16. Selenophile: Enam Belas

"Ingat apa kataku, segera hubungi aku bila terjadi sesuatu. Kau mengerti."

Era memutar bola mata. "Aku mengerti, Oscar. Jadi bisakah kita mengakhiri telepon ini? Aku tidak bisa berlama-lama meninggalkan meja kasir dan selain itu, aku yakin bila Seth sudah melaporkan semuanya padamu, itu artinya dia juga sudah mengatakan padamu kalau keadaanku baik-baik saja. Benar begitu bukan?"

Hening. Oscar tak menjawab dan Era memang tak membutuhkan jawaban.

"Jadi, kumohon, Oscar. Berhenti menghubungiku untuk hal tak penting. Aku ada punya banyak kegiatan dan tidak bisa mengangkat teleponmu setiap saat."

Hanya geraman Oscar yang terdengar di telinga Era, lainnya tak ada.

"Baiklah. Kalau begitu, aku akhiri telepon ini, Oscar. Semoga harimu menyenangkan."

Era mengakhiri telepon itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Segera dimasukkannya ponsel ke saku celana dan keluarlah ia dari bilik toilet. Ia menyempatkan diri untuk mencuci tangan di wastefel sebelum benar-benar keluar dari toilet.

Bertepatan dengan kembalinya Era di meja kasir, ada Seth yang maju dari antrean sembari mengeluarkan dompet. Ia sempat melirik, tetapi Era mengabaikannya. Jadilah ia mengulum senyum.

"Ini."

Seth memberikan kartu kreditnya pada Dree bahkan sebelum mengetahui total pesanannya malam itu. Dree menyambutnya sambil turut melirik pada Era, lalu ia berkata.

"Masih jomlo."

Era mengerutkan dahi sementara Seth malah tersenyum geli. Terlebih lagi Dree kembali menggoda walau jari dan matanya tetap fokus bekerja untuk menuntaskan pembayaran Seth.

"Jadi, silakan mendaftar dan jangan sia-siakan kesempatanmu. Dia bukan hanya cantik, tetapi juga pintar dan pekerja keras."

Era melongo. Dree tak ubah sales yang tengah menawarkan barang.

"Aku yakin kau benar," ujar Seth sembari menyambut kembali kartu kreditnya berikut dengan setruk pembayarannya, kesemuanya langsung ia masukkan ke dalam dompet. "Dia memang cantik, pintar, dan pekerja keras, tetapi aku tak yakin kalau dia benar-benar masih jomlo."

Sontak saja mata Era membesar. "Seth."

Seth tergelak, lalu berkata pada Dree. "Terima kasih."

Seth pergi dan tinggallah Dree yang serta merta menuntut penjelasan pada Era. Kedua tangan bersedekap di dada, lalu ditatapnya Era dengan mata menyidik. Jadilah Era mendeham dengan perasaan tak enak.

"A-apa?"

Dree mendeham dengan penuh irama. "Apa kau bisa menjelaskan apa maksud perkataannya tadi?"

"Ma-maksud perkataannya yang mana? Aku tidak mengerti."

"Aku tahu kau mengerti betul maksudku, Nona Ross," ujar Dree tanpa mengendurkan aura intimidasinya yang sukses membuat Era jadi meneguk ludah. Ia terus melangkah hingga membuat Era mau tak mau turut mundur teratur. "Aku tak yakin kalau dia benar-benar masih jomlo? Ehm. Bukankah perkataannya tadi itu cukup aneh?"

Era mencoba tersenyum walau kaku. "Aku yakin dia hanya salah berucap, Dree."

"Oh, benarkah?"

"Benar. Tentu saja benar," jawab Era sambil melirik pada seorang pelanggan yang berniat untuk membayar. Jadilah ia menahan pundak Dree dan tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk melarikan diri dari rasa penasaran Dree. "Ada pelanggan yang ingin membayar. Biar aku layani dulu dan kau istirahatlah sebentar."

