. Selenophile: Dua
Di satu tempat yang tak terjamah oleh manusia awam, ada sebuah bangunan tak biasa yang langsung bersinggungan dengan sisi tenggara hutan Lunaria. Posisinya agak tersembunyi di balik pepohonan tua yang menjulang tinggi dan juga garis pegunungan yang berjajar rapi. Sepintas memandang, mata pasti terkecoh dan tak akan menemukan keberadaannya. Alam seolah tengah bersekongkol untuk merahasiakan eksistensinya dari dunia luar dengan amat apik.
Bangunan itu bukanlah rumah biasa. Serupa gedung pencakar langit, tetapi desainnya tak ubah kastil yang kerap disebut-sebut dalam dongeng pengantar tidur anak-anak. Pilar-pilar besar nan kokoh mengelilinginya, diberikannya kesan mewah dan antik. Berikut dengan halaman luas yang lebih tepat disebut taman tanpa batas.
Jalan setapak dibuat dengan rapi dan penuh teliti. Bebatuan kecil menjadi pembatasnya. Beraneka ragam tanaman bunga yang beraroma wangi membentuk jalur bewarna-warni. Ada pula kolam kecil dengan pancuran yang cantik.
Sepanjang memandang, rerumputan hijau menjadi permadani yang menyejukkan mata. Kicauan buruk tak ubah nyanyian merdu yang terus melantun tanpa putus. Langit biru membentang dan cahaya matahari menyinari. Semuanya menciptakan panorama agung yang tak akan pernah dibayangkan oleh manusia biasa mana pun.
Lebih menarik lagi, suasananya cenderung tenteram. Ketenangan dan kedamaian kerap menyelimuti berkat letaknya yang jauh dari jangkauan dunia luar. Terkesan hening, nyaris selalu sunyi, seolah di sana tak ada penghuninya.
Sampai tiba masanya matahari mulai tergelincir dan terang pun tergantikan gelap. Kesunyian terpecahkan oleh riuh dan gaduh. Tenang dan damai tak lagi terasa ketika kegelisahan mulai menguap dan memenuhi udara.
Tanggal 15, malam purnama kedua, semestinya memang akan selalu menjadi saat yang ditunggu-tunggu, persis seperti malam purnama lainnya. Namun, ada yang berbeda untuk kali ini. Tanpa ada sorak-sorai dan hiruk pikuk, wajah-wajah itu terlihat tegang dan penuh gelisah, seolah mereka tengah merasakan kekhawatiran yang serupa.
"Bagaimana kalau Ursa salah?"
"Mungkinkah ramalannya keliru?"
"Apa Alpha akan mengampuni Ursa lagi?"
Ada banyak tanya dan kegundahan yang mengudara. Semua bergumul dan membuat sesak hingga nyaris tak ada yang bisa bernapas. Mereka saling bertanya, tetapi tak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka pun ingin menuntut, tetapi ada pihak lain yang lebih berhak untuk menggugat.
"Ada sesuatu yang mengikat jiwa serigalanya selama ini. Aku rasa sepertinya dia pun belum menyadari kalau dia adalah manusia serigala."
"Maksudmu, sihir?"
Ursa mengangguk. Dibenarkannya pertanyaan tersebut. "Begitulah yang kuduga, Philo."
Philo Celeste diam. Sekarang ia memilih tak mengatakan apa-apa, alih-alih ia hanya berani untuk melirik sedikit pada seorang pria yang duduk di singgasana dengan ekspresi wajah tak terbaca.
"Hanya itu satu-satunya alasan yang paling masuk akal mengapa kau tidak bisa menemukannya selama ini, Alpha."
Akhirnya Ursa mampu juga mengatakan kemungkinan yang sempat berputar-putar di kepalanya belakangan ini. Ia terus memikirkannya bermalam-malam. Rasanya mustahil sang alpha tak mampu menemukan pasangannya selama bertahun-tahun.
