17. Psithurism: Tujuh Belas
"Bagaimana, Daniel? Apakah semua sudah siap?"
Daniel Callahan mengangguk. "Semua sudah siap, Alpha. Kami siap menunggu perintah darimu."
"Bagus." Teagan menarik napas. Wajahnya mengeras, perpaduan antara ketegangan dan juga tekad. Lalu dia berpaling. "Kau akan terus mendampingiku bukan?"
"Sampai mati, Alpha. Aku tak akan pernah meninggalkanmu."
Teagan mengangguk. Lalu dia beranjak. Dihampirinya Daniel. Lalu dipegangnya kedua lengan atas Daniel. "Aku sangat bersyukur pada Dewi Bulan. Sebagai seorang alpha, tak ada yang lebih melegakan ketika memiliki beta yang bisa dipercaya dan diandalkan. Sementara kau, Daniel, bukan hanya beta untukku, tetapi kau lebih dari itu."
Daniel merasakan gelombang emosi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang membuat perasaannya menghangat, tetapi di lain pihak, ada dingin menakutkan yang mulai menyusup, tak ubah pembawa pesan untuk firasat yang tak mengenakkan.
"Kita harus berpesta besar-besaran setelah perang ini."
Daniel mengangguk. "Tentu saja, Alpha."
Pada waktu bersamaan, pintu terbuka. Taegan dan Daniel sama-sama berpaling. Dilihat oleh mereka, ada Cecilia masuk.
"Cecilia."
Cecilia menghampiri Taegan. "Aku sudah memerintahkan Aaron untuk mengevakuasi Oscar. Sekarang, mereka sudah pergi bersama beberapa para guard. Selain itu, Brittany pun ikut mereka. Jadi, kita tak perlu mengkhawatirkan Oscar. Brittany akan menjaga Oscar sebaik mungkin."
"Kau benar," ujar Taegan mengangguk sekali ketika mendengar nama Brittany Gordon. "Kita tak perlu mengkhawatirkan Oscar. Sebagai pemimpin guard, tak ada yang bisa mengelabui Brittany." Sekarang dia kesampingkan perasaannya sebagai seorang ayah. Dia bertanya pada Daniel. "Apakah belum ada kabar dari Robert?"
Daniel menggeleng. "Belum, Alpha, tetapi aku—"
Pintu terbuka dengan terburu-buru. Ucapan Daniel terpotong oleh kedatangan Hector Ramirez—gamma.
"Alpha, alat komunikasi kita sudah disabotase dan sekarang para warrior Kawanan Ryloston sudah mulai memasuki wilayah kita."
Wajah Taegan berubah. Sekarang pikirannya hanya tertuju pada pemimpin warrior—Robert Miller. "Bagaimana dengan Robert?"
"Robert dan pasukannya sudah berada di posisi, Alpha. Mereka siap menerima perintahmu," jawab Hector dengan sikap siaga. "Kami siap menerima perintahmu."
Taegan mengangguk. "Kita tunjukkan pada Ryloston bahwa tak semudah itu menghancurkan Xylvaneth."
Tekad bulat bersatu dengan semangat membara. Kawanan Xylvaneth menuju ke medan pertempuran tanpa gentar sama sekali. Keberanian mereka terpancar dari setiap langkah yang diambil, tampak yakin sepenuhnya. Sementara itu mata mereka memancarkan kegigihan yang tak tergoyahkan.
Di depan, Taegan berdiri dengan gagah. Keberadaannya menerbitkan rasa tenang untuk para kawanan. Setiap pergerakan yang dibuat dan tatapan yang diberikannya memancarkan karisma dan rasa percaya diri.
Kawanan berbaris di belakang Taegan. Suara gemuruh langkah mereka mengguncang tanah, menciptakan irama yang serasi dengan detak jantung mereka yang berdebar kencang. Mereka saling menguatkan, bersiap untuk mengikuti setiap isyarat dan perintah yang akan diberikan Taegan. Sebabnya, mereka tahu bahwa peperangan ini bukan hanya untuk kemenangan, melainkan untuk mempertahankan kehormatan dan masa depan kawanan.
Semua langkah berhenti ketika mereka tiba di medan pertempuran. Dua kawanan bertemu dan saling menatap dengan intens, mata mereka tampak menyala.
Taegan mengangkat tangan, memberikan isyarat pada kawanan Xylvaneth untuk bersiap. Jadilah suasana berubah menjadi hening menakutkan, tak ubah ketenangan semu sebelum badai menyerang.
Semua orang menahan napas, menunggu sinyal yang akan memulai pertempun. Lalu ketika tangan Taegan turun maka bentakan garang dari kedua belah pihak pun meledak!