Mulut Dree membuka. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi keburu Era sudah pergi. Jadilah ia berdecak sambil beranjak. Niatnya adalah beristirahat sejenak seperti yang disarankan Era tadi. Paling tidak ia ingin ke toilet. Ia sudah menahan pipis dan sekarang pertahanannya sudah di ujung tanduk.

Namun, sesuatu membuat langkah Dree tertahan. Jadilah ia menyipitkan mata dan berusaha memfokuskan retinanya pada satu sosok yang bersembunyi di balik kegelapan malam.

Siapa itu?

Dree tak yakin ia mengenal pria itu. Walau begitu ia yakin bahwa pria itu tengah menatap Era.

Tatapan mata Dree kian menajam. Wajah pria itu terlihat di balik remang-remang lampu hias yang berada di luar kafe. Ia semakin penasaran sehingga kakinya melangkah tanpa sadar dan tiba-tiba saja Era memegang pundaknya.

"Kau tak jadi istirahat?"

Dree mengerjap. Ia berpaling pada Era dan menggeleng kecil. "Tidak, aku akan ke toilet sebentar lagi."

"Oh. Oke."

Era kembali melanjutkan pekerjaan dan Dree langsung melihat ke luar lagi. Namun, pria itu telah menghilang.

Siapa dia?

*

Hari yang melelahkan berakhir juga. Era sampai di apartemen ketika jam telah menunjukkan pukul satu dini hari. Jadilah ia segera menyegarkan diri dengan siraman air hangat dan setelahnya ia menyalakan televisi, tetapi justru bersantai dengan sebuah buku.

Persis seperti para wanita dewasa muda pada umumnya yang menyukai novel percintaan, Era pun demikian. Ia betah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelami dinamika penuh perasaan yang tertuang melalui kata-kata. Hatinya menjadi berbunga-bunga dan muncullah imajinasi indah di dalam benaknya, biasanya itu ketika pada akhirnya tokoh utama wanita menemukan cinta sejatinya.

Semringah di wajah Era sirna sudah. Jadilah ditutupnya novel itu ketika rasa iri perlahan membuat ia jadi kesal sendiri. Bahkan takdir di novel pun lebih indah ketimbang takdirnya, begitulah pikirnya.

Era memadamkan lampu utama. Ia beranjak menuju tempat tidur dan bersiap untuk merebahkan tubuh ketika ponselnya berdering. Sontak saja matanya terpejam dan dalam hati ia mengancam. Kalau itu Oscar lagi, awas saja.

Namun, dugaan Era keliru. Ancamannya tak jadi digunakan. Bukan Oscar yang menghubunginya, melainkan Ursa.

"Halo, Ursa."

Segera saja Era mengangkat telepon itu. Diyakininya bahwa Ursa bukanlah seperti Oscar yang akan meneleponnya untuk hal tak penting. Lagi pula ia memiliki kecenderungan menyukai telepon dari Ursa. Ia ingat minggu lalu ketika ia baru tiba di Celestial City dan Ursa menghubunginya, itu rasanya persis seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan putrinya.

"Halo, Era. Kuyakin kau belum tidur bukan?"

Era beringsut di tempat tidur. Ia duduk dan menyandarkan punggung di kepala tempat tidur, lalu dijawabnya pertanyaan itu dengan senyum. "Belum, Ursa. Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu. Ehm. Kau baik-baik saja bukan?"

Nama Oscar langsung melintas di benak Era. "Aku baik-baik saja," jawabnya lagi dan langsung balik bertanya. "Apa Oscar ada mengatakan sesuatu?"

"Bukan lagi sesuatu, tetapi ia nyaris seperti induk anjing yang kehilangan anak anjing. Ia mengomel dan apa pun menjadi alasannya untuk memarahi seisi Istana. Landon bahkan sempat berpikir untuk memberi Oscar obat tidur agar ia bisa lebih tenang."

Era memejamkan mata. Di benaknya, ia bisa membayangkan betapa kacaunya Istana. Jadilah ia tak mampu menahan rasa bersalah. "Maafkan aku, Ursa," ujarnya berikut dengan rasa geram yang turut menyertai. "Aku tidak mengira kalau Oscar akan seheboh itu. Aku hanya dirundung dan—"

"Aku yakin itu bukan sekadar 'hanya'."