"Dugaanku terbukti, Alpha. Upacara yang kita lakukan semalam memberi jawaban untuk kegelisahan kita selama ini. Gadis itu, calon pasanganmu, calon luna untuk Kawanan Xylvaneth, telah ditemukan," lanjut Ursa menggebu. Diberikannya mimik penuh kesungguhan untuk meyakinkan sang alpha. "Malam ini, dia akan muncul di hutan Lunaria."
"Kalau kau salah lagi?"
Ursa terhenyak. Pertanyaan bernada datar itu membuat jantungnya seolah tak berdetak lagi. "A-aku siap menerima hukuman darimu, Alpha."
Hening. Jawaban Ursa menciptakan kesunyian untuk sesaat. Tak ada yang bicara hingga pada akhirnya sang alpha bangkit dari singgasananya.
"Philo."
Philo menyahut dengan sigap. "Ya, Alpha?"
"Kau pimpin pencarian malam ini. Jelajahi hutan Lunaria dan jangan kembali sampai kalian menemukan gadis itu."
"Baik, Alpha."
Setelahnya sang alpha beranjak. Ia keluar, ditinggalkannya Philo dan Ursa yang sesaat kemudian saling bertukar pandang.
"Kau yakin dengan ini, Ursa?"
Ursa meringis tertahan, kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Wajah senjanya tampak khawatir, tetapi ia mengangguk. "A-aku yakin, Philo. Aku melihatnya. Dewi Bulan telah menunjukkannya padaku. Aku tidak berbohong."
"Kuharap begitu karena ini bukan hanya tentang Alpha, melainkan juga tentang keberlangsungan Kawanan."
Ursa mengangguk. Seperti yang lain, ia juga merasakan kekhawatiran yang sama. Mereka cemas dan panik dalam satu pertanyaan yang telah menghantui lebih dari sepuluh tahun lamanya. Bagaimana bila alpha tidak bisa menemukan lunanya? Apa yang akan terjadi pada mereka? Mungkinkah nasib Kawanan akan segera berakhir?
Beruntung, Ursa mendapatkan penglihatan di waktu yang tepat. Upacara Suci dilakukan. Cahaya purnama menjadi jalan bagi Dewi Bulan untuk memberikannya jawaban. Satu wajah muncul di benak dan ia beritakan kabar gembira tersebut pada para kawanan.
Sayangnya kabar gembira belum cukup untuk menenangkan kekhawatiran yang telah mengakar kuat di benak para kawanan. Mereka butuh bukti yang bisa dilihat langsung oleh mata, yaitu kehadiran wanita yang akan menjadi luna mereka.
Jadilah sekarang satu-satunya harapan Ursa bergantung pada sang beta. Ia tahu Philo adalah manusia serigala yang bisa diandalkan dan sekarang ia berdoa semoga Philo bisa menemukan gadis itu tepat pada waktunya. Paling tidak sebelum sang alpha habis kesabaran dan menghukum dirinya.
"Lalu bagaimana kami bisa menemukannya?" tanya Philo kemudian. Dahinya mengerut dalam kebingungan. "Hutan Lunaria sangatlah luas dan bagaimana kami bisa tahu kalau dialah yang kita cari?"
"Istana dan dunia luar terpisahkan oleh barisan pegunungan Monte Astralis dan hutan Lunaria. Jadi kau hanya perlu menuju titik pertemuan antara keduanya. Dia akan turun dari pegunungan Monte Astralis dan memasuki hutan Lunaria. Hanya dia gadis biasa yang berani memasuki hutan Lunaria. Dia belumlah menjadi bagian dari manusia serigala, tetapi ia berani."
Sejenak, Ursa memejamkan mata. Ia mengingat kembali penglihatan yang didapat semalam. Tak ubah video kusut, tampilan visual itu memberinya gambaran kasar.
"Dia tengah berlari. Dia mencoba menyelamatkan diri. Jadi kau harus datang tepat waktu. Purnama akan menunjukkannya padamu."
Philo mengangguk. Terlepas dari sekelumit keraguan yang membayangi, ia putuskan untuk tidak gegabah. Ia akan melakukan perintah sang alpha dan membuktikan sendiri, apakah ramalan Ursa benar atau sebaliknya.