Pertempuran pecah dengan sangat dahsyat. Mereka berubah bentuk menjadi serigala. Jadilah cakar dan taring beradu, diselingi oleh geraman marah dan raungan rasa sakit yang mengusir kesunyian malam, bersatu dalam simfoni kekacauan.
Tanah yang tadinya kokoh berubah menjadi medan berlumuran darah, tak ubah saksi bisu dari keganasan yang berlangsung. Terciptalah aroma amis menguar ke mana-mana, memenuhi udara.
Lolongan kesakitan terdengar dari berbagai sudut, menciptakan alunan tragis dari pertempuran yang mematikan. Tubuh-tubuh penuh luka terjatuh, terbaring tanpa daya, memberikan pemandangan yang menyayat hati.
Selalu ada harga mahal untuk setiap pertempuran, Taegan jelas menyadarinya. Maka dari itu dia pun sebisa mungkin menghindari pertempuran. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya ketika harga diri kawanan dipertaruhkan. Jadilah dia bertekad untuk memukul mundur Kawanan Ryloston secepat mungkin demi menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Taegan tahu caranya. Maka dari itu dia melompat dan berlari dengan cepat. Tujuannya adalah Alpha Kawanan Ryloston—Pablo Hart Wellington.
Kedua kaki depan Taegan terangkat ke atas. Cakarnya berkilat dalam kegelapan malam, taring-taring tajamnya terpampang dengan kesiapan untuk mencabik-cabik.
Di lain pihak, Pablo jelas menyadari serangan yang tertuju padanya. Lagi pula inilah yang ditunggunya selama ini, dia ingin menghadapi Taegan seorang diri. Untuk itu dia pun melompat pula ke depan dengan gerakan yang sama. Jadilah dia dan Taegan bertemu di udara dengan cakar-cakar yang terbuka lebar, lalu terciptalah benturan kuat.
Dua orang alpha bertabrakan dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Tubuh mereka melesat cepat, dipenuhi oleh kekuatan murni dan kelincahan yang luar biasa. Keduanya ciptakan dentuman pertempuran yang mengguncang tanah, melahirkan gelombang kejut yang terasa hingga ke pinggir medan pertempuran.
Taegan, dengan mata menyala penuh tekad, menyerang dengan gagah berani. Sementara Pablo, melawan dengan kebengisan yang mematikan.
Geraman menggetarkan dada Taegan. Adrenalinnya mengalir deras ke dalam setiap urat nadi. Gejolak semangat tempur menggelegak di sepanjang pembuluh darah. Dia menghimpun tenaga, lalu menerjang ke depan dengan penuh perhitungan. Didorongnya Pablo sehingga mundur beberapa langkah ke belakang, lantas terbukalah kesempatan untuknya menyerang lebih jauh lagi.
Cakar Taegan menggores sisi tubuh Pablo. Luka tercipta, darah mengalir. Namun, Pablo tidak menyerah begitu saja. Dengan raungan penuh amarah, Pablo melompat kembali, lalu balas mencakar bahu Taegan dengan kekuatan yang cukup untuk membuatnya terhuyung.
Taegan terpaksa melompat mundur beberapa langkah. Napasnya terengah, tetapi dia terus menegapkan tubuh. Ditahannya lelah dan nyeri yang mulai menggerogoti tubuh. Dia tahu, dirinya tak bisa menyerah sekarang. Jadilah dengan seluruh kekuatan yang tersisa, dia kembali menyerang dengan kecerdikan dan kecepatan yang tak terduga.
Satu gerakan cepat Taegan berhasil menjatuhkan Pablo ke tahan. Ditahannya dada Pablo dengan cakar yang kuat. Lalu taring-taringnya yang tajam menancap di leher Pablo, mencabik-cabik dagingnya. Darah pun muncrat bersamaan dengan lolongan terakhir Pablo.
Keriuhan pertempuran sontak terjeda begitu saja. Semua serigala berhenti berkelahi ketika satu pemandangan mengerikan terpampang nyata di depan mereka. Taegan telah berhasil membunuh Pablo.
Taegan melemparkan kepala Pablo yang telah terpisah dari tubuhnya. Setelahnya, diedarkannya pandangan ke sekitar. Ditatapnya para serigala satu persatu.
Semua diam. Semua membeku, tak ada yang bergerak sama sekali, terlebih ketika Taegan melolong panjang, tanda bahwa pertempuran telah berakhir.
*
"Siapkan ruang operasi sekarang juga!"
Landon Atticus bergegas memerintahkan para omega ketika mendapatkan kabar bahwa pertempuran telah berakhir. Xylvaneth menang. Taegan berhasil membunuh Pablo, tetapi bukan berarti tanpa pengorbanan. Ada banyak serigala yang terluka dan di antaranya, ada korban yang paling tidak diharapkan.