Era membuang napas. "Kau benar."

"Pada dasarnya, Oscar khawatir padamu. Aku pun tak bisa menyalahkan kehebohannya. Aku dan para kawanan mengerti. Kami sama paham, seandainya kami berada di posisi Oscar maka bisa saja kami sekarang sudah mengamuk ke mana-mana."

Bola mata Era membesar. Tentulah ia panik. Jangan sampai hal itu terjadi. "Ursa."

"Tenanglah. Aku yakin Oscar tak akan melakukan itu. Setidaknya, ia memiliki pengendalian diri yang hebat. Walau begitu aku mohon agar kau memaklumi sikapnya. Oscar sudah melakukan segala yang bisa diusahakannya dan aku tak ingin kau keliru menanggapi kegelisahannya. Ia bukannya ingin mengekang atau membuatmu kesal, tetapi ia hanya terlalu takut bila sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Era yakin Oscar pernah mengatakan hal serupa padanya. Jadilah ingatannya merespons dan ujung-ujungnya jiwa serigala di dalam sana bergelung dengan sedih. Kita tak seharusnya membuat Oscar khawatir, Era. Kasihan Oscar.

"Selain itu, Era. Apakah kau sungguh baik-baik saja? Aku memang sudah mendengar dari Seth langsung. Tadi aku menghubunginya karena jujur saja, aku juga sangat mengkhawatirkanmu. Mereka tak melukaimu bukan? Kau sungguh baik-baik saja bukan hanya sekadar membuat kami tidak khawatir bukan?"

Era mendeham. Pertanyaan dan nada suara Ursa membuat perasaannya tersentuh. "Aku sungguh baik-baik saja, Ursa. Aku sama sekali tidak terluka. Aku bersumpah."

"Oh, syukurlah kalau begitu, Era. Sekarang aku benar-benar tenang. Aku yakin, aku bisa tidur dengan tenang sekarang."

Sesuatu menarik perhatian Era. "Kau menghubungiku semalam ini karena tidak bisa tidur, Ursa?"

"Aku mencobanya, Era, tetapi aku benar-benar tidak bisa terlelap dan pikiranku terus tertuju padamu."

Mata Era terpejam dengan dramatis. Agaknya posisi calon luna yang tersemat padanya bukan hanya membuat kelabakan Oscar, tetapi semua kawanan. "Ursa, maafkan aku."

"Tidak, Era. Tak perlu meminta maaf. Lagi pula ini semua memang terjadi alamiah. Aku menyayangimu. Kami semua menyayangimu dan akan selalu mengkhawatirkanmu."

Era lupa kapan terakhir kali ia mendapatkan ungkapan penuh kasih seperti itu. Rasanya sudah tak ada yang menyayanginya setelah Sylvie meninggal dunia. Jadilah wajar bila perasaannya jadi menghangat, lalu dibalasnya ungkapan tersebut. "Aku juga menyayangimu, Ursa. Semoga kau selalu sehat dan bila Oscar mengomel, kau bisa menceritakannya padaku."

Tawa Ursa menjadi hal indah yang mengantar Era ke alam mimpi. Rasanya seperti semua letih, panik, dan kesal yang dialaminya seharian itu menguap dan menghilang tanpa jejak. Jadilah ia tidur dengan nyaman dan keesokan harinya bangun dengan lebih segar.

Matahari pagi yang cerah menjadi awal hari yang sempurna untuk Era. Ia turun dari tempat tidur dan langsung memulai aktivitas dengan diiringi oleh lantunan musik. Sesekali, senandung pun terucap lirih dari bibirnya, pertanda bahwa perasaannya sedang dalam suasana yang bagus.

Pukul sembilan, Era sudah siap. Tas ransel sudah disandangnya di punggung dan ia pun segera menuju ke halte bus. Ia akan pergi ke kampus dan refleks saja pikirannya tertuju pada Barbara.