"Aku akan segera mengumpulkan para kawanan."
Philo pergi. Tinggallah Ursa seorang diri di Paviliun. Kedua tangan naik di depan dada dan kepala menengadah. Mulutnya komat-kamit dalam doa yang tak henti-henti dirapalkan.
Semoga. Semoga saja semuanya benar. Kumohon.
Sementara Ursa terus berdoa maka Philo sebaliknya. Ia bergegas menuju ke aula Istana dan kehadirannya membuat keriuhan di sana langsung mereda.
Semua mata melihat pada Philo, lalu justru melirik ke sana kemari. Namun, mereka tak menemukan sosok yang ditunggu-tunggu.
"Alpha tidak ada. Dia marah."
"Tidak mungkin. Bagaimana mungkin dia marah sementara ramalan Ursa belum terbukti kebenarannya? Mungkin memang salah, tetapi bisa juga benar. Tidak sepatutnya dia marah sekarang."
"Ursa telah memberikan ramalan yang keliru bertahun-tahun yang lalu. Dikatakannya bahwa sang luna akan segera datang, tetapi tidak terbukti. Jadilah para Kawanan meragukan kemampuannya."
Philo mendeham. Suaranya menggema dan memantul-mantul, lalu keriuhan itu pun kembali mereda.
"Malam ini, kita akan menuju ke hutan Lunaria. Kita akan menjelajahi hutan dan menemukan gadis itu. Apa pun yang terjadi, kita harus membawanya ke sini. Kalian mengerti?"
Para kawanan menjawab kompak. "Ya."
"Bagaimana bila seandainya ramalan itu salah lagi, Philo? Apa yang akan terjadi pada Ursa?"
Philo berpaling ke arah pertanyaan itu berasal. Seorang wanita serigala bernama Julie Davis menatap dan menunggu jawabannya.
"Itu urusan Alpha dan Ursa. Urusan aku dan kalian adalah menjalankan perintah Alpha. Jadi tak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Kita segera berangkat sekarang."
Julie diam, yang lain juga tak bersuara. Mereka tak mengatakan apa-apa ketika Philo telah memberikan instruksi.
Semua bergegas meninggalkan aula. Mereka keluar dan cahaya purnama memandikan sekujur tubuh.
Darah menggelegak. Jiwa meraung-raung. Tepat setelah Philo memberi perintah, mereka pun berlari.
Mulanya dengan dua kaki. Lalu tubuh mereka berubah. Besar dan gagah, dipenuhi oleh bulu-bulu panjang nan indah.
Keempat kaki menapak dengan mantap. Sepasang mata tajam siap menembus kelam malam di hutan Lunaria. Moncong terbuka, lalu suara lolongan mengalun panjang.
*
Era terengah. Napasnya kian payah. Namun, ia tak bisa berhenti walau sesaat. Di belakangnya, para preman ternyata masih mengejar.
Bisa-bisanya! Mengapa mereka masih mengejarku?
Semula Era mengira semua akan selesai bila ia memasuki hutan Lunaria. Ternyata, tidak. Sepertinya Mosha sebagai penguasa dunia malam di Avaluna mampu memberikan ketakutan yang berkali-kali lipat. Jejaring kriminalnya memang tak main-main, ia terkenal kejam, dan tak akan mengampuni siapa pun yang menentangnya. Jadilah para preman mengabaikan mitos dan cerita-cerita mengerikan yang terus beredar di sekitar masyarakat Avaluna. Pikir mereka, manusia serigala belum tentu benar-benar ada, tetapi kemarahan Mosha sudah pasti ada bila mereka gagal melaksanakan perintah.
"Itu! Di sana! Itu Era!"
Tanpa menoleh ke belakang sedikit pun, Era mempercepat lari. Diterabasnya semak belukar. Dilangkahinya anak sungai. Semua ia lewati hingga tubuhnya mencapai batas akhir.