Semua ruang operasi sudah dalam keadaan siaga. Begitu pula dengan para omega, mereka telah bersiap. Mereka memang tak akan berguna dalam pertempuran, tetapi merekalah yang akan merawat semua korban pertempuran.
"Landon!"
Teriakan itu menyentak Landon. Jadilah dia berlari. "Daniel!" Lalu dilihatnya sosok yang terbaring di brankar. "Alpha!"
Taegan tampak merintih kesakitan. Lengan dan dadanya terluka, memperlihatkan robek yang amat besar.
"Segera selamatkan Alpha, Landon."
Landon mengangguk. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin."
Taegan segera dibawa ke ruang operasai. Landon sendiri yang memimpin operasi itu. Persis ucapannya tadi, semua daya dan upaya akan diusahakannya demi menyelamatkan Taegan.
Sementara itu, di luar ruang operasi, Daniel hanya bisa duduk dengan kesedihan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Matanya memerah karena berusaha menahan desakan air mata sedari tadi dan pada akhirnya, pertahanan itu pun runtuh. Dia menangis, dia benar-benar menangis sembari tak mampu menahan rintihan perih. "Luna."
*
Operasi Taegen berjalan dengan lancar. Nyawanya tak lagi dalam bahaya dan menurut Landon, Taegan akan sadar dalam beberapa hari. Tubuhnya hanya butuh waktu untuk memulihkan diri sendiri.
Hari berganti. Kemenangan Xylvaneth seolah tak berarti apa-apa ketika Taegan belum juga siuman. Jadilah Ursa memimpin kawanan untuk berdoa demi kesembuhan Taegan.
Penantian Kawanan Xylvaneth berakhir di hari kelima. Taegan siuman. Dia telah bangun dari koma.
Landon segera memeriksa keadaan Taegan. Semua dicek dengan penuh ketelitian dan barulah dia bisa bernapas dengan lega. "Kau baik-baik saja, Alpha. Semua tanda vitalmu normal. Luka-lukamu parah, tetapi tidak ada yang mengancam nyawa. Kau akan membaik sepenuhnya setelah beristirahat beberapa hari."
"Terima kasih, Landon," ucap Taegan dengan suara rendah. Dia tersenyum samar, mencoba menahan rasa sakit yang masih menjalar di sekujur tubuh. "Kau selalu bisa diandalkan."
"Sama-sama, Alpha."
Sekarang, Taegan beralih pada Daniel. "Daniel."
"Ya, Alpha?"
"Bagaimana dengan kawanan?" Taegan bertanya sembari menarik napas dengan perlahan. Sebabnya, dadanya masih terasa sakit. "Apakah mereka baik-baik saja?"
"Banyak yang terluka, tetapi kita tidak kehilangan banyak nyawa. Kau membuat pertempuran berakhir lebih cepat, Alpha."
Taegan membuang napas lega. Sekarang senyumnya tampak lebih lebar. "Syukurlah. Aku senang mendengarnya." Lalu sesuatu melintas di benaknya, sesuatu yang amat penting. "Daniel, apakah kau bisa memanggil Cecilia dan Oscar? Aku ingin bertemu mereka."
Daniel tertegun. "A-Alpha."
"Aku lupa, tadi Landon mengatakan berapa lama aku koma?" tanya Taegan tanpa benar-benar membutuhkan jawaban Daniel. Nyatanya dia langsung lanjut bicara. "Rasa-rasanya aku begitu merindukan mereka."
"Oscar ada, Alpha. Dia baik-baik saja bersama dengan Aaron."
Taegan mengangguk. "Aku tahu, Aaron memang selalu punya cara untuk mengurus Oscar yang selalu aktif. Lalu, bagaimana dengan Cecilia?" Satu kemungkinan membuat wajahnya berubah. "Apakah dia terluka juga, Daniel? Namun, Landon pasti sudah mengobatinya bukan? Lalu—"
Daniel menundukkan wajah dalam-dalam. Dipejamkannya mata ketika menjawab. "Maafkan aku, Alpha. Aku tak berguna. Maafkan aku."
Taegan membeku. Tubuhnya mendingin persis mayat. Bahkan semua sakit dan nyeri yang dirasakan olehnya sedari tadi sontak pergi, sama sekali tak terasa lagi.
"A-apa maksudmu, Daniel?" tanya Taegan dengan suara bergetar. Ketakutan mulai merayapi jiwa dan raganya. "Mengapa kau meminta maaf padaku?"
Daniel tak mampu bicara. Sebaliknya, dia malah merosot ke lantai dan kali ini, tangisnya benar-benar tak terbendung. Dia berikan jawaban untuk Taegan dengan cara yang paling menyakitkan.