Keceriaan dan antusiasme Era dalam menyambut hari jadi redup seketika. Tatkala nama Barbara melintas di benaknya, hanya satu yang dipertanyakannya. Apakah Barbara baik-baik saja?

Era tidak merasa bersalah pada Barbara. Lagi pula itu semua terjadi karena ulah Barbara sendiri. Namun, bukan berarti ia tak terpikirkan sama sekali. Sebaliknya, ia jadi ingin mengetahui keadaan Barbara. Ia juga berharap semoga Barbara tidak mengalami cedera yang serius dan cukuplah itu menjadi peringatan untuknya.

Tiba di kampus, Era bergegas. Dilihatnya parkiran dan tak ditemukannya mobil Barbara. Jadilah ia putuskan untuk menemui teman-teman Barbara. Ia memasuki gedung kampus dan kehadirannya disambut oleh aura tak menyenangkan.

Langkah kaki Era sontak terhenti. Ia memutar pandangan ke sekitar dan menyadari dengan jelas bahwa nyaris semua mata memandang ke arahnya. Perasaan tak enak hadir dan ia jadi bertanya-tanya. Ada apa? Apa yang terjadi? Mengapa sepertinya mereka melihatku dengan sorot aneh?

Era tak ingin membiarkan perasaan tak nyaman itu menjajah pikirannya dalam kurun waktu lama. Ia harus mengetahui apa yang terjadi dan jadilah ia hampiri sekelompok gadis yang kebetulan sedang duduk bersantai di lorong, mereka adalah teman-teman Barbara.

Kehadiran Era disambut oleh ekspresi mencemooh. Namun, ia tak terprovokasi. Alih-alih ia tampilkan sikap terkendali yang justru membuat mereka jadi semakin benci.

"Ada apa, Era? Mau apa kau datang kemari?"

Era mendeham sejenak. "Di mana Barbara? Bagaimana keadaannya? Apakah dia akan datang ke kampus hari ini?"

"Ck!"

Era masih terkendali. Tak dipedulikannya respons teman-teman Barbara. Satu yang penting baginya adalah mengetahui keadaan Barbara, hanya itu. "Apa ada yang bisa menjawab pertanyaanku?"

"Memangnya apa pedulimu, Era? Apa kau ingin mengetahui keadaan Barbara agar kau bisa bersenang-senang di atas penderitaannya?"

"Tidak sama sekali," jawab Era cepat. Dihirupnya napas dalam-dalam, lalu lanjut bicara. "Sebaliknya, aku berharap kalau dia baik-baik saja. Ehm. Cederanya tidak parah bukan?"

Bukan jawaban yang Era dapatkan, melainkan kekehan merendahkan. Teman-teman Barbara tertawa seolah-olah ia baru saja mengatakan hal paling lucu sedunia.

Era mengerutkan dahi. "Apa ada yang salah dari pertanyaanku?"

"Tentu saja. Kau jangan belagak sok baik dan peduli pada Barbara. Kenyataannya adalah kau yang membuat Barbara cedera seperti itu."

"Kalian semua tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin." Era melihat mereka satu persatu. Wajah mereka masih terekam sempurna di ingatan. "Kalian semua melihat apa yang terjadi. Jadi, jangan mencoba untuk memfitnahku."

Ketegasan Era membuat mereka jadi terhenyak. Tak diduga oleh mereka bahwa Era akan seberani itu. Era tampak tak gentar sama sekali di bawah intimidasi mereka, terlebih lagi saat itu mereka tengah di tempat umum. Semua mata melihat Era nyaris dengan sorot serupa, yaitu menuding untuk hal buruk yang terjadi pada Barbara.

Era mengatupkan mulutnya sejenak. Tanpa sadar, ia melangkah dan semakin mendekati mereka. "Aku tanya sekali lagi. Bagaimana keadaan Barbara?"

Tak ayal lagi, mereka menjadi kicep. Jadilah mereka saling bertukar pandang dan salah seorang pun menjawab.

"Ba-Barbara baik-baik saja. Telapak tangannya hanya terkilir. Kata dokter, dia akan sembuh dalam seminggu."