Era kehabisan tenaga. Fokusnya mulai mengendur dan kakinya perlahan melemah. Pada akhirnya ia hanya bisa menjerit panjang ketika akar pohon menyandung langkahnya.
Era terjatuh. Tubuhnya terguling beberapa kali hingga sebuah batu besar membentur kepala dan ia terdiam seketika.
Rasa sakit menyentak. Tulang belulang serasa remuk redam. Era tak bisa bergerak dalam kungkungan tawa yang seketika langsung membahana.
"Kita menemukannya. Tenang. Dia tak akan bisa kabur lagi."
Era megap-megap. Nyeri dan ngilu membuatnya tak bisa bangkit. Jadilah satu-satunya hal yang bisa dilakukannya adalah membuka mata, lalu menatap jauh ke atas sana, pada purnama penuh yang bersinar dengan amat terang.
Mungkin pertama kali di dalam hidupnya, inilah masa di mana Era benar-benar melihat purnama. Sebelumnya, ia tak pernah memerhatikan purnama. Ia hanya sekadar melihat dan menganggap tak ada yang istimewa. Namun, entah mengapa sekarang justru terasa berbeda.
Dalam serbuan rasa sakit dan ketakutan, Era dapati bahwa bermandikan cahaya purnama memberikan kedamaian yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Gelisah, khawatir, dan semua kecemasan perlahan menguap pergi. Jadilah ia tersenyum lebar sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
"Itu dia! Lihat! Dia pingsan!"
Segerombolan preman menemukan keberadaan Era. Mereka mengelilingi Era dan lantas tertawa terbahak-bahak. Satu di antaranya adalah Bart. Ia langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Mosha.
"Bos, aku sudah menemukan Era. Sebentar lagi aku akan—"
Lolongan serigala memutus ucapan Bart. Tak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Suara mengerikan itu sahut-menyahut seolah tengah memberi peringatan.
Wajah-wajah memucat. Para preman saling pandang dengan keringat dingin yang mulai memercik. Jadilah mereka saling mendekat sambil melihat ke mana-mana, berusaha untuk menemukan dari mana sumber lolongan tersebut.
"Ba-Bart, bagaimana ini?"
Bart meneguk ludah, tak bisa menjawab.
"Su-sudah kubilang. Seharusnya kita tidak menginjakkan kaki di hutan terkutuk ini."
"Diam!" bentak Bart. Dipelototinnya mereka. "Jangan jadi penakut. Tidak ada apa-apa di hutan ini. Itu hanyalah lolongan serigala biasa. Kalau mereka menyerang, keluarkan pistol kalian bodoh!"
Para preman terdiam. Mereka tak lagi mengeluh. Mereka mengangguk dan Bart memberi perintah.
"Sekarang, angkat jalang ini. Jangan biarkan Bos menunggu lama."
"Baik."
Dua di antara mereka beranjak menghampiri Era. Bart mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia mengamati keadaan sekitar dan mulai menyipitkan mata.
Bart mencoba untuk memfokuskan penglihatan. Ada sesuatu yang ganjil di balik barisan pohon-pohon tinggi itu, serupa dua cahaya yang tampak berkilau dan ia semakin mendekat.
Bart membeku. Arah pandangnya yang semula lurus perlahan mulai naik ke atas. Diikutinya pergerakan dua cahaya tersebut sehingga ia sadar bahwa itu adalah sepasang mata buas.
Bukan lagi lolongan, melainkan auman yang kemudian membahana. Udara langsung bergejolak dengan suhu yang terasa membakar. Bart dan para preman pun terhempas ke mana-mana.
"Se-serigala!"
Bart dan para preman langsung berlari. Mereka kocar-kacir. Semua berteriak dan malam yang tenang pun benar-benar ternoda.
"Dia tengah berlari. Dia mencoba menyelamatkan diri. Jadi kau harus datang tepat waktu. Purnama akan menunjukkannya padamu."
Serigala itu melangkah pelan. Didekatinya Era, dilihatnya cahaya purnama yang menyinari Era, lalu ditatapnya purnama di atas sana. Kemudian ia melolong panjang.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top