*
Cecilia tampak cantik. Persis seperti biasanya. Rona di kedua pipi dan seuntai senyum yang menghiasi bibirnya membuat dia terlihat semakin anggun, persis seperti biasanya.
Namun, tak seperti biasanya, kehadiran Cecilia tidak memberikan kehangatan. Padahal sebagai seorang luna maka dialah sosok yang paling mendamaikan untuk para kawanan. Keberadaannya selalu menciptakan ketenangan dan ketenteraman, serupa pelukan ibu kepada anak-anaknya.
Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Kehadiran Cecilia diikuti oleh rasa dingin yang menusuk-nusuk. Jadilah setiap yang bernapas malah merasa sesak, seolah udara yang mereka hirup adalah ribuan jarum berkarat.
Para kawanan berkumpul. Semua menundukkan kepala. Isak tangis terdengar di mana-mana hingga satu derap langkah muncul dan membuat kepedihan mereka semakin menjadi-jadi.
Taegan berjalan dengan tertatih menuju ke tengah-tengah ruangan. Langkahnya gemetar, lututnya terasa goyah. Namun, dipaksakannya diri untuk terus melangkah.
Badai kesedihan menghantam Taegan ketika dilihatnya Cecilia berbaring di dalam peti mati. Dia tertegun, dia membeku, lalu diulurkannya tangan untuk membelai pipi Cecilia. "Cahayaku, apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau di sini? Bukankah seharusnya kau menjenguk alphamu? Lihatlah, Cecilia. Aku baru siuman dari koma dan aku tak mendapati kunjunganmu."
Kata-kata Taegan membuat air mata yang menetes semakin banyak. Rintihan semakin terdengar memilukan. Jadilah mereka menutup mata, sama-sama tak kuasa melihat penderitaan yang sekarang terjadi.
Taegan menahan napas sejenak. Lalu diraihnya tangan Cecilia yang telah kaku. "Kau tak boleh melakukan ini padaku, Cecilia. Tidak." Dia mengecup tangan dingin Cecilia dengan penuh kerinduan. "Kau tak boleh meninggalkanku. Kumohon, kembali padaku."
Kesedihan Taegan berubah menjadi jerit panjang yang memilukan. Dia mengerang dalam lara tak berkesudahan. Dia tersiksa, benar-benar teraniaya dalam penderitaan yang amat mendalam. Setiap detik terasa seperti azab yang tak tertahankan, membakar setiap inci jiwanya. Jadilah air matanya mengalir deras, mencerminkan kehancuran batinnya.
Tubuh Taegan gemetar hebat. Dunia seolah menekan pundaknya dengan tanpa ampun. Rasa kehilangannya begitu besar, seperti bagian dari dirinya telah dicabut paksa. Pada akhirnya, dia hanya bisa mencengkeram peti mati Cecilia sekuat tenaga sebelum kegelapan menghantam dirinya.
*
"Papa! Lepaskan aku, Aaron! Lepaskan!"
Aaron tak memenuhi permintaan itu. Sebaliknya, dia malah mempererat pelukannya. "Oscar, tenanglah. Alpha akan segera memanggilmu, tetapi nanti."
"Tidak, Aaron! Aku harus bertemu Papa sekarang!"
Oscar terus memberontak. Dia terus meronta hingga pada akhirnya rengkuhan Aaron pun terlepas. Lalu dia pun berlari sekuat tenaga.
Jantung Oscar berdegup kencang dengan firasat yang tak mengenakkan sama sekali. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Terciptalah ketakutan yang terus membuatnya menggeleng. Tidak. Papa harus selamat. Papa harus hidup. Aku tidak bisa hidup tanpa Mama dan Papa.
Oscar menerobos masuk ke kamar Taegan. Jadilah semua yang berada di dalam sana menatap padanya dan di waktu bersamaan, Aaron pun tiba.
"Maafkan aku, Alpha. Aku—"
Taegan mengangkat satu tangannya. "Tak apa, Aaron. Lagi pula aku pun merindukan putraku," ujarnya sembari melihat Oscar dengan tersenyum. "Oscar, kemarilah."
Oscar mendekat dengan langkah pelan. "Papa, apakah kau baik-baik saja?"
"Tentu saja. Landon sudah mengobatiku."
Oscar menatap Taegan. "Kumohon, sembuhlah, Papa."
"Tenanglah, Oscar. Aku pasti sembuh."
Oscar tak mengatakan apa-apa lagi. Sebaliknya, dia meraih tangan Taegan dan menggenggamnya erat. Dia sama sekali tak melepaskan genggamannya, bahkan hingga Taegan mengembuskan napas terakhirnya keesokan harinya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top