Era membuang napas lega. "Terima kasih."

Setelahnya Era pun beranjak dari sana. Tak dipedulikannya teman-teman Barbara yang langsung heboh ketika ia pergi. Juga, diabaikannya semua mata yang terus menatapnya walau tak mengetahui kebenaran dari peristiwa tersebut.

Era tahu bahwa ia tak punya kekuatan untuk mengendalikan pandangan orang-orang padanya dan untungnya ia memang tidak memedulikan penilaian mereka. Entah ia dicap sebagai gadis baik-baik atau sebaliknya, ia tak peduli. Kehidupannya terus berlanjut dan yang terpenting adalahnya ia tak pernah mengganggu orang lain.

Satu-satunya yang diharapkan oleh Era adalah kedamaian dan ketenangan. Itulah yang membuatnya nekat meninggalkan desa Avaluna. Harapannya besar sekali untuk bisa menikmati hidup yang sebenarnya di Celestial City. Ia tak ingin menimbulkan masalah dan tak ingin cari masalah. Nahasnya, terkadang malah orang yang memang berniat berbuat masalah padanya.

Era menyadari itu ketika melintasi lorong gedung di sisi utara. Tempat itu memang jarang dilintasi dan alasan mengapa ia melalui lorong itu adalah karena ia mulai merasa risi pula menjadi pusat perhatian tak mengenakkan seisi kampus.

Gerald dan teman-temannya mengadang jalan Era. Mereka mengelilingi Era sehingga tak ada cela untuknya bisa kabur.

Era panik dan bisa menebak, Gerald pasti merencakan sesuatu yang buruk untuknya. Jadilah ia berusaha untuk melarikan diri, tetapi tidak bisa. Ia benar-benar terpojok.

"Kau mau ke mana, Era? Tidakkah kau berpikir kalau kau masih memiliki utang penjelasan padaku? Untuk yang terjadi pada Barbara?"

Era mencoba untuk tetap tenang. "Apa yang terjadi pada Barbara, itu karena ulahnya sendiri. Dia ingin menamparku dan malah ia yang kesakitan."

"Kau pikir aku percaya?" tanya Gerald, lalu ia berdecih. "Kau jelas-jelas menginjak tangannya, Era. Aku tak pernah mengira kalau kau bisa berbuat demikian."

Rasanya Era menyesal sudah mengkhawatirkan keadaan Barbara. Tak terpikir olehnya kalau Barbara akan memfitnahnya begitu. Jadi, wajar saja orang-orang di kampus melihatnya dengan tatapan aneh. Tentunya gosip itu sudah beredar ke mana-mana.

"Aku tak peduli kalaupun kau tak percaya. Terserah padamu, Gerald. Jadi, sekarang biarkan aku pergi."

Era melangkah, tetapi Gerald langsung mendorongnya. Kakinya silap dan ia nyaris terjungkang ke belakang. Namun, seorang teman Gerald menahannya walau bukan untuk menolongnya, karena setelahnya Gerald memberi perintah.

"Bawa dia ke gudang."

Bola mata Era membelalak. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi teman-teman Gerald memiliki tubuh yang besar dan tinggi. Ia tak bisa melawan tanpa melepaskan kekuatannya yang sebenarnya.

Era dilema. Teringat olehnya bahwa ia tak boleh menunjukkan kekuatannya di depan manusia biasa. Namun, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Masuk ke gudang, Era dihempaskan begitu saja. Ia menabrak dinding dan nahasnya, tak ada yang melihat bagaimana dinding itu yang retak dan semennya mulai berhamburan.

Gerald hanya fokus pada kesenangannya melihat Era yang merintih. Ia tertawa, lalu kembali memberi perintah. "Jaga di luar. Jangan biarkan siapa pun masuk selama aku memberi pelajaran pada pelacur murahan ini."

Sinyal peringatan berdenging nyaring di benak Era. Ia menggeleng, lalu memohon tanpa berpikir dua kali.

"Gerald, kumohon. Jangan lakukan apa pun padaku."

Gerald menyeringai. Dilepasnya jaket jin di tubuhnya, lalu ia melemparnya dengan kesan dramatis. "Mengapa? Apa kau takut, Era?"

"Kumohon jangan, Gerald. Ini demi kebaikanmu."

Era sama sekali tidak takut. Semestinya, ia memang harus takut. Namun, kenyataannya tidak sama sekali. Ia tidak merasakan takut, melainkan sebaliknya.

Berani kau menyentuh Era maka kau akan mati, Gerald. Aku akan mencabik-cabikmu.

Era menahan napas. Dicobanya untuk menenangkan jiwa serigalanya yang telah meradang. Tenanglah. Semua akan baik-baik saja.

Aku bersumpah. Aku akan mencabik-cabiknya kalau dia berani menyentuhmu sedikit saja.

"Huh! Demi kebaikanku?" Gerald tertawa sambil turun berjongkok. Diraihnya dagu Era, lalu ia meremasnya dengan kuat hingga Era pun meringis. "Kalau begitu, anggaplah bahwa pelajaran yang akan kuberikan padamu sekarang adalah demi kebaikanmu juga."

Era kembali menggeleng bertepatan dengan dering ponsel yang tiba-tiba terdengar. Ia mengerjap dan melirik ke saku celana. Perasaannya semakin tak enak. Satu nama langsung terbersit di benaknya—Oscar.

Dering pertama berakhir tanpa bisa Era angkat, kemudian disusul oleh dering berikutnya. Jadilah keyakinannya semakin menjadi-jadi. Hanya ada satu orang yang akan menghubunginya dengan membabi buta seperti itu, pastilah Oscar.

"Aku yakin telepon itu tidak penting, benar begitu bukan? Lagi pula aku sudah tak sabar ingin memberimu pelajaran yang akan kau kenang seumur hidupmu," ujar Gerald sembari tersenyum menjijikkan. Ditatapanya Era dengan sorot penuh nafsu. "Seharusnya kau merasa beruntung, Era. Kau tahu bukan? Banyak gadis yang rela antre untuk bisa kutiduri."

Tangan Gerald terulur. Diusapnya pipi Era hingga si empunya memejamkan mata demi menahan muak.

Gerald menganggap sebaliknya. Dipikirnya Era menyukai sentuhannya sehingga ia pun semakin lebih berani. Ibu jari bergerak dan ia mengusap bibir Era.

Era mengatupkan mulut rapat-rapat sembari menahan napas di dada. Sentuhan Gerald membuatnya mual dan jadilah tubuhnya mulai bergetar dengan rasa panas yang perlahan muncul. "Jangan, Gerald."

Gerald menyeringai. Tak dipedulikannya perkataan Era dan juga dering ponsel yang terus berbunyi tanpa henti. Sekarang ia justru langsung menuju pada barisan kancing kemeja Era. Dikeluarkannya kancing itu satu persatu tanpa melihat perubahan ekspresi Era.

Wajah Era mengeras. Rahangnya berubah kaku. Keringat bermunculan dan ketika itu ia masih mencoba untuk mengingatkan diri. Aku tidak boleh berubah di depan manusia biasa. Aku tidak boleh bertindak di luar kendali.

Era bisa saja mendorong Gerald dan melakukan satu atau dua hal. Namun, bayang kesakitan Barbara melintas di benaknya. Ia bukannya peduli pada Gerald, tetapi ia tak ingin menyakiti orang lain.

Jiwa serigala Era menggeram. Kemarahannya mendidih dan menimbulkan gejolak yang menghentak-hentak di sekujur tubuh.

Pada akhirnya, Era pun tak mampu bertahan. Kepalanya tertunduk. Rambut menutupi di kedua sisi wajahnya. Lalu ia menggeram.

Bertepatan dengan itu, beberapa detik sebelum Era benar-benar berubah, pintu gudang terbanting keras dengan diikuti oleh jeritan seorang teman Gerald. Tubuhnya melayang dan ia mendarat dengan telak di atas lantai, lalu tak bergerak lagi.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top